Laman

Selasa, 02 Mei 2017

TT2 A12b “Tolong Menolong dan Kerja Sama” (QS. Al-Maa’idah 5: 2)

PENDIDIKAN SOSIAL UNIVERSAL
“Tolong Menolong dan Kerja Sama”
(QS. Al-Maa’idah 5: 2)

Mufarikha (2021115376) 
Kelas : A

JURUSAN PEDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUTE AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT., atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “PENDIDIKAN SOSIAL UNIVERSAL “Tolong Menolong dan Kerja Sama” (QS. Al-Maa’idah: 2)” guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi II ini tanpa halangan berarti. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW., beserta para shahabat dan keluarga. Semoga kita semua tergolong kedalam ummat yang mendapat syafa’at Beliau di hari akhir nanti.
Penyusunan makalah ini dapat terselesaikan bukan hanya hasil usaha keras dari penulis semata, namun juga berkat do’a dan dukungan dari berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih. Terutama kepada Bapak Muhammad Hufron, M.S.I selaku dosen pengampu, dan khususnya kepada kedua orang tua.
Penulis menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, dengan adanya kritik dan saran diharapkan bisa menjadi bahan evaluasi bagi penulis untuk perbaikan kedepannya. Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan studi keilmuan, baik bagi audience maupun diri penulis pribadi.
Amin..

Pekalongan, 1 Mei 2017


Mufarikha
(2021115376)



BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Dalam Islam, tolong-menolong adalah kewajiban setiap Muslim. Tentu saja untuk menjaga agar tolong-menolong ini selalu dalam koridor “kebaikan dan takwa” diperlukan suatu sistem yang benar-benar sesuai yaitu  “syariah”. Apa artinya kita berukhuwah jika kita tidak mau menolong saudara kita yang jarang saling tolong  sedang mengalami kesulitan.
Sikap tolong menolong adalah ciri khas umat muslim sejak masa Rasulullah shalallahu alaihi wasalam. Pada masa itu tak ada seorang muslim pun membiarkan muslim yang lainnya kesusahan, hal ini tergambar jelas ketika terjadinya hijrah umat muslim Mekkah ke Madinah, kita tahu bahwa kaum Anshor menerima dengan baik kedatangan kaum Muhajirin dengan sambutan yang meriah, kemudian mempersilahkan segalanya bagi para Muhajirin: rumah, ladang, dan lain-lain. Hal ini juga banyak ditegaskan dalam hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, seperti pada hadits-hadits Rasulullah yang menerangkan bahwa setiap muslim adalah sama di mata Allah subhanahu wa ta’ala kecuali karena perbuatan mereka dan keimanan mereka. adapun yang menerangkan bahwa semua muslim itu sama, maka jika merasa seseorang diantara mereka teraniaya, yang lainnya pun akan merasakannya.
B. Tema dan Judul
Dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang PENDIDIKAN SOSIAL UNIVERSAL “Tolong Menolong dan Kerja Sama” (QS. Al-Maa’idah: 2) menurut Qur’an Surah At-Tahrim ayat 6. Menyesuaikan dengan tugas yang telah penulis terima.
C. Nash dan Arti
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlahkamumelanggarsyi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, danbinatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
D. Arti penting untuk dikaji
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan itulah yang disebut dengan al birr dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan ketaqwaan. Dan Allah melarang mereka saling mendukung kebathilan dan bekerjasama dalam perbuatan dosa dan perkara haram.








BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
a.    Pengertian tolong menolong
Tolong menolong dalam bahasa Arabnya adalah Ta’awun. Sedangkan menurut istilah, pengertian Ta’awun adalah sifat tolong menolong di antara sesama manusia dalam hal kebaikan dan takwa. Dalam ajaran Islam, tolong menolong merupakan kewajiba muslim. Sudah semestiya konsep tolong menolong ini dikemas sesuai dengan syariat Islam, dalam artian tolong menolong hanya diperbolehkan dalam kebikan dan takwa, dan tidak diperbolehkan tolong menolong dalam hal dosa atau permusuhan.
b.    Pengertian Kerjasama
Kerjasama, yaitu suatu bentuk usaha bersama antara beberapa orang atau atara beberapa lembaga tertentu untuk mencapai tujuan yang sama. Adanya kepentigan dan tujuan yang sama akan menjadi dasar lahirnya kerjasama antara seseorang dan yang lainnya atau antara sutu kelompok dan kelompok lainnya. Kerjasama juga dapat didorong oleh adanya serangkaian kewajiban yang ditugaskan secara bersama.
Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya” (H.R. Muslim)

Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: “Seseorang Muslim itu adalah saudara Muslim yang lain. Dia tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya (kepada musuh), barang siapa yang menunaikan hajat saudaranya nescaya Allah akan menunaikan hajatnya, dan barang siapa yang menghilangkan dari pada seorang Muslim satu kesusahan nescaya Allah akan menghilangkan satu kesusahan dari pada kesusahan-kesusahannya pada hari kiamat kelak, dan barang siapa yang menyembunyikan (keaiban) seorang muslim nescaya Allah akan menyembunyikan (keaibannya) pada hari kiamat.” – Riwayat Bukhori dan Muslim
Mukmin antara satu dengan yang lainnya bagaikan sebuah bangunan yang saling memperkuat antara sebagian dengan sebagian yang lainnya. (Rasulullah SAW sambil memasukkan jari-jari tangan kesela jari jari lainnya) (HR. Muttafaqun‘alaih)

"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam (menjalin) cinta dan kasih sayang di antara mereka bagaikan tubuh yang satu, apabila ada anggota (tubuh) yang merasa sakit, maka seluruh anggota yang lainnya merasa demam dan tidak bias tidur." (HR. Muslim)

"Orang-orang Muslim itu darahnya saling menyupai, yang lemah di antara mereka akan berusaha membebaskan tanggungannya dan yang kuat di antara mereka berusaha menyelamatkan yang lemah, mereka adalah satu tangan (kekuatan) untuk menghadapi pihak-pihak selain mereka (musuh-musuh mereka), yang kuat membantu yang lemah dan yang cepat menolong yang lambat." (HR. Abu DawuddanIbnuMajah)

"Tolonglah saudaramu, baik yang berbuat zhalim maupun yang dizhalimi," Nabiditanya, "Kalau yang dizhalimi kami bias menolong, bagaimana dengan orang yang menzhalimi wahai Rasulullah? Nabi SAW bersabda, "kamu pegang keduatangannya atau kamu cegah dia dan kezhaliman, itulah cara kita menolongnya." (HR. Bukhari)
B. Tafsir
a. Tafsir Al-Maraghi
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ)
شَعَائِرَ اللَّهِ : hal-hal yang Allah hendak menjadikannya sebagai tanda-tanda petunjuk-Nya, yang dengan itu kami dapat terhindar dari kesesatan. Seperti, manasik haji dan seluruh hal yang wajib dipatuhi dalam agama-Nya, baik perkara halal, haram maupun batas-batas yang telah di tetapkannya bagimu.
Maksud ayat, hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menganggap halal syi’ar-syiar agama Allah, sehingga kamu melakukannya sesuka hatimu. Tetapi lakukanlah sesuai yang telah diterangkan Allah kepadamu, dan janganlah kamu meremehkan kehormatannya, jangan pula kamu menghalangi orang-orang yang hendak menunaikannya, atau kamu halangi mereka yang hendak menunaikan haji pada bulan-bulan haji.
وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَام
bulan haram yang dimaksud disini adalah Zulqo’dah, Zulhijjah dan muharram.
Maksud ayat, janganlah kamu menganggap halal bulan haram, ketika kamu menerangi musuh-musuhan dan orang-orang musyrik pada bulan-bulan tersebut, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Qatadah.
b. Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Abi Hatim mengatakan dari az-Zuhri, ia berkata: “Apabila Allah berfirman: yaa ayyuHalladziina aamanuu [Hai orang-orang yang beriman] kerjakanlah oleh kalian, maka Nabi saw. termasuk dari mereka.”
Firman Allah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tuhilluu sya’aa-irallaaHi (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah.”) Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang dimaksud dengan hal ini adalah manasik haji.”
Ada juga yang berpendapat: “Yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah adalah semua yang diharamkan-Nya.” artinya janganlah kalian menghalalkan semua yang diharamkan Allah ta’ala. Oleh karena itu Allah berfirman: wa lasy-syaHral haraama (“Dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram.”) yang dimaksud dengan hal itu adalah memberikan penghormatan dan mengakui keagungannya serta meninggalkan semua yang dilarang Allah Ta’ala (lihat surat al-Baqarah dan at-Taubah).
Firman-Nya: wa lal Hadya wa lal qalaa-ida (“[dan] jangan [mengganggu] binatang-binatang hadyu, dan binatang-binatang qalaaid.”) maksudnya janganlah sampai kalian tidak berkorban ke Baitul Haram karena dalam berkurban itu terdapat nilai pengagungan terhadap syiar-syiar Allah. Jangan sampai pula kalian tidak mengikatkan tali pada lehernya untuk membedakan dengan hewan lainnya, dan untuk diketahui bahwa hewan kurban itu merupakan persembahan untuk Allah sehingga ia terhindar dari gangguan orang yang hendak mencelakainya. Dan supaya orang yang melihatnya tergerak hatinya untuk berkurban juga. Sebab, sesungguhnya orang yang menyeru untuk berkurban akan mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun. Oleh karena itu, ketika menunaikan ibadah haji Rasulullah saw. menginap di Dzul Hulaifah, yaitu lembah di al-‘Aqiq, maka pada pagi harinya beliau mendatangi [menggilir] kesembilan istrinya. Kemudian beliau mandi dan mengenakan wangi-wangian, lalu mengerjakan shalat dua rakaat. Lalu menandai hewan kurbannya dan memberikan kalung pada hewan tersebut. Kemudian beliau mengerjakan ibadah haji dan umrah. Hewan yang menjadi kurbannya adalah unta yang jumlahnya enam puluh ekor lebih, yang berbadan paling bagus dan berwarna paling indah. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Demikianlah [perintah Allah]. Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (al-Hajj: 32)
Sebagian ulama salaf mengatakan: “Pengagungan syiar-syiar Allah adalah dengan mengurbankan hewan yang paling bagus dan paling gemuk.”
Ali bin Abi Thalib berkata: “Rasulullah saw. menyuruh kami supaya memeriksa mata dan telinga [hewan kurban].” (HR Para penulis kitab as-Sunan).
Firman-Nya: wa laa aammiinal baital haraama yabtaghuuna fadl-lam mirrabbiHim wa ridl-waanan (“Dan jangan [pula] mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridlaan dari Rabbnya.”) maksudnya janganlah kalian membolehkan penyerangan terhadap orang-orang yang hendak menuju ke Baitullah, yaitu suatu tempat dimana orang memasukinya akan menjadi aman. Demikian pula orang-orang yang hendak datang ke Baitullah dengan tujuan hendak mencari karunia Allah dan keridlaan-Nya, maka janganlah kalian merintangi dan menghalang-halangi mereka.
Mengenai firman-Nya: wa ridl-waanan (“Dan keridlaan [dari Rabbnya].”) Ibnu ‘Abbas berkata: “Mereka mencari keridlaan Allah melalui haji yang mereka kerjakan.”Adapun orang yang mendatangi Baitullah dengan maksud untuk berbuat ingkar dan kemusyrikan serta kekufuran di sana, maka ia tidak diperbolehkan. Allah berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (at-Taubah: 28). Oleh karena itu, pada tahun ke-9 Hijrah Rasulullah saw. mengirim utusan, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq ra., sebagai Amirul hajj [pemimpin rombongan haji] pada tahun itu, dan menyuruh Ali bin Abi Thalib supaya menyerukan kepada manusia atas nama Rasulullah saw. tentang “Bara’ah,” (pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya). memberitahukan bahwa setelah tahun ini orang-orang musyrik tidak boleh mengerjakan haji, dan tidak boleh berthawaf di Baitullah dalam keadaan telanjang.
Mengenai firman-Nya: wa laa aammiinal baital haraama (“Dan janganlah [pula] mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah.”) Ibnu Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, [ia berkata]: “Yakni orang-orang yang berangkat menuju Baitullah.”Sebelumnya orang-orang mukmin dan juga orang-orang musyrik sama-sama mengerjakan ibadah haji, lalu Allah melarang orang-orang Mukmin menghalang-halangi siapa saja, baik Mukmin maupun kafir dari Baitullah. Setelah itu Allah menurunkan firman-Nya yang artinya: “sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (at-Taubah:28)
“Tidak pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masji-masjid Allah.” (at-Taubah:17)
“Hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir saja yang memakmurkan masjid-masjid Allah. (at-Taubah: 18)
Dengan demikian, orang-orang musyrik dilarang dari memakmurkan Masjidil haram.
Firman-Nya: wa idzaa halaltum fash-thaaduu (“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.”) maksudnya jika telah usai mengerjakan ibadah ihram dan bertahalul, maka Kami [Allah] membolehkan bagi kalian berburu, yang mana hal itu sebelumnya adalah haram bagi kalian ketika kalian sedang mengerjakan ihram. Perintah tersebut adalah setelah adanya larangan, dan yang benar setelah adanya penyelidikan bahwa kembalinya hukum adalah kepada keadaan semula sebelum adanya larangan. Jika hukum itu bersifat wajib, ia kembali pada wajib; jika sunnah kembali pada sunnah; jika bersifat mubah ia kembali pada mubah. Orang yang berpendapat bahwa hukum mubah itu akan kembali menjadi wajib berarti bertolak belakang dengan banyak ayat-ayat al-Qur’an. Adapun orang yang berpendapat bahwa ia akan kembali menjadi mubah, maka ia dibantah oleh ayat-ayat lain. Dan yang mengatur semua dalil itu adalah apa yang telah disebutkan, sebagaimana yang menjadi pilihan sebagian ulama ushulul fiqih. wallaaHu a’lam.
Firman Allah: walaa yajrimannakum syana-aanu qaumin an shadduukum ‘anil masjidil haraami an ta’taduu (“Dan janganlah sekali-sekali kebencian[mu] kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram mendorong kalian berbuat aniaya [kepada mereka].”)Di antara para qurra (Qurra yang tujuh, selain Ibnu Katsir dan Abu ‘Amir [Ibnu Katsir dan Abu ‘Amr membacanya: “in”) yang membaca “an shadduukum” dengan harakat fathah di atas hamzah [yaitu “an”], maknanya jelas, yaitu janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum yang telah menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram –dan itu terjadi pada tahun Hudaibiyah- menjadikan kalian menghalang-halangi mereka pergi ke Masjidil Haram. Sehingga dengan demikian kalian telah melampaui batas dalam memberlakukan hukum Allah kepada mereka, yang karenanya kalian telah menuntut balas kepada mereka secara dhalim dan penuh rasa permusuhan. Tetapi berlakukanlah hukum sesuai yang diperintahkan Allah kepada setiap orang secara adil. Ayat ini adalah sebagaimana ayat yang akan diuraikan lebih lanjut, yaitu firman-Nya:
Wa laa yajrimannakum syana-aanu qaumin ‘alaa alaa ta’diluu. I’diluu Huwa aqrabu lit taqwaa (“Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa.”) (al-Maa-idah: 8). Maksudnya, janganlah kebencian pada suatu kaum menjadikan kalian berlaku tidak adil. Karena sesungguhnya berbuat adil itu wajib atas setiap orang lain dalam kondisi apapun. Sebagian ulama salaf mengatakan: “Selama engkau diperlakukan orang yang dhalim terhadap dirimu sesuai dengan ketentuan Allah dalam urusannya dan engkau pun berlaku adil terhadapnya, maka akan tegaklah langit dan bumi ini.”
Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Zaid bin Aslam, ia berkata: Rasulullah saw. pernah berada di Hudaibiyah bersama shahabat beliau ketika dihalang-halangi oleh kaum musyrikin dari Baitullah, yang dilakukan keras terhadap mereka. lalu ada sekelompok kaum musyrikin dari penduduk daerah timur yang melewati mereka yang hendak menunaikan umrah, maka para shahbat Nabi berkata: “Kami akan menghalangi mereka sebagaimana shahabat-shahabat mereka telah menghalangi kami.” Maka Allah menurunkan ayat ini.Asy-syana-aanu; berarti kebencian. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas dan ulama lainnya.
Firman Allah: wa ta’aawanuu ‘alal birri wat taqwaa wa laa ta’aawanuu ‘alal itsmi wal ‘udwaani (“dan tolong-menolonglah kamu dalam [mengerjakan] kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”) maknanya Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa tolong menolong dalam berbuat kebaikan, itulah yang disebut dengan al-birru [kebajikan]; serta meninggalkan segala bentuk kemungkaran, dan itulah dinamakan dengan at-taqwa. Allah swt. melarang mereka tolong menolong dalam hal kebathilan, berbuat dosa dan mengerjakan hal-hal yang haram.
Imam Ahmad berkata, dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. bersabda: “Tolonglah saudaramu, baik yang dalam keadaan berbuat dhalim atau didhalimi.” Ditanyakan, “Ya Rasulallah, aku akan menolong orang yang didhalimi, lalu bagaimana aku akan menolongnya jika ia dalam keadaan berbuat dhalim ?” Beliau menjawab: “Menghindarkan dan melarangnya dari kedhaliman, itulah bentuk pertolongan baginya.”
(Hadits yang senanda juga diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri dari Husyaim. Muslim juga mengeluarkannya dari Anas)
 Sehubungan dengan itu, Ibnu Katsir katakan bahwa di dalam hadits shahih disebutkan: “Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala yang diterima oleh orang yang mengikutinya sampai hari kiamat, tanpa mengurangi pahala mereka [orang-orang yang mengikuti petunjuk itu] sedikitpun. Barangsiapa menyeru pada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa yang dilakukan oleh orang yang mengikutinya sampai hari kiamat, dan hal itu tidak mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka [orang-orang yang mengikutinya].” (diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitabnya, Sunan Abi Dawud bab “as-Sunnah”)
c. Tafsir Al-Misbah
Ayat ini merinci apa yang disinggung di atas. Rincian itu dimulai dengan hal-hal yang berkaitan  dengan haji dan umrah, yang pada ayat lalu telah disinggung, yakni tidak menghalalkan berburu ketika sedang dalam keadaan berihram. Disini sekali lagi Allah menyeru orang-orang beriman : Hai orang-orang beriman, janganlah kamu melangar syi’ar-syi’ar Allah dalam ibadah haji dan umrah bahkan semua ajaran agama, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, yakni Dzul Qa’idah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab, jangan mengganggu binatang al-hadya, yakni binatang yang akan disembelih di Mekah  dan sekitarnya, dan yang dijadikan sebagai         persembahan kepada Allah, demikian juga jangan mengganggu al-qalaid, yaitu binatang-binatang yang dikalungi lehernya sebagai tanda bahwa ia adalah persembahan yang sangat istimewa, dan jangan juga mengganngu  para pengunjung baitullah, yakni siapa pun yang ingin melaksanakan ibadah haji atau umrahsedang mereka melakukan hal tersebut dalam keadaan mencari dengan sungguh-sungguh karunia keuntungan duniawi dan keridhaan ganjaran ukhrawi dari Tuhan mereka.
Apabila kamu telah bertaballul menyelesaikan ibadah ritual haji atau umrah, atau karena satu dan lain sebab sehingga kamu tidak menyelesaikan ibadah kamu, misalnya karena sakit atau terkepung musuh, maka berburulah jika kamu mau
Dan janganlah sekali-kali kebencian yang telah mencapai puncaknya sekalipun kepada suatu kaum karena menghalang-halangi kamu dari Masjid al-Haram, mendorong kamu berbuat aniaya kepada mereka atau selain mereka. Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan, yakni segala bentuk dan macam hal yang membawa kepada kemaslahatan duniawi dan atau ukhrawi dan demikian juga tolong-menolonglah dalam ketakwaan, yakni segala upaya yang dapat menghindarkan bencana duniawi dan atau ukhrawi, walaupun dengan orang yang tidak seiman dengan kamu, dan jangan tolong-menolong dalam berbuatdosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Kata sya’a’ir adalah kata jamak dari kata sya’irah yang berarti tanda, atau bisa juga dinamai syi’ar.Ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 158, penulis kemukakan bahwa syi’ar seakar dengan kata syu’ur yang berarti rasa. Yakni tanda-tanda agama dan ibadah yang ditetapkan Allah. Tanda-tanda itu dinamai syi’ar karena ia seharusnya menghasilkan rasa hormat dan agung kepada Allah swt.
Ada bermacam-macam tanda-tanda itu. Ada yang merupakan tempat seperti Shafa dan Marwah serta Masy’ar al-Haram, ada juga berupa waktu, seperti bulan-bulan Haram, dan ada lagi dalam wujud sesuatu, sepertial-hadya dan al-qala’id, yakni binatang kurban yang dipersembahkan kepada Allah.
Kata haram pada mulanya berarti terhormat. Sesuatu yang dihormati biasanya lahir sebagai penghormatan terhadap aneka larangan yang berkenaan dengannya.
Yang dimaksud dengan orang-orang yang mengunjungi Baitullah adalah kaum musyrikin yang ketika turunnya ayat ini, masih diperbolehkan mengunjungi Ka’bah untuk melaksanakan haji atau umrah, bukan untuk tujuan lain, misalnya untuk mengganggu kaum muslimin. Itu sebabnya ayat ini tidak menyatakan  mengunjungi Mekah. Salah satu alasan yang menguatkan penafsiran ini bahwa orang-orang Muslin terlarang mengganggu mereka kapan dan dimanapun, sehingga dengan larangan khusus ini, pastilah ia bukan ditunjukkan terhadap orang-orang beriman. Namun kiranya diingat bahwa jika orang-orang musyrik saja ketika itu tidak  boleh diganggu pada saat mereka akan melaksanakan haji, maka lebih-lebih lagi umat islam. Selanjutnya perlu juga dicatat bahwa izin bagi kaum musyrikin untuk melanjutkan haji sesuai tradisi nabi Ibrahim a.s, bahkan izin bagi mereka untuk memasuki masjid Al-Haram telah dicabut Allah dengan firmannya dalam Surah At-Taubah ayat : 28, yang artinya :
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati masjid Al-Haram sesudah tahun ini. (QS.At-Taubah : 28) yakni sesudah tahun kesembilan Hijrah. Sementara surah Al-Maidah – menurut sementara ulama turun setelah nabi saw. Kembali dari peranjian Hudaibiyah pada bulan Dzulhijah tahun ke-6 Hijrah.
Satu riwayat menyatakan bahwa larangan ini turun berkenaan dengan rencana beberapa kaum muslimin untuk merampas unta-unta oleh serombongan kaum musyrikin dari suku penduduk Yamama, dibawah pimpinan Syuraih Ibn Dhubai’ah yang digelar al-hutham, dengan alasan bahwa unta-unta itu milik kaum muslimin yang pernah mereka rampas.
Bahwa ayat diatas melarang kaum muslimin menghalangi kaum musyrikin yang akan melaksanakan Haji- sesuai keyakinan mereka- cukup menjadi bukti betapa tinggi toleransi yang diajarkan oleh islam. Memang, hal itu kemudian dilarang – khusus untuk memasuki kota Mekah – tetapi larangan tersebut karena pertimbangan keamanan dan kesucian kota itu.
Ada juga ulama yang memahami para pengunjung Baitullah yang dimaksud oleh ayat diatas, adalah kaum muslimin, bukan kaum musyrikin. Imam Fakhruddin – razi termasuk salah seorang ulama yang berpendapat demikian, dengan alasan larangan melanggar syiar-syiar Allah pada awal ayat ini. Syiar-syiar itu, tulisnya, pastilah yang direstui oleh Allah sehingga tentu ia merupakan syiar kaum muslimin, bukan orang-orang musyrik. Demikian juga akhir penggalan ayat itu yang menyatakan : “mereka mencari karunia dan keridahan dari Tuhan mereka.” Redaksi semacam ini, tulis Ar-razi, hanya wajar bagi orang muslimin, bukan bagi orang kafir.
Kata syana’an adalah kebencian yang telah mecapai puncaknya. Dari pengertian tersebut maka firman-Nya: Dan janganlah sekali-kali kebencian kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masid al-Haram mendorong, kamu berbuat aniaya, merupakan bukti nyata betapa Al-Qur’an menekankan keadilan.
Firman-Nya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan jangan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dengan siapapun, selama tujuannya adalah kebaikan dan ketakwaan.
d. Tafsir Jalalain
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah) jamak sya`iiratun; artinya upacara-upacara agama-Nya. Melanggar yaitu dengan berburu di waktu ihram (dan jangan pula melanggar bulan haram) dengan melakukan peperangan padanya (dan jangan mengganggu binatang-binatang hadya) yakni hewan yang dihadiahkan buat tanah suci (serta binatang-binatang berkalung) jamak dari qilaadatun; artinya binatang yang diberi kalung dengan kayu-kayuan yang terdapat di tanah suci sebagai tanda agar ia aman, maka janganlah ada yang mengganggu baik hewan-hewan itu sendiri maupun para pemiliknya (jangan pula) kamu halalkan atau kamu ganggu (orang-orang yang berkunjung) atau menuju (Baitulharam) dengan memerangi mereka (sedangkan mereka mencari karunia) artinya rezeki (dari Tuhan mereka) dengan berniaga (dan keridaan) daripada-Nya di samping berkunjung ke Baitullah tidak seperti pengertian mereka yang salah itu. Ayat ini dimansukh oleh ayat Bara`ah. (Dan apabila kamu telah selesai) dari ihram (maka perintahlah berburu) perintah di sini berarti ibahah atau memperbolehkan (dan sekali-kali janganlah kamu terdorong oleh kebencian) dibaca syana-aanu atau syan-aanu berarti kebencian atau kemarahan (kepada suatu kaum disebabkan mereka telah menghalangi kamu dari Masjidilharam untuk berbuat aniaya) kepada mereka dengan pembunuhan dan sebagainya. (Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan) dalam mengerjakan yang dititahkan (dan ketakwaan) dengan meninggalkan apa-apa yang dilarang (dan janganlah kamu bertolong-tolongan) pada ta`aawanu dibuang salah satu di antara dua ta pada asalnya (dalam berbuat dosa) atau maksiat (dan pelanggaran) artinya melampaui batas-batas ajaran Allah. (Dan bertakwalah kamu kepada Allah) takutlah kamu kepada azab siksa-Nya dengan menaati-Nya (sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya) bagi orang yang menentang-Nya.
C. Aplikasi dalam kehidupan
Sebagai makhluk social, manusia tidak bias hidup sendirian. Meski segalanya telah dimiliki, harta benda yang berlimpah sehingga setiap apa yang dia mau dengan mudah dapat terpenuhi, tetapi jika ia hidup sendirian tanpa orang lain yang menemani tentu akan kesepian pula. Kebahagiaan pun mungkin tak akan pernah ia rasakan.
Lihat saja, betapa merananya nabi Adam ketika tinggal di surga. Segala kebutuhan yang beliau perlukan disediakan oleh Allah SWT. Apa yang beliau mau saat itu juga dapat dinikmatinya. Tetapi lantaran beliau tinggal sendirian di sana, beliau merasa kesepian. Semua yang telah di sediakan oleh Allah bak berasa hampa menikmatinya.
Dalam kesendirian yang diselimuti rasa kesepian itu Adam berdo’a pada Allah agar diberikan seorang teman. Allah pun mengabulkannya, dengan menciptakan Hawa untuk menemaninya sebagaimana diceritakan dalam AlQur’an.
Sebagai makhluk social pula manusia membutuhkan orang lain. Tak hanya sebagai teman dalam kesendirian, tetapi juga partner dalam melakukan segala sesuatu. Entah itu aktifitas ekonomi, social, budaya, politik maupun amal perbuatan yang terkait dengan ibadah kepada Allah. Dis sinilah tercipta hubungan untuk saling tolong menolong antara manusia satu dengan yang lain.
D. Aspek tarbawi
a. Allah melarang umat manusia saling mendukung kebathilan dan bekerjasama dalam perbuatan dosa dan perkara haram.
b. Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan meninggalkan kemungkaran.
c. Manusia sebagai makhluk social tidak bisa hidup sendirian.













BAB III
PENUTUP
Simpulan
Pengertian Ta’awun adalah sifat tolong menolong di antara sesama manusia dalam hal kebaikan dan takwa. Dalam ajaran Islam, tolong menolong merupakan kewajiba muslim. Sedangkan kerjasama, yaitu suatu bentuk usaha bersama antara beberapa orang atau atara beberapa lembaga tertentu untuk mencapai tujuan yang sama.
Dalam sebuah hadist mengatakan bahwa "Perumpamaan orang-orang mukmin dalam (menjalin) cinta dan kasih sayang di antara mereka bagaikan tubuh yang satu, apabila ada anggota (tubuh) yang merasa sakit, maka seluruh anggota yang lainnya merasa demam dan tidak bias tidur." (HR. Muslim).
Imam Ahmad berkata, dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. bersabda: “Tolonglah saudaramu, baik yang dalam keadaan berbuat dhalim atau didhalimi.” Ditanyakan, “Ya Rasulallah, aku akan menolong orang yang didhalimi, lalu bagaimana aku akan menolongnya jika ia dalam keadaan berbuat dhalim ?” Beliau menjawab: “Menghindarkan dan melarangnya dari kedhaliman, itulah bentuk pertolongan baginya.”
(Hadits yang senanda juga diriwayatkan oleh al-Bukhari sendiri dari Husyaim. Muslim juga mengeluarkannya dari Anas)
 Sehubungan dengan itu, Ibnu Katsir katakan bahwa di dalam hadits shahih disebutkan: “Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala yang diterima oleh orang yang mengikutinya sampai hari kiamat, tanpa mengurangi pahala mereka [orang-orang yang mengikuti petunjuk itu] sedikitpun. Barangsiapa menyeru pada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa yang dilakukan oleh orang yang mengikutinya sampai hari kiamat, dan hal itu tidak mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka [orang-orang yang mengikutinya].” (diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitabnya, Sunan Abi Dawud bab “as-Sunnah”)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahalli, Jalaluddin dan As-Suyuti, Jalaluddin. 2005. Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul cet ke-4. Bandung: Sinar Baru.
Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa. 1974. Tafsir Al-Maraghi Juz 6. Semarang: Thoha Putra.
Quraish Shohab M. 2002.  Tafsir Al-Misbah pesan. Kesan, dan Keserasian AL-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib. 2005. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Jakarta: Gema Insani.










PROFIL PENULIS
   
    





Tidak ada komentar:

Posting Komentar