Laman

Kamis, 06 September 2018

TT B B1 (SIFAT ORANG BERILMU)


“KARAKTERISTIK ORANG BERILMU DALAM QS. FAATIR, 35:28”
(SIFAT ORANG BERILMU)
Umi Sa’adah (2117022)
Kelas: B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018


PEMBAHASAN
SIFAT ORANG BERILMU dalam QS. FAATHIR, 35:28

A.    Sifat (karakter) manusia
            Manusia adalah hasil dari proses pendidikan. Dengan mudah hal ini dapat direalisasikan manakala salah satu dari unsur-unsur pendidikan ini dikaitkan dengan petunjuk tingkah laku manusia berkenaan dengan obyek-obyek tertentu. Seperti kecenderungan pandai besi atau tukang kayu, untuk mengetahui karakteristik-karakteristik bahan material yang dihadapi dalam profesinya. Ini yang mungkin akan memberi cahaya penerang bagaimana mempercepat kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diiringi beban yang terlalu berat oleh kemajuan-kemajuan demi kebahagiaan manusia.
            Manusia yang benar-benar khalifah Allah adalah manusia yang mempunyai kondisi baik, berperangai halus. Konsep Qur’ani mengenai fitrah baik juga akan mendapatkan perhatian demi memperjelas permasalahannya. Keselarasan fithrah dengan kecenderungan-kecenderungan jasmaniah akan dijelaskan dengan rujukan kepada pengaruh roh (spirit, jiwa) yang memungkinkan bagianya dapat dididik.
Menurut al-Qur’an manusia menempati posisi istimewa dialam jagat raya ini. Makna filosofis dari istilah khalifah adalah person yang menggantikan person lain.[1]
            Salah satu kata yang digunakan dalam ayat yang menunjukkan khalifah yaitu dalam QS Al-Baqarah ayat 30 yang artinya “apakah engkau akan menjadikan makhluk yang akan membuat bencana yang membuat pertumpahan darah?”. Pertanyaan malaikat tersebut sebagai respon terhadap pernyataan pengangkatan khalifah. Manakala ditunjukkan satu kata yang lain yang menunjuk kepada Adam, maka cukup jelas intisari persoalan yang dibicarakan.
            Al-Qur’an memberi ketentuan yang tegas dan jelas, bahwa Adam tidak membuat kerusakan di muka bumi. Memang benar manakala Adam tidak mau tunduk kepada Allah dengan mendekati pohon terlarang demi kepentingan argumen hipotesis yang menyamakan antara pengingkaran Adam dengan membuat kerusakan dimuka bumi ini. Karena Adam tidak termasuk dalam pelaksanaan perusakan dan pertumpahan darah, maka perlu memperkenalkan kepada siapa saja yang dapat terlihat padanya. Penafsiran lain menghubungkan kerusakan itu kepada anak cucu Adam. Menurut tafsiran ini, malaikat telah mengetahui bahwa sebagian besar keturunan Adam nanti akan berbuat kerusakan dan juga mereka terkejut tatkala mendengar pengangkatan khalifah baru itu.
Manusia yang mampu memenuhi amanat Allah yang menjadikan kewajibannya sebagai khalifah Allah. Secara nyata manusia mempunyai kedudukan unik didunia ini. Tanggung jawabnya tidak sederhana sebagai makhluk lain.selanjutnya perbuatan manusia itu tidak sia-sia namun mempunyai tujuan. Manusia dituntut bekerja keras agar mampu mengatasi rintangan yang mungkin akan timbul. Khalifah Allah bukan berarti sekedar memimpin kehidupannya semata-mata, melainkan dia harus berada ditengah percobaan dan ujian. manusia sungguh diberi tugas mengatasi rintangan yang sulit dalam segala situasi dan kondisinya
            Sebaiknya manusia yang dianggap sebagai khalifah Allah tidak akan menjunjung tinggi tanggung jawab kekhalifahannya, kecuali dengan potensi-potensi yang memungkinkannya mampu melaksanakan tugasnya. Al-Qur’an menegaskan, manusia itu mempunyai karakter-karakter yang unik. Atribut pertama yang penting ialah manusia dilengkapi demgan fithrah yang dimiliki sejak lahir. Manusia tidak memiliki dosa warisan turun temurun.[2]


B.     Dalil sifat orang yang berilmu : takut kepada Allah SWT
            QS. Faatir, (35: 28)





Artinya : “dan iantara manusia, binatang-binatang melata, dan binatang-binatang ternak, bermacam-macaam warnanya seperti itu (pula). Sesungguhnyayang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha pengampun”.

Tafsir ayat
            Ayat ini menyatakan bahwa diantara manusia, binatang melata, dan binatang ternak, bermacam-macam juga bentuk, ukuran, jenis dan warnanya. Sebagian dari penyebab perbedaan itu dapat ditangkap maknanya oleh ilmuan dan karena sesungguhnya yang takut lagi kagum kepada Allah swt. diantara  hamba-hamba-Nya hanyalah ‘ulama atau para ilmuan.[3]
            Kata ‘ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘alim yang terambil dari akar kata yang berarti mengetahui secara jelas. Thahir ibn asyur menuliskan bahwa yang dimaksud dengan ‘ulama adalahorang-orang yang mengetahui tentang Allah dan syariat. Sebesar kadar pengetahuan tentang hal itu sebesar itu juga kadar ketakutan khasyat/takut. Adapun ilmuan dalam bidang yang tidak berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah serta pengetahuan tentang ganjaran dan balasan-Nya yakni pengetahuan yang sebenarnya, pengetahuan mereka itu tidaklah mendekatkan mereka kepada rasa takut dan kagum kepada Allah. Seorang yang alim, yakni yang dalam pengetahuannya tentang syariah, tidak akan samar baginya hakikat-hakikat keagamaan. Dia mengetahuinya dengan mantap dan memperhatikannya serta mengetahui dampak baik dan buruknya, dan dengan demikian ia akan mengerjakan atau meninggalakan satu pekerjaan berdasar apa yang dikehendaki Allah serta tujuan syariat.
            Pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “ulama” pada ayat ini adalah yang berpengetahuan agama. Bila ditinjau dari segi penggunaan bahasa arab tidaklah mutlak demikian. Siapapun yang memiliki pengetahuan, dan dalam disiplin apapun pengetahuan itu maka ia dapat dinamai “alim”. Dari konteks ini pun, kita dapat memperoleh kesan bahwa ilmu yang disandang oleh ulama itu adalah ilmu yang berkaitan dengan fenomena alam. Ulama adalah mereka yang mengenal Allah dengan pengenalan yang sebenarnya. Mereka mengenal-nya melalui hasil ciptaan-Nya, mereka menjangkau-Nya melalui dampak kuasa-Nya, serta merasakan hakikat kebesaran-Nya dengan melihat ciptaan-Nya, dari sisni maka mereka takut kepada-Nya serta bertakwa sebenar-benarnya.[4]
            Menurut kamus dewan ulama adalah orang yang ahli (pakar) dalam pengetahuan islam. banyak orang yang menganggap bahwa ulama adalah orang yang memiliki gelar Master dan Ph.D, dalam bidang  tertentu. Ternyata Allah menggunakan cara yang berbeda dalam surah faatir ayat 28 Allah menjelaskan, “hanya yang takut kepada Allah yang termasuk ulama”. Perasaan takut kepada Allah berbeda dengan perasaan takut kepada makhluk. Jika kita mungkin mengalami takut kepada harimau, singa, ular danlain-lain mungkin kita mengalami ketakutan yang sangat histeris dan ingin melarikan diri dan menghindar dari makhluk-makhluk itu. Hal ini tidak berlaku dalam konteks ketakutan kepada Allah, karena ketakutan kepada Allah justru mendorong kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Disamping itu, perasaan takut kepada Allah melahirkan sikap hati-hati, bijaksana, malu, waspada, dan halus budi dalam hidup.[5]
            Dalam Al-Qur’an kita membaca, “sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”. Dengan redaksi yang membatasi, menggunakan kata “innamaa”  ‘hanyalah’ berarti hanyalah ulama dari sekian hamba-Nya yang takut kepada Allah, yaitu mereka yang mengetahui keagungan-Nya dan memuliakan-Nya dengan semestinya. Orang-orang yang takut kepada AllahSWT akan mendapatkan ganjaran dari-Nya.[6]
             Dalam ayat ini bertemu kalimat ulama, yang berarti orang-orang yang berilmu. Dan jelas pula bahwa ilmu itu adalah luas sekali. Alam dikeliling kita sejak air hujan yang turun dari langit menghidupkan bumi yang telah mati, sampai kepada gunung-gunung yang menjulang langit sampai yang lain-lain yang disebutkan manusia, binatang melata, binatang ternak  dari berbagai warna, sungguh-sungguh menakjubkan dan meyakinkan kekuasaan Allah. Diujung ayat dijelaskan bahwa “sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha pengampun”. Maka nampaklah bahwa Allah maha perkasa, sebesar itu alam sekeliling, hanya patuh menuruti Qudrat Iradat-Nya.[7]
            Sesungguhnya Allah maha perkasa dalam memberi hukuman terhadap yang kafir kepda-Nya, dan maha pengampun atas dosa-dosa dari orang yang beriman dan taat kepada-Nya. Jadi Allah maha kuasa untuk menghukum orang-orang yang bermaksiat dan maha kuasa pula untuk memberi pahala untuk memberi pahala kepada orang yang taat atau memberi maaf pada mereka.[8]


C.     Syarat dikatakan orang berilmu
            Seseorang dikatakan berilmu apabila:
1.      Ia tau dan faham mengenai suatu disiplin ilmu
2.      Berusaha mengamalkan ilmunya
3.      Ia mampu mengaplikasikan serta menularkan ilmunya kepada orang lain
4.      Tidak sombong dengan ilmunya
5.      Bersikap tawadhu


















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdurrahman Saleh. 1994. Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta: Rineka Cipta.
Abidin, Danial Zainal. 2008. Al-Qur’an For Life Excellence. Jakarta Selatan: Mizan Publika.
Al-Maraghy, Ahmad Musthafa. 1994. Tafsir Al-Maraghiy. Semarang: Toha Putra.
Hamka.1982. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Qardhawi,Yusuf. 1998. Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal Dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gema Insani Press.
Shihab, M. Quraish. 2012. Al-Lubab: Makna, Tujuan, Dan Pelajaran Dari Surah-Surah Al-Qur’an. Tanggerang: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Penerbit Lentera Hati.

























LAMPIRAN REFERENSI






           





                     






BIODATA


















Nama                           : Umi Sa’adah
TTL                             : 11 Februari 1999
Alamat                        : Ds.kendayakan kec.warureja kab.Tegal
Riwayat Pendidikan   : SDN Kendayakan 01
MTs NU 01 Warureja
MAN Pemalang


               
           


[1] Abdurrahman Saleh Abdullah, teori-teori pendidikan berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka cipta, 1994), hlm 45-46.
[2] Abdurrahman Saleh Abdullah, Ibid.,hlm.53-56
[3] M. Quraish Shihab Al-Lubab makna, tujuan, dan pelajaran dari surah-surah Al-Qur’an” (tanggerang: lentera hati,2012), hlm.298
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-misbah, (Jakarta: penerbit lentera hati, 2002), hlm.60-62
[5] Danial Zainal Abidin, Al-Qur’an for life excellence, ( Jakarta selatan: mizan publika, 2008), hlm.34-35
[6] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an berbicara tentang akal dan ilmu pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani press, 1998). Hlm.93
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: pustaka panjimas, 1982), hlm.245

[8] Ahmad Musthafa Al-Maraghy, Tafsir Al-Maraghiy, (Semarang: Toha Putra,1994),hlm.214-215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar