Laman

Rabu, 28 September 2011

SBM (1) Kelas A



KONSEP DASAR
STRATEGI BELAJAR MENGAJAR


Disusun guna memenuhi tugas
                                    Mata Kuliah                 : Strategi Belajar Mengajar
                                    Dosen pengampu         : Muhammad Hufron, M. SI
                                   
STAIN logo polos





Disusun oleh:
Kelompok I
Kelas A
1.          Mohammad Rizki Fauzi          (202 109 047)
2.          Tri Puji Agustina                     (202 109 048)
3.          Elly agustina                           (202 109 049)
4.          Saeful Anwar                          (232 108 034)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
TAHUN 2011

BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum strategi dapat diartikan sebagai garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Apabila dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi dapat diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru-anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan.
Dalam proses belajar mengajar, dibutuhkan seorang pendidik yang mampu berkualitas serta diharapkan dapat mengarahkan anak didik menjadi generasi yang kita harapkan sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa ini. Untuk itu, guru tidak hanya cukup menyampaikan materi pelajaran semata, akan tetapi guru juga harus pandai menciptakan suasana belajar yang baik, serta mempertimbangkan pemakaian meode dan strategi dalam mengajar yang sesuai dengan materi pelajaran dan sesuai pula dengan keadaan anak didik.
Keberadaan guru dan siswa merupakan dua faktor yang sangat penting di mana diantara keduanya saling berkaitan. Kegiatan belajar siswa sangat dipengaruhi oleh kegiatan mengajar guru , karena dalam proses pembelajaran guru tetap mmempunyai suatu peran yang penting dalam memberikan suatu ilmu kepada anak didiknya.
Untuk itu, perlu adanya strategi belajar mengajar yang harus dimiliki oleh setiap guru demi mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Dan dalam makalah ini, kami akan menguraikan beberapa materi mengenai konsep dasar strategi belajar mengajar yang meliputi pengertian strategi belajar mengajar, klasifikasi belajar mengajar(di dalamnya terdapat pola-pola belajar mengajar, pendekatan belajar mengajar, dan lain-lain), serta implementasi belajar mengajar.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang mau membacanya.



BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Strategi Belajar Mengajar
Secara bahasa strategi dapat diartikan sebagai siasat, kiat, trik, atau cara. Sedangkan secara umum strategi adalah suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.[1]
Adapun strategi belajar mengajar dapat diartikan sebagai pola umum kegiatan guru-murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Atau dengan kata lain, strategi belajar mengajar merupakan sejumlah langkah yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu.
Menurut Mansyur (1991)[2], batasan belajar mengajar yang bersifat umum mempunyai empat dasar strategi, yaitu:
1.             Mengidentifikasi serta menetapkan tingkah laku dan kepribadian anak didik.
2.             Mempertimbangkan dan memilih sistem belajar mengajar yang tepat.
3.             Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar bagi peserta didik.
4.             Menetapkan norma-norma dan standar keberhasilan kegiatan belajar mengajar.
B.            Klasifikasi Strategi Belajar Mengajar
Menurut Tabrani Rusyan, dkk.,[3] terdapat berbagai masalah sehubungan dengan strategi belajar mengajar yang secara keseluruhan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.             Konsep Dasar Strategi Belajar Mengajar
Konsep dasar strategi belajar mengajar meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.              Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku.
b.             Menentukan pilihan berkenaan dengan pendekatan terhadap masalah belajar mengajar.
c.              Memilih prosedur, metode, dan teknik belajar mengajar.
d.             Menetapkan norma dan kriteria keberhasilan kegiatan belajar mengajar. 
2.             Sasaran Kegiatan Belajar Mengajar
Setiap kegiatan belajar mengajar mempunyai sasaran atau tujuan. Tujuan tersebut bertahap dan berjenjang mulai dari yang sangat operasional dan konkret, yakni tujuan instruksional khusus dan tujuan instruksional umum, tujuan kurikuler, tujuan nasional, sampai kepada tujuan yang bersifat universal.
3.             Belajar Mengajar sebagai Suatu Sistem
Sistem merupakan seperangkat komponen yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan. Belajar mengajar dikatakan sebagai suatu sistem berarti bahwa terdapat berbagai komponen yang saling bergantung satu sama lain dalam proses belajar mengajar tersebut, seperti tujuan, bahan, siswa, guru, metode, situasi, dan evaluasi. Agar tujuan tersebut tercapai, maka semua komponen yang ada harus diorganisasikan dengan baik sehingga antara komponen satu dengan komponen lainnya dapat terjalin kerja sama.
4.             Hakikat Proses Belajar Mengajar
Menurut M. Sobry Sutikno dalam bukunya Menuju Pendidikan Bermutu (2004)[4], mengartikan belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan menurut C.T. Morgan dalam bukunya Introducing to Psychology (1962) merumuskan belajar sebagai suatu perubahan yang relatif dalam menetapkan tingkah laku sebagai akibat atau hasil dari pengalaman yang baru.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar pada hakikatnya adalah “perubahan” yang terjadi di dalam diri seseorang setelah melakukan aktivitas tertentu. Dalam belajar yang terpenting adalah proses bukan hasil yang diperolehnya. Artinya, belajar harus diperoleh dengan usaha sendiri, adapun orang lain itu hanya sebagai perantara atau penunjang dalam kegiatan belajar agar belajar itu dapat berhasil dengan baik.
Sedangkan mengajar merupakan suatu proses yang kompleks. Tidak hanya sekedar menyampaikan informasi dari guru kepada siswa saja, melainkan banyak kegiatan maupun tindakan yang harus dilakukan (Muhammad Ali, 1992).
Bohar Suharto (1997) mendefinisikan mengajar sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur (mengelola) lingkungan sehingga tercipta suasana yang sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan peserta didik sehingga terjadi proses belajar yang menyenangkan. Sementara Oemar Hamalik (1992) mendefinisikan mengajar sebagai proses menyampaikan pengetahuan dan kecakapan kepada siswa. Dalam pengertian yang lain, juga dijelaskan bahwa mengajar adalah suatu aktivitas profesional yang memerlukan keterampilan tingkat tinggi dan menyangkut pengambilan keputusan (Davies, 1991).
Jadi dalam keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar dan mengajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Hal ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar mengajar dirancang dan dijalankan secara profesional.        
5.             Entering Behavior Siswa
Entering behavior siswa merupakan suatu keadaan dimana guru dapat mengetahui tingkat dan jenis karakteristik perilaku anak didik yang telah dimilikinya ketika mau mengikuti kegiatan belajar mengajar. Menurut Abin Syamsudin,[5] entering behavior dapat diidentifikasikan dengan cara:
a.              Secara tradisional, yaitu guru memberikan sejumlah pertaanyaan kepada peserta didik mengenai bahan yang pernah diberikan sebelum menyajikan bahan baru.
b.             Secara inovatif, yaitu guru memberikan pre-test kepada peserta didik sebelum memulai program belajar mengajar.
Gambaran tentang entering behavior ini dapat membantu guru dalam hal-hal sebagai berikut:
a.              Mengetahui seberapa jauh kesamaan individual siswa dalam taraf kesiapannya (readiness), kematangan (maturation), serta tingkat penguasaan (matery) pengetahuan serta keterampilan dasar.
b.             Guru dapat memilih bahan, prosedur, metode, teknik, serta alat bantu belajar mengajar yang sesuai.
c.              Guru dapat mengetahui seberapa jauh dan seberapa banyak perubahan perilaku peserta didik  dengan membandingkan nilai pre-test dengan nilai-nilai hasil pasca-test.
6.             Pola-pola Belajar Siswa
Robert M. Gagne membedakan pola-pola belajar siswa ke dalam delapan tipe, di mana yang satu merupakan prasarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya. Tipe-tipe belajar tersebut adalah sebagai berikut:[6]
a.             Belajar Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat)
Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Sehingga tidak menuntut persyaratan, namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk tipe belajar yang paling tinggi. Signal Learning merupakan proses penguasaan pola-pola dasar perilaku yang bersifat involuntary (tidak sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini melibatkan aspek emosional di dalamnya, seperti diberikannya stimulus (signal) tertentu sehingga peserta didik dapat merespons signal tersebut.
b.             Belajar Tipe 2: Stimulus Respons Learning (Belajar Stimulus Respons)
Dalam tipe belajar ini memerlukan kondisi inforcement. Waktu antara simulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat reinforcementnya.
c.              Belajar Tipe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian)
Chainning adalah belajar menhubungkan satuan ikatan S-R (Stimulus-Respons) yang satu dengan yang lain. Kondisi yang diperlukan dalam berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan , pengulangan, dan reinforcement juga penting. Chainning terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi. Contoh dalam bahasa kita sering menggunakan rangkaian kata seperti selamat-tinggal, kampung-halaman, makan malam, dan sebagainya.
d.             Belajar Tipe 4: Verbal Assosiation (Asosiasi Verba)
Belajar tipe ini setaraf dengan belajar tipe chainning, yaitu sama-sama menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan yang lain.
e.              Belajar Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)
Discrimination learning atau belajar mengadakan pembeda. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respons yang dianggap paling sesuai.
f.               Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)
Concept learning adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, maka dapat membentuk suatu pengertian atau konsep, kondisi utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental berikutnya. Proses ini memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur. 
g.             Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)
Rule learning merupakan belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Belajar tipe ini banyak terdapat dalam pelajaran di sekolah. Banyak aturan yang perlu dikuasai oleh setiap orang yang terdidik, dan aturan tersebut terdapat dalam tiap mata pelajaran. Misalnya benda yang dipanaskan memuai, angin berhembus dari daerah maksimum ke daerah minimum, dan sebagainya.
h.             Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini peserta didik merumuskan dan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik, dengan mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya.
7.             Memilih Pendekatan Belajar Mengajar
Para ahli teori belajar telah mencoba mengembangkan berbagai pendekatan atau sistem pengajaran atau proses belajar mengajar sebagai berikut:
a.             Enquiry Discovery Learning
 Dalam sistem belajar mengajar ini, guru tidak menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk final, tetapi anak didik diberi peluang untuk mencari dan menemukan sendiri dengan mempergunakan tehnik pendekatan pemecahan masalah. Secara garis besar, prosedurnya adalah:
1.             Simulation. Guru memulai proses belajar mengajar dengan bertanya, mengajukan persoalan, atau menyuruh peserta didik membaca atau mendengarkan uraian yang  memuat permasalahan.
2.             Problem  Statement. Anak didik yang diberi kesempatan mengidentifikasikan berbagai permasalahan, sebagian besar memilihnya yang dipandang paling menarik dan fleksibel untuk dipecahkan, selanjutnya harus dirumuskan  dalam bentuk pertanyaan atau hipotesis( jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan).
3.             Data collection (mengumpulkan data). Untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis ini, siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, melakukan wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri, dan sebagainya
4.             Data processing ( mengolah data ). Semua informasi hasil bacaan, wawancara, diolah, diobservasi, serta diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu.
5.             Verification. Berdasarkan hasil pengolalahan informasi yang ada, pertanyaan, atau hipotesis terdahulu dicek, apakah terbukti atau tidak.
6.             Generalation. Tahap selanjutnya berdasarkan hasil vertifikasi tadi, siswa belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu.
Sistem belajar yang dikembangkan Burner ini menggunakan landasan pemikiran belajar mengajar. Hasil belajar dengan sistem ini lebih mudah dihafal dan diingat, mudah ditransfer untuk memecahkan masalah.
Pendekatan belajar mengajar ini sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognitif. Kelemahannya adalah memakan waktu yang cukup banyak, dan kalau kurang terpimpin atau kurang terarah dapat menjurus kepada kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari.
b.             Ekspository Learning
Dalam sistem ini, guru menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk yang telah dipersiapkan secara rapi, sistematis, dan lengkap sehingga anak didik hanya menyimak dan mencernanya saja secara tertib dan teratur. Secara garis besar, prosedur ini adalah:
1.             Preparasi. Guru menyiapkan bahan selengkapnya secara sistematis dan rapi.
2.             Apersepsi. Guru bertanya atau memberikan uraian singkat  untuk mengarahkan perhatian anak didik kepada materi yang akan diajarkan.
3.             Presentasi. Guru menyajikan bahan dengan cara memberikan ceramah atau menyuruh siswa membaca bahan yang telah disiapkan dari buku teks tertentu atau yag ditulis guru sendiri.
4.             Resitasi. Guru bertanya dan anak didik menjawab sesuai dengan bahan yang dipelajari, atau anak didik disuruh menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri tentang pokok masalah-masalah yang telah dipelajari, baik yang dipelajari secara tulisan maupun lisan.
Keuggulan strategi pembelajaran ekspositori, antara lain:[7]
·                Lebih mudah mengontrol urutan dan keluasan materi pelajaran, sehingga dapat mengetahui sampai sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan.
·                SPE sangat efektif, bila materi pelajaran cukup luas sementara waktu terbatas.
·                Melalui SPE selain siswa dapat mendengar suatu materi pelajaran , juga dapat melihat atau mengobservasi ( melalui demonstrasi ).
·                SPE bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.
Sedangkan kelemahan strategi pembelajaran ekspositori adalah sebagai berikut:
·                SPE hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik.
·                SPE tidak dapat melayani perbedaan setiap individu.
·                Karena SPE memberikan materi melalui ceramah maka akan sulit mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan internasional, serta kemampuan berpikir kritis.
·                Keberhasilan SPE sangat tercapai kepada yang dimiliki guru.
c.               Mastery Learning
Salah satu cara untuk mengadaptasi keberagaman belajar adalah dengan melakukan apa yang disebut dengan mastery learning yaitu sebuah sistem pembelajaran yang menekankan pada perolehan tujuan pembelajaran oleh semua siswa dengan memberikan kebebasan atau variasi waktu.
Konsep dasar dari mastery learning adalah membantu semua atau kebanyakan peserta didik untuk menguasai keterampilan khusus yang level penguasaanya telah ditetapkan sebelumnya, sebelum peserta didik melanjutkan ke keterampilan selanjutnya.
Permasalahan yang biasanya muncul dalam mastery learning adalah bagaimana cara memberikan waktu tambahan untuk pembelajaran. Dalam beberapa penelitian mastery learning, waktu tambahan untuk pembelajaran ini diberikan seusai jam pelajaran yang ditetapkan dan ada juga alternatif yang dapat dipakai untuk menambah jam pelajaran selama waktu pembelajaran. Setiap siswa diwajibkan melewati fase mastery criterion yaitu tingkatan standart tertentu yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Siswa yang gagal memenuhi standart tersebut nantinya akan diberikan corrective instruction yaitu pemebelajaran yang diberikan kepada siswa yang gagal menguasai atau memenuhi tujuan pembelajaran. Pembelajaran ini bertujuan meningkatkan penguasaan siswa pada tujuan pembelajaran tersebut sehingga ia dapat mencapai standart yang telah ditetapkan.
Block dan Anderson dalam Slavin (1994) , mengembangkan model mastery learning sebagai berikut:
Ø   Melakukan orientasi ke penguasaan tugas belajar (mastery leaarning),
Ø   Menyampaikan materi pelajaran,
Ø   Memberikan kuis formatif (evaluasi yang dilakukan untuk menentukan apakah perlu dilakukan pembelajaran tambahan atau tidak),
Ø   Memberikan corrective instruction (untuk yang belum mencapai taraf penguasaan tertentu berdasarkan hasil kuis formatif yang sudah dilakukan) atau enrichment activities (untuk yang sudah mencapai taraf penguasaan yang ditetapkan),
Ø   Memberikan kuis sumatif (tes akhir dari tujuan pembelajaran).

Hasil-hasil penelitian tentang mastery learning menunjukkan bahwa:
ü   Mastery learning dapat menjadi efektif bila ada waktu di luar waktu pembelajaran.
ü   Mastery learning dapat membantu guru untuk dapat mengetahui tujuan pembelajaran dengan lebih jelas, penilaian yang terus menerus, dan modifikasi pembelajaranberdasarkan kemajuan belajar.
ü   Mastery learning akan menjadi lebih efektif bila diajarkan untuk level yang lebih tinggi dari keterampilan yang disajikan.[8]
C.           Implementasi Belajar Mengajar
Proses belajar mengajar adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang diorganisasi. Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan tujuan pendidikan. Pengawasan itu turut menentukan lingkungan dalam membantu kegiatan belajar mengajar untuk menciptakan suasana belajar yang efektif dan efisien serta menyenangkan. Salah satu faktor yang mendukung kondisi belajar di kelas adalah job description proses belajar mengajar yang berisi serangkaian pengertian peristiwa belajar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok siswa. Sehubungan dengan hal ini, job description guru dalam implementasi proses belajar mengajar adalah:
1.             Perencanaan instruksional.
2.             Pengorganisasian belajar.
3.             Penggerak atau motivasi bagi peserta didik.
4.             Supervisi dan pengawasan.
5.             Penelitian untuk menafsirkan kemampuan peserta didik.
Sedangkan upaya-upaya yang diusahakan untuk menganalisis proses pengelolaan belajar mengajar meliputi:
a.              Perencanaan
b.             Pengorganisasian
c.              Pengarahan
d.             Pengawasan

BAB III
PENUTUP
1.             KESIMPULAN
Strategi pembelajaran sangat penting untuk tercapainya peningkatan mutu pendidikan. Ada bermacam-macam jenis strategi pembelajaran seperti strategi pembelajaran inquiry, ekspository, maupun mastery learning. Namun tidak semua strategi pembelajaran cocok digunakan untuk mencapai semua tujuan dan semua keadaan. Setiap strategi memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Oleh kareana itu dalam memilih strategi guru harus mampu memilih strategi yang dianggap sesuai dengan keadaan. Untuk itu ada beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan seperti tujuan, aktivitas, individualitas, dan integritas. Sehingga dengan pemilihan strategi pembelajaran yang tepat diharapkan terwujudnya proses pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif.
2.             DAFTAR PUSTAKA

Djamaroh, Syaiful Bahri., Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Fathurrohman, Pupuh., Sobry Sutikno. 2009. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: PT Rifeka Aditama.
             





[1] Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar (Bandung: PT Adika Raditama, 2009), hlm. 3
[2] Ibid., hlm. 3
[3]Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), hlm. 8
[4] Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno, op,cit., hlm. 5
[5] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, op.cit., hlm. 11
[6] Ibid., hlm. 13

1 komentar: