Laman

Sabtu, 17 Desember 2011

ilmu akhlak (11) Kelas F


MAKALAH
MADZHAB DALAM ETIKA, KEUNGGULAN DAN KELEMAHANNYA
(MATERIALISME, HEDONISME, KONSUMERISME, SPIRITUALISME)

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
                               Mata kuliah        :  ilmu akhlak.
Dosen pengampu: M. Ghufron Dimyati M.SI
                               Kelas                  : F.
                               Kelompok          : 11

Disusun oleh:
1.     Muhammad Yafi’             (2021 111 275)
                                   2.  Syaiful hanif.                    (2021 111 276)
                                   3.  Khumaida                        (2021 111 277)
                                   4.  Fauzan khusnul k.            (2021 111 278)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
 (STAIN) PEKALONGAN
TAHUN AJARAN 2011/2012
I
DAFTAR ISI
JUDUL………………………………………       I
DAFTAR ISI………………………………...       II
PENDAHULUAN…………………………...       III
PEMBAHASAN
A.   Hedonisme……………………………       1
B.   Spiritualisme………………………….       6
C.   Materialism…………………………...       7
D.   Konsumerisme………………………..       9
           KESIMPULAN …………………………………..        11
         DAFTAR PUSTAKA……………………….        12

















                                                                 II
PENDAHULUAN

            Oleh proses globalisasi, bumi seolah-olah menjadi kecil. Dengan adanya alat transportasi menjadikan jarak mendekat, hubungan dipermudah dan dipererat. Adanya berbagai alat media massa, peristiwa yang terjadi di suatu sudut dunia dengan segera dapat diketahui oleh orang-orang diberbagai sudut dunia yang lain, pemikiran dan penemuan IPTEK tersebar ke seluruh dunia, dan berbagai ideologi entah secara samar atau jelas, masuk dan beroperasi di setiap ruang di atas bumi.
          Dengan demikian, mau tidak mau, siap tidak siap, kita akan berhadapan dengan berbagai ideologo di berbagai bidang, termasuk di bidang etika. Munculnya ideologi-ideologi dalam etika, maka akan timbul pula berbagai madzhab-madzhab atau aliran-aliran, yang nantinya akan menjadi pedomansuatu masyarakat ataupun individu dalam beretika.
         Kecuali etika yang di ajarkan oleh rosululloh SAW, aliran-aliran dalam etika yang sering kita dengar pastilah terdapat keunggulan, dan terdapat pula kelemahannya. Dalam makalah ini akan kami coba merangkum beberapa madzhab atau aliran dalam etika, keunggulan dan kelemahannya.





III
PEMBAHASAN
A.      Hedonisme
Di dalam Filsafat Yunani kuno tokoh pertama yang di kenal mengajarkan aliran hedonisme ( hedone = kesenangan ) ialah Democritus (400 SM – 370 SM). Democritus memandang  kesenangan sebiagai tujuan pokok di dalam kehidupan ini.[1]
Mazdhab hedonisme itu tidak berkata bahwa manusia itu hendaknya mencari kelezatan saja, karena perbuatan itu tidak sunyi dari kelezatan bahkan berkata: hendaknya manusia mencari sebesar-besarnya kelezatan dan apabila ia disuruh memilih antara beberapa perbuatan wajib ia memilih paling besar kelezatannya.
Menurut aliran ini, seetiaap manusia selalu menginginkan kebahagiaan, yang merupakan dorongan daripada tabitatnya dan ternyata kebahagiaan adalah merupakan tujuan akhir dari hidup maanusia, oleh karenanya jalan yang mengantarkan ke arahnya dipandang sebagai keutamaan (perbuatan baik).[2]
Sepanjang sejarah barang kali tidak ada filsafat moral yang lebih dimengrti dan akibatnya tersebar lebih luas seperti hedonisme. Atas pertanyaan “apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia”, para hedonis menjawab: kesenangan  (hedone dalam bahasa Yunani).
Maksud dari “kebahagiaan” menurut aliran ini adalah hedon yakni kezatan, kenikmatan dan kepuasan rasa  serta terhindar dari penderitaan. Karena kelezatan bagi aliran ini adalah merupakan bagian dari perbuatan, jadi perbuatan dipandang baik menurut kelezatan yang terdapat padanya dan sebaliknyaperbuatan itu buruk menurut kadar penderitaan yang ada padanya.
Aliran hedonisme, bahkan tidak saja mengajarkan agar manusia mencari kelezatan, karena pada dasarnya tiap-tiap perbuatan ini tidak sunyi dari kelezatan tetapi aliran ini justru menyatakan: hendaklah manusia itu mencari sebesar-besar kelezatan, dan apabila ia disuruh melakukan perbuatan wajib ia memilih yang paling besar kelezatannya. Bagi Aristippos kesenangan itu bersifat badani belaka, karena hakikatnya tidak lain dari pada gerak dalam badan. Menganal gerak itu membedakan tiga kemungkinan:
1.      Gerak yang kasar, itulah ketidaksenangan,
misalnya: rasa sakit;
2.      Gerak yang halus, itulah kesenangan,
misalnya: rasa bahagia ataupu gembira;
3.      Sedangkan tiadanya gerakan merupakan suatu keadaan netral,
Misalnya: jika kita tidur.
        Maksud paham ini bahwa manusia hendaknya mencari kelezatan yang sebesar-besarnya bagi dirinya. Dan setiap perbuatannya harus diarahkan kepada kelezatan. Maka apabila terjadi keraguan didalam memilih sesuatu perbuatannya, harus diperhitungkan kelezatan dan kepedihannya. Dan sesuatu itu apabila diri seseorang melakukan perbuatan mengarah pada tijuan.[3]
a.      Epicurus (341-270 SM)
Epicurus berpendapat bahwa bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu adalahtujuan manusia. Tidak ada kekuatan dalam hidup selain kekezatan dan tidak ada keburukan selain penderitaan. Dan akhlak itu tak lain dan tak bukan kecuali berbuat untuk menghasilkan kebahagiaan. Keutamaan itu tidak mempunyai nilai sendiri, tetapi kelezatannya terletak pada kelezatan yang menyrtainya. Kelezatan akal dan rohani tersebut lebih penting dari kelezatan badan. Karena badan itu ber asa dengan lezat dan drita selama adanya kelezatan dan penderitaan itu saja, daan badan itu tidak dapat mengenangkan kelzatan yang akan datang. Adapun akal itu untuk mengenangkan dan merencanakan, dan kerenanya kelezatn akal itu lebih lam dan lebih kekal. Akal itu mengikuti badan dalam kelezaatan kenangan dan keelezatan rencana. Epicurus berpendapat bahwa sebaik-baik kelezatan yang dikehendaki ialaah kelezatan “ketentraman akal”.
b.      Golongan Epicurus
Golongan Epicurus menginginkan kelezatan negatif lebih banyak dari pada kelezatan positif. Maksud meraka adalah dengan kelezatan negatifberarti sunyi dari penderitaan. Mereka tidak memperhatikan kepada sangatnya lezat dan rasa ybg menyala-nyala, akan tetapi perhatian mereka yang terbesar ditunjukkan ke arah kelezatan negatif, seperti ketentraaman akal dan ketenangan, dan jauh dari apa yang menyebabkan kegoncangan.
Bahwa kebahagiaan itu tidak bergantung kepada banyaknya kebutuhan dan kecenderungan, bahkan kebahagiaan itu menjadi sukar untuk menghasilkan kebahagiaan mengikat dan mempersulit kehidupan, tanpa menambah kebahagiaannya. Untuk itu wajar bagi kita untuk memperkecil keebutuhan dan keinginan kitasedapat mungkin. Epicurus senddiri hidup serba sederhaana, dan mengajarkan kepada pengikut-pengikutnya agar hidup menurut hidupnya. Dia pun berpendapaat bahwa kesederhanaan dan keperwiraan itu adalah sebaik-baik jalan kearah kebahaagiaan. Dan kebanyakan dari keinginan manusia seperti ingin masyhur namanya itu tidak perlu dan tidak berguna.
Golongan Epicurus juga berpendapat bahwa perbuatan itu tidak diukur dengaan kelezatan dan keepedihan yang terbatas waktunya saja, tetapi wajib bagi tiap-tiap manusia melihat keseemua hidupnya dan menghitung-hitung apa yang mengikuti perbuatan daari kelezatan dan kepedihan didalam hidup.
Ada pendapat yang tidak setuju terhadap paham kebahagiaan diri dengan alasan sebagai berikut:
3
a)      Apabila kelezatan diri itu dijadikan ukuran, maka sukar sekali kalau tidak mustahil, memandang perilaku baik kepada orang lain itu sebagai sifat utama, sedang orang banyak semufakat memandangya sebagai sifat utama.
b)      Tidak ada arti utama dan rendah, baik dan buruk kecuali bila diperhatikanhubungan diantara manusia satu dengan lainnya atau dengan kata lain bila perseorangan itu sebagai anggota masyarakat. Keanggotaan ini menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban ini dilihat dari kepentingan dan kkerugian orang banyak, kelezatan dan kepedihan mereka.
c)      Paham ini tentu memandang rendah kepada orang-orang yang mengorbankan kelezatan serta hidupnya untuk kepentingan manusia.
Epicurus berpendapat bahwa kelezatan akal dan rohani itu lebih penting dari kelezatan badan, karena badan itu ber asa dengan lezat dan derita selama adanya kelezatan dan penderitaan itu saja.
Oleh kerena itu, tujuan etik Epicurus tidak lain daripada didikan memperkuat jiwa untuk menghadapi segala rupa keadaan. Dalam ssuka dan duka manusia hendaknya perasaannya sama. Ia tetap berdiri sendiri dengan jiwa yang tenang, pandai memelihara tali persaudaraan.
Aliran hedonisme ini terbagi menjadi dua:
1)      Egoistic Hedonisme
Dalam aliran ini dinyatakan bahwa ukuran kebaikan adalah kelezatan diri pribadi orang yang berbuat. Karenanya dalam aliran ini mengharuskan kepada para pengikutnya agar mmengerahkan segala perbuatannya untuk menghasilkan kelezatan tersebut yang sebesar-besarnya.
Namun perlu diingat, menurut pengikut aliran ini, bahwa tiap-tiap orang wajib menyelidiki apa yang mendatangkan kelezatan dan

4
kebahagiaan diirinya dan berbuat apa yang menyampaikan kepada tujuan itu atau mendekatinya adalah baik.[4]
Tinjauan Kritis
a.       Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam : manusia menurut kodratnya mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidak senangan.
b.      Kritik lebih berat lagi adalah bahwa argumen dalam hedonisme terdapat loncatan yang tidak dipertanggungjawabkan. Secara logis, hedonisme harus membatasi diri pada suatu etika diskriptif saja (pada kenyataan- kenyataan kebanyakan manusia membiarkan tingkah lakunya dituntun oleh kesenangan). Dan tidak boleh merumuskan suatu etika normatif (yang baik secara moral adalah  mencari kesenangan.
c.       Para hedonis mempunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan. Mereka berfikir bahwa sesuatu adlah baik, karena disenangi. Akan tetapi, kesenangan tidak merupakan suatu perasaan yang subyektif  belaka tanpa acuan obyektif apapun. Jadi, kebaikan dari apa yang menjadi obyek kesenangan mendahului dan diandaikan oleh kesenangan itu. Dalam hal ini terdapat sebuah contoh yang  jelas. Andaikan saja saya mempunyai seorang sahabat, saya senang sekali dengan dia, karena berulang kali saya mengalami keramahan, perhatian dan kebaikan hatinya terhadap saya. Tapi pada kenyataannya dan tanpa saya mengetahuinya, yang disebut “ sahabat” itu terus menerus membohongi saya dan menjelekkan nama baik saya. Lalu timbul pertanyaan : Apakah saya sungguh- sungguh senang dengan dia ? tentu tidak. Kesenangan saya dengan  dia tidak lebih hanya sebuah halusinasi saja.
d.      Jika dipikirkan secara konsekuen, hedonisme mengandung suatu egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya saja. Yang dimaksudkan dengan egoisme disini adalah egoisme etis atau  egoisme yang mengatakan bahwa
sayatidak mempunyai kewajiban moral membuat sesuatu yang lain dari pada yang terbaik bagi diri saya sendiri.
B.     Spiritualisme
Spiritualisme di dalam agama adalah kepercayaan, atau praktek-praktek yang berdasarkan kepercayaan bahwa jiwa-jiwa yang berangkat (saat meninggal) tetap bisa mengadakan hubungan dengan jasad. Hubungan ini umumnya dilaksanakan melalui seorang medium yang masih hidup. Ada keterlibatan emosional yang kuat, baik pada penolakan maupun penerimaan terhadap spiritualisme ini yang membuat sulitnya suatu uraian imparsial dipakai untuk membuktikannya.
Spiritualisme berkembang luar biasa. Salah asatuaa lasanya, manusia mulai merasa bosan dan jenuh dengan berbagai urusan yang bersifat materialistik. Mereka ingin masuk kedalam suasana hiidup yang lebih tenang, lebih damai dan membahagiakan.
            Dan semua itu mereka dapatkan menjalani praktek-praktek spiritualisme, yanglebih mengutamakan peningkatan kualitas jiwa. Bukan lagi sekedar mengejar harta melimpah tanpa kenal waktu[5]
Hakekat Iman
            Iman bukan hanya perasaan yang samar-samar atau pembenaran yang tidak disertai alasan-alasan fikiran, tetapi ia merupakan suatu kepuasan (penerimaan) akal fikiran terhadap kemenaran-kebenaran ilmu pengetahuan, namun dikuatkan oleh keterangan saksi-saksi yang pantas dipercaya, yaitu pada Utusan atau Syuhada dan juga dikuatkan oleh faktor-faktor yang meluar-biasa, yaitu Mukjizat. Iman tidak akan takut kritikan akal, selama iman tidak terdapat kecuali dalam akal. Jadi akal mempunyai tugas sebelum ada iman, yaitu meneliti kebenaran keterangan-keterangan dan alamat-alamt (tanda-tanda) tersebut. Sudah barang tentu sebelum meneliti keterangan-keterangan tersebut, akal terlebih dahulu meneliti kemampuan akal untuk mengetahui pengetahuan yang yakin. Jadi penyelidikan tentang keyakinan harus didahulikan daripada penyelidikan tantang Wahyu dan Mukjizat. Pada fase ini akal lebih dahulu bekerja dari pada iman, bahkan mertakan jalannya (iman), bukan karena obyeknya, sehingga dengan demikian kita dapat mengatakan “Berfikirlah agar engkau beriman”.
Pekerjaan Akal Sesudah Iman
            Sesudah iman, akal masih mempunyai tugas, yaitu memahami keprcayaan agama. Jadi, iman mendahukui fikiran dan sumbernya, karena iman bisa membersihkan hati dan membuat akal lebih mampu membahas kebenaran dan lebih cepat menerimanya, sehingga kita dapat mengatakan, “Imanlah agar engkau dapat berfikir”.
C.    Materialisme
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme.  Materi  dapat dipahami sebagai bahan; benda; segala sesuatu yang tampak.  Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam  indra. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis.  Orang-orang ini adalah para pengusung paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan semata (harta,uang,dsb)[6]. Materi Orientasi Adalah penghargaan besar terhadap materi, manusia didorong untuk mengadakan pada materi berarti juga mengingkari hal – hal yang bersifat immateri dan berkembang ke arah ateisme. Ateisme adalah suatu  orientasi yang bertanggung jawabkan bahwa sikap dirinya adalah ateis. Jadi bukan sekedar mengingkari Tuhan, tetapi juga supaya lebih bebas dalam penghargaannya kepada manusia.[7]
Ciri-ciri paham materialisme
Setidaknya ada 5 dasar ideologi yang dijadikan dasar
1.       Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah)
2.       Tidak meyakini adanya alam ghai
3.       Menjadikan panca indr
4.       a sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu.
5.       Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum. Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak
6.       adalah sebuah paham garis pemikiran, dimana manusia sebagai nara sumber dan juga sebagai resolusi dari tindakan yang sudah ada dengan jalan dialetis.[8]l
Dengan catatan bahwa pemikiran pada fase yang kedua ini tidak sma dalam semua persoalan, karena diantara persoalan ini ada yang alamiah, bisa dibuktikan, seperti wujud Tuhan dan sifat-sifatNya, wujud jiwa, dan kelanggengannya, sedang persoalan lainnya berada diatas alam (supernatural), dimana pekerjaan akal disatu pihak hanya memberikan tafsiran-tafsiran yang dapat menghilangkan kemustahilan-kemustahilan dalam lahirnya,
dan pihak lain membuat persoalan tersebut semi-reasonable (plausible) dengan mendapatkan gambaran-gambaran dan kiasan-kiasan dari alam.[9]
Aristippos menekankan lagi bahwa kesenangan harus dimengerti sebagai kesenangan aktual, bukan kesenangan dari masa lampau dan kesenangan dimasa mendatang. Sebab, hal-hal ini hanyalah ingatan akan atau antisipasi akan kesenangan.
Yang baik dalam arti sebenarnya adalah kenikmatan kini dan di sini. Jika kita melihat pandangan Aristoppus ini sebagai kesekuruhan,  perlukita simpulkan bahwa ia mengerti kesenangan sebagai badani, aktual, dan individual.
Biarpun pada dasarnya kesenangan bisa dinilai baik, namun itu tidak berarti bahwa setiap kesenangan harus dimanfaatkan juga. Dalam hal ini pentinglah pembedaan Epicurus tentang pmbedaan tiga keinginan:
1.      Keinginan ilmiah yang perlu seperti (makanan).
2.      Keinginan ilmiah yang tidak perlu (seperti makanan yang enak).
3.      Keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan).
Nilai-nilai spiritual:
1.      Sungguh-sungguh,
2.      Bersyukur,
3.      Menghargai waktu,
4.      Berpikir positif,
5.      Silaturahmi,
6.      Berjiwa besar,
7.      Belajar dan mengajar,
8.      Taubat,
9.      Doa.[10]
D.     Konsumerisme
Adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan. Sifat konsumtif yang ditimbulkan akan menjadikan penyakit jiwa yang tanpa sadar menjangkit manusia dalam kehidupannya.

Dewasa ini masyarakat Indonesia sangat terlihat begitu kentalnya sebagai masyarakat konsumen yang sempurna. Bukan saja masyarakat menengah ke atas saja, akan tetapi telah sampai pada masyarakat yang paling bawah dalam tingkatan sosial dan ekonominya. Hal ini sangat kentara bisa kita lihat dari beberapa episod yang ditanyakan sebuah televisi swasta dengan tema acara “Uang Kaget” atau Mr.EM (Mr.Easy Money). Dalam acara itu seorang “Mr.EM” menemui seseorang yang dinyatakan sebagai orang yang kesulitan ekonomi-keuangan atau dengan kata lain orang yang tidak mampu secara ekonomi-keuangan. Setelah melakukan wawancara seperlunya lalu Mr EM memberikan uang yang bagi mereka (orang yang ditemui) merupakan jumlah uang yang “sangat banyak”. Jumlah uang diberikan kepada mereka memang jumlah besar yaitu Rp. 10.000.000,00.(sepuluh juta rupiah). Mr.EM memberikan tugas kepada mereka yang menerima uang tersebut untuk membelanjakan secara langsung dengan batas waktu untuk “menghabiskan” jumlah uang tersebut selama 30 menit.
Di sini sangat terlihat konsumerisme yang merupakan salah satu madzhab dalam etika sudah menjadi kebudayaan masyarakat kita,tidak melihat perbedaan status ekonomi,hal tersebut sudah menjadi sifat dasar  dalam diri seseorang,hanya saja berbeda dalam penyampaian.[11]




KESIMPULAN

Dalam sebuah etika terdapat beberapa madzhab diantaranya Hedonisme, Siritualisme, Materialisme, dan Konsumerisme. Hedonism sendiri mempunyai arti kesenangan/kelezatan karena perbuatan itu tidak sunyi dari kelezatan hendaknya manusia mencari sebesar-besarnya kelezatan dan apabila ia disuruh memilih antara beberapa perbuatan wajib ia memilih paling besar kelezatannya. Sedangkan spiritualisme mempunyai arti kepercayaan, atau praktek-praktek yang berdasarkan kepercayaan bahwa jiwa-jiwa yang berangkat (saat meninggal) tetap bisa mengadakan hubungan dengan jasad. Madzhab etika yang lainnya adalah Materialisme yaitu pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam  indra. Sedangkan konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan.








11
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, hanafi.1998.Filsafat Skolastik.Jakarta: Pustaka Al-husna.
Bertens, k.1993. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Devos.1996 .Pengantar Etika. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya.
Drijarkara.1996. Pertjikan Filsafat.Jakarta: PT.Pembangunan.
http//: madzhab dalam etika:konsumerisme.com (30 November 2011)
Komentari, Diaz dwi.2005. Solution Spiritual Qoutient. Jakarta: Pustaka Zahra.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.2000.Jakarta: Balai Pustaka.
Mustofa, Agus.2003.Beragama Dengan Akal Sehat.Jakarta: PADMA Press.
Zubair, Ahmad Charris.1995.Kuliah Etika.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.





12


[1]Achmad Charris Zubair “Kuliah Etika “  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1993 ) hlm 11   
[2] Devos “Pengantar Etika “ (Yogyakarta:PT Tiara Wacana Yokya,) hl m 61
1
[3] K.Bertens,Etika,(Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama,1993),hlm.154.



2
[4] Achmad Charris Zubair,Kuliah Etika,(Jakarta:PT.Grafindo Persada,1995),hlm  13.


5
[5] Agus mustofa, “ Beragama dengan akal sehat “ (Jakarta:PADMA press ) hal 161


6
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2000. Jakarta: Balai Pustaka. Hal. 946.


7
[7] Achmad Charris Zubair “Kuliah Etika “  ( PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1995) Hal 3
[8] Drijarkara. Pertjikan Filsafat. (Jakarta: PT. Pembangunan Djakarta,1996) Hal. 59
[9] Hanafi Ahnad M. A ., “Filsafat Skolastik”, (Jakarta: PUSTAKA ALHUSNA). Hlm 92


8
[10] Diaz Dwi  Komentari, Solution Spiritual Qoutient, (Jakarta:Pustaka Zahra,2005) hlm 31

9
[11] http//madzhab dalam etika: konsumerisme.com


10

8 komentar: