blog ini merupakan wahana keilmuan, pengetahuan dan pendidikan. Siapapun bisa memberikan kontribusi dan sharing demi terwujudnya knowledge culture dan modern culture yang selalu tanggap dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia.
Laman
▼
Sabtu, 21 Februari 2015
Jumat, 20 Februari 2015
Minggu, 15 Februari 2015
L-I-03: Dzikriyatul Fikriyah
"METODE PEMBELAJARAN DALAM RUMAH TANGGA"
Mata kuliah : Hadits Tarbawi II
Disusun Oleh :
Dzikriyatul Fikriyah 2021213031
KELAS L
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2015
L-I-02: Yuni Kurniasih
Lembaga Pendidikan
"Teladan dari Pemimpin Rumah Tangga"
Mata Kuliah: Hadist Tarbawi II
Oleh:
1.
Yuni
Kurniasih (2021213015)
KELAS L
JURUSAN
TARBIYAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2015
L-I-01: Nuzzul Huda Alfiana
"Rumah Tangga
Penuh Kasih Sayang"
Mata Kuliah
: Hadis Tarbawi II
Disusun Oleh :
Nuzzul Huda Alfiana
( 2021210154 )
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) PEKALONGAN
2015
H-I-04; Hepi Rahmawati
"TELADAN
DARI PEMIMPIN RUMAH TANGGA"
Mata
Kuliah : Hadis Tarbawi II
Disusun oleh :
Hepi Rahmawati 2021113265
Kelas H
PROGRAM
STUDI PAI
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin
Segala puji bagi Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya kepada umat manusia. Rasa syukur selalu kita panjatkan kepada Allah
Swt atas segala nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Salah satunya yaitu nikmat
yang diberikan kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan tugas penyusunan
makalah ini.
Salawat dan salam juga tidak terlupakan pada junjungan kita Nabi
Agung Nabi Muhammad Saw beserta sahabat dan keluarganya. Kemudian ucapan terima
kasih kita kepada kedua orang tua, dosen pengampu mata kuliah Hadis Tarbawi II,
dan teman-teman semua yang telah banyak memberikan banyak kontribusi sehingga
tersusunlah makalah hadis tarbawi II ini dengan judul “Teladan dari Pemimpin
Rumah Tangga“.
Semua kekurangan selalu ada pada diri setiap manusia. Tak
terkecuali pada diri kami, khususnya dalam penyusunan makalah ini. Maka dari
itu, kami dengan penuh harap dan lapang dada menerima kritik dan saran yang
konstuktif agar dalam penyusunan makalah yang selanjutnya dapat menjadi lebih
baik lagi. Semoga makalah ini selalu bermanfaat baik di dunia maupun akhirat.
Aamiin........
Pekalongan,
Februari 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kenyataan
menunjukkan bahwa struktur sosial yang ada menumbuhkan perlakuan diskriminatif
yang menempatkan perempuan (istri) di dalam sektor domestik (kerumahtanggaan),
sementara laki-laki (suami) sebagai kepala keluarga menangani urusan publik.
Apa yang diputuskan suami untuk kepentingan urusan publik itu harus menjaga
pertimbangan utama bagi sang istri dalam mengatur urusan keluarga. Kenyataan
itu tentu merupakan problem sosial dan kultural yang diwarisi terus menerus
dari generasi ke generasi.
Secara ideal,
Islam memiliki pandangan kesetaraan yang cukup tegas mengenai hubungan dan
tugas antara suami dan istri. Khususnya dalam hal memimpin rumah tangga.
Rasulullah Saw merupakan suri teladan bagi semua manusia. Selain itu, beliau
juga sebagai pemimpin rumah tangga. Sehingga, untuk kehidupan sehari-hari dalam
berumah tangga kita harus selalu berpijak pada Al Qur’an dan Al Hadis.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk
terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
1. Apa
pengertiannya?
2. Apa
saja teori pendukungnya?
3. Apa
materi hadisnya?
4. Bagaimana
refleksi hadisnya dalam kehidupan?
5. Apa
saja aspek tarbawi yang dapat di ambil dari hadisnya?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Arti teladan ialah mengikuti, yaitu suatu keadaan seseorang yang
mengikuti jalan hidup orang lain, dalam hal yang baik maupun hal yang buruk. Dengan
demikian, teladan ada dua macam, yaitu teladan yang baik dan teladan yang
buruk. Teladan yang baik adalah mengikuti jalan hidup orang baik dalam segala
hal yang berhubungan dengan perbuatan terpuji dan sikap yang luhur.[1]
Teladan yang baik terdapat pada diri Rasulullah Saw seperti dalam firman Allah
berikut ini:
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُو لِ اللهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُوااللهَ
وَلْيَوْمِ الْاخِرَ وَذَكَرَاللهَ كَثِيْرًا
Sungguh,
telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak
mengingat Allah (QS. Al-Ahzab:
21)[2]
Sebuah rumah tangga di mata umat Islam mempuyai nilai yang agung.
Di dalam rumah tanggalah individu-individu Islam dibina sejak awal, untuk
menjadi generasi rabbani yang diharapkan akan siap menjadi pejuang
kebenaran atau khalifah di muka bumi ini. Pengertian rumah tangga di sini
adalah keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Kata “keluarga” sendiri berasal
dari bahasa Sansekerta, yakni kula yang berarti famili dan warga yang
berarti anggota. Jadi, keluarga adalah anggota famili yang dalam hal ini adalah
terdiri dari ibu (istri), bapak (suami) dan anak.
Dalam rumah tangga, biasanya ada peran-peran yang dilekatkan pada
para anggotanya. Seperti seorang suami berperan sebagai kepala rumah tangga,
sedangkan seorang istri berperan sebagai ibu rumah tangga. Peran-peran tersebut
mucul biasanya karena ada pembagian tugas di antara mereka di dalam rumah
tangga. Seorang suami berperan sebagai kepala rumah tangga, oleh karena ia mendapat
bagian tugas yang lebih berat, yakni mencari nafkah untuk seluruh anggota
keluarga. Di samping itu, ia sebagai kepala rumah tangga juga diberi tanggung
jawab untuk melindungi dan mengayomi rumah tangganya, sehingga rumah tangga
tersebut dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islami. Karena dua hal
tersebut, yakni sebagai suami dan sebagai kepala rumah tangga, maka ia memiliki
kekuasaan lebih dibandingkan anggota lainnya, terutama dalam pengambilan
keputusan untuk urusan keluarganya. Sementara pada sisi yang lain, istri
biasanya bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga sehari-hari.
Dalam menjalankan peran dan fungsinya masing-masing tersebut, suami
harus melindungi istrinya, sementara istri harus patuh kepada suaminya sebagai
akibat adanya posisi suami yang dilebihkan karena perannya sebagai kepala rumah
tangga.
Pembagian peran dan fungsi suami tersebut tidak lain bersumber pada
penafsiran atas ajaran agama dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat,
yakni sebuah nilai yang menempatkan laki-laki sebagai jenis kelamin yang
memiliki kemampuan lebih dibandingkan rekannya dari jenis kelamin lain, yakni
perempuan.[3]
B.
Teori Pendukung
Rumah tangga muslim merupakan perserikatan antara laki-laki dan
perempuan yang telah diperkuat oleh suatu ikatan.
...وَّاَخَذْنَ
مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا
“...Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian
yang kuat.” (An-Nisaa’: 21).
Pihak ketiga yang terlibat dalam perserikatan mereka adalah Allah
SWT, dalam hadis qudsinya yaitu:
عَنْ
أبي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ : أَنَا ثَالِثُ
الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ
مِنْ بَيْنِهِمَا
(3383). Dari Abu Hurairah, dia memarfu'kannya (menyandarkannya
kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam), ia
berkata: Sesungguhnya Allah berfirman: “Aku adalah pihak ketiga dari dua orang
yang berserikat selama salah seorang dari mereka (dari keduanya) tidak
berkhianat kepada yang lain. Apabila dia berkhianat, maka Aku keluar dari
ketiganya.” (HR. Abu Daud).
Perserikatan yang dilakukan suami-istri hendaknya didasarkan pada
nilai-nilai akidah, akhlak, dan etika yang baik, bukan berdasarkan harta,
kecantikan, dan kepangkatan. Tujuan perserikatan ini adalah mendapatkan
keuntungan bersama Allah SWT, yaitu berkumpulnya para anggota rumah tangga di
surga setelah melewati kehidupan dunia. Yang menjadi direktur bagi perserikatan
pernikahan mereka adalah seorang laki-laki yang diserahi kepemimpinan, karena
terpenuhinya syarat-syarat utama, seperti bersikap objektif, kuat menanggung
beban, bersabar, mampu mencari nafkah, memiliki kelebihan berpikir, beragama,
dan menjadi nama keturunan bagi anak-anaknya. Dasar utama bagi kepemimpinan
perserikatan ini adalah firman allah SWT berikut ini:
اَالرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَّبِمَا اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ.....
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan dari harta mereka...” (an-Nisaa’: 34)
Sungguh, Allah telah menerangkan bahwa di antara sebab-sebab kaum
laki-laki terpilih menjadi pemimpin bagi kaum wanita adalah karena kelebihan
akal, kelebihan beragama, kelebihan kekuatan fisik, memiliki kewajiban sebagai
pencari nafkah, keluar rumah untuk berjihad, serta mampu menghadapi
kesulitan-kesulitan hidup. Ismail Ibnu Katsir berkata bahwa laki-laki adalah
pemimpin wanita. Dialah yang menjadi kepala, pengayom, pemberi keputusan, dan
pendidik bagi wanita ketika mereka menyimpang. Akan tetapi, dijadikannya
laki-laki sebagai pemimpin itu bukan berarti dia boleh berbuat sewenang-wenang,
menguasai, dan merusak kepribadian wanita. Diwajibkan kepada laki-laki untuk
berpegang teguh pada prinsip musyawarah, agar ketenteraman, kasih sayang, dan
cinta dapat terpelihara.
Seorang wanita muslimah yang berakal akan dapat menghargai kepemimpinan
laki-laki. Dia tidak akan menuntut kepemimpinan itu dalam keadaan bagaimanapun,
sebab kepemimpinan itu merupakan perintah, tanggung jawab, kemauan, dan
kesanggupan, bukan kepemimpinan yang diperoleh dari penghormatan.[4]
As-Syaikh Muhammad al-Syarbini al-Khotib dalam penafsiran kitab al-Minhaj
karya Abu Zakariyah Yahya bin Syarof An-Nawawi telah mengatakan bahwa
kewajiban minimal suami memberi nafkah kepada istri sesuai dengan standar lokal
yang mencakup makanan, pakaian, tempat tinggal termasuk kebutuhan rutin
sehari-hari, namun bisa lebih dari itu sesuai dengan keadaan ekonomi suami.[5]
Di dalam UU RI No. 23 Th. 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga pada bab ke-4 bagian ke-4 tentang kewajiban dan tanggung jawab
keluarga dan orang tua pasal 26 ayat (1) menyatakan bahwa orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: (a) mengasuh, memelihara, mendidik,
dan melindungi anak; (b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan,
bakat, dan minatnya; dan (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak-anak.[6]
Keluarga adalah lembaga yang sangat penting dalam proses pengasuhan
anak. Meskipun bukan menjadi satu-satunya faktor, keluarga merupakan unsur yang
sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian dan kemampuan anak. Dua
komponen yang utama, ibu dan ayah, dapat dikatakan sebagai komponen yang sangat
menentukan kehidupan anak, khususnya pada usia dini. Baik ayah maupun ibu,
keduanya adalah pengasuh utama dan pertama bagi sang anak dalam lingkungan
keluarga, baik karena alasan biologis maupun psikologis.[7]
C.
Materi
Hadis
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا صَالِحٌ عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ قَال { كَانَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ إِذَا أَشْفَى عَلَى خَتْمِ
الْقُرْآنِ بِاللَّيْلِ بَقَّى مِنْهُ شَيْئًا حَتَّى يُصْبِحَ فَيَجْمَعَ
أَهْلَهُ فَيَخْتِمَهُ مَعَهُمْ } (رواه الدارمي
فى السنن,كتاب فضا ئل القران, باب فى ختم القران)
(3338). Telah
menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan kepada kami
Shalih dari Tsabit Al Bunani ia berkata; Apabila Anas bin Malik hampir
mengkhatamkan Al Qur'an di malam hari, ia menyisakan sedikit dari Al Qur'an
hingga waktu pagi. Lalu ia mengumpulkan keluarganya, kemudian ia mengkhatamkan
Al Qur'an bersama mereka. (HR. Ad-Darimi) [8]
D.
Refleksi
Hadis dalam Kehidupan
Keluarga adalah lembaga yang sangat penting dalam proses pendidikan
anak. Dan refleksi dari hadis tersebut ada banyak. Salah satunya yaitu pada
sebuah keluarga yang seorang pemimpinnya adalah seorang ayah. Seorang ayah
tersebut selalu membiasakan keluarganya, terutama anak-anaknya untuk membaca
Al-Qur’an setiap hari. Karena Al-Qur’an mengandung sejuta manfaat bagi yang
membacanya. Selain itu, keluarga tersebut juga membiasakan untuk salat Maghrib
berjama’ah. Ayahnya yang menjadi imam dan yang menjadi muadzinnya adalah anak
laki-lakinya. Sedangkan ibu dan anak perempuannya menjadi makmum. Setelah
mereka selesai salat, berzikir, dan berdo’a, kemudian mereka semua membaca
Al-Qur’an. Hal ini tidak dilakukan dengan pemaksaan, tetapi dengan pembiasaan.
Sehingga, tanpa disuruhpun mereka melaksanakannya.
Sejak pertama suami istri itu menjalani hidup berumah tangga, sejak
itu pula mereka mulai membiasakan hal itu. Hingga mereka di karuniai anak,
mereka selalu mengajak anaknya untuk selalu melakukan kegiatan rutin tersebut. Kebiasaan
seperti itu mereka lakukan sejak anak mereka masih kecil, sehingga kebiasaan
itu tidak mudah hilang. Ayah tersebut juga menanamkan pondasi agama yang kuat
bagi anak-anaknya. Walaupun dalam hal pendidikan umum atau formal, di serahkan
kepada anak mereka sepenuhnya sesuai dengan minat dan bakat mereka. Sehingga
anak mereka tumbuh dewasa dan meraih kesuksesan di bidangnya masing-masing. Dan
yang terpenting, anak-anak tersebut tidak meninggalkan nilai-nilai Islami yang
telah ditanamkan oleh orang tua mereka, karena pondasi yang ditanamkan oleh
orang tua mereka tersebut cukup kuat.
Jadi, itulah sedikit cerita
tentang gambaran bagaimana seorang pemimpin rumah tangga yang selalu berpijak
pada ajaran agamanya. Sehingga keluarga tersebut meraih kebahagiaan dunia dan
akhirat.
E.
Aspek
Tarbawi
Aspek tarbawi yang dapat kita ambil dari hadis di atas adalah:
1.
Membiasakan
untuk membaca Al-Qur’an atau menerapkan nilai Islami pada keluarganya.
2.
Sebagai
pemimpin yang baik, pandai, dan taat beribadah.
3.
Menyempatkan
waktu untuk keluarganya sekaligus menanamkan pendidikan bagi keluarganya.
4.
Menunggu
waktu yang tepat yaitu waktu yang mustajab.
5.
Selalu
megajak keluarganya kepada kebaikan dan dalam kebersamaan sehingga dapat
menciptakan keharmonisan.
6.
Dengan
mengajak keluarganya akan dapat memberikan berkah bagi semuanya, berdo’a pada
Allah mengharapkan rahmat dan berkah dari Allah.
7.
Menggunakan
metode pembiasaan dalam mendidik keluarganya.
BAB III
PENUTUP
Sebuah rumah tangga dimata umat Islam mempuyai nilai yang agung. Di
dalam rumah tanggalah individu-individu Islam dibina sejak awal, untuk menjadi
generasi rabbani yang diharapkan akan siap menjadi pejuang kebenaran
atau khalifah di muka bumi ini.
Sungguh, Allah telah menerangkan bahwa di antara sebab-sebab kaum
laki-laki terpilih menjadi pemimpin bagi kaum wanita adalah karena kelebihan
akal, kelebihan beragama, kelebihan kekuatan fisik, memiliki kewajiban sebagai
pencari nafkah, keluar rumah untuk berjihad, serta mampu menghadapi
kesulitan-kesulitan hidup.
Keluarga adalah lembaga yang sangat penting dalam proses pendidikan
anak. Dan refleksi dari hadis tersebut ada banyak. Salah satunya yaitu pada
sebuah keluarga yang seorang pemimpinnya adalah seorang ayah. Seorang ayah
tersebut selalu membiasakan keluarganya, terutama anak-anaknya untuk membaca
Al-Qur’an setiap hari. Dan memberi pondasi agama yang kuat bagi anak-anaknya.
sehingga keluarga tersebut meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Aspek
tarbawi yang dapat kita ambil dari hadis di atas adalah: (1) membiasakan untuk
membaca Al-Qur’an atau menerapkan nilai Islami pada keluarganya, (2) sebagai pemimpin yang baik, pandai, dan
taat beribadah, (3) menyempatkan waktu untuk keluarganya sekaligus menanamkan
pendidikan bagi keluarganya, (4) menunggu waktu yang tepat yaitu waktu yang
mustajab, (5) selalu megajak keluarganya kepada kebaikan dan dalam kebersamaan
sehingga dapat menciptakan keharmonisan, (6) dengan mengajak keluarganya akan
dapat memberikan berkah bagi semuanya, berdo’a pada Allah mengharapkan rahmat
dan berkah dari Allah, dan (7) menggunakan metode pembiasaan dalam mendidik
keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
Iman ad-Darimi. Sunan Ad-Darimi. http//id.lidwa.com/app
Kementerian
Agama RI. 2011. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Sygma Publishing
Martha, Aroma
Elmina. 2012. Perempuan dan Kekerasan Rumah Tangga di Indonesia dan Malaysia.
Yogyakarta: FH UI Press.
Munti, Batara
Ratna. 1999. Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga. Jakarta: Lembaga Kajian
Agama dan Jender.
Syahatah,
Husein. 1998. Ekonomi Rumah Tangga Muslim. Jakrta: Gema Insani Press.
TM, Fuaduddin.
1999. Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan
Jender.
UU RI No. 23
Th. 2004. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: Sinar Grafika.
Ya’qub,
Syeikh Abdurrahman. Pesona Akhlak Rasulullah SAW. Jakarta: Mizan
TENTANG PENULIS
Hepi
Rahmawati lahir di Tegal, 13 November 1993. Tempat tinggal di desa Sesepan RT
01/04 kecamata Balapulang, kabupaten Tegal. Pendidikan mulai dari SD Negeri 02
Sesepan lulus tahun 2006. Bersamaan dengan SD, sore harinya mengikuti
pendidikan non-formal di Madrasah Diniyah Awaliyah Al-Wathoniyah Sesepan.
Kemudian melanjutkan ke MTs. Negeri Lebaksiu lulus tahun 2009. Kemudian,
melanjutkan ke SMA An-Nuriyyah Bumiayu dan mulai masuk ke dunia pesantren yaitu
Pesantren Tahfidzul Qur’an An-Nuriyyah Bumiayu selama 3 tahun. Setelah lulus
tahun 2012, melanjutkan ke pesantren Syihabut Tholab Pekalongan. Setelah
berjalan satu tahun, kemudian masuk ke STAIN Pekalongan yaitu pada tahun 2013 sampai
sekarang semester 4.
[1] Syeikh
Abdurrahman Ya’qub, Pesona Akhlak Rasulullah SAW, (Jakarta: Mizan
Pustaka), hlm. 254.
[2] Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Sygma Publishing, 2011), hlm.
420.
[3] Ratna Batara
Munti, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, (Jakarta: Lembaga Kajian
Agama dan Jender, 1999), hlm 2-3.
[4] Husein
Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,
1998), hlm. 45-47.
[5] Aroma Elmina
Martha, Perempuan dan Kekerasan Rumah Tangga di Indonesia dan Malaysia,
(Yogyakarta: FH UI Press, 2012), hlm. 191.
[6] UU RI No. 23
Th. 2004, Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Sinar
Grafika), hlm. 64.
[7] Fuaduddin TM, Pengasuhan
Anak dalam Keluarga Islam, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender,
1999), hlm. 5-6.
[8] Imam
Ad-Darimi, “Sunan Ad-Darimi” online: id.lidwa.com/app/. Diakses pada 14
Februari 2015 pukul 17.47.