MEMPERLUAS TEMA KAJIAN DI MASJID
Mata Kuliah : Hadits Tarbawi II
Disusun Oleh :
Indah Nur Baiti 2021113270
Kelas G
JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2015
KATA PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
taufik, hidayah-Nya serta Inayah-Nya kepada kami semua, sehingga dalam
kesempatan kali ini penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Hadits Tarbawi II
dengan judul “Memperluas Tema Kajian di Masjid” tanpa ada suatu halangan
apapun.
Adapun maksud
dan tujuan dibuatnya makalah ini adalah agar mahasiswa dapat memperoleh
pengetahuan tentang gambaran fungsi masjid dalam mengembangkan peradaban dan
kebudayaan Islam dan
berbagai tema kajian di masjid.
Penulis menyadari
bahwa dalam pembuatan makalah ini tidak akan terwujud tanpa ada bantuan dari
beberapa pihak, maka dengan rendah hati penulis mengucapkan terima kasih kepada
:
1.
Allah SWT. Dzat Yang Maha Kuasa
2.
Bapak Muhammad Ghufron Dimyati, M.Si, selaku dosen pengampu
3.
Serta teman-teman yang berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Sekian tak
banyak yang penulis harapkan kecuali makalah ini dapat difahami oleh pembaca
dan mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca dan penulis sendiri.
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Menurut rekaman sejarah, ketika Islam baru lahir di kota Mekkah,
keadaan masyarakat Arab masih banyak sekali yang buta huruf. Bilangan yang
mampu menulis dan membaca masih terlalu sedikit yakni sekitar 17 orang. Melihat
kondisi masyarakat Arab tersebut, Islam memberikan dorongan yang sangat urgen
untuk mengadakan reformasi. Reformasi yang dimaksudkan adalah perubahan sistem
Jahiliyah kepada masyarakat Islam yang beradab. Masyarakat Arab mempunyai
peradaban dan kebudayaan yang sangat tinggi setelah mereka mengambil Islam sebagai
way of life dalam sistem kehidupan mereka. Proses terjadinya reformasi yang
menyebabkan kemajuan tersebut tidak pernah lepas dari usaha keras dan kuat,
pantang menyerah dan selalu berorientasi ke depan. Salah satu usaha tersebut
adalah berlangsungnya proses pendidikan yang sangat baik.
Sebenarnya, pada awalnya proses pendidikan Islam masa Islam klasik
berlangsung secara informal. Maksudnya adalah proses pendidikan berlangsung di
rumah-rumah. Rasulullah menjadikan rumah sahabat Arqam bin Abi al Arqam sebagai
sebagai proses pembelajaran sekaligus tempat pertemuan dengan para sahabatnya.
Di rumah inilah Rasulullah menyampaikan dan menanamkan dasar-dasar agama dan
mengajarkan al Qur’an kepada mereka.
Setelah tidak lama Rasulullah berada di kota Madinah, maka yang pertama
dibangun oleh beliau adalah masjid. Dan telah tercatat dalam sejarah, masjid
pada kala itu tidak saja berfungsi sebagai tempat untuk beribadah semata.
Tetapi lebih dari itu, ia memiliki banyak fungsi salah satunya sebagai tempat
berlangsungnya pembelajaran dalam mentransmisi ilmu pengetahuan Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Pengertian masjid secara bahasa (etimologis) adalah tempat
beribadah. Akar kata dari masjid adalah sajada dimana sajada berarti sujud atau
tunduk. Kata masjid sendiri berakar dari bahasa Arab. Sebelum itu masjid juga
disebut “moseak:, “muskey”, “moscey”, dan “moskey”. Kata-kata tersebut diduga
mengandung nada yang melecehkan. Contohnya pada kata mezquita yang berasal dari
kata mosquito. Namun ternyata dalam perkembangan selanjutnya, kata mosque
menjadi populer dan dipakai dalam bahasa Inggris secara luas.
Sedangkan pengertian masjid secara Istilah (terminologis) adalah
tempat melakukan segala aktivitas berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah
semata. Oleh karena itu, masjid dapat diartikan lebih jauh, bukan hanya tempat
sholat dan bertayamum (berwudhu) namun juga sebagai tempat melaksanakan segala
aktivitas kaum muslimin berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah SWT.,
Dari beberapa sudut pandang tersebut diatas maka dapat dirangkum
bahwa masjid dibangun untuk memenuhi keperluan ibadah Islam, fungsi dan
perannya ditentukan oleh lingkungan, tempat dan jamaah dimana masjid didirikan.
Secara prinsip masjid adalah tempat membina umat. Untuk itu masjid harus
dilengkapi dengan fasilitas sesuai dengan waktu dan tempat masjid dibangun. [1]
2.
Teori Pendukung
a.
Dakwah sebagai Komunikasi Islam
Dari sudut
bahasa, kata dakwah berarti menyeru atau memanggil, memanggil, mengajak orang
lain supaya mengikuti, bergabung, memahami untuk memiliki suatu tindakan dan
tujuan yang sama yang diharapkan oleh penyerunya. Upaya penggabungan antara
dakwah dan komunikasi dilakukan juga oleh para penulis Arab Muslim. Komunikasi
massa dalam praktiknya dimulai sejak turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW.,
kemudian terus menyebar dan berkembang sampai sekarang. Pada waktu yang akan
datang akan lebih maju dan berkembang lagi serta membuat dunia semakin kecil
dan saling berhubungan.
Kata mauidzah
hasanah dalam istilah dakwah berarti sinonim dari nasihat, dan nasihat
memiliki format yang banyak. Diantaranya perkataan yang jelas, dengan lemah
lembut, isyarat lembut atau halus yang dapat difahami. Kinayah, dan tauriyah,
cerita, khotbah yang mengesankan, anekdot, mengingatkan akan nikmat dengan
respon yang diharapkannya adalah syukur, reward, dan punishment.[2]
3.
Materi Hadis
عَنْ جَابِر
بن سَمُرة قَال : جَالَسْتُ النَّبِي صلى الله عليه وسلم أَكْثَرَ مِنْ ِمائَة مَرَّة فِي الْمَسَجِدِ يَجْلِسُ
أَصْحَابُهُ يَتَنَاشَدُوْنَ الشِّعْرَ وَ رُبَّمَا تَذَاكَرُوْا أَمْرَ
الْجَاهِلِيَّة فَيَبْتَسِمُ النَّبِيُ صَلى الله عليه وسلم مَعَهُمْ (وراه
الترمذي فى الجامع, كتاب الأدب عن رسول الله, باب ما جاءفي إنشاد الشعر
Terjemahan:
Dari Sahabat Jabir bin
Samurah beliau berkata, “Suatu ketika aku duduk bersama Nabi Muhammad SAW di
dalam masjid lebih dari seratus kali dan bersamanya dengan para sahabatnya
mereka telah melantunkan sebuah syair–syair dan terkadang para sahabat selalu
mengingat permasalahan–permasalahannya kaum jahiliyah kemudian Nabi tersenyum
kecil bersama para sahabatnya. (Hadits diriwayatkan
dari Imam Tirmidzi).[3]
3.
Refleksi Hadis
dalam Kehidupan
Muhammad Munir Mursi, mengatakan, bahwa fungsi masjid
pada era awal, bukan hanya sebagai tempat ibadah, akan tetapi masjid juga
berfungsi sebagai pusat berbagai kegiatan kaum Muslimin, seperti kegiatan
politik, sosial, kebudayaan, peradaban, keagamaan. Masjid juga memiliki fungsi
sebagai tempat rumah ibadah melaksanakan salat, tempat papan informasi yang
berkaitan dengan kemaslahatan umum, misalnya informasi jadwal persiapan perang.
Setelah Rasulullah sampai di Madinah Rasulullah SAW., mendirikan Masjid Nabawi
berfungsi sebagai Islamic Centre. Seluruh aktivititas kaum Muslimin dipusatkan
di tempat ini, mulai dari tempat pertemuan para anggota parlemen, sekretariat
negara, mahkamah agung. Markas besar tentara, pusat pendidikan dan pelatihan
juru dakwah, hingga baitul mal. Masjid laksana kampus, setiap hari orang
berduyun-duyun untuk melaksanakan berbagai kegiatan, ibadah dan belajar
langsung kepada Nabi SAW.
Ketika duduk, beliau dikelilingi para sahabat dari
segala sisi, dikitari dalam bentuk bundaran (halaqat) laksana bintang-bintang
mengelilingi bulan sabit di malam purnama. Al-Bukari dalam Shahihnya, menulis
bab duduk bersama secara halaqat (membentuk lingkaran) di masjid, maksudnya
diperbolehkan duduk secara halaqat di masjid untuk memperlajari ilmu, membaca
al-Qur’an, zikir, dan sebagainya. Walaupun duduk bersama membentuk lingkaran,
harus memposisikan sebagian orang membelakangi kiblat. Berkumpulnya murid
membentuk lingkaran terhadap guru yang mengajarinya adalah indikasi rasa suka,
kesempurnaan rasa rindu, dan besarnya semangat terhadap apa yang disampaikan
oleh guru, disamping indikasi konsentrasi dan keseriusan.
Imam al-Yusi, sebagai dikutip oleh al-Maliki, bahwa
oengajaran dalam bentuk tadris, asal mulanya adalah apa yang dilakukan oleh
Nabi SAW., pada majelis-majelisnya bersama para sahabat di dalam menjelaskan
hukum-hukum, hikmah-hikmah, berbagai realitas kontekstual, menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an, menuturkan fadhilah-fadhilah serta keistimewaan ayat
al-Qur’an, dan sebagainya.
Selanjutnya, materi yang diajarkan di Masjid adalah
masalah-masalah keagamaan, peringatan kepada manusia tentang hari akhir, dengan
menggunakan pendekatan cerita, hikmah, dan nasehat. Terdapat juga materi
tentang ilmu-ilmu agama berupa pelajaran al-Qur’an, tafsir dan hadis.[4]
Banyak sekali petunjuk-petunjuk Rasulullah
SAW.,tentang perlunya umat Islam menguasai ilmu pengetahuan. Kalau ditinjau
dengan teliti awalnya pendidikan Islam termasuk sebagai kegiatan memakmurkan
masjid dan ini sesuai dengan prinsip yang dianut oleh umat Islam bahwa ilmu itu
datangnya dari Allah karena itu masjid lebih utama digunakan untuk mencari ilmu
pengetahuan.[5]
Ajakan agar
seluruh masjid-masjid yang ada di seluruh Indonesia ini hendaknya dapat
dijadikan posko pelayanan sosial untuk mengantisipasi bulan-bulan mendatang
bila keadaan ekonomi makin terpuruk, harga beras makin membumbung tinggi,
sehingga berakibat kaum dhuafa mungkin mengalami kesulitan dalam soal pangan.
Masjid-masjid ini kita jadikan tempat untuk memberikan bantuan kepada mereka
yang punya kebutuhan yang sangat tinggi terhadap pangan. Maka jika disekitar
kita ada masjid kegiatan menolong mereka itu hendaknya diorganisir dengan
pengurus takmir. Apabila diantara kita ada yang surplus beras dan bahan pokok
lainnya agar dibawa ke serambi masjid-masjid tersebut untuk digunakan membantu
meringankan beban para kaum dhuafa.[6]
5.
Aspek
Tarbawi
a. Majid merupakan salah satu lembaga pendidikan, yaitu
dapat digunakan sebagai tempat belajar dan mengajar atau mengaji. Masjid berfungsi untuk membina peradaban dan kebudayaan, serta
tempat pengendalian urusan pemerintahan dan kenegaraan
b.
Masjid
mempunyai fungsi keagamaan, yaitu sebagai tempat beribadah, seperti sholat,
dzikir, do’a dan i’tikaf.
c.
Dari hadits
diatas dapat diambil pelajaran bahwasannya seorang pendidik itu tidak boleh
mencela atau menghina kepada peserta didik. Seorang pendidik seharusnya harus
memperhatikan kepada peserta didik dan tidak boleh membeda-bedakan
antara satu dengan yang lain.
d.
Manusia diperitahkan untuk memelihara dan menjaga kebersihan masjid
dari kotoran dan dari perkataan atau perbuatan sia-sia.
e.
Seperti yang
dijelaskan dari hadits tersebut, begitu besarnya perhatian seorang muslim untuk
selalu melaksanakan etika-etika agama Islam dalam setiap perkara. Sebagaimana
seorang muslim harus beretika ketika didalam masjid.
BAB III
PENUTUP
1.
Simpulan
Dari uraian penjelasan hadits diatas maka secara
ringkasnya adalah belajar di masjid memperlihatkan kepada kita
keistimewaan-keistimewaan dan prinsip-prinsip yang penting dalam pendidikan
Islam, yaitu sebuah perdamaian, demokrasi, kesederhanaan, kesempatan yang sama,
bebas untuk mencapai tujuan, mempunyai hubungan dan keharmonisan diantara
kepentingan hidup dunia dan akhirat.
Sehingga fungsi dan peran masjid bukan saja sebagai
tempat ibadah, namun juga sebagai tempat memperbaiki urusan-urusan dunia dan
akhirat umat manusia.
Sekian dari penulis, semoga apa yang telah disampaikan
dalam makalah ini dapat difahami oleh pembaca dan tentunya dapat bermanfaat,
menambah ilmu pengetahuan, serta dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
N.
Handryant, Aisyah. 2010. Masjid sebagai Pusat Pengembangan Masyarakat.
Malang:
UIN Maliki Press.
Taufik, M. Tata. 2012. Etika Komunikasi Islam. Bandung: CV
Pustaka Setia.
Moh Zuhri,
dkk., 1992. Terjemah Sunan
At-Tirmidzi Juz IV. Semarang: CV Asy
Syifa’.
Samsul Nizar &
Zainal Efendi Hasibuan, 2011. Hadis Tarbawi. Jakarta: Kalam
Mulia.
Supardi & Teuku
Amiruddin, 2001. Konsep Manajemen Masjid. Yogyakarta: UII
Press.
Rais, M. Amien, 1998. Mengatasi
Krisis dari Serambi Masjid. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
BIODATA PENULIS
Nama lengkap penulis adalah Indah Nur Baiti, perempuan kelahiran
Pekalongan 26 Januari 1995 ini merupakan alumni jurusan Administrasi
Perkantoran di SMK Negeri 2 Pekalongan. Sekarang, penulis sedang menempuh
studinya di fakultas Tarbiyah prodi PAI STAIN Pekalongan. Saat ini memasuki
semester 4, harapannya tidak muluk-muluk yaitu menyelesaikan studinya dengan tepat
waktu, targetnya selesai dalam waktu 8 semester. Hobi penulis adalah traveling
dan bermain musik. Motto hidup penulis, “Jangan pernah berhenti mencoba sebelum
kamu dapatkan hasil yang nyata”.
[1] Aisyah N. Handryant, Masjid
sebagai Pusat Pengembangan Masyarakat, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm.51-53.
[2] M. Tata
Taufik, Etika Komunikasi Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm.215.
[3] H. Moh
Zuhri, dkk., Terjemah Sunan
At-Tirmidzi Juz IV, (Semarang: CV
Asy-Syifa’, 1992), hlm.446.
[6] M. Amien Rais, Mengatasi
Krisis dari Serambi Masjid, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm.88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar