Laman

Selasa, 02 Mei 2017

TT2 A11a “Jangan Sekali-kali Mengejek Orang” (QS. Al-Hujurat, 49: 11)

PENDIDIKAN ETIKA-GLOBAL
“Jangan Sekali-kali Mengejek Orang”
(QS. Al-Hujurat, 49: 11)

Nadia Anasia (2021115361)
Kelas A

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN

2017


KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT., atas segala nikmat dan karunia-Nya, makalah yang berjudul “Jangan Sekali-kali Mengejek Orang” ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw, keluarga, kerabat, dan para sahabatnya.
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan segenap keluarga besar penulis serta dosen pengampu yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Disamping itu apabila dalam makalah ini didapati kekurangan dan kesalahan, baik dalam pengetikan maupun isinya, maka penulis dengan senang hati menerima saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini. Semoga makalah ini bermanfaat, serta menambah pengetahuan dan meningkatkan kecerdasan bagi baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari judul ini.



Pekalongan, 1 Mei 2017

Nadia Anasia
  (2021115361)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Secara historis dan teologis, akhlak dapat memadu perjalanan hidup manusia agar selamat di dunia dan akhirat. Tidakkah berlebihan bila misi utama kerasulan Muhammad SAW. adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sejarah pun mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliau itu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Akhlak seseorang menentukan baik tidaknya seorang tersebut dalam masyarakat, mencela merupakan ahklak yang tidak baik yang dilarang oleh agama islam karena dapat membuat orang lain tersakiti. Dalam makalah ini yang berjudul “Jangan Sekali-kali Mengejek Orang”
B.     Judul Makalah
Dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang “Jangan Sekali-kali Mengejek Orang” yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat, 49: 11. Menyesuaikan dengan tugas yang telah penulis terima.

C.    Nash dan Terjemah
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ١١
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim

D.    Arti Penting
QS. Al-Hujurat, 49: 11 perlu untuk dikaji karena ayat ini menjelaskan tentang betapa pentingnya mempelajari akhlak tercela seperti mencela, mengejek, menghina, memandang rendah, merendahkan orang, supaya kita dihindarkan dari akhlak tercela tersebut yang dapat membuat orang tersakiti, putusnya tali persaudaraan, permusuhan bahkan kadang kebencian. Dan memberi wawasan mengenai sifat-sifat negatif sehingga tidak terus-menerus mencoba melakukan kesalahan yang sama yang dilakukan orang lain serta terbebas dari efek negatif yang menyebabkan cacat rohani.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori
1.      Pengertian Syukhriyah atau Mencela.
Menurut bahasa سخر  berarti “mengejek, mencemoohkan, menghina”. Pengertian dalam Islam tentang penghinaan itu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus mengidentifikasikan dahulu kata penghinaan dengan lafadz arabnya, sedangkan hal-hal yang tercakup dalam arti penghinaan itu lafadnya berbeda beda. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya:
a.       Merendahkan, memandang rendah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain.
b.      Menjelekkan atau memburukkan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang mengandung unsur menghina terhadap orang lain.[1]

2.      Terlarangnya Mencari-Cari Kesalahan Orang Lain
Salah satu keutamaan jiwa dan roh dalam diri seseorang adalah bahwa dia memiliki kemampuan untuk memeriksa kondisi rohaninya sendiri melalui cacat dan kelemahan diri yang nampak pada diri batinnya, hingga ia mengakui dan mampu memotong semua akar sifat-sifat menghancurkan yang ada dalam jiwa dan rohnya yang memang mewujud nyata dari waktu ke waktu.
Saat tenang dan damai, sebaiknya dia duduk, mengambil secarik kertas dan menuliskan semua tindakan yang dia lakukan selama hari itu sejujur-jujurnya dan meninjau semua perbuatannya. Jika dia menyadari perbuatannya hari itu tidak terpuji, maka dia harus bertekad untuk tidak mengulangi tindakan itu.
Namun ada sekelompok orang yang terus-menerus mencoba melakukan kesalahan yang dilakukan orang lain karena kurangnya wawasan mengenai sifat-sifat negatif dalam diri mereka sendiri sehingga tidak menyadari status rohaniyah orang lain dan terus mencari kesalahan orang dan terus berusaha mengangkat selubung yang menutupi cacat dan kelemahan orang lain.
Mereka adalah orang-orang yang memperoleh kesenangan dan kenikmatan dari mencari-cari dan menemukan kesalahan orang lain, karena merasa dirinya rendah dan tidak berguna. Dengan demikian melalui perbuatan hina itu dia ingin orang mengenalnya dan dia mencoba menarik simpati mereka untuk memperoleh status dalam masyarakat.
Efek membicarakan hal-hal buruk dan mengkritik tindakan orang lain berperan penting dalam persahabatan dan kedekatan antara dua orang sehingga kedekatan kedekatan sirna dari keduanya. Persahabatan dan kepercayaan berubah jadi permusuhan bahkan kadang kebencian . memuji perbuatan baik seseorang dan menyanjung kebenaran tindakannya bisa mengukuhkan akar persahabatan.
Jika orang mencari-cari kesalahan orang lain, dia akan menghabiskan energy yang sama dengan yang mereka gunakan dalam melihat keburukan orang lain dan mencela orang lain. Untuk memperbaiki diri, mereka perlu melihat cacat diri dan berusaha mengenali jiwa mereka sendiri .
3.      Menunjukkan Kecacatan dengan Niat Tulus Tidak Sama dengan Mendeteksi Kesalahan.
Pentingnya mencegah sebagian besar orang mencari-cari kesalahan dan menghina orang lain di depan khalayak adalah satu hal, sedangkan membimbing dan menunjukkan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu serta menunjukkan kesalahan orang adalah hal lain.
Mencari-cari kesalahan orang lain merupakan salah satu ciri etika negatif, sedangkan membimbing orang dan menginformasikan kekurangan mereka sendiri dengan nasihat dan bimbingan yang baik merupakan salah satu tanggung jawab religius dan kemanusiaan.
4.      Menggerakkan Emosi Orang Lain
Dengan mengutamakan prinsip etika, al-Qur’an mengimbau emosi kemanusiaan. Dengan demikian ketika ingin menginstruksikan pengikutnya agar tidak mencari-cari kesalahan orang lain. Al-Qur’an mengatakan: Jangan mencari-cari kesalahan dirimu sendiri.
Ayat yang menyatakan larangan untuk mencari-cari kesalahan dalam diri bertujuan untuk membangkitkan perasaan orang lain atas persaudaraan spiritual dan religius yang menimbulkan ikatan persahabatan dan cinta antara orang yang percaya mereka layaknya satu tubuh kolektif. Jadi, jika seseorang mencari-cari kesalahan seorang muslim, sama saja artinya mencari-cari kesalahan saudaranya sendiri.
5.      Nama dan Julukan yang Buruk
Nama dan gelar seseorang merupakan manifestasi karakter diri si orang tersebut. Karena nyatanya, nama dan gelaran yang baik mewakili nilai dan kebaikan seseorang yang buruk merupakan hal yang tidak menyenangkan. Bahkan hal tersebut mengarahkan ke salah satu perbuatan buruk yang disebut hinaan, juga dapat memusnahkan status dan karakter seseorang sehingga menyebabkan orang menjadi rendah diri di antara teman dan masyarakat pada umumnya.
Ketika Nabi saw secara resmi diangkat sebagai raul, sejumlah besar kota dan desa memiliki nama yang sangat buruk. Banyak suku-suku Arab yang terkenal karena gelarnya yang jorok dan menjijikan. Orang-orang Arab memilih nama dan gelaran untuk anak-anak mereka dengan nama dan gelaran yang kasar, menjijikan, dan melambangkan keganasan, perampokan bahkan penjarahan.
Salah satu langkah positif Nabi saw adalah perintah bagi pengikutnya untuk mengubah nama kota, desa dan bagian kota lainnya dengan nama yang baik. Dia juga memerintahkan suku-suku atau orang yang memilki nama jorok atau menjijikan untuk menggantinya dengan nama yang lebih baik. Kepribadian yang mulia ini berpengaruh sedemikian rupa hingga beliau bahkan memerintahkan orang tua untuk memilih nama yang indah bagi anak-anak mereka dan menganggapnya sebagai salah satu hak dan kewajiban yang harus dipenuhi  seorang Ayah.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa memanggil orang dengan nama dan gelar  yang kasar atau jorok merupakan bentuk pelanggaran hak-hak manusia dan menyebut orang yang melakukan tindakan ini sebagai seorang penindas.[2]

