Laman

Sabtu, 14 Februari 2015

E-I-01: ARINA MANASIKANA



RUMAH TANGGA PENUH KASIH SAYANG
Mata Kuliah                : Hadits Tarbawi II


Disusun oleh :
Arina Manasikana (202 111 3064)
PAI E

JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2015



KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan taufik, hidayah dan inayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “KELUARGA PENUH KASIH SAYANG” dengan lancar. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.
Makalah ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan mengenai berkeluarga yang baik dan penuh kasih sayang, serta sebagai bahan materi dalam diskusi mata kuliah Hadits Tarbawi II STAIN Pekalongan.
Apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya maka penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca.
Akhirnya kepada Allah SWT penulis berserah diri. Semoga apa yang telah dilakukan ini mendapat ridloNya dan dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi para pembaca. Amin ya rabbal alamin.


Pekalongan, 11 Februari 2015


Penulis






PENDAHULUAN

Sejarah menjadi saksi bahwa semua kaum Arab sepakat memberi gelar kepada Nabi Muhammad saw. “Al-Amin”, yang artinya orang terpercaya, sebelum beliau diangkat menjadi seorang rasul. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Nabi Muhammad itu berbeda dengan makhluk yang lain, beliau memiliki akhlak yang mulia, istimewa dan sempurna baik itu dalam rumah tangga maupun masyarakat.
Nabi Muhammad saw. merupakan teladan bagi seluruh umat manusia, beliau mempunyai budi pekerti yang baik. Beliau adalah sosok yang penuh cinta dan kasih sayang terhadap semua makhluk.
Salah satu dari sekian banyaknya keinginan manusia entah itu laki-laki atau perempuan dalam dunia ini adalah membangun rumah tangga dengan adanya sebuah akad pernikahan. Menjalin ikatan pernikahan tentunya harus berlandaskan rasa cinta dan kasih sayang agar di dalam rumah tangga tersebuut tercipta rasa aman, tentram, nyaman dan selalu diselimuti kebahagiaan.
Maka dari itu, dalam makalah ini akan membahas mengenai hadits tentang rumah tangga penuh kasih sayang. Yang diharapkan dari kandungan hadits tersebut dapat memberi suatu aspek pendidikan dan pelajaran yang bermanfaat bagi kita semua.
PEMBAHASAN

A.                Rumah Tangga Penuh Kasih Sayang
Rumah tangga atau bisa dikatakan keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari beberapa anggota yang bertempat tinggal satu atap dan mempunyai ketergantungan antara satu sama lain. Kasih sayang adalah suatu sikap saling menghormati dan mengasihi semua ciptaan Tuhan. Kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, kasih tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Kasih tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, kasih tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Sebuah keluarga lebih dari sekedar himpunan beberapa anggotanya, suami, istri, anak laki-laki, anak perempuan, kakek, paman, bibi, cucu, dan lain-lain. Setiap anggota keluarga memiliki pandangan dan kebutuhan tertentu, tanggung jawab dan tugas terhadap unit keluarga yang lebih besar. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan, perilaku dan kepribadian individual tersendiri. [1]
Di dalam rumah tangga biasanya tidak selalu satu-padu, banyak persoalan-persoalan yang menghampiri rumah tangga. Persoalan itu bisa berupa perbedaan pendapat, kekecewaan, kesalahpahaman dan lain sebagainya. Akan tetapi, semua persoalan-persoalan tersebut dapat terselesaikan dengan baik jika rumah tangga tersebut memiliki rasa cinta dan penuh kasih sayang, seperti saling percaya dan saling menghormati satu sama lain. Tidak lain halnya dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah. Rasulullah saw. merupakan teladan dalam menjalani kehidupan berumah tangga, beliau tidak mendudukkan dirinya bak penguasa, dan para anggota keluarganya sebagai hamba. Ia menjadikan semua sebagai bagian yang sama penting dari satu tubuh.
Rumah tangga penuh kasih sayang, adalah keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Dalam membina rumah tangga yang penuh kasih sayang diantaranya tidak terlepas dari beberapa syarat, diantaranya harus memperbanyak mempelajari ilmu-ilmu agama, akhlak dan kesopanan, etika pergaulan, hemat dan hidup sederhana, serta menyadari cacat diri sendiri masing-masing anggota keluarga.

B.                 Hadits Rumah Tangga Penuh Kasih Sayang
1.      Hadits dan terjemahan
قَالَ أَبُو عَبْدِاللهِ الْجَدَلِي قُلْتُ لِعَائِشَةَ كَيْفَ كَانَ خُلُقُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فى
أَهْلِهِ قَالَتْ :{كَانَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا وَلَا مُتَفَحِّشًا وَلَا سَخَابًا

بِالْأَسْوَاقِ وَلَا يُجْزِئُ بِالسَّــيِّـــئَةِ مِثْلَهَا وَلَكِنْ عَفُوٌّو وَ يَصْفَحُ} (رواه أحمد فى

المسند, باقى مسند الأنصارى)

Abu Abdullah Al-Jadali r.a. berkata, Suatu hari aku bertanya kepada Aisyah r.a. tentang akhlak Nabi  Muhammad saw. Ia menjawab. “Bagus-bagusnya manusia adalah nabi Muhammad saw. beliau tidak pernah bersikap kasar dan tidak pernah berteriak dipasar dan tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan akan tetapi beliau selalu memaafkan dan tidak mengungkitnya.” (HR. Imam Ahmad).
2.      Mufrodat
Akhlak           : خُلُقُ
Bagus             : أَحْسَنَ
Kasar             : فَاحِشًا
Berteriak         : مُتَفَحِّشًا
Memaafkan     : عَفُوٌّو
3.      Biografi Perawi Hadits
a.       Abu Abdullah al-Jadali
Nama aslinya adalah ‘Abdun ibn ‘Abdun. Adapula yang mengatakan nama aslinya adalah ‘Abdurrahman ibn Abdun. Ibnu Hajar dalam kitabnya at-Tahzib berkata: “Ibn Abu Haytsumah menceritakan dari Ibn Mu’in menyebutnya di dalam kitab Ats-Tsiqat, Ajli memandang dia sebagai seorang tabi’in kelahiran Basrah yang Tsiqat.
b.      Aisyah Asidiqiyah
Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq, salah seorang istri Rasulullah saw. Ibunda beliau bernama Ummu Ruman binti Amr ibn Umair Al-Kinayah, Aisyah dilahirkan sesudah Rasulullah diangkat menjadi Rasul. Rasul menikahinya pada bulan Syawal sesudah Nabi berhijrah ke Madinah, ketika itu Aisyah berusia 9 tahun. Aisyah adalah orang ke empat yang paling banyak meriwayatkan hadits, beliau wafat pada bulan Ramadhan sesudah melakukan Shalat witir pada tahun 57 atau 58 H (668 M).[2]

4.      Keterangan Hadits
(كان احسن) : orang yang baik budi pekertinya, adalah (الناس خاق) manusia yang paling sempurna dan sifat-sifatnya dan kebagusannya dan meliputi keseluruhannya dan Allah memuji kepada-Nya (keterangan dari Al-Quran). Keterangan dalam kitab Al-Madhah bahwa keagungan dikenal dengan makhluk yang agung dengan tidak ada bandingan dengan makhluk yang lainnya, dan kemuliaan budi pekerti itu tidak akan muncul dari kesempurnaan akal.[3]
Dalam hadits tersebut telah dijelaskan bahwa nabi Muhammad mempunyai beberapa akhlak yang dapat dijadikan panutan bagi umat manusia yang diantaranya adalah beliau tidak pernah bersikap kasar, tidak pernah berteriak dipasar dan tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan akan tetapi beliau selalu memaafkan serta tidak pernah mengungkitnya kembali.
Nabi Muhammad dikisahkan bahwa sejak masih muda, sudah menunjukkan budi pekerti yang sempurna. Beliau berperangai mulia dan sopan santun. Dalam kitab suci Al-Quran pun terdapat keagungannya, yaitu terdapat dalam surat Al-Qalam ayat 4.

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai budi pekerti yang agung”
Rasulullah saw. adalah teladan yang baik. Sisi kemanusiaannya terungkap indah. Rasulullah membuktikan tindakan tersebut melalui perilakunya di dalam keluarga maupun masyarakat.[4]
Budi pekerti yang baik atau akhlak mulia merupakan foundasi untuk berdirinya rumah tangga yang penuh dengan cinta dan kasih sayang.

C.                Refleksi Hadits Dalam Kehidupan
Hidup berumah tangga merupakan suatu lembaga pendidikan pertama kali dalam rangka pembentukan akhlak yang sesuai dengan agama dan nilai kemanusiaan. Pendidikan keluarga itu sangat mempengaruhi anak, karena anak kecenderungan akan meniru perilaku orang tuanya.
Di dalam rumah tangga, tidak selamanya berjalan mulus-mulus saja, banyak hal rintangan yang menghadang ditengah jalan seperti ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa. Perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau bahkan memaki lumrah terjadi.
Interaksi antara anggota keluarga itu bisa memunculkan pertentangan, masalah dan tekanan-tekanan, disaat yang sama interaksi mereka bisa menghasilkan kebahagiaan, kepuasan dan kesenangan bagi setiap anggota keluarga.[5].
Di era globalisasi ini, rumah tangga yang seharusnya menjadi pusat perlindungan, penuh kasih sayang dan saling melindungi, pusat pendidikan, kini rumah tangga sering menjadi pusat tindak kekerasan atau yang sekarang dikenal dengan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Adapun sebab-sebab terjadinya KDRT adalah fakta bahwa laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat, masyarakat masih membesarkan anak laki-laki dengan mendidiknya agar mereka yakin bahwa mereka harus kuat dan berani serta tanpa ampun, kebudayaan kita mendorong perempuan atau istri bergantung kepada suami, khususnya secara ekonomi, masyarakat tidak menganggap KDRT sebagai persoalan social tetapi persoalan pribadi suami istri, dan pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama yang menganggap bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.[6]
Dampak buruk dari KDRT ini adalah  dampak terhadap kesehatan khususnya pada korban seorang perempuan mencakup:
·         Gangguan kesakitan fisik, termasuk luka/cedera, gangguan fungsional, kaluhan fisik, cacat permanent
·         Gangguan kesehatan mental (jiwa), termasuk kecemasan, rasa rendah diri, fobia dan depresi
·         Gangguan kesehatan reproduksi, termasuk kehamilan tak dikehendaki, infeksi saluran reproduksi dan gangguan seksualitas.
Selain itu, KDRT akan berdampak pada anak-anak. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya. Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak. Akibat kekerasan tidak sama pada semua anak. Diantara ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami KDRT adalah, sering gugup, suka menyendiri, cemas, gelisah, ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam dan suka memukul teman. KDRT ternyata merupakan pelajaran bagi aank bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian wajar dari sebuah kehidupan.
Dalam pencegahannya tindak kekerasan tersebut, minimal ada tiga kegiatan yang dapat membantu mengurangi tindak kekerasan:
1.      Kegiatan moralitas untuk menumbuhkan imunitas di bidang keteguhan iman dan mental individu.
2.      Kegiatan penelitian-penelitian ilmiah menggali faktor-faktor yang berhubungan dengan kejahatan dalam masyarakat
3.      Tindakan unsur-unsur penegakan hokum dalam rangka law Enforcement, melalui pembinaan aparatur penegakan hukum dan koordinasi aparat serta partisipasi masyarakat.[7]
Selain ketiga point di atas masih banyak lainnya yang dapat dilakukan untuk mengurangi adanya KDRT, seperti mendirikan berbagai pusat pelayanan korban kekerasan dan disahkannya UU no.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Ketika isi kandungan hadits diatas ditarik ke dalam kehidupan, sudah tentu terlihat jelas bahwa untuk mengurangi adanya KDRT, contohlah akhlak Nabi Muhammad saw. dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Beliau adalah seorang pemimpin rumah tangga yang tidak pernah menggunakan cara kekerasan. Kehidupan rumah tangga yang penuh dengan cinta, saling memberi dan menerima, menghormati yang tua, menyayangi yang muda, adanya hak dan kewajiban bersama suami istri, seperti saling menjaga amanah, kerja sama membina rumah tangga, sikap sabar mengatasi emosi, saling menghargai.[8] Adanya kepercayaan serta keluarga bahagia dan penuh kasih sayang itu keluarga yang tidak lalai akan hidayah dan petunjuk-petunjuk dari Allah swt.

D.                Aspek Tarbawi
Dari pembahasan hadits tersebut dapat ditarik suatu pembelajaran atau aspek pendidikan, diantaranya adalah:
1.      Menanamkan akhlak yang baik dirasa sangat penting dalam membangun rumah tangga yang penuh kasih sayang.
2.      Orang yang berakhlak mulia adalah orang yang tidak melakukan perbuatan keji, tidak berkata kasar, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, dan selalu memberi atau meminta maaf terhadap orang lain.
3.      Dalam membangun maghligai rumah tangga harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan agama yang berlaku agar mendapat ridla Allah swt., supaya dapat memberi ketenangan dan kebahagiaan serta menjadi lembaga pendidikan yang baik untuk anggota keluarga.



PENUTUP

Kesimpulan
Rumah tangga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari beberapa anggota yang bertempat tinggal satu atap dan mempunyai ketergantungan antara satu sama lain. Kasih sayang adalah suatu sikap saling menghormati dan mengasihi semua ciptaan Tuhan.
Dalam rumah tangga penuh kasih sayang, tidak lain halnya adalah keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Hidup berumah tangga merupakan suatu lembaga pendidikan pertama kali dalam rangka pembentukan akhlak yang sesuai dengan agama dan nilai kemanusiaan.
Di dalam rumah tangga, tidak selamanya berjalan mulus-mulus saja, banyak hal rintangan yang menghadang ditengah jalan seperti ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa, seperti kasus KDRT dan sebagainya. Untuk meminimalisasi adanya persoalan rumah tangga, setidaknya harus memiliki akhlak yang baik, seperti panutan kita Nabi Muhammad saw. beliau tidak pernah berkata dan bertidak kasar, selalu memaafkan, dan tidak membalas keburukan dengan keburukan.



DAFTAR PUSTAKA

Batra, Promod. Vijay Batra. Divya Batra. 2002. Merakit Dan Membina Keluarga Bahagia. terj. Dedy Ahimsa. Bandung: Nuansa.

Ciciek, Farha. 1999. Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (Belajar dari Kehidupan Rasulullah saw). Jakarta: Lembaga kajian Agama dan Jender.

Manawy, Al. 2003. فيض القدير Beirut: مكنبه مصر.

Masiani dan Ratu Sunitah. 2010. Ikhtisan Ulumul hadis, cet.1. Bandung: sega Arsy.

Salim, Abdullah. 1986. Akhlaq Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat. Jakarta: Media Da’wah.

Samadani, Adil. 2013. Kompetensi Pengadilan Agama terhadap Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Graha Ilmu.





TENTANG PENULIS

Arina Manasikana Khodlori lahir di Batang pada tanggal 9 Maret 1995. Sekarang tinggal di desa Toso kecamatan Bandar kabupaten Batang. Tamatan SD N Toso 01 Bandar Batang dan MTs. As-Sa’id Cokro Blado Batang. Lulusan SMA N 1 Bandar Batang, pada tahun 2013. Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Saat ini, sejak tahun ajaran 2013/2014 menjadi mahasiswi STAIN Pekalongan S.1 jurusan Tarbiyah program studi Pendidikan Agama Islam (PAI), semester genap (4), berkat bantuan beasiswa BIDIK MISI STAIN Pekalongan.
Sekarang aktif dalam kegiatan extra kampus, yaitu Forum Komunikasi Mahasiswa Batang Indonesia (FORKOMBI) sebagai anggota. Dan mengikuti extra kampus lainnya.
“Berusaha dan berdo’a adalah kunci kesuksesan”



[1] Promod Batra, Vijay Batra, Divya Batra, Merakit Dan Membina Keluarga Bahagia, terj. Dedy Ahimsa (Bandung: Nuansa, 2002), hlm. 13.
[2] Masiani dan Ratu Sunitah, Ikhtisan Ulumul hadis, cet.1, (Bandung: sega Arsy, 2010), hlm.136.
[3] Al-Manawy, فيض القدير Beirut: مكنبه مصر , 2003, hlm. 95.
[4] Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (Belajar dari Kehidupan Rasulullah saw), (Jakarta: Lembaga kajian Agama dan Jender, 1999), hlm. 5.
[5] Promod Batra, Vijay Batra, Divya Batra, Merakit Dan Membina Keluarga Bahagia, terj. Dedy Ahimsa (Bandung: Nuansa, 2002), hlm. 13.
[6] Farha Ciciek, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga (Belajar dari Kehidupan Rasulullah saw), (Jakarta: Lembaga kajian Agama dan Jender, 1999), hlm. 25-27.
[7] Adil Samadani, Kompetensi Pengadilan Agama terhadap Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 37-38.
[8] Abdullah Salim, Akhlaq Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat, (Jakarta: Media Da’wah, 1986), hlm.100-104.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar