MAKALAH
MASJID SEBAGAI MADRASAH
Di susun untuk memenuhi tugas
Di susun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah : Hadis Tarbawi II
Dosen pengampu : M. Ghufron Dimyati,M.S.I.
Di Susun Oleh:
RAHMAWATI
NIM. 2021111092
Kelas C
JURUSAN TARBIYAH
/ PAI
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) PEKALONGAN
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Masjid
merupakan suatu bangunan atau tempat yang diperuntukkan keberadaannya untuk
beribadah kepada Allah dan bersujud kepada-Nya ditempat itu walaupun
sebenarnya, islam membolehkan sholat diseluruh bagian bumi, kecuali pada tempat
yang sudah jelas-jelas ada najisnya.
Namun
keberadaan masjid tidak hanya diperuntukkan untuk sholat (mengingat Allah),
akan tetapi mempunyai banyak peranan dan fungsi seperti halnya pada masa
Rasulullah masjid digunakan sebagai tempat bermusyawarah, sebagai pusat
pendidikan dan memberi fatwa, sebagai tempat pengadilan, dan sebagainya.
Selain
itu, dalam makalah ini juga disebutkan bahwa seorang ahli ilmu ketika
mendapatkan kesempatan berbicara berdasarkan nash dan ia tidak berhak berbicara
berdasssarkan pendapatnya pribadinya dan analogi.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. HADITS KE-10
A. Hadits
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ : جَا ءَتْ
اِمْرَأَةٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَا لَتْ: يَا رَسُوْلُ اللهِ, ذَهَبَ الرَّ جَالُ
بَحَدِيْثِكَ, فَاجْعَلْ لَنَا مِنْ نَفْسِكَ يَوْمًا نَأْتِيْكَ فِيْهِ
تُعِلَّمُنَا مِمَّا عَلَّمَكَ اللهُ. فَقَالَ: اِجْتَمِعْنَ فِي يَوْمِ كَذَا
وَكَذَا فِي مَكَانَ كَذَا وَكَذَا. فَا جْتَمَعْنَ. فَأَتَا هُنَّ رَسُوْلُ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَّمّهُنَّ مِمَّا عَلَّمّهُ اللهُ ثُمَّ قَالَ: مَا
مِنْكُنَّ اِمْرَأَةٌ تَقَدَّمَ بَيْنَ يَدَيْهَا
مِنْ وَلَدِهَا ثَلاَثَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهَا حِجَا بًا مِنَ النَّارِ.
فَقَالَتْ اِمْرَأَةٌ مِنهُنَّ. يَا رَسُوْلَ اللهِ اِثْنَيْنِ؟ قَالَ: فَأَ عَا
دَتْهَا مَرَّتَيْنِ ثُمَّ قَالَ: وَاثْنَيْنِ, وَاثْنَيْنِ.
B. Terjemahan
Dari Abu Said,
“ seseorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW lalu berkata, ‘Wahai
Rasulullah, kaum laki-laki telah pergi dengan haditsmu. Tetapkanlah untuk kami
atas kemauanmu suatu hari yang kami datang padamu di hari itu, agar mengajarkan
kepada kami apa yang diajarkan Allah kepadamu’. Beliau bersabda, ‘Berkumpulah
pada hari ini dan itu, di tempat ini dan itu’. Maka mereka pun berkumpul. Lalu
Rasulullah SAW datang menemui mereka dan mengajarkan kepada mereka apa yang
diajarkan Allah kepadanya. Setelah itu beliau bersabda,’ Tidak ada seorang
perempuan pun di antara kalian yang ditinggal mati tiga orang anaknya,
melainkan anaknya itu penghalang bagi ibunya dari neraka’. Seorang perempuan di
antara mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan dua orang?’ beliau
bersabda, ‘Dan dua orang, dan dua orang, dan dua orang’.”[1]
C.
Mufrodad
الرَّ جَالُ Kaum laki-laki :
بَحَدِيْثِكَ Haditsmu :
فَاجْعَلْ
Tetapkanlah :
تُعِلَّمُنَا Mengajarkan :
نَفْسِكَ
Kemauanmu :
D.
Biografi Perawi
Abu Sa’id
Al-Khudri mempunyai nama lengkap Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Khudri
Al-Khazraji Al-Anshari. Ayahnya bernama Malik bin Sinan, syahid dalam perang
Uhud. Ia seorang Khudri, yang sanadnya bersambung dengan khudrah bin Auf
Al-Harits bin Khazraj, yang terkenal dengan julukan “Abjar”.[2]
Abu Sa’id
al-Khudri adalah salah seorang di antara para sahabat yang melakukan bai’at
kepada Rasulullah saw. Mereka berikrar tidak akan tergoyahkan oleh cercaan
orang dalam memperjuangkan agama Allah. Tergabung dalam kelompok ini antara
lain Abu Dzarr al-Ghifari, Sahl bin Sa’ad, Ubadah bin ash-Shamit, dan Muhammad
bin Muslimah. Abu Sa’id bersama Rasulullah saw dalam perang Bani Musthaliq,
perang Khandaq, dan perang-perang sesudahnya. Secara keseluruhan, ia mengikuti
12 kali dalam peperangan di jalan Allah.[3]
Abu Sa’id
termasuk salah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits Nabi saw. Ia
menerima hadits dari Nabi 1170 hadits, 43 hadits diseBukhari dan Muslim, 26
hadits diriwayatkkan Bukhari sendiri dan 52 hadits oleh Muslim sendiri.[4]
Riwayatnya dari
para sahabat lain banyak sekali. Namun, sumber yang paling terkenal adalah
bapaknya sendiri Malik bin Sinan, saudaranya seibu Qatabah bin an-Nu’man, Abu Bakar,
Umar,Utsman, Ali, Abu Musa al-Asy’ari, Zid bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam.
Orang yang
meriwayatkan darinya adalah anaknya sendiri Abdurrahman, istrinya Zainab binti
Ka’ab bin Ajrad, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abu Thufail, Nafi dan
Ikrimah.
Abu Sa’id
membawa putranya, Abdurrahman, ke tanah pemakaman Baqi’ dan berpesan agar ia nanti dimakamkan di bagian yang jauh
dari tempat itu. Katanya: “Wahai anakku, apabila aku meninggal dunia kelak,
kuburkanlah aku di sana. Janganlah engkau buatkan tenda untukku, jangan engkau
mengiringi jenazahku dengan membawa api, jangan engkau tangisi aku dengan
meratap-ratap, dan jangan memberitahu seorangpun tentang diriku.”
Abu Sa’id
al-Khudri, zuhud yang ahli ibadah, alim lagi pengamal ilmu, wafat pada tahun 74
H.[5]
E.
Keterangan
Hadits
Hadits ini
menjelaskan bahwa Nabi SAW mengajarkan umatnya, baik laki-laki maupun
perempuan, tentang apa yang diajarkan Allah kepadanya, tidak berdasarkan
pendapat pribadi dan perumpamaan. Al-Muhallab berkata, “maksudnya, apabila
seorang ahli ilmu mendapat kesempatan untuk berbicara berdasarkan nash, maka
dia hendaknya tidak berbicara berdasarkan pendapat pribadinya dan analogi.”
Maksud “perumpamaan” adalah qiyas, yaitu menetapkan hukum serupa yang
diketahui, pada perkara lain karena kesamaan keduanya dalam illat (sebab) suatu
hukum.
Imam Bukhari
menyebutkan hadits Abu Sa’id tentang perkataan seorang perempuan, ذَهَبَ الرَّ
جَالُ بَحَدِيْثِكَ (Kaum laki-laki telah pergi dengan haditsmu), lalu di
dalamnya disebutkan, فَعَلَّمّهُنَّ مِمَّا عَلَّمّهُ اللهُ فَأَتَا هُنَّ (Beliau kemudian datang menemui
mereka dan mengajari mereka apa yang diajarkan Allah kepadanya), di
dalamnya juga disebutkan, مَا مِنْكُنَّ اِمْرَأَةٌ تَقَدَّمَ
بَيْنَ يَدَيْهَا مِنْ وَلَدِهَا
ثَلاَثَةٌ (Tidak ada seorang perempuan pun di antara kalian yang
ditinggal mati tiga orang anaknya).
جَا ءَتْ اِمْرَأَةٌ
(Seorang
perempuan datang). Saya belum menemukan keterangan tentang namanya. Mungkin
saja dia adalah Asma’ binti Yazid bin As-Sakan.
فَأَتَا هُنَّ رَسُوْلُ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَعَلَّمّهُنَّ مِمَّا عَلَّمّهُ اللهُ (Beliau
kemudian datang menemui mereka dan mengajari mereka apa yang diajarkan Allah
kepadanya). Di tempat tersebut disebutkan, فوعدهن يوما لقيهن فيه فوعظهن وأمرهن
فكا ن فيماقالهن
(Beliau
kemudian menjanjikan kepada mereka suatu hari untuk menemui mereka. Beliau
lalu menasehati mereka dan memerintahkan mereka. Maka di antara apa yang beliau
katakan kepada mereka).
Al Karmani berkata, “Hubungan judul bab
dengan hadits terdapat pada redaksi, لَهَا حِجَا بًا
مِنَ النَّارِ كُنَّ (Mereka itu
menjadi penghalang bagi ibunya dari api neraka), karena ini adalah urusan
hanya dikatahui berdasarkan wahyu dari Allah dan tidak ada ruang bagi analogi
dan pendapat.”[6]
F. Aspek Tarbawi
Dari uraian dan keterangan hadits
di atas dapat kita ambil aspek tarbawi yaitu bahwa masjid tidak hanya digunakan
sebagai tempat beribadah dan mengingat Allah, namun masjid juga dapat dijadikan
sebagai madrasah tempat untuk belajar mengajar dan mengkaji ilmu pengetahuan
atau yang berkaitan dengan lembaga pendidikan.
Selain itu, dalam proses belajar
mengajar. Seorang pendidik dalam mengajar tentang apa yang diajarkan Allah
kepadanya, haruslah berdasarkan nash al-Qur’an bukan berdasarkan
pendapat-pendapat pribadinya dan analogi
atau perumpamaaan.
2. HADITS KE-11
A. Hadits
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَا: حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ قَالَ: حَدَّثَنَا مُغِيرَةُ بْنُ زِيَادٍ الْمَوْصِلِيُّ، عَنْ عُبَادَةَ
بْنِ نُسَيٍّ، عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ ثَعْلَبَةَ، عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ،
قَالَ: عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ الْقُرْآنَ وَالْكِتَابَةَ،
فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا، فَقُلْتُ: لَيْسَتْ بِمَالٍ،
وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهَا، فَقَالَ) : إِنْ
سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا(
B. Terjemahan
Ali bin Muhammad berkata Muhammad
bin Ismail berkata Mughirah bin Ziyad Maushili dari Ubadah bin Nusa’i dari
Aswad bin Tsa’labah dari Ubadah bin Shamit berkata “Saya mengajarkan
orang-orang dari ahlus shuffah al-Qur’an
dan tulis menulis, maka seorang dari mereka menunjukkan busur panah. Kemudian
saya berkata tidak ada bernilai (busur panah itu) maka saya memanah dengan
busur itu dijalan Allah. Kemudian saya bertanya itu kepada Rasulullah SAW
tentang hal ini. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Jika kamu menyembunyikannya
(tidak menggunakan busur itu dijalan Allah) maka akan di kalungkan kepadanya
kalung dari api neraka, maka ambillah pelajaran dari hal itu.
C. Mufrodad
عَلَّمْتُ Saya
mengajarkan :
أَهْلِ
الصُّفَّةِ الْقُرْآنَ Ahlus
shuffah al-Qur’an :
قَوْسًا Busur :
وَأَرْمِي Memanah :
D. Biografi Perawi
Nama sebenarnya Abu Abdullah
Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini dari desa Qazwin, Iran. Lahir
tahun 209 dan wafat tahun 273. Beliau adalah muhaddits ulung, mufassir dan
seorang alim. Beliau memiliki beberapa karya diantaranya adalah Kitabus Sunan,
Tafsir dan Tarikh Ibnu Majah.
Ia melakukan perjalanan ke berbagai
kota untuk menulis hadits, antara lain Ray, Basrah, Kufah, Baghdad, Syam, Mesir
dan Hijaz.
Ia menerima hadit dari guru gurunya
antara lain Ibn Syaibah, Sahabatnya Malik dan al-Laits. Abu Ya’la berkata,” Ibnu
Majah seorang ahli ilmu hadits dan mempunyai banyak kitab”.
Beliau menyusun kitabnya dengan
sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan 1500 bab dan jumlah
haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi menghitung
ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini berisikan
hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi
mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah
walaupun disanggah oleh as-Suyuthi.
Ibnu Katsir berkata,” Ibnu
Majah pengarang kitab Sunan, susunannya itu menunjukan keluasan ilmunya dalam
bidang Usul dan furu’, kitabnya mengandung 30 Kitab; 150 bab, 4.000 hadits,
semuanya baik kecuali sedikit saja”.
Al-Imam al-Bushiri (w. 840) menulis
ziadah (tambahan) hadits di dalam Sunan Abu Dawud yang tidak terdapat
di dalam kitabul khomsah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu
Dawud, Sunan Nasa’i dan Sunan Tirmidzi) sebanyak 1552 hadits di dalam kitabnya Misbah
az-Zujajah fi Zawaid Ibni Majah serta menunjukkan derajat shahih, hasan,
dhaif maupun maudhu’. Oleh karena itu, penelitian terhadap hadits-hadits di
dalamnya amatlah urgen dan penting.
Ia wafat pada tahun 273 H.[7]
E. Keterangan Hadits
Pada lafadz إِنْ
سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah memberikan pengertian tentang hukum seseorang
menerima upah dalam mengajarkan Al-Qur’an dan dalam hadits tersebut menunjukkan
larangan mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur’an. Akan tetapi hal tersebut terdapat
perbedaan antara ulama.
Pendapat yang rajih/kuat/benar karena dalilnya dan istinbath-nya (penyimpulan
dalilnya) lebih rasional, adalah pendapat halalnya menerima dan mengambil upah
dari mengajarkan Islam, namun tetap diharamkan meminta maupun mengharap upah atas
mengajarkan Islam atau membaca (melantunkan) Al-Qur`an.
Dalam Mausu'ah Al-Manahiy Asy-Syar'iyyah fi Shahih As-Sunnah
An-Nabawiyyah ( halaman 212-216, Dar Ibnu 'Affan, Kairo, 1420), Asy-Syaikh
Salim bin 'Id Al-Hilali menjelaskan, hadits-hadits ini menunjukkan haramnya
mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur`an, dan haram mencari makan darinya.
Namun, jumhur ahli ilmu membolehkan mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur`an.
Mereka berdalil dengan hadits pemimpin suku yang tersengat binatang berbisa
lalu diruqyah oleh sebagian sahabat dengan membacakan surat Al-Fatihah kepadanya.
Kisah ini diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dalam riwayat
lain dari 'Abdullah bin 'Abbas, disebutkan bahwa Rasulullah berkata,
"Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil upah darinya adalah
kitab Allah." Kesimpulannya, lanjut Asy-Syaikh Salim, hadits-hadits di
atas jelas menunjukkan larangan mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur`an dan
memperoleh harta darinya.
Setelah menafsirkan ayat ke 20 dan 21 dari surah Yasin, Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin berkata, "Jika mengajar, yang seorang itu
membutuhkan waktu, tenaga, fikiran, kelelahan, tidak apa-apa dia mengambil upah
dengan dasar hadits Nabi, "Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian
ambil upah darinya adalah Kitab Allah."
Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wa Al-Mafaqqih 2/347, (yang
ditahqiq 'Adil bin Yusuf Al-‘Azazi) menjelaskan, kalau seorang da'i tidak
mempunyai mata pencaharian yang memadai, dan waktunya habis untuk mengajar dan
berda'wah, maka diperbolehkan menerima upah. Dan kepada ulil amri (penguasa,
pemerintah) selayaknya memberikan imbalan yang setimpal, karena dia mengajarkan
kaum muslimin.[8]
F. Aspek Tarbawi
Dari hadits tersebut dapat kita
ambil aspek tarbawi yaitu bahwa menurut jumhur ulama, menerima upah
dari mengajarkan Al Qur`an dan berda’wah adalah diperbolehkan, namun
menjadikannya sebagai tujuan untuk mendapatkan ma’isyah (mata pencaharian)
adalah terlarang.
Meskipun menerima dan mengambil harta dari
mengajarkan Islam hukumnya halal, akan tetapi dalam mengajarkan Islam harus
ikhlas hanya karena Allah dan hanya berharap upah dari Allah. Dengan
dihalalkannya perkara ini, perkara ini menjadi ujian keikhlasan para juru da'wah.
Bisa jadi sang juru da'wah bisa lulus dari ujian ini. Namun ada pula juru
da'wah yang menjadi tidak ikhlas karena diperbolehkannya mengambil harta dari
mengajarkan Islam. Apalagi di zaman seperti ini, zaman yang kata orang susah mencari
uang. Maka "profesi" ustadz lah yang menjadi cara jitu mendapatkan
harta dengan cara yang mudah. Padahal beramal dengan tujuan mendapatkan
kenikmatan dunia hukumnya haram.
BAB III
PENUTUP
Masjid adalah tempat yang digunakan
untuk beribadah kepada Allah dan bersujud kepada-Nya. Selain untuk beribadah
dan bersujud kepada Allah, masjid juga dapat dijadikan sebagai lembaga
pendidikan seperti halnya madrasah yang dimanfaatkan untuk proses belajar mengajar. Hal tersebut telah
dilakukan sejak zaman Rasulullah saw dimasjid nabawi dimadinah, yang mana
masjid tersebut mempunyai peranan yang beraneka ragam yaitu sebagai tempat
beribadah, sebagai tempat bermusyawarah, sebagai pusat pendidikan, dan lain
sebagainya.
Adapun seorang pendidik dalam
menyampaikan materi haruslah berlandaskan pada nash yaitu Al-Qur’an dan hadits
serta hasil ijtihad para imam madzhab bukan berdasarkan pendapat pribadi dan
analogi.
Selain itu terlarangnya menuntut upah
dalam mengajarkan al-Qur’an berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Hajar Al Asqalani,
Al Imam Al Hafiz. 2009. Fathul Baari 36 penjelasan Shahih Bukhari,
(edisi terjemahan oleh Amruddin). Jakarta: Pustaka Azzam
Ali Fayyad, Mahmud.
1998. Metodologi Penetapan Keshahihan Hadits. Bandung: Pustaka Setia
Ash-Shalih, Subhi. 2002.
Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus
Ibnu Majah, dalam Biografi
Ulama Ahlus Sunnah Vol.1
[1] Ibnu
Hajar Al Asqalani,Al Imam Al Hafizh, Fathul Baari penjelasan Shahih Bukhari
36, penerjemah Amruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 168-169
[2] Mahmud
Ali Fayyad, Metodologi Penetapan Kashahihan Hadits (Bandung: Pustaka
Setia, 1998), hlm. 117
[8] Brilly
El-Rasheed, dalam pdf Haramkah Upah Da’wah?
(quantumfiqih.wordpress.com), hlm. 5
Nama : Dewi Suryani
BalasHapusNIM : 2021 111 093
Assalamu'alaikum wr. wb
Mb Rahma saya mau tanya, bahwa masjid digunakan sebagai madrasah Namun ada pula juru da'wah yang menjadi tidak ikhlas karena diperbolehkannya mengambil harta dari mengajarkan Islam. Apalagi di zaman sekarang, zaman yang kata orang susah mencari uang. Maka "profesi" ustadz lah yang menjadi cara jitu mendapatkan harta dengan cara yang mudah. Padahal beramal dengan tujuan mendapatkan kenikmatan dunia hukumnya haram.???...
Yang ingin saya tanyakan bahwa masjid itu digunakan untuk mencari uang dengan cara paksa, sebagai contoh tiap hari kamis wajib bayar SPP ( kemisan ) ditargetkan 5000 jika yang tidak bayar tiap harinya diungkit2 terus, lalu menurut Anda bagaimana jika ada pengajar yang seperti ini, Apakah itu halal tolong jelaskan???
Wa'alaikum salam Wr.Wb....
HapusTerima kasih untuk pertanyaannya.
jika pembayaran itu dengan cara paksa jelas haram yaa mba,, tapi jika uang itu digunakan untuk biaya operasional, saya rasa tidak apa-apa.. karena katakanlah dalam proses belajar mengajar/ mengaji pasti dibutuhkan sarana dan prasarana, misalnya saja membeli buku atau yang lainnya.
terima kasih...
Chabibah Illiyin (2021111117)
BalasHapusAssalamualaikum......
Pertanyaan:
1. Dalam keterangan hadits yang pertama disebutkan bahwa pabila seorang ahli ilmu mendapat kesempatan untuk berbicara berdasarkan nash, maka dia hendaknya tidak berbicara berdasarkan pendapat pribadinya dan analogi, yang saya pertanyakan pendapat pribadi dan analogi yang tidak boleh di bicarakan itu yang seperti apa?
2. Selanjutnya, dalam keterangan hadist yang kedua disebutkan "Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil upah darinya adalah kitab Allah." Kesimpulannya, lanjut Asy-Syaikh Salim, hadits-hadits di atas jelas menunjukkan larangan mengambil upah dari mengajarkan Al-Qur`an dan memperoleh harta darinya, dari dua pernyataan tersebut adakah keterkaitannya atau malah saling bertolak belakang, mohon untuk di jelaskan kembali?
Terimakasih
W'alaikum salam Wr.Wb..
HapusTerimakasih untuk pertanyaannya..
Apabila seorang ahli ilmu mendapat kesempatan untuk berbicara berdasarkan nash, maka dia hendaknya tidak berbicara berdasarkan pendapat pribadinya dan analogi. Pendapat pribadi dan analogi yang tidak boleh adalah pendapat yang tidak sesuai dengan nash atau yang jawabannya sudah ada dalam Al-Qur'an dan Hadits.
Jumhur ahli ilmu membolehkan mengambil upah dari mengajar Al-Qur'an dengan dasar "Sesungguhnya perkara yang paling berhak kalian ambil upahnya adalah Kitabullah." dan hadits pemimpin suku yang tersengat binatang berbisa lalu diruqyah oleh sebagian sahabat dengan membacakan surat Al Fatihah kepadanya
Mereka menjawab hadits-hadits yang disebutkan di atas sebagai berikut:
- Mengambil upah diharamkan apabila diminta dan mencari penghormatan diri.
- Hadits-hadits di atas tidak terlepas dari cacat dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
- Larangan tersebut telah dimansukhkan (dihapus) hukumnya.
Namun Asy- Syaikh Salim, Setelah diteliti lebih dalam, maka jelaslah bahwa jawaban-jawaban di atas sama-sekali tidak memiliki dasar. Berikut ini rinciannya :
- Klaim, bahwa mengambil upah diharamkan apabila diminta dan mencari penghormatan diri, ditolak oleh hadits ‘Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu. Dalam hadits itu, hal tersebut tidak disinggung, namun Rasulullah tetap melarangnya.
- Klaim, bahwa hadits-hadits di atas tidak terlepas dari cacat dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil, tidaklah mutlak benar. Namun ada yang shahih, hasan dan ada yang dha’if, namun dha’ifnya bisa terangkat ke derajat shahih karena ada riwayat-riwayat yang menguatkannya. Dengan demikian bisa dijadikan sebagai dalil.
- Klaim, bahwa hukum di atas telah dimansukh (dihapus), maka hal ini tidak boleh ditetapkan hanya dengan berdasarkan praduga belaka. Dan alternatif penghapusan hukum tidak boleh diambil, kecuali bila hadits-hadits tersebut tidak mungkin digabungkan dan memang benar-benar bertentangan.
Terimakasih, semoga dapat dipahami..
Nama: Elik Istikomah
BalasHapusNIM: 2021 111 106
Assalamu'alaikum mbak...
saya mau tanya, dalam aspek tarbawi pada hadits yang pertama di terangkan bahwa seorang pendidik apabila mengajarkan ilmu harus sesuai dengan nash al-Qur'an...lalu bagaimana apabila pendidik mengajarkan ilmu, katakanlah menganai hukum,dan yang di ajarkan itu berdasarkan pendapat-pendapat dari para ulama yang di hasilkan dari ijtihad...bagaimana menurut anda ?
Wa'alaikum salam Wr.Wb...
Hapusapabila pendidik mengajarkan ilmu mengenai hukum, dan yang di ajarkan itu berdasarkan pendapat-pendapat dari para ulama yang di hasilkan dari ijtihad, menurut saya tidak apa-apa karena ijtihad sebagai dasar hukum juga selain Al-Qur'an dan Hadits..
Terima kasih...
kembali kasih...........
Hapusmuh. muslihul umam 2021 111 131
BalasHapusasslamu'alaikum
mau tany dari keterangan hadis di atas itu kan bahwasanya seorang perempuan terhalang dari api neraka kalau ditinggal mati oleh anaknya 3 maupun 2 yang jadi pertanyaan.
bagaimana jika seorag perempuan itu di dalam hidupnya tidak melakukan apa yang syariatkan oleh agama,, dalam arti lain sering berbuat maksiat yang jelas jelas di larang oleh agama,,
Wa'alaikum salam Wr.Wb..
HapusTerima kasih untuk pernyaaannya..
Dalam konteks hadits itu yang dimaksud perempuan yang terhalang dari api neraka itu yang dalam kehidupannya melakukan hal-hal yang baik tidak berbuat maksiat dan lain-lain. Adapun wanita yang berbuat maksiat itu juga akan masuk neraka, misalnya dalam pepatah mengatakan siapa yang berbuat dialah yang menanggung...
terima kasih...
anamil choir 2021 111 122
BalasHapusassalamualaikum
diharamkan meminta maupun mengharap upah atas mengajarkan Islam atau membaca (melantunkan) Al-Qur`an.
bagaimana jika memberi les baca al quran dan mengenakan tarif atau biaya,,??
Wa'alaikum salam Wr.Wb..
HapusTeima kasih untuk jawabannya....
Memang ada hadits yang melarang kita untuk mengambil upah dari jasa kita mengajarkan al-Qur'an.
Namun memang sekarang sudah musim adanya guru les al-Qur'an. Mengingat zaman sekarang ini banyak sekali anak-anak yang kurang bisa membaca al-Qur'an. Jadi untuk jasa dan tenaganya itu sah-sah saja memberi upah pada pengajar tersebut. Sebagai tanda terimakasih. Namun yg perlu diperhatikan untuk pengajar sendiri juga alangkah baiknya tidak menentukan tarif biayanya.
Terima kasih..
Asyef Nurdianto (2021 111 113)
BalasHapusapa maksud kata-kata "Busur" dalam hadits di atas?
trmkasih
Terimakasih atas pertanyaannya...
HapusYang saya pahami kata "Busur" dalam hadits di atas adalah upah yaitu upah mengajar..
Terimakasih...
Fitriasih 2021111099
BalasHapusAssalamu'alaikum..
mba rahma nanya,maksud dari perkataan Rasulullah "dan dua orang dan dua orang dan dua orang" dari hadits pertama itu apa?
kemudian bagaimana pendapat anda jika ada pernyataan bahwa pengertian Ikhlas itu tidak berarti tidak mendapat upah, karena juru dakwa juga manusia yang juga membutuhkan makan sedangkan ia tidak mempunyai pekerjaan lain selain itu, jelaskan terimaksih..
Wa'alaikum salam Wr.Wb...
HapusTerima kasih untuk pertanyaannya.
maksud dari perkataan Rasulullah "dan dua orang dan dua orang dan dua orang" dari hadits pertama adalah penghalang juga bagi ibunya dari api neraka...
Untuk pengertian Ikhlas itu tidak berarti tidak mendapat upah, saya sepakat dengan pengertian itu karena dalam proporsi pekerjaan ikhlas itu tidak gratis/ yang gratis-gratis bukan ikhlas. menurut bapak Iskarim bahwa ikhlas yang dimaksud adalah menoptimalkan sebaik mungkin peran kita dimanapun. misalnya saja sebagai juru dakwah, dalam hal ini juru dakwah harus benar-benar optimal dalam menyampaikan ilmu.
Terimakasih...
Aji Triyono (2021 111 104)
BalasHapusAssalamualaikum....
Pertanyaan:
menerima upah dari mengajarkan Al Qur`an dan berda’wah adalah diperbolehkan, namun menjadikannya sebagai tujuan untuk mendapatkan ma’isyah (mata pencaharian) adalah terlarang.lalu bagaimana dengan para da'i, yang telah menetapkan "tarif" dalam jumlah tertentu jika mau mengundang mereka?
trims....
Wa'alaikum salam Wr.Wb.
HapusTerimakasih untuk pertanyaannya
secara kode etik seorang da'i mengenakan tarif dalam ceramahnya itu terlarang sama dengan pernyataan anda diatas, alangkah baiknya seorang da'i itu tidak menentukan tarif. Dalam artian menerima dengan ikhlas pemberian dari panitia penyelenggara pengajian,,
Terimakasih...
Nama : Ana Lailya
BalasHapusNIM : 2021 111 121
Assalamu'alaikum......
1. Mohon jelaskan tentang hadits kedua, pelajaran apa saja yang dapat diambil dari hadits tersebut?
2. Bagaimana jika ibu ditinggal meninggal oleh 1 anak, apakah juga menjadi penghalang ibunya tersebut masuk neraka ? dan apa ada batasan berapa umur anak tersebut ?
Wa'alaikum salam Wr.Wb..
HapusTerimakasih untuk pertanyaannya..
Untuk pelajaran yang dapat diambil dari hadits kedua sudah saya jelas diatas bahwa mengajarkan Al-Qur'an hendaknya didasari dengan rasa ikhlas kaea Allah dan hanya berharap upah dari Allah SWT...
Seperti yang saya jelaskan sesuai Hadits yang pertama bahwa "Tidak ada seorang perempuan pun di antara kalian yang ditinggal mati tiga orang anaknya, melainkan anaknya itu penghalang bagi ibunya dari neraka" jadi jelas yaa mba untuk ibu yang ditinggal meninggal oleh 1 anak akan menjadi penghalang ibunya tersebut masuk neraka.
untuk batasan umur yang menjadi penghalang ibunya tersebut masuk neraka adalah ketika ia bru lahir kemudian ia meninggal atau ia blum baligh. Adapun kalau ia sudah baligh ia menjadi anak sholeh terlebih dahulu...
Terimakasih...
terima kasih mbak atas jawabannya...
Hapusmatur nuwun mbak...
Nama : Puji Astuti
BalasHapusNIM ; 2021111103
Assalamu'alaikum....
Dari hadits di atas dijelaskan bahwa dalam berfatwa harus mengetahui dalil Al-qur'an dan hadits, lalu bagaimana menurut pendapat anda tentang seorang ustad yang tidak hafal dengan al-qur'an dan hadits, karena keterbatasan hafalannya....
mohon dijelaskan... terima kasih...
Wa'alaikum salam Wr.Wb...
HapusTerimakasih untuk pertanyaannya,,,
Kalau menurut saya tidak apa-apa, asalkan jika ia mau berfatwa jangan sampaikan suatu ilmu yang ia tidak ketahui dasarnya.. Tapi jika ia mengetahuinya maka sampaikanlah walaupun satu ayat...
Terimakasih..
nama : marlihatin
BalasHapusnim : 2021 111 123
Assalamu'alaikum...
Apakah setiap masjid itu dianjurkan untuk dijadikan sebagai madrasah? mengingat sekarang banyak lembaga madrasah yang berkembang ditengah masyarakat..?
Terima kasih...
wassalamu'alaikum....
Wa'alaikum salam Wr.Wb..
HapusYa.. sangat dianjurkan, karena dulu dimasa para sahabat semuanya itu dilakukan dimasjid seperti musyawarah dan belajar tetapi mengenai jual beli tidak dibolehkan..!
Mengingat lembaga madrasah dimasyarakat itu karena pada dasarnya jika kita belajar dilembaga begitu tidak masalah dan mengenai dimasjid itu tidak diwajibkan dan mengenai kelemahan dimasjid juga mungkin ada orang mau sholat dan sebagainya...
Intinya dianjurkan tapi lihat sikon masjid tersebut dulu....
Terimakasih semoga dapat dipahami
nama : restu noviani
BalasHapusnim : 2021 111 091
assalamualaikum
q cuma mau tanya kpn juru dakwah atau ustad tidak boleh menjadikan profesinya sebagai mata pencaharian??klo dia bisanya cuma berdakwah bagaimana???jelaskan menurut anda
Wa'alaikum salam Wr.Wb..
HapusKalau menurut saya jika seorang juru dakwah tapi dia belum mempunyai pekerjaan dan dia mengambil upah ya sebenarnya tidak diperbolehkan karena kenapa jika mengambil upah karena ditakutkan nanti dakwahnya karena uang..
lha menganai hal tersebut boleh jika diberi,tapi usahakan semaksimal mungkin untuk mencari pekerjaan yang lain , toh ustad juga profesi tapi seorang mubaligh.
Terimakasih...
SILFINA HAYATI
BalasHapus2021111268
C
Assalamu’alaikum..
Pertanyaan:
1. Menurut pemakalah, masjid sebagai madrasah itu kelemahan dan kelebihannya apa saja?
2. Dalam hadis dijelaskan bahwa seorang perempuan terhalang dari api neraka jika ditinggal oleh 3 anaknya. Nah, bagaimana jika si perempuan tersebut terus meratapi dan tidak ikhlas atas kepergian anak-anaknya tersebut? Mohon jelaskan kembali.
Terima kasih
Wa'alaikumsalam Wr.Wb
HapusMenurut saya, kelemahan masjid sebagai madrasah adalah waktu yang digunakan dalam proses belajar mengajar kurang efektif, misalnya saja proses belajar mengajar itu dilaksanakan setelah ba'da dzuhur dan harus selesai sebelum waktu shalat ashar tiba sehingga waktu yang digunakan sedikit. Selain itu dapat membuat orang lain terganggu (bising) jika muridnya itu anak-anak sedangkan pendidik tidak bisa mengkondisikannya. Dan lain sebagainya.
Sedangkan Kelebihannya adalah meningkatkan fungsi dan peranan masjid dan dapat membangkitkan semangat kebersamaan umat islam.
Jika si perempuan tersebut terus meratapi dan tidak ikhlas atas kepergian anak-anaknya tersebut hukumnya tidak boleh dan dilarang karena mayit akan disiksa karena ratapan (penyesalan) keluarganya sesuai dengan hadis riwayat Umar ra.:
"Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya mayit akan disiksa karena tangis ratapan (penyesalan) keluarganya." (Shahih Muslim No.1536). Dan Rasulullah melarang keras perbuatan meratap sesuai dengan hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
"Ketika berita gugurnya Ibnu Haritsah, Jakfar bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah sampai kepada Rasulullah saw., Rasulullah saw. pun duduk bersedih hati. Ia (Aisyah) berkata: Aku melihat dari celah pintu. Lalu datang seseorang mengabarkan kepada Rasulullah saw., katanya: Wahai Rasulullah saw., sungguh istri-istri Jakfar! Orang itu menceritakan tangis istri-istri Jakfar. Mendengar itu Rasulullah saw. menyuruh orang tersebut untuk melarangnya. Dia pun pergi, lalu kembali lagi, menuturkan bahwa istri-istrinya tidak mau menurut. Rasulullah saw. menyuruhnya lagi agar melarang istri-istri Jakfar meratap. Dia pun pergi menuju istri-istri Jakfar lalu kembali lagi kepada Rasulullah saw. sambil berkata: Demi Allah, mereka keras kepala, wahai Rasulullah. Aisyah menyangka bahwa Rasulullah saw. bersabda: Pergilah dan jejalkanlah debu tanah ke mulut mereka! Aisyah berkata: Aku berkata: Mudah-mudahan Allah menghinakanmu! Engkau tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. dan engkau tidak mau meninggalkan Rasulullah saw. bebas dari beban". (Shahih Muslim No.1551).
Terimakasih
Qurrotul Aini (2021 111 098)
BalasHapusAssalamualaikum Wr.Wb.
yg ingin sy tanyakan. masjid/mushola kan bisa dijadikan untuk madrasan, namun kenyataannya sekarang kan banyak didirikan madrasah di tengah-tengah masyarakat?
bagaimana pendapat anda tentang hal ini?
kemudian bagaimana konsep ikhlas yang tepat ketika dihadapkan pada masalah upah bagi yang mengajarkan ak-Quran??
terimakasih
Wa'alaikumsalam Wr.Wb..
HapusYaa kalau menurut saya masjid/mushola dijadikan untuk madrasah ya tidak masalah meskipun sekarang sudah banyak didirikan lembaga madrasah ditengah-tengah masyarakat yang penting kita harus sesuai dengan etika dimasjid saat melaksanakan proses belajar mengajar..
konsep ikhlas yang tepat ketika dihadapkan pada masalah upah bagi yang mengajarkan al-Quran adalah kita dalam melakukan suatu janganlah kita pikirkan apa yg nanti kita akan peroleh. Dalam arti jika kita mengajarkan Al-Qur'an kita harus bersungguh-sungguh dalam melakukannya, tetapi kita jngnlah memikirkan apa yg nanti kita dapatkan. Apabila nantinya diberi upah sedikit/banyak ya terima aja dengan ikhlas, namun jika tidak mendapat upah ya sudah jngn dipikirkan, karena hanya ridha Allah yang selalu kita harapkan.
terimakasih
nama : hasan basri
BalasHapusnim : 2021 111 241
assalamu'alaikum
bagaimana hukunya jika seorang guru madrasah melakukan melakukan kecurangan dalam kepengurusan madrasah?
hal-hal positif apa saja yh kita petik dari masjid sbg madrasah?
mkch
Wa'alaikumsalam Wr.Wb.
HapusHukum jika seorang guru madrasah melakukan kecurangan dalam kepengurusan madrasah adalah haram karena sudah di amanati menjadi seorang guru. Selain itu melakukan kecurangan sama saja berbuat dholim. Dalam hadits disebutkan: "Man ghossana falaysa minna"/ Barang siapa yang berbuat curang/menipu maka dia bukan golonganku. Wallahu'alam..
Hal-hal positif yang dapat kita petik dari masjid sebagai madrasah itu banyak sekali diantaranya meningkatkan peranan dan fungsi masjid, meningkatkan semangat kebersamaan, dan lain sebagainya...
Terimakasih..
NAMA:SITI ROHMAH
BalasHapusNIM:2021111090
Assalamu’alaikum,,
Mb mau tanya ya,,
Dalam mengajar seorang pendidik seharusnya ikhlas dan hanya mengharap ridho karena Allah.
Nhah masalahnya menanamkan rasa ikhlas itu terkadang sulit banget,bagaimana ya mb cara-cara untuk menanamkan rasa ikhlas itu,agar seorang pendidik tidak mengharapkan sesuatu selian ridho dari Allah..
terimakasih,,
Wa'alaikumsalam Wr.Wb
HapusCara menanamkan rasa ikhlas agar seorang pendidik tidak mengharapkan sesuatu selain ridho dari Allah adalah dengan cara mengoptimalkan sebaik mungkin kerja kita dalam mengajar, misalnya mengajar dengan sabar, jujur, optimis, tidak membedakan anak yang pintar dengan anak yang kurang pintar, selalu bersyukur, dan lain sebagainya,,,
Terimakasih..
assalamualaikum Wr. Wb.
BalasHapusNama : Irva Silvia
NIM : 2021 111 101
pertanyaan:
mengenai masjid sebagai madrasah, menurut saya obyek kajiannya hanya terbatas pada orang tua, bagaimana mengoptimalkan fungsi masjid sebagai madrasah dengan obyek pembelajaran adalah anak-anak tanpa mengabaikan kesucian masjid? mengingat anak-anak yang kadang ngompol di celana dan kurang mampu menjaga kebersihan.
terima kasih.
Terimakasih untuk pertanyaannya...
HapusKalau menurut saya cara mengoptimalkan fungsi masjid sebagai madrasah dengan obyeknya pembelajaran adalah anak-anak tanpa mengabaikan kesucian masjid adalah dengan cara TPA bagi anak-anak dengan diajari pula tentang kebersihan. atau malam hari ngaji dengan cerita nabi-nabi, dan lainnya...
Trus untuk remaja juga diharapkan bisa meramaikan masjid terutama diberikan pengajaran atau kajian untuk remaja, agar terbiasa tuk kemasjid sholat jama'ah dan mengaji.
Terimakasih...
Mus'aliyah
BalasHapus2021 111 087
medt pagi mb rahma,, ,, ,,
mengenai aspek tarbawi dari hadits diatas saya dapat memahami maksudnya. namun mengenai syarakh hadits diatas saya sama sekali tidak menangkap keterkaitan antara terjemah, syarakh, dan aspek tarbawinya.
tolong saya dipahamkan ya dengan penjelasan bahasa mb rahma.
makasi
Medt malam mb yaya,,
HapusTerimakasih untuk pertanyaannya,,
Yang dpat saya pahami dalam hadits ini menerangkan bahwa masjid itu tidak hanya digunakan untuk bersujud kepada Allah namun dapat digunakan sebagai madrasah tempat belajar mengajar dan mengkaji ilmu. pada hadits yang pertama ini lebih menekankan bahwa seorang ahli ilmu jika mendapat kesempatan untuk berbicara itu hendaknya berdasarkan nash tidak berdasarkan pendapat pribadi dan analogi yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan hadits. Lanjut.. Untuk hadits yang kedua Mengenai boleh atau tidaknya menerima upah dalam hal mengajar Al-Qur’an ada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Namun jumhur ulama membolehkan, namun mereka yang mengajarkan Al-Qur’an dengan niat kepada Allah SWT. bersedia menerima pemberian tanpa memintanya ataupun tidak menunjukkan keinginan yang sangat untuk menerima upah, tentulah tidak diharamkan. Wallahu'alam...
Terimakasih
nama: Nailis Sa'adah
BalasHapusNIM : 2021 111 114
assalamu'alaikum,,,
saya ingin menanyakan mengenai aspek tarbawi hadits ke-11, yang mengatakan bahwa pengajar boleh menerima upah mengajar dengan catatan ikhlas dalam mengajarnya. namun dalam realita tak jarang para pengajar yang menjadikan pekerjaannya sebagai profesi dan mengharapkan upah yang besar. nah bagaimana cara mengatasi kasus seperti ini dan solusinya, karena apabila pengajar tidak ikhlas dalam mengajar juga akan berpengaruh pada ilmu yang diperoleh peserta didik.
terimakasih..wassalam,,
Wa'alaikumsalam Wr.Wb
HapusTerimakasih untuk pertanyaannya.
menurut saya dengan menyadarkan pengajar bahwa tugas yang dilakukan adalah ibadah, ibadah harus ikhlas dan hanya mengharap ridho Allah. Nilai keikhlasan akan mendapat balasan yang lebih besar dari upah didunia...
Terimakasih...
Terima kasih sudah menggunakan artikel kami sebagai referensi.
BalasHapusBerkunjung yak ke blog sy http://brillyelrasheed.blogspot.com