Laman

Minggu, 16 April 2017

SPI A10 PERADABAN ISLAM DI INDONESIA

PERADABAN ISLAM DI INDONESIA

FATKHUL KARIMAH 
SETIADI  
NADHIFUZ ZA'MI

FAKULTAS SYARIAH\
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN)  PEKALONGAN
2017

  



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Peradaban Islam di Indonesia ”. Shalawat dan salam semoga senatiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, para shahabatnya, keluarganya, dan sekalian umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. dan diharapkan dapat memberi wawasan lebih kepada mahasiswa tentang materi pokok yang akan disampaikan. Hal ini dimaksudkan supaya mahasiswa mampu memahami dan menganalisis materi pokok pada pembahasan makalah ini secara mendalam.
Dengan kemampuan yang sangat terbatas, penulis sudah berusaha dan mencoba mengeksplorasi, mensintesiskan dan mengorganisasikan dari beberapa buku mengenai teori sejarah Islam di Indonesia. Namun demikian, apabila dalam makalah ini di jumpai kekurangan dan kesalahan, baik dalam pengetikan maupun isinya, maka penulis dengan senang hati menerima kritik konstruktif dari pembaca.
            Akhirnya, semoga makalah yang sederhana ini bermanfaat. Amin ya rabbal alamin!

Pekalongan, 5 April 2017

Kelompok 10











BAB 1
PEMBUKAAN

1.             Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini akan terus berlangsung. Demikian pula dengan peradaban Islam, senantiasa akan berlangsung diberbagai walayah dunia Islam.
Islam pernah mencapai kejayaannya dalam bidang peradaban, bahkan  sebelum bangsa Eropa maju, dengan demikian tidak dapat disangkal bahwa karena peradaban Islam-lah peradaban Eropa menjadi maju, karena bangsa Eropa telah belajar dari peradaban Islam. Oleh karena itu, mempelajari sejarah Islam dan peradabannya adalah suatu keniscayaan, agar kemajuan peradaban Islam dapat kembali diraih oleh umat Islam.
 Berbagai peristiwa bersejarah, tokoh-tokoh bersejarah dengan hasil karya-karyanya yang menginspirasi, serta peninggalan-peninggalan bersejarah terlahir dari berbagai kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Oleh karena itu, sebagai umat Islam yang cinta akan sejarah, hendaknya kita belajar dari perstiwa dimasa lalu, demi kemajuan dan kesejahteraan umat Islam di masa depan.

2.              Rumusan Masalah
a.         Bagaimana peradaban Islam di Indonesia sejak kedatangan imperialisme Barat?
b.        Bagaimana keadaan kerajaan Islam di Indonesia ketika Belanda datang?
c.         Apa strategi yang di lakukan Belanda untuk menjajah Indonesia?
d.        Apa saja organisasi yang berperan penting dalam menyebarkan Islam di Indonesia?

3.              Tujuan penulisan
a)      Mengetahui peradaban Islam di Indonesia sejak kedatangan imperialisme barat, mengetahui keadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia serta mengetahui strategi yang dilakukan Belanda dalam menjajah Indonesia. Dan organisasi beserta tokoh-tokoh yang berperan penting dalam menyebarkan Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A.       PERADABAN ISLAM DI INDONESIA

1.         Kedatangan Imperialisme Barat ke Indonesia
Selama berabad-abad perairan Nusantara hanya dilayari oleh kapal-kapal dari Indonesia dan Asia. Tetapi sejak abad ke-16 di perairan Nusantara muncul pelaut-pelaut dari Eropa. Kemajuan ilmu dan teknik pelayaran, menyebabkan pelaut-pelaut Eropa itu mampu berlayar dengan menggunakan kapal sampai di perairan Indonesia.
Orang Portugislah yang mula-mula muncul di Indonesia. Kedatangan mereka ke Indonesia, disebabkan beberapa faktor yaitu dorongan ekonomi, mereka ingin mendapat keuntungan besar dengan berniaga. Faktor lainnya yaitu hasrat untuk menyebarkan agama Kristen dengan melawan orang Islam, dan hasrat berpetualang yang timbul karena sikap hidup yang dinamis. Pelaut-pelaut Portugis itu ingin melihat dunia di luar tanah airnya.
Pimpinan orang Portugis, yaitu Alfonso de Albuquerque. Ia mendengar bahwa pusat perdagangan di Asia Tenggara adalah Malaka. Di bandar itu, bertemu para pedagang dari Cina, India dan Arab, maupun para pedagang dari daerah-daerah Indonesia.
Perairan Indonesia juga kedatangan orang Eropa lainnya, yaitu orang Belanda, Inggris, Denmark dan Prancis. Pelaut-pelaut Belanda dan Inggris secara bergantian tiba di Indonesia dan biasanya pelaut Inggris mengikuti jejak Belanda. Jika orang Belanda berhasil mendirikan loji di suatu tempat, orang-orang Inggris segera mengikuti dengan mendirikan pula loji di dekatnya. Maksud kedatangan orang Belanda dan Inggris ke tanah air Indonesia tidak berbeda dengan orang Portugis dan Spanyol, yakni ingin memperoleh rempah-rempah dengan murah.
Setelah Kompeni dikepalai oleh Gubernur Jendral J.P Coen, maka tujuan mereka makin jelas, yakni menguasai perdagangan rempah-rempah di Indonesia, secara sendirian atau monopoli. Dalam upaya melaksanakan monopoli, mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Kompeni mulai menguasai berbagai wilayah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Praktik sedemikian itu sudah tentu merugikan kerajaan-kerajaan di Indonesia, sehingga dimana-mana mulai timbul perlawanan terhaadap Kompeni.
Sekitar tahun 1618-1619, pihak Belanda menyerang pangeran Wijayakrama dan dapat merebut Jayakarta; diatas runtuhan kota tersebut dibangun sebuah kota baru yang diberi nama Batavia. Banten yang menganggap dirinya berkuasa atas Jayakarta tentu tidak tinggal diam, sehingga sejak saat itu timbullah permusuhan terus-menerus antara Banten dengan Belanda di Batavia, baik berupa perang dingin maupun perang sebenarnya.[1]

B.       PERLAWANAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA TERHADAP IMPERIALISME.
1)        Keberadaan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia Ketika Belanda datang.
Menjelang kedatangan Belanda di Indonesia pada akhir abad ke-16 dan awal ke-17 keadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia tidaklah sama. Perbedaan keadaan tersebut bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga dalam proses pengembangan Islam di kerajaan-kerajaan tersebut. Misalnya di Sumatra, penduduk sudah memeluk islam sekitar tiga abad, sementara di Maluku dan Sulawesi penyebaran agama Islam baru saja berlangsung.[2]
Di Sumatra, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, percaturan politik dikawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segitiga: Aceh, portugis dan Johor yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Malaka Islam.[3] Pada abad ke-16, tampaknya Aceh menjadi lebih dominan, terutama karena para pedagang muslim menghindar dari Malaka, dan memilih Aceh sebagai pelabuhan transit. Aceh berusaha menarik perdagangan internasional dan antar kepulauan Nusantara. Bahkan ia mencoba menguasai pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada, yang ketika itu sedang banyak permintaan. Kemenangan Aceh atas Johor, membuat kerajaan terakhir ini pada tahun 1564 menjadi daerah Vassal dari Aceh.[4]
Setelah berhasil menguasai daerah-daerah di Sumatra bagian utara, Aceh berusaha menguasai Jambi, pelabuhan pengekspor lada yang banyak dihasilkan di daerah-daerah pedalaman, seperti Minangkabau dan yang diangkut lewat sungai Indragiri, Kampar dan Batanghari. Jambi, yang ketika itu sudah Islam, juga merupakan pelabuhan transito, tempat beras dan bahan-bahan lain dari Jawa, Cina, India dan lain-lain, diekspor ke Malaka. Selain itu, ekspansi Aceh ketika itu berhasil menguasai perdagangan pantai barat Sumatra dan mencakup Tiku, Pariaman dan Bengkulu.Aceh mulai mengalami kemunduran karena secara berturut-turut dipimpin oleh tiga orang wanita selama 59 tahun. Daerah-daerah Sumatra yang dulu berada di bawah kekuasaannya mulai memerdekakan diri.
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dari pesisir ke pedalaman, yaitu dari Demak ke Panjang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan sejarah Islam di Jawa, diantaranya adalah: (1) kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas basis agraris, (2) peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur, demikian juga peranan pedagang dan pelayar Jawa, dan (3) terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.[5]
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah berada dibawah kekuasaan Mataram, yang ketika itu di bawah pemerintahan Sultan Agung. Pada saat itu kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) mulai terjadi.
Banten di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul penting antara lain karena, perdagangan ladannya dan tempat penampungan pelarian dari pesisir Jawa Tengah  dan Jawa Timur. Merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur akibat politik Mataram dan munculnya Makassar sebagai pusat perdagangan membuat jaringan perdagangan dan rute pelayaran dagang di Indonesia bergeser. Kalau di awal abad ke-16,  rute yang ditempuh ialah Maluku, Jawa, Selat Malaka, maka di akhir abad itu menjadi Maluku, Makasar, Selat Sunda. Sehubungan dengan perubahan tersebut, Banten dan saingannya, Sunda Kelapa, bertambah strategis.[6]
Di Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan Makassar berkembang dengan pesat. Ada faktor-faktor historis yang mempercepat perkembangan itu. Pertama, Pendudukan Maluku oleh Portugis mengakibatkan terjadinya migrasi pedagang Melayu, antara lain ke Makassar. Kedua, Arus migrasi Melayu bertambah besar setelah Aceh mengadakan ekspedisi terus-menerus ke Johor dan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung Melayu. Ketiga, Blokade Belanda terhadap malaka dihindari oleh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun India, Asia Barat dan Asia Timur. Keempat, merosotnya pelabuhan Jawa Timur mengakibatkan  fungsinya diambil oleh pelabuhan Makassar. Kelima, Usaha Belanda memonopoli  perdagangan rempah-rempah di Maluku membuat Makassar mempunyai kedudukan sentral bagi perdagangan antara Malaka dan Maluku. Itu semua membuat pasar berbagai macam barang berkembang di sana.
Sementara itu, Maluku, Banda, Seram, dan Ambon sebagai pangkal atau ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin menguasainya dengan politik monopolinya. Ternate dan Tidore dapat terus dan berhasil mengelakkan dominasi total dari Portugis dan Spanyol, namun ia mendapat ancaman dari Belanda yang datang ke sana.[7]

2)        Maksud dan Tujuan Kedatangan Belanda.
Maksud semula kedatangan Belanda hendak berniaga di samping mengembangkan Kristen, sebagai alat menanamkan pengaruh dan kekuasaan, di samping itu juga untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu ingin mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa. Namun akhirnya mereka melakukan tekanan dan paksaan, sehingga Indonesia menjadi jajahan bangsa Barat (Belanda) tiga setengah abad lamanya.
Untuk mencegah persaingan dan untuk memperkuat kedudukannya di Indonesia, Belanda membentuk dan mendirikan perkumpulan dagang monopoli yang bernama VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada bulan Maret 1962 M.[8] VOC dibentuk dan disahkan oleh Staten General Republic dengan satu piagam yang memberi hak khusus kepada VOC untuk berdagang, berlayar dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan Kepulauan Solomon.
Pada tahun 1798 M. VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 Juta Golden. Ini terjadi karena ada beberapa faktor, di antaranya, pembukuan yang curang, pegawai yang korup, dan sistem monopoli serta sistem paksa dalam pengumpulan bahan-bahan hasil tanaman yang menimbulkan kemerosotan moral baik penguasa maupun penduduk.
Setelah bubar, secara resmi Indonesia pindah ke tangan Belanda pada pergantian abad ke-18. Pemerintah Belanda berlangsung sampai tahun 1942 dan hanya diinterupsi oleh Inggris selama beberapa tahun pada tahun 1811-1816. Sampai tahun 1811 M. Pemerintah Hindia Belanda tidak merubah sama sekali, bahkan 1816 M, Belanda memanfaatkan daerah jajahan untuk menanggulangi kemerosotan ekonomi akibat kebangkrutan perang. Dan tahun 1830 M. Pemerintah Hindia Belanda menjalankan sistem tanam paksa dan politik liberal di Indonesia setelah Terusan Suez dibuka dan industri Belanda Berkembang.[9]

3)        Strategi Politik Belanda
Dengan perlengkapan yang lebih maju, VOC melakukan politik ekspansi. Boleh dibilang ekspansi menjelang akhir abad ke-18 berhasil di Jawa. Belanda telah meluaskan kekuasaannya dalam pemerintahan Mataram karena Amangkurat II (1697-1703 M.) meminta bantuan VOC untuk memadamkan pemberontakan Tunojoyo, Adipati Madura dan pemberontakan Kajoran dan dipercepat oleh konflik intern dalam istana.
Di Banten, pada waktu itu kapal Belanda mulai secara teratur sehingga disitu, tahun 1619 Jakarta direbut Belanda dan kelak Batavia akan menjadi penguasa di Jawa Barat. Namun Banten menganggap bahwa kekuasaan Belanda di Jakarta / Betawi membawa keamanan dan ketertiban bagi banten dan Cirebon. Hubungan Banten dengan Belanda tidak bertahan lama, yaitu setelah Sultan Agung Tritayasa naik tahta (1651 M ).
Ia memusuhi Belanda karena dipandang menghalangi Banten dalam perdagangan. Tetapi Sultan Haji, anak dari Sultan Agung Tritayasa, yang diangkat sebagai Sultan Muda tahun 1676 tidak menyenangi politik ayahnya terhadap Belanda. Lalu tahun 27 Februari 1682 M. Istana Sultan Haji diserang ayahnya sendiri Sultan Agung Tritayasa. Namun anaknya yang bekerja sama dengan Belanda mampu mematahkan serangan dari ayahnya. Dan akhirnya Banten dikuasai oleh Belanda.
Sulawesi terdapat konflik dalam negri antara Gowa-Tallo dengan Bone. Sehingga VOC mampu memonopoli di Makassar maupun di Indonesia bagian Timur. Selanjutnya pentrasi politik Belanda terjadi di Banjarmasin yang mendapat ijin dari Sultan Tahlilillah. Perebutan kekuasaan oleh pangeran Amir dan pangeran Nata, yang mana dimenangkan oleh pangeran Nata dengan bantuan Belanda, membuat kekuasaan Belanda semakin besar dan kokoh. Dan akhirnya secara defakto, Belanda sudah menjadi penguasa politik di Banjarmasin.
Di Sumatra, kerajaan-kerajaan Islam dengan cepat dikuasai Belanda kecuali Aceh. Setelah Malaka jatuh ketangan Belanda 1641 M. terbentuk aliansi-aliansi baru antara lain Jambi, Palembang dan Makasar. Namun aliansi tersebut bubar ketika VOC ikut campur dan meminta untuk tanda tangan kontrak dengan VOC.
Di Aceh, sebelum datangnya Belanda dan Inggris yang struktur sosial dan sistem kehidupannya sudah ratusan tahun berpegang erat pada adat dan kebudayaan dengan latar belakang Islam. Namun datangnya Belanda di Aceh sudah jelas ingin menaklukan Aceh dan menundukannya di bawah kedaulatan Belanda.
Pada saat itu di Indonesia terjadi konflik intern, dan itu terjadi karena politik pecah belah penjajah itu. sehingga ajaran agama Islam menjadi mundur, kerajaan-kerajaan Islam dari hari ke hari menjadi kecil dan lemah. Memang Aceh diakui kemerdekaannya oleh Inggris dan Belanda, tetapi agama islam dan kerajaan-kerajaannya pun mengalami kemunduran, sinarnya disana-sini semakin redup.[10]
Seperti kerajaan di Sumatera, pada masa penjajahan umat islam dibagi menjadi beberapa kelompok dengan pengelompokan silang karena perbedaan motivasi. Pertama, timbul kelompok karena pendidikan, ada yang disebut kaum muslim pesantren dan kaum muslim sekolahan. Kedua,berdasarkan paham keagamaan, timbul masalah madzhab dan Arujh ila Qur’an Wassunnah, bukan hanya masalah fiqh tetapi juga masalah Aqidah.
Karena dirasa terjadi kekacauan di ibukota Demak pada tahun 1546 M. Karena Sultan Demak meninggal dunia. Demak dipindahkan ke Panjang. Dan dari budaya Nelayan (pesisir) ke budaya agraris, karena diduga kehidupan di pesisir kurang mendukung dan tidak bisa menghasilkan lebih banyak penghasilan, sehingga dipindah atau dialihkan negara agraris, karena banyak rempah-rempah dan bisa bercocok tanam sehingga mendapat penghasilan yang lebih.
Di Jawa, berpindahnya pusat pemerintahan dari Demak ke Panjang lalu ke Mataram membawa pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan sejarah Islam di Jawa, lalu pada abad ke-16 Jawa Timur dikuasai Sultan Agung, dan terjadi kontak senjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi.
            Di Makassar terjadi perlawanan terhadap VOC yang berlanjut sampai tahun 1656, Dan pada abad ke-16 pelabuhan Makassar berkembang dengan pesat, disamping letaknya strategis, ada faktor yang menyebabkan berkembangnya pelabuhan Makasar, salah satunya, blokade Belanda terhadap Malaka dihindari oleh pedagang-pedagang, baik Indonesia maupun India, Asia Barat dan Asia Timur.
            Sementara Maluku, Banda, Surau dan Ambon sebagai pangkal atau ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat yang ingin menguasainya dengan politik monopolinya.[11]
a.             Perlawanan Rakyat Terhadap Imperialisme
Di sini akan dipaparkan empat perlawanan terbesar dan terlama, tentu tidak mengecilkan perlawanan-perlawanan lain, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.        Perang Paderi di Minangkabau
Gerakan paderi yang terbentuk dengan kedatangan tiga haji terkenal dari Makkah pada awal abad ke-19, dipengaruhi secara mendalam oleh gerakan Wahabi di Arab pada masa itu. Keberhasilan gerakan Paderi tidak terbayangkan jika gerakan ini hanya merupakan “revolusi” para pemimpin agama yang kecewa karena hidup dalam masyarakat yang tidak memberinya tempat dalam hirarki sosialnya.
Setelah takluknya Minangkabau akibat perang Paderi kebijakan Belanda mencoba menahan pengaruh para guru agama dengan mengasingkan mereka sejauh mungkin dari urusan rakyat sehari-hari dan dengan menegakkan wewenang para kepala adat yang sah.[12] Namun di lain pihak ada golongan terakhir yang kemudian meminta bantuan kepada Hindia Belanda yang disambut dengan senang hati, sehingga ada perjanjian kaum adat dan Belanda pada tanggal 21 Februari 1921 M. yang sejak itulah permulaan peperangan antara kaum adat dan Belanda. Peperangan pertama Belanda gagal, sehingga Belanda mengajak perdamaian melalui perjanjian pada 22 Januari 1824. Namun Belanda menghianati, begitu pula peperangan selanjutnya yang gagal, lalu mengadakan perjanjian damai 15 September 1825 M. Ini untuk menghadapi peperangan Diponegoro, setelah selesai Belanda menghianati lagi, begitu seterusnya. Sampai pada perjanjian damai dikenal dengan plakat panjang, 23 Oktober 1833 M. kaum Paderi menolak dan tidak percaya lagi. Dan pada tanggal 16 Agustus 1837 M. mereka menyerang Bonjol dengan berbagai tipu muslihat dan kelicikan, akhirnya Bonjol dapat diduduki dan tokohnya Imam Bonjol diasingkan ke Cianjur, lalu Ambon dan sampai matinya di Manado.
Meskipun kalah, gerakan ini berhasil memperkuat posisi agama yang diidentifikasi sebagai satu-satunya standar perilaku dan di samping itu adat Islamiyah dilahirkannya menjadi adat yang berlaku, sementara adat yang bertentangan dengan Islam dipandang sebagai adat Jahiliyah.
2.        Perang Diponegoro
Peristiwa yang memicu peperangan adalah rencana pemerintah Hindia Belanda untuk membuat jalan yang menerobos tanah milik pangeran Diponegoro dan harus membongkar makam keramat. Belanda ingin berunding dengan pangeran Diponegoro yang mencabut patok–patok yang ditanam dan mengalihkan jalan Patih Daniarejo harus diganti.[13]
Di lain pihak menjelang akhir abad ke-18 Islam di Indonesia memperhatikan tanda-tanda keresahan, yang pada abad ke-19 meledak dalam serangkaian pergolakan besar. Demikianlah pada tahun 1825 M. pangeran Diponegoro bangkit berontak melawan pemerintahan kolonial yang kafir. Perang Diponegoro menggunakan taktik gerilya, dimana pasukan Belanda dikepung oleh perajurut Pangeran Diponegoro di Yogya.
Pada tahun 1826 M. banyak korban berguguran dipihak Belanda, untuk mempersempit gerakan tentara pangeran Diponegoro di tahun 1827 M. Pangeran Diponegoro ditawan karena beliau membangkang untuk berunding dengan Belanda dan akhirnya tahun 1830 M. dibuang ke Manado, lalu tahun 1834 M. dipindah ke Ujung Pandang, Makassar yang meninggal dalam usia 70 tahun pada 8 Januari 1855 M.
3.        Perang Banjarmasin
Pengangkatan pangeran Tamjid menjadi sultan menimbulkan kekecewaan dikalangan rakyat dan pembesar lainnya. Dari kericuhan itu Belanda kembali memasuki persoalan politik untuk mengambil keuntungan yang lebih besar. Ketika itulah perang Banjarmasin dimulai, Andresen yang didatangkan dari Batavia menyimpulkan, bahwa sultan Tamjid merupakan sumber kericuhan. Dan akhirnya diturunkan dari tahta dan kekuasaannya diambil alih oleh Belanda.
Perlawanan rakyat berkobar-kobar didaerah-daerah, yang semula ditunjukan untuk Sultan Tamjidillah kepada Belanda. Perlawanan ini dipimpin oleh Pangeran Antasari dengan 3.000 pasukan untuk menyerbu pos-pos Belanda. Awalnya belanda banyak korban, tetapi dengan taktik dan kelicikan Belanda berhasil mengalahkan beberapa pembesar kerajaan satu persatu dan pangeran Hidayat tertangkap dan dibuang ke Jawa.
Sebelas hari setelah pembuangan pangeran Hidayat, pangeran Antasari memproklamirkan kemerdekaan Banjarmasin, yang beribu Kota Sumatra Tengah, markas besar perjuangan melawan Belanda. Namun 9 bulan setelah proklamasi, pangeran Antasari wafat di Temeh tanggal 11 Oktober 1862 M. karena sakit. Dan digantikan anaknya pangeran Muhammad. Dan perlawanan terus berlangsung sampai tahun 1905 M. ketika raja ini syahid dalam pertempuran.
4.        Perang Aceh
 pada tanggal 26 Maret 1873 M. ketika Terusan Suez dibuka negara Belanda berlomba-lomba mencari jajahan baru dan mendesak untuk mengadakan perundingan. Pada akhirnya Traktat ini jelas memberikan peluang kepada Belanda untuk meneruskan agresinya, perang ini disebut juga perang rakyat karena seluruh rakyat Aceh terlibat secara aktif melawan kolonial.[14]
Pada tanggal 5 April 1873 M. tentara Belanda mendarat dengan kekuatan sekitar 3000 personil. Bulan November tahun itu juga, Belanda mengirim ekspedisi dengan kekuatan sekitar 13.000 perajurit. Kali ini dengan mudah Belanda menduduki masjid dan Kraton. Karena sultan dan seluruh penghuninya sudah mengungsi. Jatuhnya kraton tidak menlunturkan semangat juang rakyat Aceh.[15]
Tidak lama setelah itu, Belanda berusaha mengadakan perundingan tetapi tidak ditanggapi oleh pihak Aceh. Belanda kemudian menggunakan strategi menunggu dan menjalankan sistem pasifikasi. Dengan sistem ini Belanda berusaha menguasai dan mengamankan lembah Sungai Aceh dan Aceh Besar. Mereka mendirikan benteng-benteng sebagai pos untuk mengawasi daerah-daerah sekitarnya.
Pos-pos pengawasan itu terus-menerus mendapat serangan dari tentara Aceh yang mulai terorganisir. Di samping itu, disekitar pos-pos tersebut berjangkit penyakit kolera. Akhirnya hubungan antar pos tersebut dapat ditembus dan diputus oleh tentara Aceh pada tahun 1877. Setelah itu, Belanda melakukan ofensif dengan mengirim ekspedisi ketempat panglima Polim memimpin perlawanan. Panglima Polim  terpaksa mengungsi dan daerah-daerah Aceh besar jatuh ke tangan Belanda.
Dua tahun kemudian, serangan Belanda ditunjukan untuk mengejar rombongan Sultan Aceh. Pada tanggal 26 November 1902, persembunyian  pemimpin Aceh itu disergap, sehingga sultan bersama beberapa pengikutnya dapat ditawan. Setahun berikutnya, Panglima Polim menyerah, disusul tertangkapnya Cut Nyak Dhien, dan juga Cut Meutia, dua pejuang wanita yang sangat berpengaruh. Perang Aceh yang dahsyat itu pun berakhir. [16]
Belanda meninggalkan Indonesia pada tahun 1942. Dari tahun 1903-1930-an sering terjadi perlawanan sengit yang dipimpin ulama di Pidie Aceh Tengah dan Tenggara, Aceh Barat dan Timur. Belanda sangat kewalahan untuk menundukan perlawanan rakyat Aceh.[17]

4)        PERADABAN ISLAM DAN PERAN ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA
1.        PERADABAN ISLAM DI INDONESIA

a.         Sistem Birokrasi Keagamaan
Penyebaran Islam di Indonesia pertama dilakukan oleh para pedagang, pertumbuhan komunitas Islam bermula di berbagai pelabuhan  penting di Sumatera, Jawa  dan pulau lainnya. Kerajaan–kerajaan Islam yang pertama berdiri juga didaerah pesisir. Demikian halnya dengan kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten, Cirebon, Ternate dan Tidore.
Ibu kota kerajaan selain merupakan pusat politik dan perdagangan, juga merupakan tempat berkumpul para ulama dan mubaligh Islam. Raja–raja di Aceh mengangkat para ulama menjadi penasihat dan pejabat di bidang keagamaan.
Adapun di samping sebagai penasihat raja, para ulama juga duduk dalam jabatan – jabatan keagamaan yang memiliki tingkat dan istilah berbeda – beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, pada umumnya disebut qadhi. Meskipun dengan istilah yang berbeda, tetapi penerapan hukum Islam di satu kerajaan lebih jelas dibandingkan dengan kerajaan lain. Kedudukan jabatan ulama yang terkuat diantaranya adalah di Aceh dan di Banten.
Birokrasi keagamaan juga berlangsung di beberapa kerajaan Islam seperti di Kesultanan Demak di Jawa dan Kerajaan Mataram Islam. Hal ini menunjukkan perpaduan akulturasi budaya setempat (Jawa) dengan tradisi hukum Islam yang dituangkan dalam sistem birokrasi keagamaan. Demikian pula yang berlaku di beberapa kerajaan lain di Indonesia pada umumnya.
b.             Peran Para Ulama dan Karya – Karyanya
Para tokoh–tokoh ulama pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, seorang tokoh sufi terkemuka yang berasal dari Fansur (Pansur), Sumatera Utara. Karyanya yang terkenal berjudul Asural-Arifin Fi Bayan ila Suluk wa At-Tauhid, suatu uraian singkat tentang sifat – sifat dan inti ilmu kalam menurut teologi Islam. Karyanya yang bersifat mistik (tasawuf) adalah Syair Perahu. Karya–karya yang lain, di antaranya adalah Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi, Syarab Al-Asyikin. Pemikiran tasawufnya dipengaruhi oleh faham wahdat Al-Wujud Ibnu ‘Arabi dan juga pemikiran tasawuf Al-Hallaj. Paham yang dikembangkan Hamzah Fansuri ini di Aceh dikenal dengan sebutan wujudiyah atau martabat tujuh.
Syamsuddin As-Sumatrani adalah murid Hamzah Fansuri. Syamsuddin mengarang buku berjudul Mir’atul Mu’minin (Cermin Orang Beriman) pada tahun 1601 M. Buku itu berisi tanya jawab tentang ilmu kalam, dan juga beberapa buku lainnya.
Syamsuddin As-Sumatrani juga dikenal dengan Syamsuddin Pasai. Ia adalah ulama besar yang hidup di Aceh pada beberapa dasawarsa terakhir abad ke-16 dan tiga dasawarsa pertama abad ke-17. Syamsuddin adalah murid Hamzah Fansuri. Di antara karyanya adalah Mir’atul Mu’minin (Cermin Orang Beriman) yang ditulis pada 1601 M. Karya lainnya adalah Jauhar Al-Haqaid, Risalah At-Tubayyin Mulahazat Al-Muwahiddin ‘ala Al-Mulhidin fi Dzikrillah, Kitab Al-Haraqah dan Nur Ad-Daqaiq, Zikir Dairah Qawsany Al-Adna, Mi’ratul Qulub, Syarh Mi’ratul Qulub, Kitab Tazym, Syir’al Arifin, Kitab Ushul At-Tahqiq, dan lain – lain.
Nurudin Ar-Raniri, Ia berasal dari India, keturunan Arab Quraisy Hadramaut. Ia tiba di Aceh pada tahun 1637 M. Ar-Raniri dikenal sebagai orang yang sangat giat membela ajaran ahlussunah waljamaah. Karyanya yang sudah diketahui dengan pasti berjumlah 29 buah, yang meliputi bebagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu fiqh, hadis, akidah, sejarah, tasawuf, dan sekte–sekte agama.
Penulis lainnya yang juga berasal dari Kerajaan Aceh adalah Abdurrauf Singkel yang mendalami ilmu pengetahuan Islam di Mekah dan Madinah. Ia menghidupkan kembali ajaran tasawuf yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui tarekat Syattariah yang diajarkannya, walaupun dengan ungkapan dan wujud yang berbeda. Sebagaimana karya – karya Hamzah Fansuri di Aceh, bersifat mistik yang terambil dari tradisi mistik (tasawuf) Islam.
Selain melalui karya –karya ulama Aceh tersebut, Faham wujudiyah tersebar di Jawa melalui penyebaran tarekat Syattariah murid – murid Abdurrauf Singkel. Di antaranya adalah Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan, pengarang kitab Martabat Kang Pitu (Martabat Yang Tujuh), seorang wali yang dikeramatkan di daerah Tasikmalaya dan dari daerah ini tarekat Syattariah menyebarkan ke Cirebon yang menjadi pusat kesultanan. Walaupun sebenarnya di Jawa sudah muncul karya mistik yang memiliki faham hampir sama, terbukti dengan ditemukannya karya Sunan Bonang, Suluk Wijil, tetapi diduga tersebarnya karya –karya sastra dalam bentuk serat suluk yang isinya mengandung ajaran tasawuf wujudiyah atau martabat tujuh adalah setelah karya Syaikh Abdul Muhyi tersebut. Dari pengaruh Cirebon inilah kemudian para pujangga Surakarta mengubah karya – karya serta suluk yang kaya akan ajaran etika dan tasawuf, seperti Ronggowarsito dengan karyanya Wirid Hidayat Jati.
Syaikh Yusuf Al-Makassari (1626-1699 M) yang lama belajar di Timur Tengah. Karya – karya Syaikh Yusuf Al-Makassari yang sebagian dalam bidang tasawuf itu diperkirakan berjumlah 20 buah dan sekarang masih dalam bentuk naskah yang belum diterbitkan. Syaikh Yusuf akhirnya diasingkan ke Sailan (Srilanka) dan akhirnya ke Afrika Selatan.
Pada abad ke-19 M, pemikiran tasawuf mulai bergeser ke pemikiran fiqh seperti tergambar dalam karya – karya ulama pada masa itu. Di antara para ulama yang produktif menulis adalah Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710- 1812 M) yang menulis kitab Sabilul Muhtadin, sebuah kitab fiqh, dan kitab Perukunan Melayu.
Kiai Haji Ahmad Rifai (1786-1875 M) dari Kalisalak Batang yang menulis banyak buku, di antaranya Husnul Mathalib, Asnal Maqhasid, Jam’ul Masa’il, Abyanul Hawa’ij, dan Ri’ayatul Himmah, yang umumnya membahas ushuludin, fiqh, dan tasawuf. Gerakan keagamaan KH. Ahmad Rifai memperoleh dukungan masyarakat yang kemudian dikenal dengan gerakan Rifaiyah dan banyak pengikutnya di Jawa Tengah.
Syaikh Nawawi Al-Bantani (wafat 1894 M) ulama dari Banten yang tinggal di Arab hingga wafatnya dan memperoleh gelar sebagai Sayyid Ulama Al-Hijaz (Penghulu Ulama Hijaz) menulis tidak kurang dari 41 buah kitab yang menyebar di berbagai wilayah dunia Islam, termasuk di Indonesia, beberapa karyanya antara lain, Nihayatuz Zain, Safinatun Naja, Nuruzh Zhalam, Kasyifatus Saja, Sulamul Fudhala, dan karyanya yang terkenal adalah At-Tafsir Al-Munir.
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916 M) yang juga sangat produktif menulis, salah satu tulisannya yang terkenal adalah Izharul Zaghlil Kadzibin fi Tasyabbuhihim bis Shadiqin yang berisi tantangan terhadap ajaran tarekat.
Di Palembang terdapat ulama terkenal yaitu Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani berasal dari keturunan Arab Yaman. Karya – karya Abdush Shamad cukup banyak khususnya dalam masalah sufistik. Hidayah As-Salikin fi Suluk Maslak Al-Muttaqin (1787 M), As-Sayr As-Salikin ila Rabb Al-Alamin (1789 M), adalah karyanya yang terakhir yang sangat terkenal dalam bidang tasawuf.
Di Semarang, terdapat ulama terkenal, Syaikh Shaleh Darat (1820-1903 M) yang  menulis beberapa karya dalam bahasa Arab dan Jawa. Shaleh Darat adalah guru dari Syaikh Mahfudz Termas, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan RA. Kartini. Salah satu karya Shaleh Darat yaitu Kitab Tafsir Faidhur Rahman (1891 M), dan lain – lain.
Ulama lainnya adalah Syaikh Mahfudz At-Tirmasi, seorang ulama yang berasal dari Termas Pacitan. Mahfudz adalah seorang ulama yang sebagaimana Nawawi Al-Bantani menjadi ulama kenamaan di Mekah. karyanya yaitu : Minhaj Zhawi An-Nazhar dan lain –lain yang  keseluruhan karyanya berbahasa Arab.
Syaikh Ihsan Al-Jampasi Al-Kadiri, berasal dari Jampes Kediri. Syaikh Ihsan adalah penulis kitab Sirajut Thalibin (Pelita Para Pencari) terdiri dari 2 jilid , syarah atas kitab Minhajul Abidin Imam Al-Ghazali. Kitab ini diterbitkan di Kairo dan menjadi rujukan dalam bidang tasawuf di sana. Dan masih banyak kitab lainnya.
Di Jawa Timur terdapat K.H. Hasyim Asy’ari yang dikenal sebagai seorang ulama pendiri pesantren Tebuireng Jombang dan pendiri NU. K.H. Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai seorang ulama penulis buku – buku berbahasa Arab. Di antara karyanya yang ditulis dalam bahasa Arab yang salah satunya berjudul Ad-Durarul Muntasyirah fi Mas’alati Tis’a Asyarah.
Di samping mereka yang disebutkan di atas, masih banyak para ulama lain yang sangat berjasa dalam pengembangan agama Islam di Indonesia melalui karya-karyanya. Di antaranya, KH. Ahmad Dahlan tokoh dan pendiri Muhammadiyah, Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli pendiri Tarbiyah Al-Islamiyah, Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Haji Muhammad Jamil Jambek dan lain – lain.
c.         Corak Bangunan Arsitek
Hasil–hasil seni bangunan pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain Masjid Kuno Demak, Masjid Agung Cipta rasa Kesepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten, Baiturrahman di Aceh, Masjid Ampel di Surabaya, dan daerah–daerah lain. Masjid–masjid itu menunjukkan keistimewaan seni–seni bangunan yang tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Beberapa masjid kuno mengingatkan kita kepada seni bangunan candi, menyerupai bangunan meru pada zaman Indonesia Hindu.
Selain itu, pada pintu gerbang, baik di keraton–keraton maupun di makam orang–orang yang dianggap keramat yang berbentuk candi bentar, kori agung, jelas menujukkan corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam. Demikian pula nisan-nisan kubur di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon, dan Banten menunjukkan unsur–unsur ukir dan perlambang pra Islam. Di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera terdapat beberapa nisan yang lebih menunjukkan unsur seni Indonesia pra Hindu dan pra Islam.
Beberapa bangunan arsitektur Islam di Indonesia, memiliki ciri khas tersendiri dengan mengadaptasi budaya sebelumnya. Hal ini tersebut dapat di lihat dalam arsitek Masjid Kudus di mana menaranya masih menceritakan bangunan model budaya Jawa Hindu. Arsitektur semacam ini secara jelas memperlihatkan perpaduan antara budaya Hindu dan budaya Islam.
d.         Lembaga Pendidikan Islam
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Para Walisongo penyebar agama Islam di Jawa mengembangkan pesantren sebagai lembaga kaderisasi tenaga dakwah yang akan meneruskan perjuangan agama Islam. Para Walisongo juga menjadi tenaga inti dalam penyebaran agama Islam di berbagai daerah melalui lembaga pendidikan pesantren.
Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendiddikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius. Departemen Agama menganjurkan agar pesantren tradisional dikembangkan menjadi sebuah madrasah, disusun secara klasikal, menggunakan kurikulum yang tetap, dan memasukkan mata pelajaran umum di samping agama sehingga murid di madrasah tersebut mendapatkan pendidikan umum yang sama dengan murid di sekolah umum. Oleh karena itu, Departemen Agama akan memberikan bantuan kepada madrasah yang juga memperhatikan pendidikan umum. Persoalan kualitas lulusan sekolah agama terus ditingkatkan, terutama kemampuan berbahasa Arab, bahkan bahasa Inggris.
Universitas Islam Indonesia (UII) adalah perguruan tinggi Islam pertama yang memiliki fakultas – fakultas non agama. Dengan demikian, UII dapat memberi contoh tentang perkembangan Universitas Islam di Indonesia. Dengan bantuan dari pemerintah penduduk Jepang, lembaga ini di buka pada 8 Juli 1945 di Jakarta. Tidak lama setelah itu, lembaga ini ditutup karena gedung – gedung di kuasai oleh pasukan Sekutu, dan dibuka kembali tanggal 10 April 1946 di Yogyakarta. Pada tanggal 22 Januari 1950, sejumlah pemimpin Islam mendirikan sebuah universitas Islam di Solo, dan 20 Februari 1951 kedua universitas Islam di Yogyakarta dan Solo disatukan dengan nama Universitas Islam Indonesia (UII) yang sejak itu memiliki cabang di dua kota tersebut. Setelah itu mulai banyak muncul perguruan tinggi dan universitas Islam.
Perguruan tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas – fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian kementrian Agama pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama di UII dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah dan pada tanggal 26 September 1951 secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dibawah pengawasan Kementrian Agama.
Pada tahun 1960, didirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang juga berada di bawah pengawasan Kementrian Agama. IAIN ini terus berkembang pesat. Pada tahun 1992, terdapat 14 IAIN di seluruh Indonesia dengan fakultas lebih dari seratus. Sekarang beberapa IAIN telah berkembang menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) seperti di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Bahkan beberapa perguruan tinggi Islam swasta juga memiliki fakultas – fakultas umum, di samping fakultas – fakultas agama. Beberapa Universitas Islam swasta di antaranya adalah Universitas Muhammadiyah di beberapa kota, Universitas Islam Jakarta (UIJ), Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Universitas Islam Asy-Syafiiyah Jakarta, Universitas Darul Ulum (UNDAR) Jombang, Universitas Islam Malang (UNISMA), Universitas Paramadina Jakarta, Universitas Muslimin Indonesia (UMI) Makassar, Unisba Bandung, UNINUS Bandung, Universitas Al-Azhar Indonesia Jakarta, Universitas Sains Alquran (UNSIQ) Wonosobo, Universitas Sultan Agung Semarang , dan lain – lain.

2.        ORGANISASI – ORGANISASI ISLAM DI INDONESIA
v  Organisasi – organisasi Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.        Jam’iyatul Khair
Jam’iyatul Khair berdiri 17 Juli 1905 di Jakarta. Dengan tokoh – tokohnya seperti Sayyid Shihab bin Shihab dan kawan – kawan. Jam’iyatul Khair pada awal berdirinya merupakan satu – satunya organisasi pendidikan yang menerapkan sistem pendidikan modern di Indonesia. Dalam hal pembaruan pendidikan, para guru didatangkan dari Tunisia, Sudan, Maroko, Mesir, dan Arab.
2.      Syarikat Islam (SI)
Syarikat Islam (SI), awalnya adalah Serikat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh KH. Samanhudi pada tahun 1905 M di Solo. Ada yang mengatakan bahwa SDI mula – mula didirikan pada tahun 1911 M. Kemudian pada tahun 1912 M, SDI berubah menjadi Syarikat Islam (SI) yang diprakarsai oleh HOS. Cokroaminoto, Abdul Muis, H. Agus Salim dan lain – lain. Awalnya SI merupakan organisasi yang bergerak di bidang keagamaan, tetapi kemudian menjadi gerakan politik. Dan pada saat ini, SI juga banyak bergerak di bidang dakwah Islam dan sosial.
3.        Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan dan kawan – kawan di Yogyakarta pada 18 November 1912 M, bertepatan pada 8 Dzulhijjah 1330 H.
Tujuan organisasi Muhammadiyah yaitu menegakkan dakwah Islamiyah dalam arti seluas–luasnya,dengan usaha yang mencangkup bidang ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan dakwah.
Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan telah banyak berjasa dalam perjuangan negara Indonesia. Di antara tokoh Muhammadiyah yang di akui pemerintah sebagai pahlawan nasional adalah KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansur, Ny. H. Walidah Ahmad Dahlan, KH. Fakhruddin.
4.    Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (NU) artinya Kebangkitan Ulama, adalah organisasi massa Islam yang didirikan oleh para ulama pesantren di bawah pimpinan KH. Hasyim Asy’ari, di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Di antara para tokoh yang ikut mendirikan NU adalah KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Asbullah, KII. Bisri Syamsuri, KH. Ma’shum Lasem, dan beberapa kiai lainnya. Di antara para tokoh NU ada yang di akui sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI antara lain : KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, KH. Zainal Mustafa, KH.Zainul Arifin.
5.      Jam’iyatul Washliyah
Jam’iyatul Washliyah adalah suatu organisasi Islam yang diresmikan pendiriannya pada 30 November 1930 M didirikan di Medan yang dipelopori oleh para ulama terkemuka di Medan. Para ulama yang ikut mendirikan Jam’iyatul Washliyah antara lain : Ismail Banda, Abdurrahman Syihab, M. Arsyad Thahir Lubis, Adnan Nur, H. Syamsuddin, H. Yusuf Ahmad Lubis, H.A. Malik, dan A. Aziz Efendi. Al-Wasliyah banyak berjasa dalam proses dakwah Islam di daerah Tanah Karo, Tanapuli, dan Simalungun Sumatera Utara.
6.    Al-Irsyad Al-Islamiyyah
Al-Irsyad adalah organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1913 oleh orang – orang keturunan Arab, di bawah pimpinan Syaikh Ahmad Syurkati, seorang ulama asal Sudan. Al-Irsyad bergerak di bidang pendidikan dan dakwah. Tujuan utama dari sekolah atau madrasah Al-Irsyad untuk mempermahir bahasa Arab sebagai bahasa Alquran. Banyak alumni sekolah – sekolah dan madrasah – madrasah Al-Irsyad yang pandai berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan luas dalam berbagai bidang ilmu – ilmu Islam.
7.      Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) didirikan pada 20 Mei 1930 di Bukittinggi Sumatera Barat oleh sejumlah ulama terkemuka di Minangkabau, di bawah pimpinan Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli. Di antara ulama lain yang ikut dalam pendirian PERTI adalah Syaikh Muhammad Jamil Jaho, Syaikh Abbas Ladanglawas, Syaikh Abdul Wahid Salihi, dan Syaikh Arifin Arsyadi. PERTI memiliki usaha dalam bidang pendidikan dan dakwah. PERTI juga memiliki banyak sekolah dan pondok pesantren di Sumatera yang cukup berjasa dalam bidang pendidikan Islam.
8.             Majlis Dakwah Islamiyah (MDI)
Majlis Dakwah Islamiyah (MDI) didirikan oleh para tokoh Islam yang tergabung dalam golongan karya pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah pemerintahan Suharto. MDI merupakan organisasi dakwah yang cukup berjasa dalam bidang dakwah pembangunan melalui pengiriman tenaga dakwah di lokasi transmigrasi, khususnya di luar Jawa. Tokoh MDI antara lain H. Chalid Mawardi.
9.        Majlis Ulama Indonesia (MUI)
Majlis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada 26 Juli 1975. Yang bertugas memberikan fatwa dan nasihat seputar masalah keagamaan dan kemasyarakatan sebagai bahan pertimbangan pemerintah dalam menjalankan pembangunan. Pengurusnya terdiri dari beberapa tokoh Islam dari berbagai organisasi yang ada. Tokoh – tokoh Islam yang pernah menjadi pengurus MUI antara lain : Prof. KH Ali Yafie, DR. KH. MA. Sahal Mahfudz.
10.    Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) adalah organisasi para cendekiawan muslim di Indonesia yang didirikan oleh para cendekiawan atas dukungan birokrasi, pada tahun 1990. Penggagasnya antara lain : Prof. DR. Ing. BJ. Habibi yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada pemerintahan era Orde Baru. ICMI banyak berjasa dalam penegakkan dakwah Islam melalui jalur struktular dan birokrasi negara. Tokoh – tokoh ICMI merupakan gabungan dari berbagai organisasi Islam di Indonesia yang ada.

Di samping organisasi Islam yang disebutkan di atas, sebenarnya masih terdapat berbagai organisasi Islam lainnya. Organisasi – organisasi tersebut antara lain : Gabungan Usaha – Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI), Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), Darud Da’wah wal Irsyad (DDI), Badan Kontak Majlis Ta’lim (BKMT), Forum Umat Islam (FUI), Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI), Persatuan Umat Islam (PUI), Persatuan Islam (PERSIS), Mathlaul Anwar (MA), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Dakwah) dan lain – lain.[18]





BAB III
PENUTUP

1.         Kesimpulan
          islam masuk di Indonesia pada awal abad 13 dan langsung menggantikan hindu, namun  adat dan kebiasaan Hindu masih tetap bertahan ini berarti bahwa pada saat itu sudah mulai ada persenyawaan antara kebudayaan Hindu dan kebudayaan Islam. Islam mengalami perkembangan dan penyebaran sebagai agama resmi masyarakat pada sekitar abad ke 15-16, namun bersamaan dengan situasi ini budaya Eropa Belanda mulai berpengaruh di Indonesia, karena pada akhir abad ke 16 Belanda mulai datang ke Indonesia. Budaya kaum colonial Belanda mulai mencengkeram, kedatangan mereka ke Indonesia disebabkan beberapa faktor yaitu dorongan ekonomi, mereka ingin mendapat keuntungan besar dengan berniaga. Faktor lainnya yaitu hasrat untuk menyebarkan agama Kristen dan melawan orang islam. Perlawanan dari raja-raja Islam terhadap pemerintahan kolonial seakan tidak pernah henti. Sehingga sejak saat itu timbul permusuhan terus-menerus antara Indonesia-Belanda, baik berupa perang dingin maupun perang sebenarnya.

2.         Saran-saran
Dengan memahami dan menguasai berbagai teori tentang peradaban Islam dari berbagai referensi diharapkan dapat membantu kita dalam memahami segala sesuatu mengenai sejarah Islam sampai Islam di masa sekarang. Para mahasiswa hendaknya sering membaca, karena dengan sering membaca akan terbiasa untuk memahami dan bisa mengambil hikmah dari sejarah islam di masa lalu untuk perkembangan Islam di masa depan.









DAFTAR PUSTAKA
.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1999.

Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2010.

Kartodirdjo ,Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, jilid 1, Jakarta: Gramedia, 1987.

Jakub ,Ismail, Sejarah Islam di Indonesia, Jakarta, wijaya, 1984.
Syukur ,Fatih NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Semarang, PT.Pustaka Rizki Putra, 2009.

Ibrahim ,Ahmad,dkk, Islam di Asia Tenggara Prespektif Sejarah, LP3ES, Jakarta,1989.


s



[1] Drs.Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010, hal:372.
[2] Drs.Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010, hal:374.
[3] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, jilid 1, Jakarta: Gramedia, 1987, hal. 61.
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal 231.
[5] Ibid.,hal.65.
[6] Drs.Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010, hal.376.

[7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 234.

[8]  Ismail Jakub, Sejarah Islam di Indonesia, Jakarta, wijaya, 1984, hlm. 48.
[9] Dr.Fatih Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Semarang, PT.Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 214-215.
[10]  Ismail Jakub, op. Cit, hlm. 49.
[11] Dr.Fatih Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Semarang, PT.Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 217-218.

[12] Ahmad Ibrahim,dkk, Islam di Asia Tenggara Prespektif Sejarah, LP3ES, Jakarta,1989,hal.201.
[13] Badri Yatim,op.cit,hal.246.
[14] Dr.Fatih Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Semarang, PT.Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 217-218.

[15] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 250.

[16] Drs.Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010, hal.397-398.

[17] Dr.Fatih Syukur NC, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, Semarang, PT.Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 400.


[18] Drs.Samsul Munir Amin, M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010, hal.429.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar