Laman

Selasa, 19 April 2016

TT H 8 A "Bersuci: Wudhu Bila Hendak Membaca Al-Qur’an"



Tafsir Tarbawi
Adab Membaca Al-Qur’an
"Bersuci: Wudhu Bila Hendak Membaca Al-Qur’an" 
(QS. Al-Waqi’ah: 77-80)

Ana nazudah
(2021114026)            
Kelas:  H

JURUSAN  TARBIYAH / PROGRAM  STUDI  PENDIDIKAN  AGAMA  ISLAM
SEKOLAH  TINGGI  AGAMA  ISLAM  NEGERI  (STAIN)  PEKALONGAN
2016


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Allah SWT telah menu7runkan Al-Quran sebagai pedoman yang paling sempurna bagi umat manusia. Kesempurnaan ini memang tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Namun, perlu adanya penelitrian dan telaah khusus terhadap kalam ilahi tersebut. Inio tidak bermaksud menggugat keaslian dan kesempuranaan itu, namun lebih kepada pengungkapan dibalik keagungan Al-Qur’an yang dikatakan sebagai petunjuk dan kabar gembira bagi orang yantg beriman.
Namun ternya tidak semua dalil hukum yang terdaoat didalam Al-Qur’an dapat dipahami oleh semua orang. Sangat banya kriteria dan perasyarat yang harus dicapai oleh seseorang untuk meneliti apa yang tersirat dari sebuah dalil mutasyabih. Namun ini tidak sedikitpun menyurutkan pengakuan bahwa al qur’an adalah kitab suci yang paling sepurna dan relevan untu7k segala masa. Sebagai mana yag tel;ah disepakati bahwa hukum menyentuh dan atau membaca al qur’an dalam keadaan tidak suci adalah haram. Sebagai mana yang terkandung dalam Al Qur’an dan beberapa hadis. Agar lebih jelas disini pem,akalah akan berusaha sedikit menerangkan tentang hukum menytentuh dan atau membaca Al-Qur’an dalam keadaan tidak suci pada surat Al-Waqi’ah ayat 77-80. 










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi judul
Berikut merupakan Hadis tentang keutamaan membaca surat Al-Waqi’ah
مَنْ قَرَأَسُوْرَةَاْلوَاقِعَةِفِى كُلِّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فَاقَةٌ اَبَدًا
“siapa yang membaca surat “ Al-Waqi’ah “ setiap malam, orang itu tiada akan ditimpa kemiskinan buat selamanya”. (Diriwayatkan oleh Baihaqi dari Ibnu Mas’ud)[1]

                  Didalam surat Al-Waqi’ah ayat 77-80 menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu mulia dan dijadikan pedoman umat islam.Kitabbullah ini diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur-angsur. Allah swt memberikannya sesuai dengan kejadian yang dialami oleh Rasullullah.Beliau sangat memperhatikanumatnya agar senantiasa dalam kebaikan.Dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa Allah swt menurunkan kepada Rosul Al-Kitab tidak lain kecuali supaya dia menjelaskan kepada manusia apa yang mereka perselisihkan itu.
                  Jadi, Al-Qur’an lah yang akan memutuskan diantara manusia apa yang mereka sengketakan.Dan menjadi petunjuk bagi kalbu ,rahmat bagi orang yang memegangnya dengan teguh dan kaum yang beriman.
                  Bahwa pada ayat selanjutnya banyak Tafsir yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an harus yang memegang oaring-orang yang suci.Dalam penjelasan berbagai tafsir mengenai oring-orang yang suci,”Maka dapat diambil kesimpulan dalam konteks kehidupan kita,bahwa Al-Qur’an dapat dipegang oleh orang-orang yang suci yakni yang suci dari hadas dan najis dan pastinya orang muslim.Juga didalam fiqih diterengkan orang yang masih mempunyai hadast seperti junub itu tidak boleh membaca dan membawa Al-Qur’an.Sengguh beruntung kita dijadikan sebagai umat rosul yang senatiasa dido’akan olehnya.

B.     Ayat atau Hadist pendukung
Ayat / hadist pendukung dari surat Al-Waqi’ah ayat 77-80 yaitu diantaranya sebagai berikut:
1.      Dalam surat Asy-Syu’ara’:210-211

وَمَاتَنَزَّلَتْ بِهِ الشَّياطيْنُ وَمَايَنْبَغِيْ لَهُمْ وَمَايَسْتَطِيْعُوْنَ انَّهُمْ عَنِ السَّمْعِ لَمَعْزُوْلُوْنَ
“dan tidak dianya menurunkan akan dia syaitan dan tidaklah hal itu panas buat mereka, sesungguhnya mereka itu adalah disisihkan dari padanya.” (as-Syu’ara’)
2.      Hadis pendukung

عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَاقَلَ : نَهَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَ يْهِ وَسَلَّمَ لَ اَن يُسَافَرَبِالْقُرْآنِ إِلَى أَرْض الْعَدُوّ
Daripada Abdullah bin Umar (radhiallahu ‘anhu): “Telah melarang Rasullah s.a.w. bahwa musafir seseorang dengan alqur’an ke negeri musuh.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3.      Hadis pendukung yang dirawikan oleh Imam Malik didalam kitab al-Mumatha’, bahwa Nabi Muhammad s.a.w. bersabda:
لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ اِلاَّطاهِرٌ
“Tidaklah menyentuh akan Al-Qur’an itu kecuali orang yang suci”
      Tetapi sanad (sandaran) dari Hadis yang menyatakan tidakalah patut untuk menyentuh akan Al-Qur’an kecuali orang yang suci, yang dengan Hadis ini diambil dalil untuk menyuruh untuk berwudh’ baru menyentuh al-Qur’an, pengarang tafsir al-Qur’an yang terkenal, yaitu Ibnu Kastsir menegaskan bahwa sanad Hadis ini masih meminta peninjauan yang seksama (fiihi nazhar). Dengan kata demikian daoatlah kita fahamkan bahwa tidaklah dengan teguh dapat dipegang untuk dijakian hujjah untuk mewajibkan jika hendak menyentuh al-Qur’an hendaklah berwudhu’ lebih dahulu. Meskipun kita merasakan juga lebih baik jika berwudhu’, tetapi bukan wajib. Bahkan hadis melarang membawa mushhaf al-Qur’an ke negeri musuh yang shahih, riwayat Bukhari dan Muslim, di zaman kita sekarang ini susah juga mempertanggung jawabkannya. Dalam hubungan dunia sebagai sekarang, sukarlah membawa al-Qur’an ke negri musuh. Apatah lagi di negeri-negeri yang disebut negeri musuh itu dizaman sekarang telah banyak pula orang muslim. Disana berdiri mesjid-mesjid yang besar, sebagai di London, Australia dan kota-kota besar Amerika. Dengan beribu-ribu maaf kita mengatakan jika Rasulullah s.a.w. misalnya hidup diwaktu sekarang, beasar kemungkinan akan beliau izinkan bahkan beliau anjurkan membawa al-Qur’an ke negara-negara itu, yang meskipun negeri itu masih tetpa negeri musuh, namun disana sudah ada pemeluk agam islam yang tulus ikhlas. Ketika penulis tafsir ini datang ke London pada bulan Mei 1966, pada hari ahad, penulis dapati lebih 100 orang islam kulit putih sembayang berjamaah zuhur di tanah lapang Hyide Park yang tekenal.[2]
C.    Teori Pengembangan
1.      Ayat dan terjemahan

إِنَهُ,لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ
77. sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia.
فِى كِتَبِ مَّكْنُوْنِ
78. pada kitab yang terpilihara (Lauh Mahfuzh)
لاَّيَمَسُّهُ إِلاَّالْمُطَهَّرُوْنَ
79. tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.
تَنْزِيلٌ مِنْ رَّبِّ الْعَلَمِيْنَ
80. Diturunkan dari Tuhan alam semesta.
2.  Penafsiran Ayat
            a.         tafsir Al-Maraghi
 (إِنَهُ,لَقُرْءَانٌ كَرِيْمٌ)
Sesungguhnya Al-Qur’an ini memuat bermacam-macam manfaat dan banyak kegunaan. Karena Al-Qur’an itu memuat hal-hal yang membawa kepada umat islam sidunia maupun diakhirat mereka.
Al-Azhari berkata Al-Karim adalah isim yang memuat apa saja yang terpuji. Dan Al-Qur’an adalah Karim (terpuji). Karena itu memuat petunjuk dan keterangan-keterangan, ilmu dan khikmah. Seoramg faqih menjadikan Al-Qur’an sebagai dan mengambil pelajaran darinya. Seorang ahli khikmat akan mengambil pelajaran darinya. Seorang ahli khikmat akan mengambil pelajaran dari Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai hujjah. Dan seorang sastrawan akan mengambil faedah dari Al-Qur;an dan memperkuat hujjahnya. Jadi setiap ilmuan akan mencari dasar ilmu dari Al-Qur’an.
(فِىكِتَبِمَّكْنُوْنِ)
Dalam Luh Mahfuz yang terpelihara yang tidak mungkin mendekatinya kecuali yang didekatkan, yaitu para malaikat yang mulia.
(لاَّيَمَسُّهُإِلاَّالْمُطَهَّرُوْنَ)
Tidak menyentuh Lauh ini kecuali orang-orang yang dibersihkan dari kotoran dosa dan dorongan-dorongan nafsu.
Bisa juga artinya, Al-Qur’an ini tidak ditrurunkan kecuali oleh orang-orang disucikan, yaitu para malaikat yang mulia. Atas tidak menyentuh Qur’an ini kecuali orang-orang yang disucikan dari hadis kecil dan hadas besar. Maksudnya adalah melarang menyentuh Al-Qur’an. Yakni tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang telah bersuci.
Ibnu Abi Syaibah dalam Mussamat, Ibnu Munzir dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdur Rahman bin Zaid ia berkata, kami ada bersama Salman Al-Farisi, dia pergi untuk menemui hajatnya. Lalu ia bersembunyi dari kami. Sesudah itu ia pun keluar kepada kami. Maka kami berkata, sekiranya anada telah berwudhu, maka kami akan bertanya kepada anda beberapa hal mengenai Al-Qur’an.
Salman berkata, “tanyailah aku, karena sesungguhnya aku tidak menyentuh Al-Qur;an. Yang menyentuhnya hanyalah orang-orang yang disucikan”. Kemudian ia pun membaca:
(لاَّيَمَسُّهُإِلاَّالْمُطَهَّرُوْنَ)
Dalam pada itu Jumhur Ulama berpendapat, dilarang menyentuh mushaf orang yang berhadas. Demikian pendapat ali, Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqas dan segolongan fuqaha’, yang diantaranya ialah Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas dan Ass-Sya’bi didalam jamaah diantaranya adalah Abu Hanifah, bahwasanya boleh bagi seseorang yang berhadas menyentuh mushaf (lihat syarah Al-Muntaqa karangan Asy-Syaukani).
Al-Husain ibnu Fadal berkata yang dimaksud adalah, bahwasanya tidak ada yang tau tentang tafsir dan takwil Al-Qur’an kecuali orang yang telah disucikan oleh Allah dari syirik dan nifak.
(تَنْزِيلٌمِنْرَّبِّالْعَلَمِيْنَ)
Al-Qur’an itu dirurunkan secara berangsur-angsur dari hadirat Rabbul ‘Alamin (Tuhan semesta alam). Jadi Al-Qur’an itu bukanlah sihir, bukan pula tenung dan bukan pula syair.
Dia adalah kebenaran yang tidak memuat keraguan. Dan dibelakangnya tidak adala l;agi sesuatu yang bermanfaat.[3]
b.         tafsir Al-Azhar
Ayat yang lalu mengandung penekanan melalui sumpah atau tanpa sumpah. Hanya disini belum dijelaskan apa yang ditekankannya itu, atau dalam istilah lain muqsam'alaih. Nah, ayat diatas menjelaskan hal tersebut. Allah berfirman: Aku bersumpah bahwa sesungguhnya ia yakni al-Qur'an ini benar-benar adalah bacaan sempurna yang sangat mulia, ia termaktub hilang atau mengalami pergantian dan perubahan. Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba Allah yang disucikan. Kitab suci ini diturunkan dari Tuhan Pemelihara semesta alam.
            Kata (قر ء ا ن)qur'an adalah kata jadian dari kata (قر أ) qara'a. Huruf (أ) alif dan (ن) nun pada akhir kata tersebut menunjuk makna kesempurnaan. Al-Qur'an adalah bacaan sempurna. Tidak ada satu bacaan sesempurna kitab suci ini. Bukan saja dari segi kandungan atau susunan kalimat-kalimatnya, tetapi juga antara lain karena bacaan itulah satu satunya bacaan yang dibaca oleh ratusan juta orang secara tulus walau mereka tidak mengerti artinya; yang seringkali meraih kemenangan justru mereka yang bahasa ibunya bukan bahasa al-Qur'an (Arab).
            Kata (كر يم) karim digunakan untuk menggambarkan terpenuhinya segala yang terpuji sesuai objek yang disifatinya. Sebagai kitab suci, al-Qur'an memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab suci yang lain. Dalam kandungannya terdapat tuntunan yang jelas serta menyeluruh sekaligus dapat ditemukan bukti-bukti kebenarannya yang langgeng sepanjang masa. Dengan mengikuti tutunannya, umat manusia sepanjang masa dapat meraih aneka manfaat duniawi dan ukhrawi. Ia menjadi sumber inspirasi dan ilmu.
            Kata karim juga mengisyaratkan bahwa kitab suci al qur'an itu memiliki kedudukan istimewa disisi Allah swt.
            Firman-Nya لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ  la yamassuhu illa al-muthaharun menjadi bahasan panjang lebar para ulama, antara lain apa yang dimaksud dengan yamassuhu dan ke mana pengganti nama pada kalimat tersebut tertuju, dan siapa pula yang dimaksud dengan al-muthahharun.
            Mayoritas ulama memahami pengganti nama tersebut tertuju kepada al qur'an yang dinyatakan terdapat dikitab yang terpelihara itu dan atas dasar tersebut mereka memahami kata al-muthabarun dalam arti para malaikat. Manusia tidak dapat dibayangkan mampu mencapai Laub Mahfuzb itu. Ayat ini dapat dipahami sebagai bantahan terhadap kaum musyrikin yang menduga bahwa ayat al Qur'an adalah karya jin, atau dukun yang dibisikan oleh setan. Tidak! Ia berada di satu tempat yang sangat terpelihara, tidak dapat dijangkau oleh makhluk-makhluk kotor itu. Ia diturunkan oleh Rabbul 'Alamin.
            Imam Malik menyatakan bahwa ayat ini serupa dengan firman-Nya dalam Q.S 'Abasa [80]: 14-16 yang melukiskan bahwa ayat-ayat al-Quran ditinggikan lagi disucikan, ditangan utusan-utusan yakni para malaikat yang mulia lagi berbakti.
            Ada lagi yang memahami pengganti kata tersebut tertuju kepada al-Qur'an yakni yang terbentuk mushaf/kitab suci yang tertulis dalam satu kitab. Atas dasar itu, sementara ulama berpendapat bahwa al-Qur'an tidak boleh disentuh dengan tangan siapapun yang tidak suci dari hadas-besar dan atau kecil. Thabathaba'i memahami kata yamassuhu / menyentuh dalam arti memahami maknanya dan al-muthahharun adalah hamba-hamba Allah yang disucikan hatinya sehingga tidak lagi memiliki ketergantungan kecuali kepada Allah semata. Sepwrti malaikat dan juga dari jenis manusia yakni Ahl al-Bait. Ulama beraliran syariah ini kemudian menyitir firman Allah dalam QS. al-Ahzab [33]: 33. Al- Biqa'i berpendapat serupa tetapi tidak menyinggung Ahl al-Bait. Ulama Sunni yang berasal dari Lembah Biqa' di Libanon itu menulis bahwa al-munthahharun adalah yang thahir / suci dan yang sangat disucikan yaitu para tokoh malaikat mulia- dan tidak ada yang menjadi safir (utusan) membawanya kecuali mereka. Allah tidak ada juga yang mengetahui maknanya kecuali yang termulia dari para pemelihara dan yang paling suci hatinya.
            Perlu dicatat bahwa kendati ulama-ulama yang tidak memahami ayat diatas sebagai berbicara tentang manusia-terapi malaikat- atau tidak memahami kata yamassuhu dalam arti memegang dengan tangan tapi paham, kendati demikian mereka tetap berpendapat bahwa seseorang yang hendak memegang al-Qur'an hendaknya suci dari hadas besar dan atau kecil. Imam Malik-misalnya-yang pendapatnya telah penulis kemukakan diatas menegaskan hal ini, bukan berdasar ayat diatas tetapi berdasat hadits-hadits Nabi saw. Antara lain surat yang dikirim oleh nabi Muhammad saw. kepada para penguasa Dzy Rain, Qa afir dan Hamazan melalui amr Ibn Hazm bahwa: "janganlah al-Qur'an dipegang kecuali oleh yang suci." Memang penghormatan kepada al-Quran menuntut agar kitab suci ini dijunjung tinggi mungkin antara lain dengan kesucian lahir dan batin. Bahkan dahulu para ulama melarang al-Qur'an. Mereka khawatir jangan sampai kitab suci ini jatuh ke tangan ke non muslim lalu diperlakukan secara tidak wajar.
            Dalam konteks larangan Nabi diatas, ulama berpendapat. Mayoritas berpendapat bahwa memegang al-Qur'an haruslah dalam keadaan suci yakni berwudhu. Ini merupakan pendapat Imam Malik. Syafi'i dan salah satu riwayat yang dinasbatkan kepada Ahmad bin Hanbal. Adapun Abu Hanifah, maka ia menilai perintah bersuci itu adalah anjuran  adapun juga ulama yang memahami makna thahir yang dimaksud adalah suci dari hadas besar dan atas dasar itu mereka memberi toleransi bagi yang tidak dalam keadaan berwudhu.
            Membacanya-tanpa memegangpun dalam keadaan tidak suci diperselisihkan. Ulama ada yang melarangnya, tatapi mayoritas ulama membenarkan bagi yang tidak berwudhu untuk membaca al-Qur'an, tetapi bukan bagi yang sedang dalam hadas besar, seperti wanita yang haid atau nifas atau siapapun yang belum mandi besar. Sedangkam membaca satu dua ayat, atau membacanya sebagai wirid keseharian dapat dibenarkan.
            Penegasan bahwa al-Qur'an bersumber dari Rabb al-'Alamin mengisyaratkan bahwa kehadiran al-Qur'an merupakan salah satu bentuk pemeliharaan dan pendidikan Allah swt. karena itu seharusnya mereka menyambut kitab suci itu.[4]


D.    Aplikasi dalam Kehidupan
Ada beberapa cara adab atau perilaku ketika seorang muslim membaca Al-Quran agar mendapatkan kesempurnaan dan mampu memahami serta meresap apa saja makna yang terkandung dalam tiap ayat Al-Quran :
a)      Membersihkan mulut dan menggosok gigi terlebih dahulu dengan siwak. Dengan tujuan agar ketika membaca Al-Quran, mulut terasa segar dan wangi dan membaca pun dapat dilakukan enak dan tenang.
b)      Mensucikan diri dengan wudhu terlebih dahulu. Berwudhu sebelum menyentuh dan membaca Al-Quran merupakan perilaku penting agar diri ini dalam keadaan suci terhindar dari hadas kecil maupun hadas besar. Karena Al-Quran merupakan Kitab suci yang harus dijaga kebersihan dan kesuciannya, seperti yang dikatakan oleh shahih Imam Haromain berkata ” Orang yang membaca Al-Quran dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, namun dia telah meninggalkan sesuatu yang utama”.(At-Tibyan, hal. 58-59)
c)      Membaca dengan suara yang lembut, pelan (tartil), tidak terlalu cepat agar dapat memahami tiap ayat yang dibaca.
Rasulullah SAW dalam sabda mengatakan “Siapa saja yang membaca Al-Quran sampai selesai (Khatam) kurang dari 3 hari, berarti dia tidak memahami”. (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)
Bahkan sebagian dari para Sahabat Rasulullah membenci pengkhataman Al-Quran sehari semalam, dengan berdasarkan hadits diatas. Rasulullah SAW sendiri menyuruh sahabatnya untuk mengkhatamkan Al-Quran setiap 1 minggu (7 hari) (HR. Bukhori dan Muslim) begitu pula yang dilakukan oleh Abdiullah Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit mereka mengkhatamkan Al-Quran seminggu sekali.
d)     Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, penuh penghayatan, dengan hati yang ikhlas, mampu menyentuh jiwa dan perasaan bila perlu dengan menangis
Allah SWT menerangkan pada sebagian dari sifat-sifat hambaNya yang shalih adalah “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertamba khusyu”. ( QS.Al Isra :109) Teteapi tidak demikian bagi seorang hambaKu dengan pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.
e)      Membaguskan suara ketika membaca Al-Quran.
Dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi “Hiasilah Al-Quran dengan suaramu.”(HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam pengertian dari hadits tersebut adalah membaca Al-Quran dengan baik dan benar mengerti makhroj (tanda baca), harakat ( panjang pendeknya bacaan), mengerti tajwid dsb. Sehingga tidak melewatkan hukum dan ketentuan dari membaca Al-Quran, bila sudah cukup mengerti lantunan dari tiap-tiap ayat yang dibacakan agar terdengar indah dan menyentuh Qolbu.
f)       Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.
Dalam firman Allah SWT yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)
Dengan maksud membaca membaca Al-Quran dengan suara yang lirih dan khusyu’ sehingga tak perlu mengganggu orang yang sedang melakukan shalat dan tidak menimbulkan sifat Riya’. Bahkan dalam sebuah Hadist Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasannya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim).

E.     Nilai Tarbawi
Adapun yang dapat diambil sebagi nilai pendidikan yaitu:
1.      Menjadikan Al-Qur’an sebagi penanag hati
2.      Mengajarkan sikap dan beradab yang baik dalam membaca Al-Qur’an
3.       Menjadikan kenyaman dan ketentraman dalam kehidupan
4.      Mengajarkan manusia selalu dalam keadaan suci
5.      Memberikan kemudahan dalam berpikir
6.      Sebagi kegiatan sehari-hari yakni membacanya
7.      Sebagi penghormatan terhadap Al-qur’an karena menjadi pedoman bagi umat islam





































BAB III

Kesimpulan

Bahwa Al-Qur’an adalah bacaan sempurna,bukan saja dari segi kandungan atau susunan kalimat-kalimatnya,tetapi juga antara lain karena bacaan itulah satu-satunya bacaan yang dibaca oleh ratusan juta orang secara tulus walau mereka tidak mengerti artinya,yang lebih unuk lagi walau dalam perlomba membacanya banyak orang-orang yang buakan arab.
            Sungguh banyak keajaiban yang terkandung dalam Al-Qur’an.Maka kita patut menjaganya dan memeliharanya,bahkan selalu membacanya setiap hari.Dan ketika Akan membacanya harus suci dari hadast dan najis.












DAFTAR PUSTAKA



[1] Fachruddin HS. Dan Irfan fachruddin, S.H.,Pilihan Sabda Rasul (Hadis-Hadis Pilihan) (jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 451
[2]Prof. Dr. Hamka, Tafsir A-Azhar Juzu’ XXVII (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 256-258
[3]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maragi (Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang, 1989), hlm. 264-265
[4] M. Quraish Shihab , tafsir Al-Misbah vo. 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Hal. 575-577

Tidak ada komentar:

Posting Komentar