Laman

Kamis, 20 September 2012

psikologi agama B3: kesadaran beragama

psikologi agama B3: kesadaran beragama - word

psikologi agama B3: kesadaran beragama - ppt





MAKALAH
“KESADARAN BERAGAMA”


Disusun untuk memenuhi tugas :
                                               Mata kuliah         :  Psikologi Agama
Dosen Pengampu : M. Ghufron Dimyati, M.Si.


Disusun oleh :
PBA B

1.      Indah Kharis Septian              (2022111079)
2.      Washilatul Khasanah              (2022111080)
3.      Laili Munah                             (2022111081)
4.      M. Sholikhin                           (2022111082)

JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN BAHASA ARAB
STAIN PEKALONGAN
2012

BAB I
PENDAHULUAN

Manusia sebagai khalifah di bumi ini telah dibekali berbagai potensi.Dengan mengembangkan potensi tersebut diharapkan manusia mampu menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah.Di antara potensi tersebut adalah potensi beragama.Fitrah beragama pada diri manusia merupakan naluri yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan suci yang diilhami oleh Tuhan Yang maha Esa. Seperti Firman Allah yang artinya :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Ayat tersebut menyatakan bahwa menurut fitrahnya, manusia adalah makhluk beragama. Dalam istilah lain disebut sebagai Homo Religion atau Homo Dividian (makhluk yang bertuhan), karena secara naluri manusia pada hakikatnya selalu         meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa.
Perkembangan jiwa manusia dalam hal beragama mulai dari anak-anak sampai usia lanjut,sangat signifikan terhadap pendidikan agama dan sangat berpengaruh terhadap pembentukan jiwa beragama manusia pada umumnya. Sebagaimana diketahui bahwa sikap keberagamaan manusia selalu mengalami proses sesuai perkembangan jiwanya. Dalam makalah ini, akan membahas pertumbuhan dan perkembangan jiwa beragama seseorang yang juga mempengaruhi kesadarannya dalam beragama serta factor yang mempengeruhinya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Kesadaran Beragama
Orang dewasa mungkin yang sudah berumur 45 tahun belum tentu memiliki kesadaran beragama yang mantab bahkan mungkin kepribadiannya masih belum dewasa atau masih ‘immature’. Umur kalender atau umur seseorang yang menggunakan ukuran waktu almanac belum tentu sejalan dengan kedewasaan kepribadiannya, kematangan mental atau kemantapan kesadaran beragama.Banyak orang yang telah melewati umur 25 tahun, yang berarti telah dewasa menurut umur kalender, namun kehidupan agamanyamasih belum matang.Ada pula remaja yng berumur dibawah 23 tahun telah memiliki kesadaran beragama yang cukup dewasa.Tercapainya kematangan kesadaran beragama seseorang tergantung pada kecerdasan, kematangan alam perasaan, kehidupan motivasi, pengalaman hidup, dan keadaan lingkungan sosial budaya.
Pengertian kesadaran beragama dalam pembahasan ini meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan, sikap dan tingkah lakukeagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dan kepribadian.Karena melibatkan seluruh fungsi jiwa raga manusia, maka kesadaran beragama pun mencakup aspek-aspek efektif, konatif, kognitif dan motorik.Keterlibatan fungsi efektif dan konatif terlihat dalam pengalaman ke-Tuahanan, rasa keagamaan dan kerinduan kepada Tuhan.Aspek kognitif Nampak dalam keimanan dan kepercayaan.Sedangkan keterlibatan fungsi motorik nampakdalam perbuatan dan gerakan tingkah laku keagamaan.Dalam kehidupan sehari-hari, aspek-aspek tersebut sukar dipisah-pisahkan karena merupakan suatu system kesadaran beragama yang utuh dalam kepribadian seseorang.
Gordon W. Allport (1962) mengemukakan tiga ciri kepribadian yang matang, yaitu:
1.      Berkembangnya kebutuhan social psikologis, rohaniah dan arah minat, yang menuju pada pemuasan ideal dan nilai-nilai social budaya melampaui kebutuhan biologis atau hawa nafsu. Pribadi yang matang mampu mengendalikan dorongan biologis dan hawa nafsunya sehingga pemuasannya sesuai dengan norma-norma socials budaya yang berlaku dalam masyarakat.
2.      Kemampuan mengadakan introspeksi, merefleksikan diri sendiri secara obyektif dan kemampuan untuk mendapatkan pemahaman tentang hidup dan kehidupan.
3.      Kepribadian yang matang selalu memiliki silsafat hidup yang utuh walaupun mungkin bukan dari filsafat agama.

B.       Kesadaran Beragama pada Masa Anak-anak
Pada waktu lahir, anak belum beragama.Ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkambang menjadi manusia beragama. Corak perkembangan kesadaran beragama anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan tingkah laku keagamanaan orang tuanya.Keadaan jiwa orang tua sudah berpengaruh terhadap perkembangan jwa anak sejak janin di dalam kandungan.[1]
Sifat Beragama pada Anak.dapat dibagi menjadi enam,[2] yaitu:
1.      Unreflective (kurang mendalam/tanpa kritik)
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam,cukup sekedarnya saja, dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral. Namun, pada anak yang mempunyai ketajaman berfikir akan menimbang pikiran yang mereka terima dari orang lain.

2.      Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama perkembanganya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan dengan itu, maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntun konsep keagamaan yang mnereka pandang dari kesenangan pribadinya.[3]
3.      Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain. Melaliu konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia.
4.      Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkanpengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan padda mereka. Sholat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
5.      Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru.
6.      Rasa Heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif.




C.       Kesadaran Beragama pada Masa Remaja
Selaras dengan keadaan jiwa remaja yang merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan, begitupun dengan kesadaran beragamanya yang berada dalam keadaan peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju kemantapan beragama.[4]
Ciri-ciri yang menonjol pada masa remaja antara lain :
1.      Pengalaman ke-Tuhannya makin bersifat individual
Remaja makin mengenal dirinya dan menemukan dirinya bukan hanya sekedar jasmaniah, tetapi merupakan kehidupan psikologis rohaniah berupa pribadi.Ia menemukan pribadinya terpisah dari pribadi-pribadi lain dan terpisah pula dari alam sekitarnya. Penemuan dirinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri menimbulkan rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadi lainnya.Rasa kesepian ini membuat remaja memerlukan kawan setia atau pribadi yang mampu menampung keluh kesahnya, melindungi, membimbing, mendorong dan memberi petunjuk yang dapat mengembangkan kepribadiannya.
Keadaan labil pada remaja menyebabkan ia mencari ketentraman dan pegangan hidup. Penghayatan kesepian, perasaan tidak berdaya, perasaan yang tidak dipahami  oleh orang lain dan penderitaan yang dialaminya menjadikan ia berpaling kepada Tuhan sebagai satu-satunya pegangan hidup dalam kegoncangan psikologis yang dialaminya. Ia menemukan semua yang dibutuhkan itu dalam keimanan kepada Tuhan. Bila ia telah beriman kepada Tuhan berarti telah menemukan pegangan hidup dan sumber kesempurnaan yang dicarinya. Dengan begitu remaja akan memiliki kepercayaan diri yang kuat dan berani menghadapi segala macam tantangan serta kesukaran dari dunia luar, tetapi bila rasa percaya diri itu berlebihan maka akan menimbulkan sikap fanatisme, radikal dan keberanian tanpa perhitungan.

2.      Keimanannya makin menuju realitas.
Gambaran tentang dunia pada masa remaja menjadi lebih luas dan lebih kaya, karena tidak saja meliputi realitas yang fisik, tetapi mulai melebar ke dunia dalam yang psikis dan rohaniah.Ia mulai memiliki pengertian yang diperlukan untuk menangkap dan mengolah dunia rohaniah, serta mengerti dan menghayati tentang agama dan makna kehidupan beragama.
Dengan berkembangnya kemampuan berpikir secara abstrak, remaja mampu menerima dan memahami ajaran agama yang berhubungan dengan masalah gaib, abstrak, dan rohaniah, seperti kehidupan alam kubur, hari kebangkitan, surga, neraka, bidadari, malaikat, jin, syaitan dan sebagainya. Penggambaran anthropomorphik atau memanusiakan Tuhan dan sifst-sifat-Nya, lambat laun diganti dengan pemikiran yag lebih sesuai dengan realitas. Pikiran, perasaan, kemauan, dan daya upaya manusia sangat terbatas sedangkan Tuhan tidak.Manusia adalah makhluk yang fana, sedangkan Tuhan adalah Khaliq yang abadi.Walaupun Tuhan dan sifat-sifat-Nya tidak terjangkau oleh alam pikiran manusia yang terbatas, namun Tuhan dengan sifat-sifat-Nya tetap dapat dirasakan dan dihayati oleh remaja yang beriman.
3.      Peribadatan mulai disertai  penghayatan yang tulus
Agama adalah pengalaman dan penghayatan dunia-dalam seseorang tentang ke-Tuhanan disertai keimanan dan peribadatan. Keimanan akan timbul menyertai penghayatan ke-Tuhanan, sedangkan peribadatan yakni sikap dan tingkah laku keagamaan yang merupakan efek dari adanya penghayatan ke-Tuhanan dan keimanan.
Perpecahan dan kegoncangan kepribadian yang dialami remaja terlihat pula dalam lapangan peribadatan.Ibadahnya secara berganti-ganti ditentukan oleh sikap terhadap dunia dalamnya sendiri.Jadi, sering terlihat kesibukan beribadah yang berlebihan yang mudah berubah menjadi sikap acuh tak acuh terhadap ibadah.Ia juga mencoba mempelajari bermacam-macam ilmu agama dan mencoba mempraktekkan dan mengamalkannya dalam pribadatan.
Dalam sistem mental keadaran beragama tercakup pula kesadaran akan norma-norma agama. Sesuai keadaan jiwa remaja yang labil, maka nilai-nilai dan norma-norma yang ada pada dirinya ikut mengalami kegoncangan dan perubahan. Hal ini dapat menimbulkan disorientasi norma dan menimbulkan usaha penghayatan terhadap norma-norma agama. Penghayatan norma-norma agama mencakup norma-norma hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan dengan masyarakat dan lingkungan.
Kesadaran beragama bukan hanya penghayatan akan norma agama tentang peribadatan khusus, tetapi juga penghayatan norma agama dalam bekerja, belajar, berekonoi, bermasyarakat, berpolitik, berseni, berbudi pekerti, berkebudayaan, dan bertingkah laku lainnya. Kalau norma agama ini sudah merupakan bagian pribadinya, maka manusia beragama akan mampu menampilkan dirinya sebagai manusia pembawa dan pengubah nilai-nilai masyarakat menuju masyarakat pembangunan untuk mencapai keadilan dan kemakmuran yang diridhai Tuhan.
D.      Kematangan Kesadaran Beragama
Dalam perkembangan jiwa seseorang, pengalaman kehidupan beragama sedikit demi sedikit makin  mantap sebagai suatu unit yang otonom dalam kepribadiannya. Unit itu merupakan suatu organisasi yang disebut “kesadaran beragama” sebagai hasil fungsi kejiwaan terutama motivasi, emosi dan intelegensi.Kesadaran beragama merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar.Kesadaran beragama tidak hanya melandasi tingkah laku yang nampak, tetapi juga mewarnai sikap, pemikiran, i’tikad, niat, kemauan dan tanggapan terhadap nilai-nilai abstrak yang ideal.
Dapat dikatakan bahwa kesadaran beragama yang mantap ialah suatu disposisi dinamis dari sistem mental yang terbentuk melalui pengalaman serta diolah dalam kepribadian untuk mengadakan tanggapan yang tepat, konsepsi pandangan hidup, penyesuaian diri dan bertingkah laku.Dengan  demikian, kesadaran beragama seseorang tidak pernah mencapai kesempurnaan.
G.W. Allport (1962) memberikan tanda-tanda sentimen beragama yang matang yaitu adanya differensiasi, dinamis, produktif, komprehensif, integral, dan keikhlasan pengabdian. Sejalan dengan pendapat G.W. Allport ciri-ciri kesadaran beragama yang matang adalah sebagai berikut:
              I.     Differensiasi yang Baik
Dalam perkembangan kehidupan kejiwaan, differensiasi berarti semakin bercabang, makin bervariasi, makin kaya dan makin majemuk suatu aspek psikis dimiliki seseorang.Kesadaran beragama yang terdifferensiasi merupakan perkembangan tumbuhnya cabang-cabang baru dari pemikiran kritis, alam perasaan dan motivasi terhadap berbagai rangsangan lingkungan serta terjadinya reorganisasi yang terus menerus.
Kesadaran beragama yang tidak terdifferensiasi menunjukkan sikap dan tingkah laku keagamaan yang tidak kritis, kurang dinamik dan “nerimo nasib”.
           II.     Motivasi Kehidupan Beragama yang Dinamis
Tanda kedua kesadaran beragama yang matang ialah adanya motif kehidupan beragama yang otonom. Motif beragama akan timbul sebagai realisasi dari potensi manusia yang merupakan makhluk rohaniah serta berusaha mencari dan memberikan makna pada hidupnya.
Dari sudut Psikologi Perkembangan, motivasi kehidupan beragama pada mulanya berasal dari dorongan biologis seperti rasa lapar, rasa haus dan kebutuhan jasmaniah lainnya. Dapat pula dari kebutuhan psikologis seperti kebutuhan akan kasih sayang, pengembangan diri, kekuasaan, rasa ingin tahu, harga diri dan bermacam-macam ambisi pribadi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut jika mendapat pemuasan dalam kehidupan beragama dapat menimbulkan dan memperkuat motivasi keagamaan yang lama-kelamaan akan menjadi otonom. Orang yang memiliki kesadaran beragama yang belum matang, motivasi keagamaannya masih berhubungan erat dengan dorongan jasmaniah atau kebutuhan yang berhubungan dengan ambisi pribadinya.Sedangkan orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang justru mampu mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu, dorongan materi, ambisi pribadi, dan motif-motif rendah lainnya ke arah tujuan yang sesuai dengan motivasi keagamaan yang tinggi.
        III.     Pelaksanaan Ajaran Agama secara Konsisten dan Produktif
                        Tanda ketiga kesadaran beragama yang matang terletak pada konsistensi atau keajegan pelaksanaan hidup beragama secara bertanggung jawab dengan mengerjakan perintah agama sesuai kemampuan dan meninggalkan larangan-Nya.Pelaksanaan kehidupan beragama atau peribadatan merupakan realisasi penghayatan ke-Tuhanan dan keimanan. Orang yang memiliki kesadaran beragama yang matang akan melaksanakan ibadahnya dengan konsisten, stabil, mantap dan penuh tanggung jawab dan dilandasi warna pandangan agama yang luas. Tiada kebahagiaan yang lebih besar daripada menjalankan kewajiban, dan tiada keawajiban yang lebih  mulia daripada kewajiban melaksanakan perintah agama.
                        Bagi orang yang belum matang seringkali muncul gejolak yang kuat untuk melaksanakan ibadahnya, namun kurang konsisten dan kurang terintegrasi dengan perilaku keagamaan lainnya.Ia melaksanakan ibadah dan mengendalikan kehidupan moralnya secara kaku, kadang-kadang terlalu berlebihan mengharapkan bahkan memaksa orang lain agar beribadah dan bermoral seperti dirinya. Sikap demikian dapat disebut sok agamis, sok moralis atau “moralisme”.
             IV.     Pandangan Hidup yang komprehensif
Manusia memerlukan  pegangan agar dapt menentukan pilihan tingkah lakunya secara pasti dalam menghadapi berbagai kemungkinan. Pada umumnya ereka masih meragukan apakah filsafat dapat dijadikan pegangan hidup untuk menghadapi berbagai macam permasalahan dan pandangaan dunia ini. Walaupun filsafat secara intelektual dapat memberikan arti dan tujuan hidup serta memberikan  pegangan yang mencakup semua permasalahan.
Akan tetapi sebagian besar filosof masih mencari pegangan hidup yang lebih luas, lebih kokoh dan lebih mendalam dari pada filsafat.Agama seperti juga filsafat mampu memberikan jawaban, keteraturan dan hukum/kaidah secara rasional dan logis. Bahkan agama lebih luas dan lebih dalam daripada filsafat, karena agama tidak hanya memberikan pegangan hidup yang logic dan rasional saja, akan tetapi memberikan pula dinamika penyaluran dan kepuasan bagi doronga emosional.
Orang yang memiliki kesadaran beragama yang komprehensif dan bersikap dan bertingkah laku teloran terhadap pandangan dan faham yang berbeda. Ia menyadari, bahwa hasil pemikiran dan usaha sepanjang hidupnya tidak mungkin mencakup keseluruhan permasalahan dan realitas yang ada.
Kesadaran beragama yang matang ditandai adanya pegangan hidup yang komprehensif yang dapat mengarahkan dan menyelesaikan berbagai permasalahan hidup.Di samping komprehensif, pandangan dan pegangan hidup itu harus terintegrasi, yakni merupakan suatu landasan hidup yang menyatukan hasil differensiasi aspek kejiwaan yang meliputi fungsi kognitif, efektif, konatif atau psikomotorik.Dalam kesadaran beragama, integrasi tercermin pada keutuhan pelaksanaan ajaran agama, yaitu keterpaduan ihsan, iman dan peribadatan.
Pandangan orang yang matang kesadaran beragamanya akan terbuka lebar dan berusaha mencari, menafsirkan dan menemukan nilai-nilai baru ajaran agamanya agar dapat diselerasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai perkembangan zaman. Tiap-tiap orang memiliki kematangan kesadaran beragama yang berbeda, Karena perbedaan pengalaman hidup. Akibatnya, penghayatan dan perasaan ke-Tuhanan, keimanan dan peribadatannya bersifat subyektif dan pribadi.

                  V.       Semangat Pencarian dan Pengabdian kepada Tuhan
Gambaran tentang Tuhan tiap kali dirasakan masih merupakan suatu hipotesis hasil pemikiran yang tidak terlepas dari orientasi ruang dan waktu.Gambaran itu tiap kali bukanlah Tuhan yang sebenarnya.Ia berusaha terus mencari dan mendapatkan keimanan yang lebih tepat. Keimanan yang lebih tepatpun ternyata belum mencapai kebenaran yang sempurna.Ia hanya mampu mendekatinya.
Demikian pula jiwa yang matang selalu berusaha dan berbuat dengan sepenuh hati walaupun tidak berdasarkan kepastian yang mutlak. Keimanan pada hari ini walaupun belum merupakan kepastian mutlak dan belum sempurna adalah hasil peningkatan hari kemarin dan merupakan hasil landasan peningkatan untuk hari esok. Orang yang merasa sudah sampai pada titik akhir pemahamannya tentang Tuhan dan ajaran-ajarannya menunjukkan bahwa kesadaran beragama yang dimilikinya itu belum matang.















BAB III
PENUTUP

v  Simpulan
Tercapainya kematangan kesadaran beragama seseorang tergantung pada kecerdasan, kematangan alam perasaan, kehidupan motivasi, pengalaman hidup, dan keadaan lingkungan sosial budaya.
Pengertian kesadaran beragama dalam pembahasan ini meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan, keimanan, sikap dan tingkah lakukeagamaan, yang terorganisasi dalam system mental dan kepribadian.
a.    Kesadaran beragama pada masa anak-anak
b.      Kesadaran beragama pada masa remaja
c.       Kematangan kesadaran beragama












DAFTAR PUSTAKA

Ahyadi, Abdul Aziz. 2005. Psikologi Agama. Bandung : Sinar Baru Algesindo.
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Jalaludin. 1998. Psikologi Agama.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


[1] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama,(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005), hlm. 40-42
[2]Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 29
[3]Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 69-70
[4]Abdul Aziz Ahyadi, Op. cit. hlm. 43


psikologi agama A3: kesadaran beragama

psikologi agama A3: kesadaran beragama - word

psikologi agama A3: kesadaran beragama - ppt





MAKALAH
KESADARAN  BERAGAMA

Disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Psikologi Agama
 Dosen pengampu   : Ghufron Dimyati, M.S.i



Disusun oleh :

                                                   Jaenal Abidin     2022 111 020

                                                   Abdul Hafiz       2022 111 038

Siti Maisaroh     2022 111 039

                           Kartini                2022 111 010


PBA A













SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) PEKALONGAN

2012
BAB I
PENDAHULUAN

    A.            Latar Belakang Masalah

          Orang dewasa yang sudah berumur 45 tahun belum tentu memilki kesadaran beragama  yang mantap, bahkan  mungkin kepribadiannya masih belum  dewasa  atau   masih
“immature”. Umur kalender atau umur seseorang yang menggunakan ukuran waktu almanak belum tentu sejalan dengan kedewasaan kepribadiannya, kematangan mental watak kemantapan kesadaran beragama. Banyak orang yang telah melewati umur 25 tahun, yang berarti telah dewasa menurut umur kalender, namun kehidupan agamanya masih belum matang. Ada pula remaja yang berumur dibawah 23 tahun telah memiliki kesadaran beragama yang cukup dewasa. Pada orang dewasa masih sering ditemukan ciri-ciri kesadaran beragama yang hanya mencapai fase anak-anak. Tercapainya kematangan kesadran beragama seseorang bergantung pada kecerdasan, kematangan alam perasaan, kehidupan motivasi, pengalaman hidup, dan keadaan lingkungan sosial budaya.

     B.            Rumusan Masalah
1.      Pengertian kesadaran beragama
2.      Tingkatan kesadaran beragama
3.      Faktor-faktor yang memmpengaruhi kesadaran beragama














BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian kesadaran agama
Kesadaran diri merupakan kondisi dari hasil proses mengenai motivasi, pilihan dan kepribadian yang berpengaruh terhadap penilain, keputusan, dan interaksi dengan orang lain.[1]
Kesadarn beragama dalam tulisan ini meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan , ke imanan, sikap dan tingkah laku keagaman, yang terorganisasi dalam sistem mental darikepribadian. Karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa raga manusia, maka kesdaran beragamapun mencapai aspek-aspek afektif, konatif, kognitif dan motorik. Keterlibatan fungsi afektif dan konatif terlihat didalam pengalaman ke-Tuhanan, rasa keagamaan dan rindu kepada tuhan. Aspek kognitif nampak dalam keimanan dan kepercayaan. Sedangkan keterlibatan fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku dan keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari, aspek-aspek trsebut sukar di pisah-pisahkan karena merupakan suatu sistem kesadaran beragama yang utuh dalam kepribadian seseorang.[2]
Kesadaran beragama merupakan bagian atau segi yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat di uji melalui intropeksi atau dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek mental dan aktifitas agama.[3]
 Jalaludin (2007:106) menyatakan bahwa kesadaran orang untuk beragama merupaakan kemantapan jiwa seseorang untuk memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan mereka. Pada kondisi ini, sikap keberagamaan orang sulit untuk diubah, karena sudah berdasarkan pertimbangan dan pemikiran yang matang. Sedangkan menurut Abdul Azia Ahyadi (1988:45), kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian. Keadaan ini dapat dilihat melalui sikap keberagamaan yang terdefernisasi yang baik, motivasi kehidupan beragama yang dinamis, pandangan hidup yang komprehensif, semangat pencarian dan pengabdiannya kepada tuhan, juga melalui pelaksanaan ajaran agama yang konsisten, misalnya dalam melaksanakan sholat, puasa dan sebagainya (Abdul Aziz, 1988:57)[4]

2.      Tingkatan-tingkatan Kesadaran beragama
a)      Kesadaran beragama pada masa anak-anak
Pada waktu lahir, anak-anak belum beragama. Ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan ber-Tuhan. Selaras dengan  perkembangan kepribadian, kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontinuitas atau berlanjut dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan kesadaran itu berlanjut,namun setiap fase perkembangan menunjukkan adanya ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah :
Ø   Pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat efektif, emosional dan egosentris.
Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak melalui hubungan emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional yang diwarnai kasih sayang dan kemesraan antara orang tua dan anak menimbulkan proses identifikasi, yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya di sadari oleh si anak terhadap sikap dan perilaku orang tua.
Ø Keimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju ke fase realistik.
Keimanan sang anak kepada Tuhan belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang obyektif akan tetapi lebih merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang, rasa aman dan kenikmatan jasmaniyah. Walaupun sekitar umur delapan tahun sikap anak makin tertuju ke dunia luar, namun hubungan anak dengan Tuhan masih lebih merupakan hubungan emosional antara kebutuhan dirinya dengan sesuatu yang ghaib dan di bayangkan secara konkret.
Ø Peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang di  hayati.
Pada umur 6-12 tahun perhatian ankan yang tadinya lebih tertuju kepada dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia luar terutama perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha untuk menjadi makhluk sosial yang mematuhi aturan-aturan, tata krama, sopan santun dan tata cara bertingkah laku yang sesuai denga lingkungan rumah dan sekolahnya.[5]
b)      Kesadaran beragama pada masa remaja
Kesadaran agama atau semangat pada masa remaja itu, mulai dengan cenderungnya remaja kepada meninjau dan meneliti kembali caranya beragama dimasa kecil dulu. Kepercayaan tanpa pengertian yang diterimanya waktu kecil itu, tidak memuaskan lagi, patuh dan tunduk kepada ajaran tanpa komentar atau alasan tidak lagi menggembirakannya. Jika ia misalnya dilarang melakukan suatu karena agama, ia tidak puas,kalau alasannya hanya dalil-dalil dan hukum-hukum mutlakyang diambilkan dari ayat-ayat kitab suci atau hadis-hadis nabi. Mereka ingin menjadikan agama,sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan pribadinya, karenanya ia tidak mau lagi beragama sekedar ikut-ikutan saja.[6]
Ciri-ciri kesadaran beragama yang menonjol pada masa remaja ialah:
Ø  Pengalaman ke-Tuhanannya makin bersifat individual
Remaja makin mengenal dirinya. Ia menemukan “diri”nya bukan hanya sekadar badan jasmaniah, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis rohaniah berupa “pribadi”. Remaja bersifat kritis terhadap dirinya sendiri dan segala sesuatu yang menjadi milik pribadinya.ia menemukan pribadinya terpisah dari pribadi-pribadi lain dan terpisah pula dari alam sekitarnya. Pemikiran, perasaan, keinginan, cita-cita dan kehidupan psikologis rohaniah lainnya adalah milik pribadinya. Penghayatan penemuan diri pribadi ini dinamakan “individuasi”, yaitu adanya garis pemisah yang tegas antara diri sendiri dan bukan diri sendiri
Penemuan diri pribadinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri menimbulkan rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadi lainnya. Secara formal dapat menambah kedalaman alam perasaan, akan tetapi sekaligus menjadi bertambah labil.
Keadaan labil yang menekan menyebabkan si remaja mencari ketentraman dan pegangan hidup. Penghayatan kesepian, perasaan tidak berdaya menjadikan si remaja berpaling kepada Tuhan sebagai satu-satunya pegangan hidup, pelindung dan penunjuk jalan dalam goncangan psikologis yang dialaminya.
Ø  Keimananya makin menuju realitas yang sebenarnya.
Teratahnya perhatian ke dunia dalam menimbulkan kecenderungan yang besar untuk merenungkan, mengkritik, dan menilai diri sendiri. Intropeksi diri ini dapat menimbulkan kesibukan untuk bertanya-tanya pada orang lain tentang dirinya tentang keimanan, dan kehidupan agamnya.
Dengan berkembangnya kemampuan berpikir secara abstrak,si remaja mampu pula menerima dan memahami ajaran agama yang berhubungan dengan masalah ghaib, abstrak dan rohaniah, seperti kehidupan alam kubur, hari kebangkitan dan lain-lain. Penggambaran anthropomorphik atau memanusiakan Tuhan dan sifat-sifat-Nya,lambat laun di ganti dengan pemikiran yang lebih sesuai dengan realitas.
Ø Peribadata mulai disertai penghayatan yang tulus
Pada masa ini remaja mulai mendidik dirinya sendiri. Ia berusaha mendisiplinkan diri sesuai dengan norma dan ajaran yang dihayatinya sebagai ikatan dari dalam diri pribadinya, karena norma itu telah diakui dan dirasakan sebagai milik dan bagian pribadinya. Esensi agama adalah pengalaman kehadiran Tuhan, kekuatan yang tertinggi. Dalam usaha mengharmoniskan hidupnya dengan tuhan, manusiabertingkah lakusesuai dengan kehendak Tuhan dan tingkah laku ini adalah tingkah laku bermoral.[7]

3.    Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadarn beragama
a)      Faktor internal
Menurut fitrahnya, manusia adalah makhluk beragama atau memilki potensi beragama, mempunyai keimann kepada Tuhan. Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari agama sehingga fitrahnya itu berkembang secara benar sesuai tuntunan agama.
b)      Faktor eksternal
Perkembangan kesadarn beragama akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang memberikan bimbingan, pengajaran dan pelatihan yang memungkinkan kesadaran beragama itu berkembang dengan baik. Faktor lingkungan tersebut antara lain:
1)      Lingkungan keluarga
Keluarga mempunyai peran sebagai pusat latihan atau pembelajaran anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai agama dan kemampuannya dalam mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari
2)      Lingkungan sekolah
Dalam mengembangkan kesadaran beragam siswa, peranan sekolah sangat penting, peranan ini terkait dengan pengembangan pemahaman, pembiasaan mengimplementasikan ajaran-ajaran agama, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama.
3)      Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat ini maksudnya adalah hubungan atau interaksi sosial dan sosiokultular yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah atau kesadaran beragama seseorang.[8]
















BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Kesadaran beragama merupakan bagian atau segi yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat di uji melalui intropeksi atau dapat dikatakanbahwa ia adalah aspek mental dan aktifitas agama.
Tingkatan –tingkatan Kesadaran beragama:
a)      Kesadaran beragama pada masa anak-anak
b)      Kesadaran beragama pada masa remaja
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran beragama:
a)      Faktor internal
b)      Faktor eksternal
2.      Penutup
Demikian makalah tentang “KESADARAN BERAGAMA” yang telah kami paparkan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya kritik dan saran sangat kami harapkan guna menyempurnakan makalah ini.

















DAFTAR PUSTAKA

Ahyadi, Abdul aziz. 1995. Psikologi Agama. Bandung: Sinar Baru Al gensindo

Daradjat, Zakiyah. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang

Hidayah dkk, Nurul. 2011. Makalah Kesadaran Beragama dan Pengalaman Beragama.


http://repository.Upi.Edu


[1] http://repository.Upi.Edu
[2] Abdul Aziz Ahyadi.Psikologi Agama.(Bandung:Sinar Baru Al gensindo.1995). h. 37.
[3] Zakiyah Daradjat.Ilmu Juiwa Agama (Jakarta:Bulan Bintang.1996). h.  4.
[4] Nurul Hidayah dkk.Makalah Kesadaran Beragama dan Pengalaman Beragama.
[5] Abdul Aziz Ahyadi,  Op.  Cit. h. 40-43.
[6] Zakiah Daradjat,  Op. Cit. h. 93.
[7] Abdul Azis Ahyadi, Op. Cit. h. 43-48.
[8] Nurul Hidayah dkk., Op. Cit.