B.     Tafsir
1.      Tafsir Al-Mishbah
Kata (يَسۡخَرۡ) yaskhar/ memperolok-olok yaitu menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan atau tingkah laku.
Kata (قَوۡمٞ) qaum bisa digunakan untuk menunjuk sekelompok manusia. Bahasa menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat diatas menyebut pula secara khusus wanita. Memang wanita dapat saja masuk dalam pengertian qaum. Bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak kata yang menunjuk kepada laki-laki misalnya kata al-mu’minun dapat saja tercakup di dalamnya al-mu’minat/ wanita-wanita mukminah. Namun ayat di atas mempertegas penyebutan kata (نِسَآءٞ) nisa’/ perempuan karena ejekan dan “merumpi” lebih banyak terjadi di kalangan perempuan dibandingkan kalangan laki-laki.
Kata (تَلۡمِزُو) talmizu terambil dari kata al-lamz. Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata ini. Ibn Asyur misalnya memahaminya dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan.
Ayat di atas melarang melakukan al-lamz terhadap diri sendiri, sedang maksudnya adalah orang lain. Redaksi tersebut dipilih untuk mengisyaratkan kesatuan masyarakat dan bagaimana seharusnya seseorang merasakan bahwa penderitaan dan kehinaan yang menimpa orang lain menimpa pula dirinya sendiri. Di sisi lain, tentu saja siapa yang mengejek orang lain maka dampak buruk ejekan itu menimpa si pengejek, bahkan tidak mustahil ia memperoleh ejekan yang lebih buruk dari yang diejek itu.
Firman-Nya:  عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ (boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok) mengisyaratkan tentang adanya tolak ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian Allah yang boleh jadi berbeda dengan tolak ukur manusia secara umum. Memang banyak nilai-nilai yang dianggap baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau orang lain, justru sangat keliru. Kekeliruan itu mengantar mereka menghina atau melecehkan pihak lain. Padahal jika mereka menggunakan dasar penilaian yang ditetapkan Allah, tentulah mereka tidak akan menghina atau mengejek.
Kata (تَنَابَزُوا) tanabazu terambil dari kata an-Nabz yakni gelar buruk. At-tanabuz adalah saling memberi gelar buruk. Gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutam. Hal ini mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu, membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk, sehingga terjadi tanabuz.
Kata (ٱلِٱسۡمُ) al-ism yang dimaksud oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan. Dengan demikian ayat di atas bagaikan menyatakan: “Seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang mengandung makna kefasikan setelah ia disifati dengan sifat keimanan.” Ini karena keimanan bertentangan dengan kefasikan. Ada juga yang memahami kata al-ism dalam arti tanda, dan jika demikian ayat ini berarti: “Seburuk-buruk tanda pengenalan yang disandangkan kepada seseorang setelah ia beriman adalah memperkenalkannya dengan perbuatan dosa yang pernah dilakukannya.” Misalnya dengan memperkenalkan seseorang dengan sebutan si Pembobol Bank atau Pencuri dll.[3]

2.      Tafsir Al-Maragi
Allah menyebutkan bahwa tidak sepatutnya seorang mukmin mengolok-olok orang mukmin lainnya atau mengejeknya dengan celaan atau pun hinaan, dan tidak patut pula memberinya gelar yang menyakitkan hati. dan barang siapa yang tidak bertaubat setelah ia melakukan perbuatan seperti itu, maka berarti ia berbuat buruk terhadap dirinya sendiri dan melakukan dosa besar.
Diriwayatkan bahwa ayat ini turun mengenai delegasi dari Tamim. Mereka mengejek orang-orang fakir dari sahabat Nabi saw. seperti Ammar, Shuhaib, Bilal, Khabbab, Ibnu Fuhairah, Salman Al-Farisi dan Salim bekas budak Abu Huzaifah di hadapan orang-orang lain. Sebab mereka melihat orang-orang itu keadaannya compang-camping.[4]

3.      Tafsir Jalalain
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ (Hai orang-orang yang beriman, janganlah berolok-olokan), ayat ini diturunkan berkenaan dengan delegasi dari Bani Tamim sewaktu mereka mengejek orang-orang muslim yang miskin.  قَوۡمٞ (suatu kaum) yakni sebagian di antara kalian. مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ   (kepada kaum yang lain karena boleh jadi mereka yang diolok-olokan lebih baik daripada mereka yang mengolok-olokkan) di sisi Allah.وَلَا نِسَآءٞ   (dan jangan pula wanita-wanita) di antara kalian mengolok-olokan.  مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ (wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olokan lebih baik daripada wanita-wanita yang mengolok-olokkan dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri) artinya jangan kalian mencela, maka karenanya kalian akan dicela; makna yang dimaksud ialah janganlah sebagian dari kalian mencela sebagian yang lain.  وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ (dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk) yaitu janganlah sebagian di antara kalian memanggil sebagian yang lain dengan nama julukan yang tidak disukainya, antara lain seperti: Hai orang fasik, atau hai orang kafir.  بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ(seburuk-buruk nama) panggilan yang telah disebutkan di atas, yaitu memperolok-olokkan yang lain, mencela dan memanggil dengan nama julukan yang buruk.  ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ(ialah nama yang buruk sesudah iman) lafadz al-fusuq merupakan badala dari al-ismu, karena nama panggilan yang dimaksud memberikan pengertian fasik juga karena nama panggilan itu biasanya diulang-ulang. وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ(dan barang siapa yang tidak bertaubat) dari perbuatan tersebut.  فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ (maka mereka itulah orang-otrang yang zalim).[5]
C.    Aplikasi dalam kehidupan
            Cukuplah cacat dalam diri seseorang sehingga ketika dia mencoba mencari-cari kesalahan orang lain, dia sendiri melihat kesalahan yang sama pada dirinya dan tidak mengenalinya. Orang yang sibuk mencari kesalahan orang lain harus mulai melihat kesalahan diri sendiri. Orang mukmin yang satu dengan yang lainnya, mereka layaknya satu tubuh apabila penderitaan dan kehinaan yang menimpa orang lain menimpa pula dirinya sendiri.
D. Aspek Tarbawi
Jika orang mencari-cari kesalahan orang lain, dia akan menghabiskan energy yang sama dengan yang mereka gunakan dalam melihat keburukan orang lain dan mencela orang lain. Untuk memperbaiki diri, mereka perlu melihat cacat diri dan berusaha mengenali jiwa mereka sendiri .
Mencari-cari kesalahan orang lain merupakan salah satu ciri etika negatif, sedangkan membimbing orang dan menginformasikan kekurangan mereka sendiri dengan nasihat dan bimbingan yang baik merupakan salah satu tanggung jawab religius dan kemanusiaan.


BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Menurut bahasa سخر  berarti “mengejek, mencemoohkan, menghina”. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya:
a.       Merendahkan, memandang rendah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain.
b.      Menjelekkan atau memburukkan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang mengandung unsur menghina terhadap orang lain.











DAFTAR PUSTAKA

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1994. Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV. Toha Putra Semarang
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti. 2010. Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al Misbah. Jakarta: Lentera Hati
Subhani. 2003. Tadarus Akhlak: Daras Etika dalam Surah Al-Hujurat. Jakarta: Citra





















PROFIL PENULIS
                                                  

Nama : Nadia Anasia
TTL   : Pekalongan, 09 Januari 1996
Alamat : Capgawen Utara, Kedungwuni, Pekalongan
Nama Orang Tua:
Ayah : H. Imron Kholiq
Ibu    : Hj. Nafi’ah        
Riwayat Pendidikan:
SD    : SDN 04 Kedungwuni
SMP  : Mts N Buaran PKL
SMA : MAS Simbangkulon – Ponpes. Nurul Huda Banat
S1      : IAIN Pekalongan (Semester Empat )


[1] https://ibnurus.blogspot.co.id/2016/03/larangan-mencela-menurut-persifektif.html. di akses pada hari senin tanggal 1 mei 2017 pukul 19.00.
[2] Subhani, Tadarus Akhlak: Daras Etika dalam Surah Al-Hujurat, (Jakarta: Citra, 2003), hlm. 145-153.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 250-253.
[4] Ahmad Mustafa Al-Maragi. Tafsir Al-Maragi. (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 221.
[5] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), hlm. 893-894.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar