Laman

Rabu, 15 Februari 2012

makalah 1 hadits 4 : Teladan Pemimpin rumah tangga,kelas B


MAKALAH HADITS TARBAWI
Teladan dari Pemimpin Rumah Tangga


Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hadits Tarbawi
Di Ampu oleh :
Muhammad Hufron, M.S.I
Jurusan Tarbiyah PAI Reguler
Kelas B
Semester 4

PENYUSUN :

Muhammad Fachmi Hidayat (2021110051)




2011
STAIN (SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI) PEKALONGAN
Jln.Kusuma Bangsa. Panjang. Pekalongan




Pendahuluan


Alkhamdulillah Sholawatuwassalam ala Rasulillah, Amaba’du
Dalam sebuah hadits shahih di riwayatkan oleh Al Imam Bukhari, disebutkan bahwa Rasululllah SAW bersabda :
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَ الْفِطْرَة, فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
(HR. Bukhari I:240)
Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan bahwa setiap anak itu lahir dalam keadaan baik hanif dan bertauhid, sedang apabila ia kelak dewasa menajadi orang kafir, yahudi , Nasrani dan Majusi. Sungguh itu semua adalah karena orang tua mereka, yang dimana mereka tiada memberikan pendidikan yang baik.[1]

Allah SWT berfirman,                                                                     
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”
(QS.At Tahrim. 66 :6)

Ali bin Abi Thalib berkata : “Ajari dan didiklah anakmu dengan pendidikan yang baik
Hasan Al Bashri berkata : “Suruhlah mereka (keluarga) untuk taat kepada Allah dan didiklah mereka dengan baik .”
Umar bin Khatab berkata : “Didiklah anak-anakmu dengan pendidikan yang baik karena hal itu adalah tanggung jawabmu (kepala rumah tangga). Sementara kelak bila anak-anakmu dewasa kan bertanggung jawab dan berbuat baik padamu).[2]
            Keluarga adalah salah satu media didik yang utama bagi anak. Karena keluarga adalah tempat pertama dalam mengolah akal, pikiran dan tingkah laku. Maka dari itu teladan yang baik dalam keluarga sangat dibutuhkan bagi anak dan segenap anggota keluarga lainya.
            Syaikh Fuhaim Mustafha dalam bukunya yang berjudul Manhajuth Thiflil Muslim, seorang pakar pedndidikan dan psikologi anak dari Kairo , Mesir. Menjelaskan tentang pentingnya peranan keluarga dalam menjalankan sistem pendidikan. Bahwasanya keluarga adalah salah satu lembaga pendidikan terpenting bagi anak. Dimana lembaga ini adalah lembaga pendidikan pertama. Jadi dihimbau kepada orang tua atau keluarga haruslah mampu menyajikan pendidikan dan suri tauladan yang baik demi perkembangan kepribadian dan pendidikan anak.[3]
            Maka dari itu pada kesempatan ini, dalam makalah ini akan disajikan perihal pentingnya suri tauladan yang baik dari keluarga, terutama sang pemimpin rumah tangga bagi anggota keluarganya, terutama bagi sang anak yang masih mebutuhkan asupan ilmu yang banyak.


Materi Hadits Tarbawi

عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ قَال : ( كَانَ اَنَسُ بْنُ مَالِكِ اِذَا اَشْفَى عَلَى خَتْمِ الْقُرْاَنِ بِللَّيْلِ بَقَّى مِنْهُ شَيْئًا حَتَّى يُصْبِحَ فَيَجْمَعَ اَهْلَهُ فَيَخْتِمَهُ مَعَهُمْ )
( رواه الدرمي فالسنن, كتاب فضائل اقران, باب في ختم القران )


Artinya :
 Dari Tsabit al Bunani berkata :

Adalah Anas bin Malik apabila sudah hampir mendekati khatam Qur’an di malam harinya ia menyisakan sedikit darinya sampai pagi, kemudian ia mengumpulkan keluarganya dan menghatamkan bersama mereka.

( Riwayat Adarimy di Sunan nya-Sunan Adarimy-,  Kitab Fadhilah-keutamaan- Al Qur’an, Bab Khatamil Qur’an –Khataman Qur’an- )


Biografi Periwayat Hadits

Dijuluki sebagai orang yang shalat dalam kuburnya.
Nama lengkapnya adalah Tsabit bin Aslam al Bunani al Bashri Abu Ahmad, adalah seorang tabi’in yang mulia, zuhud dan ahli ibadah. Nama dan sejarah hidupnya –sirah- turut mengisi cakrawala para ‘abid (ahli ibadah) yang senantiasa menghidupkan malam-malam mereka dengan ta’abbud kapada Allah SWT dan menempuh jalan ketakwaan.
Tsabit al bunani selalu menyerahkan dirinya kepada Allah, ia selalu rindu dengan shalat dan sujud di hadapan Allah sehingga ia tidak lagi memiliki keinginan apapun dari materi dunia. Tiada yang dijadikan sebagai tujuan hidupnya kecuai shalat, dzikir, dan menyebarkan hadis nabi SAW. Ia banyak meriwayatkan hadits dari Anas.
Tsabit al bunani selalu meneguhkan hatinya dengan berdoa kepada Allah agar jangan sampai mengharamkan dirinya menikmati kelezatan sujud di hadapan Allah, juga kelezatan shalat hingga sampai didalam kuburnya sekalipun.

Kisah-kisah tauladan Tsabit al Bunani
Sholat Tsabit al Bunani

Telah diriwayatkan dari Yusuf bin Athiyah, dia berkata :

“Aku mendengar Tsabit berkata kepada Hamid al-Thawil (seorang Tabi’in yang tsiqah ) : ‘Wahai Abu ‘Ubaid, apakah telah sampai kabar kepadamu bahwa ada seorang yang shalat di kuburnya sendiri selain para Nabi?’    

Dia menjawab : ‘Tidak.’

Berkata Tsabit : ‘Ya Allah, jika Engkau mengizinkan seseorang dapat melakukan shalat di kuburnya sendiri, maka berilah izin kepada Tsabit untuk bisa shalat di kuburnya sendiri.”

Telah diriwayatkan dari Syaiban bin Jasr dari Ayahnya, dia berkata :
“Demi Allah yang tiada Tuhan yang patut disembah melainkan Dia, aku benar-benar memasukan  Tsabit al-Bunani ke dalam lubang kuburnya, bersamaku Hamid al-Thawil. Ketika kami meratakan batu bata di atasnya, maka tiba-tiba batu bata tersebut jatuh, dan ketika itu aku melihat dia (tsabit) shalat di dalam kuburnya. Lalu aku berkata kepada orang yang bersamaku : ‘Adakah engkau juga melihatnya?’
Dia menjawab : ‘Diamlah!’
Lalu kami ratakan kembali batu tersebut, dan kami datang ke tempat anak perempuan Tsabit, dan bertanya : ‘Amal apa yang selalu dikerjakan ayahmu?’
Dia bertanya “apa yang kalian lihat?”

Lalu kami menceritakan apa yang terjadi. Lalu dia berkata : “Sesungguhnya ayahku selalu bangun malam (shalat malam) selama lima puluh tahun, dan ketika dating waktu sahur (fajar)  dia berdoa : “Ya Allah, jika Engkau telah memberikan kepada salah seorang dari mahluk-Mu dapat melakukan shalat di kuburnya, maka berikanlah ia kepadaku.’ Dan ternyata Allah tidak menolak doa tersebut.”

Telah diriwayatkan dari Ibrahim bin al-Sama’ al-Mihlabi, dia berkata : “Telah bercerita kepadaku orang-orang yang melalui kubur Tsabit di waktu sahur (fajar), mereka berkata : ‘Ketika kami berjalan di samping kubur  Tsabit, maka kami mendengar bacaan Al-qur’an.”

Tsabit Al-Bunani memang benar-benar penikmat tahajjud. Ia pernah menerangkan bahwa ibadah salat itu adalah rahmat Allah di muka bumi. Ketika sedang sakit menjelang wafatnya, beberapa orang sahabat datang menjenguknya. Tsabit dengan terbata-bata berucap, “ Wahai saudaraku, tadi malam saya tidak dapat melaksanakan salat seperti biasanya. Saya juga tidak dapat berpuasa, dan menemui sahabat-sahabat saya , sehingga saya teringat kepada Allah SWT seperti ketika saya mengingat-Nya bersama mereka “. Kemudian beliau berdoa, “ Ya Allah, jika Engkau menahanku untuk melaksanakan tiga hal, maka janganlah Engkau tinggalkan saya di dunia ini walau sesaat saja.” Setelah berkata demikian, ia menghembuskan nafasnya  yang terakhir.

Qiyamul-lail adalah sarana  yang efektif untuk meraih kesucian hati dan ketenangan jiwa. Karena di dalamnya seseorang akan dapat menumpahkan segala keluh kesah, kekhawatiran, keinginan dan harapannya secara langsung kepada-Nya. Saat segala kekacauan hidup dan berbagai bencana datang mendera, qiyamul-lail adalah sarana yang tepat untuk memupuk ketenangan dan kedamaian dalam jiwa. Sungguh, orang yang rajin mengerjakan qiyamul-lail akan menemukan nikmat yang luar biasa, saat hati dan jiwa hanyut dalam keheningan malam seraya bermunajah kepada-Nya

Al Bunani dan Hasan al Bashri

“Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ad-Daraquthni dan Ath-Thabarani).
Suatu ketika, Hasan Al-Bashri menyuruh beberapa muridnya untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Dia berkata, “Temuilah Tsabit Al-Bunani dan pergilah kalian bersamanya.” Lalu, mereka mendatangi Tsabit yang ternyata sedang i’tikaf di masjid. Dan, Tsabit minta maaf karena tidak bisa pergi bersama mereka.
Mereka pun kembali lagi kepada Hasan dan memberitahukan perihal Tsabit. Hasan berkata, “Katakanlah kepadanya; Hai Tsabit, apa engkau tidak tahu bahwa langkah kakimu dalam rangka menolong saudaramu sesama muslim itu lebih baik bagimu daripada ibadah haji yang kedua kali?”
Kemudian, mereka kembali menemui Tsabit dan menyampaikan apa yang dikatakan Hasan Al-Bashri. Maka, Tsabit pun meninggalkan i’tikafnya dan pergi bersama mereka untuk membantu orang yang membutuhkan.
Al Bunani dan tangisanya

Tsabit al-Bunani , berkata, "Tidak ada sesuatu pun yang aku jumpai dalam hatiku yang lebih lezat daripada qiyamul lail. Seandainya kaum yang celaka mencobanya, niscaya mereka me-ngetahui rahasia kebahagiaan yang sebenarnya."

            Hammad bin Zaid berkata tentang Tsabit al-Bunani, "Aku melihat Tsabit menangis hingga tulang-tulang rusuknya ber-selisih." Raghib al-Qathan menuturkan dari Bakr al-Muzani,
"Barangsiapa yang ingin melihat orang yang paling gemar ber-ibadah di zamannya,maka  lihatlah Tsabit al Bunani”

            Qatadah berkata, " Menjelang kematiannya,Amir bin Qais RA menangis. Ditanyakan kepadanya, 'Apakah yang membuat-mu menangis?' Ia menjawab, 'Aku tidak menangis karena ber-sedih terhadap kematian dan tidak pula karena menginginkan harta duniawi. Tetapi aku menangisi kehausan di tengah hari (yakni puasa) dan qiyamul lail."
Ibunya berkata kepadanya pada suatu hari, "Orang-orang sedang tidur, mengapa kamu tidak tidur?" Ia menjawab, "Neraka Jahanam tidak membiarkanku tidur."

Tsabit al-Bunani RA berkata, "Kami pernah menyaksikan beberapa jenazah, maka kami tidak menyaksikan mereka kecuali dalam keadaan menangis. Demikianlah rasa takut mereka kepada Allah SWT."

Gurunya.
Dalam hidupnya, ia telah berguru dan nyantri pada sahabat mulia Anas bin Malik selama empat puluh tahun. Dan termasuk orang yang paling banyak ibadahnya diantara penduduk bashrah.
Anas berkata : “ setiap kebajikan itu ada pintunya. Tsabit al Bunani salah satu pintu kebajikan”.
Selain itu beliau juga pernah berguru pada Malik bin Dinar, orang yang berilmu , alim, zuhud dan Wara’.
Wafat
Tsabit al Bunani wafat di bashrah pada tahun 127 Hijriyah.[4]



Terjemah Hadits dan Mufradat


Artinya : Dari Tsabit al Bunaaniyi berkata : عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ قَال         
اندنسيّى
عربيى
اندنسيّى
عربيى
Masih atau menyisakan sedikit
بَقَّى
Adalah
كَانَ
Darinya
مِنْهُ
Anas bin Malik
اَنَسُ بْنُ مَالِكِ
Sesuatu
شَيْئًا
Apabila
اِذَا
Sampai
حَتَّى
Sudah Mendekati
اَشْفَى عَلَى
Pagi hari
يُصْبِحَ

Mengumpulkan
فَيَجْمَعَ
Khatam Al Qur’an
خَتْمِ الْقُرْاَنِ
Keluarganya
اَهْلَهُ
Pada waktu malam
بِللَّيْلِ
Mengkhatamkan nya
فَيَخْتِمَهُ

Bersama
مَعَهُمْ


رواه الدرمي فالسنن, كتاب فضائل اقران, باب في ختم القران

Riwayat Adarimy di Sunan nya-Sunan Adarimy-,  Kitab Fadhilah-keutamaan- Al
Qur’an, Bab Khatamil Qur’an –Khataman Qur’an-.


Mufradat / Kata-kata penting:


(خَتْمِ الْقُرْاَنِ) Khatmil Qur’an adalah kegiatan membaca Al Qur’an dari awal hingga akhir, yang dibaca secara berurutan mulai dari juz satu hingga tiga puluh hingga selesai/tamat/Khatam. Imam Nawawi menjelaskan bahwa membaca Qur’an yang benar adalah dimulai dari Al Fatihah , Al Baqarah hingga An Naas


Syarah Hadits

Dari Tsabit al Bunani berkata :

Adalah Anas bin Malik apabila sudah hampir mendekati khatam Qur’an di malam harinya ia menyisakan sedikit darinya sampai pagi, kemudian ia mengumpulkan keluarganya dan menghatamkan bersama mereka.

( Riwayat Adarimy di Sunan nya-Sunan Adarimy-,  Kitab Fadhilah-keutamaan- Al Qur’an, Bab Khatamil Qur’an –Khataman Qur’an- )

Disitu dijelaskan bahwa ketika Anas bin Malik selaku kepala rumah tangga apabila hendak menghatamkan-menamatkan- bacaan Qur’anya, beliau tidak lantas menyegerakan menamatkanya. Akan tetapi beliau sisakan sedikit sisa bacaanya itu untuk keluarganya. Adapun maksud menyisakan bacaanya itu adalah agar ia bisa menyisakan bacaanya untuk keluarganya agar membaca meneruskan khataman bersama-sama. Yang dimana dilakukan mulai dari petang hingga subuh-pagi hari-.
Disitu Anas bin Malik hendak mengajarkan dan membiasakan keluarganya cinta Al Qur’an, membaca Al Qur’an dan menghatamkanya. Akan tetapi Anas bin Malik tidak serta merta hanya menyuruh saja, namun beliau praktekan dahulu amal sholeh tersebut selaku suri tauladan dalam keluarganya. Lantas apabila ia sudah mengamalkanya maka ia biasakan atau menyuruh kepada keluarganya yang terdekat.
Sikap memberi suri tauladan lebih diutamakan sebelum menyuruh, ini adalah kebiasaan para sahabat, tabiut, tabi’in dan para pengikut setianya. Dikarenkan memang inilah manhaj mereka dalam berdakwah, amar makruf nahy munkar dan berjihad. Mereka lebih suka memberi tauladan atas amal mereka, setelah itu barulah mereka menyuruh orang lain. Anas bin Malik sendiri pernah menuturkan bahwa dikala Rasulullah SAW Isra’ Mikraj, beliau melihat ada segolongan umat yang dimana mereka memotong lidah mereka sendiri. Ketika dijelaskan oleh malaikat jibril, bahwasanya mereka adalah juru dakwah yang dimana mereka menyuruh pada perbuatan makruf tapi mereka enggan mengamalkanya dan malah mereka terjebak dalam kesia-siaan, padahal mereka sering membaca kitab dan mempunyai kitab. [5]Mereka ini seperti apa yang digambarkan Allah SWT dalam QS.Al Baqarah ayat 44: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”.
Mengenai ayat ini Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dahulu para rahib yang diberi kitab, sering menyuruh kaumnya untuk berbuat baik, beramal shaleh, ibadah dan sedekah. Akan tetapi mereka lalai/tidak mengerjakan apa yang diperintahkannya itu.
Hasan Al Bashri pernah bertutur ; “Apabila engkau hendak menyuruh berbuat baik atas orang lain, maka dahulukanlah dirimu dalam mengamalkanya.”
Inilah contoh dari para salafus shaleh dalam mendidik, berdakwah atau amar makruf nahy munkar. Yaitu mendahulukan diri mereka dalam kebaikan selaku suri tauladan bagi yang lain. Terutama bagi orang terdekat mereka. Yang senantiasa berdampingan dan berdekatan yang mereka semua butuh panutan yang mampu memeberikan mereka tauladan yang baik.
Adapun perihal kebiasaan Anas bin Malik dengan keluarganya dalam menghatamkan Qur’an bersama-sama. Ada sebuah riwayat yang diriwayatkan At Thabary, bahwasanya Anas bin Malik apabila hendak menghatamkan bacaan Qur’anya, beliau mengumpulkan keluarganya-untuk menghatamkan bersama- dan berdoa bersama.[6].[7]


Aspek Nilai Tarbawi

Syaikh Fuhaim Mustafha dalam bukunya yang berjudul Manhajuth Thiflil Muslim, seorang pakar pedndidikan dan psikologi anak dari Kairo , Mesir.Menjelaskan bahwa tata cara yang paling efektif dalam mendidik anak sehingga sang anak sedia mematuhi setiap perkara yang diajarkan adalah dengan memeberikan tauladan terlebih dahulu. Karena dengan terbiasanya anak menyaksikan tauladan yang ia amati, lama kelamaan sang anak akan terbiasa akan hal itu. Misal jika ada seorang ayah rajin shalat berjamaah, maka setiap kali anak mengamatinya, secara tidak langsung anak itu akan terdoktrin perihal sholat jamaah di masjid. Dengan tertanamnya doktrin itu, maka niscaya sang anak akan mudah diajak sholat berjamaah dimasjid. Begitu sebaliknya, jika sang ayah jarang sholat, maka jikalau sang ayah itu menyuruh anaknya sholat, maka sang anak itu akan lebih mudah membantah.
Keluarga mempunyai peranan penting selaku suri tauladan bagi anggotanya. Seorang keluarga yang berperangai baik, tidak khayal bila seluruh anggotanya menjadi baik pula. Ini semua disebabkan dalam keluarga itu tersaji amalan-amalan shaleh yang bisa dicontoh. Berbeda dengan keluarga yang bermaslah, dimana didalamnya jarang tersaji contoh-contoh amalan shaleh, para anggota keluarga tiada bisa mengambil ibroh darinya sehingga menjadi rusaklah kepribadianya.[8]
Madrasatun awwal. Keluarga adalah sekolah awal bagi anggotanya, sehingga orang tua berperan bagai guru sedang anak-anak atau anggota yang lebih muda adalah sebagai muridnya. Yang dimana seorang murid akan meneladani gurunya. Maka dari itu sang guru yaitu orang tua haruslah mampu menjadi suri tauladan yang baik, sehingga akan menjadi baik pula muridnya atau anak-anak dan anggota keluarga yang lebih muda.
Allahu’alam bissawwab
Daftar Pustaka

·         Manhajuth Thiflil Muslim, Syaikh Fuhaim Musthafa, Daarut Tawzi’ wan Nasyril Islamiyah, Kairo, Mesir, Cet. 1425 H.
·         Fathul Barri, Ibnu Hajar Al Asqalani. Jilid I/Bab Iman. Wazaroh Al Wakaf Al Mawaris Masjidil Nabawi
·          Tafsir Al Qur’anul Adzim, Imam Ibnu Katsir. Dar Kutub al Ilmiyah.
·         Tafsir Al Jami’ Al Ahkaam Al Qur’an, Imam Al Qurtubi. Darul Hadits
·         at Thabaqat , Ibnu Sa’ad (VII / 233), Dar Kutub Al ilmiyah. Beirut, Lebanon
·         Thanbighul Ghafilin, Al Faqih Abu Laits Samarqandi.
·         Al-Itqan fi Ulumul Qur’an,  Imam As Suyuthi.


[1] Fathul Barri, Ibnu Hajar Al Asqalani. Jilid I/Bab Iman. Wazaroh Al Wakaf Al Mawaris Masjidil Nabawi
[2] Lihat Tafsir Al Jami’ Al Ahkaam Al Qur’an, Imam Al Qurtubi, dan Tafsir Al Qur’anul Adzim, Imam Ibnu Katsir. Dar Kutub al Ilmiyah.
[3]. Manhajuth Thiflil Muslim, Syaikh Fuhaim Musthafa, Daarut Tawzi’ wan Nasyril Islamiyah, Kairo, Mesir, Cet. 1425 H, hal. 35.
[4]  at Thabaqat , Ibnu Sa’ad (VII / 233), Dar Kutub Al ilmiyah. Beirut, Lebanon
[5] Riwayat ini ada dalam kitab Thanbighul Ghafilin karya Al Faqih Abu Laits Samarqandi.hal.40
[6] Para ulama menjelaskan bahwa doa ketika penghujung khatam Qur’an adalah salah satu waktu berdoa yang baik dan diIjabahi. Dimana dijelaskan oleh Mujahid, Ibnu Qayim dan Imam Al Ghozali.
[7] Riwayat ini ada dalam kitab Al-Itqan fi Ulumul Qur’an karya Imam As Suyuthi, jilid I hal 311
[8].Lihat Manhajuth Thiflil Muslim, Syaikh Fuhaim Musthafa, Daarut Tawzi’ wan Nasyril Islamiyah, Kairo, Mesir, Cet. 1425 H,