Laman

Selasa, 02 Mei 2017

TT2 A12c TOLERANSI DALAM KERAGAMAN GLOBAL (QS. Al-Baqarah 2: 256)

“PENDIDIKAN SOSIAL-UNIVERSAL”
TOLERANSI DALAM KERAGAMAN GLOBAL
(QS. Al-Baqarah 2: 256)

M. Khusni Mubarok ( 202 111 5367 ) 
Kelas A

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017





KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, serta hidayahnya kepada saya, sehingga saya telah menyelesaikan tugas makalah Tafsir Tarbawi II dengan baik.
Ucapan terimakasih saya kepada Bapak M. Hufron, M.S.I selaku dosen pengampu mata kuliah Tafsir Tarbawi II yang telah memberikan wawasan ilmunya mengenai ilmu agama yang sangat bermanfaat bagi saya. Terimakasih juga kepada kedua orang tua saya yang telah memberikan dorongan serta motivasi dalam menjalani masa perkuliahan ini. Terimakasih kepada teman-teman mahasiswa-mahasiswi IAIN Pekalongan khususnya teman-teman mata perkuliahan Tafsir Tarbawi II kelas A yang telah memberikan semangatnya dan sharing-saharing ilmunya sehingga saya mudah dalam mengerjakan makalah ini.
Saya mohon maaf apabila dalam makalah ini masih terdapat kekurangan baik itu isi materinya, penulisan makalah yang belum benar dan sebagainya, karena sesungguhnya manusia itu tidak luput dari yang namanya kesalahan. Saya sebagai penulis makalah, mohon untuk memberikan saran maupun kritik kepada pembaca tentang makalah ini, agar kedepannya saya bisa memperbaiki apa saja yang masih kurang ataupun yang masih salah sehingga bisa lebih baik lagi dalam penulisan makalah selanjutnya.
Harapan saya mudah-mudahan makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca, dan bisa memberikan wawasan mengenai ilmu agama yaitu Tafsir Tarbawi II. Semakin banyak kita membaca maka kita akan memiliki ilmu dan pengetahuan yang sangat baik.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Pekalongan, 03 Mei 2017





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial tentunya manusia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan individu lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda warna dengannya salah satunya adalah perbedaan agama.
Dalam menjalani kehidupan sosialnya tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan ras maupun agama. Dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghormati dan saling menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian dapat dihindari. Masyarakat juga dituntut untuk saling menjaga hak dan kewajiban di antara mereka antara yang satu dengan yang lainnya.
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antar umat beragana. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, dan tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya.
Demikian juga sebaliknya, toleransi antar umat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Kebebasan dan toleransi tidak dapat diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya, misalnya penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi dan usaha untuk merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan. Untuk dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan beragama dan toleransi antar umat beragama merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat.

B.     Judul Makalah
Judul makalah yang akan saya bahas kali ini yaitu mengenai tentang “Toleransi Dalam Keragaman Global“



C.    Nash QS. Al-Baqarah: 256
لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ قَدْتَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِاسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَا لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ (۲۵۶ 
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256)
D.    Arti Penting
Mengapa penting ayat ini untuk dikaji?. Penting sekali karena ayat ini membahas bahwanya agama Islam itu tidak ada paksaan untuk memasukinya. Umat Islam tidak akan memaksa siapa pun bagi orang-orang yang belum masuk Islam untuk masuk Islam. Umat Islam menjadikan ayat ini sebagai prinsip agama dan politik yang sangat tinggi. Sebab itu mereka tidak membenarkan pemaksaan beragama kepada siapapun, seperti halnya tidak pula membenarkan seseorang memaksa orang Islam keluar dari agamanya.
Prinsip ini dapat kita pegang dengan baik, kalau kita punya kekuatan untuk membela Islam dan umat kita dari serangan musuh. Allah SWT memerintahkan kita berdakwah dengan bijaksana, nasihat yang baik, dan membantah musuh dengan cara lebih baik, disamping tetap menjamin kemerdekaan berdakwah dan menutup pintu fitnah.
Toleransi yang ditanamkan ayat inilah yang dapat kita pelajari dan dapat kita terapkan dalam kehidupan karena Islam itu memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap agama-agama lain, agama Islam menghargai satu sama lain tidak memandang apapun.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori
Dalam konteks keagamaan yang global ini, tentu saja, ajaran Yahudi dan Kristen merupakan ajaran ke mana Islam memiliki keterhubungan paling kuat. Nabi-nabi Yahudi dan Yesus dihormati secara mendalam oleh umat Islam. Perawan Maria dipandang oleh Al-Qur’an memiliki kedalaman spiritual paling mengagumkan di antara seluruh wanita. Satu surah Al-Qur’an dinamakan sesuai dengan namanya dan satu-satunya wanita yang disebut langsung dengan namanya dalam kitab suci Islam. Lebih dari itu, kelahiran supernatural Yesus dari seorang ibu perawan dikonfirmasi oleh Al-Qur’an. Keimanan terhadap masalah tersebut begitu kuat dalam diri umat Islam sehingga dalam dialog antar agama dengan Kristen ataupun Yahudi dewasa ini, kaum Muslim sering kebagian porsi menjelaskan dan mempertahankan  doktrin-doktrin tradisional agama Yahudi dan Kristen di hadapan para penafsir modern, seperti tentang kelahiran ajaib Yesus, yang berusaha mereka reduksi menjadi sebuah metafor atau seperti kisah sejarah nabi-nabi Yahudi yang mereka reduksi sebisa mungkin menjadi sebuah kisah imajinatif dan emosional.[1]
Tuhan tidak berkeinginan memaksa makhluk-Nya untuk beriman kepada-Nya, tetapi Dia ingin makhluk-Nya beriman atas dasar kehendak dan suara hati mereka sendiri. Mematuhi hukum dalam masyarakat adalah satu hal, tetapi tidak berarti masyarakat dapat dipaksa untuk memiliki keimanan. Drama besar setiap jiwa manusia baik untuk menerima atau menolak panggilan Tuhan tidak terlepas dari keadaan manusia itu sendiri, dan Islam, sambil menekankan tugas-tugas kita terhadap Tuhan, juga menekankan hak-hak kita dan bahkan kewajiban kita untuk ambil bagian dan ikut serta dalam drama jiwa ini. Tidak satu pun kekuasaan manusia di luar dirinya yang dapat menghilangkan hak-hak dan tugas-tugas ini.[2]
Kerja dakwah adalah kerja menggarami kehidupan umat manusia dengan nilai-nilai iman, Islam, dan taqwa, demi kebahagiaan kita kini dan nanti. Kerja ini adalah kerja yang tak pernah rampung. Selama denyut nadi kegiatan duniawi manusia masih dibiarkan berlangsung, selama itu pula umat Islam berkewajiban menyampaikan risalah kenabian dalam kondisi dan situasi yang bagaimanapun coraknya. Isi pesan itu pada hakikatnya merupakan tuntutan abadi nurani manusia sepanjang zaman. Dimata Al-Qur’an, ucapan yang terbaik adalah ucapan orang yang menyeru kepada Allah, beramal saleh, dan memproklamasikan dirinya sebagai seorang yang berserah diri, sebagai salah seorang anggota dari komunitas Muslim.(QS. Fushilat: 33). Komunitas Muslim adalah suatu komunitas yang ditegakkan atas sendi-sendi moral iman, Islam, dan taqwa yang dipahami secara padu, utuh dan benar. Ini adalah suatu komunitas yang tidak eksklusif, karena ia berfungsi sebagai komunitas teladan di tengah-tengah arus kehidupan yang penuh dinamika, tantangan, dan pilihan-pilihan yang kadang-kadang sangat dilematis. Hanya dengan ketajaman iman dan kecerdasan sajalah kita akan dapat menetapkan pilihan yang tepat dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam masyarakat, dan sekaligus memberi arah moral kepada perubahan itu.[3]
Umat Islam yang digambarkan Al-Qur’an sebagai khaira umma (QS. Ali Imran: 110) yang bertugas menegakkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar adalah umat yang padu lahir batin, bukan umat yang bertingkai-pakai lantaran dominasi subjektivisme dalam memahami agama. Memang dalam sejarah perjalanan umat, masa ideal ini tidak berlangsung lama, tapi jelas masa itu sepenuhnya historis, bukan mitos.[4]
B.     Tafsir QS. Al-Baqarah: 256
1.      Tafsir Al-Azhar
Menurut riwayat dari Abu Daud dan An Nasaai, dan Ibnul Mundzir dan Ibnu Jarir dan Ibnu Hibban dan Ibnu Mardawaihi dan Al Baihaqy dari Ibnu Abbas dan beberapa riwayat yang lain, bahwasanya penduduk Madinah sebelum mereka memeluk agama Islam, merasa bahwa kehidupan orang Yahudi lebih baik dari hidup mereka, sebab mereka Jahiliyah. Sebab itu di antara mereka ada yang menyerahkan anak kepada orang Yahudi untuk mereka didik dan setelah besar anak-anak itu menjadi orang Yahudi. Ada pula perempuan Arab yang tiap beranak siap mati, maka kalau dapat anak lagi, lekas-lekas diserahkannya kepada orang Yahudi. Dan oleh orang Yahudi anak-anak itu di-Yahudi-kan. Kemudian orang Madinah menjadi Islam, menyambut Rasulullah SAW dan menjadi Al Anshar. Maka setelah Rasulullah pindah ke Madinah dibuatlah perjanjian bertetangga baik dengan kabilah-kabilah Yahudi yang tinggal di Madinah itu. Tetapi dari bulan ke bulan tahun ke tahun perjanjian itu mereka mungkiri, baik secara halus maupun secara kasar. Akhirnya terjadilah pengusiran atas Bani Nadhir yang telah dua kali kedapatan hendak membunuh Nabi. Lantaran itu diputuskanlah mengusir habis seluruh kabilah Bani Nadhir itu keluar dari Madinah. Rupanya ada pada Bani Nadhir itu anak orang Anshar yang telah mulai dewasa, dan telah menjadi orang Yahudi. Ayah anak itu memohonkan kepada Rasulullah SAW supaya anak itu ditarik ke Islam, kalau perlu dengan paksa. Sebab si ayah tidak sampai hati bahwa dia memeluk Islam, sedang anaknya menjadi Yahudi. “Belahan diriku sendiri akan masuk neraka, ya Rasulullah!” Kata orang Anshar itu. Dan diwaktu itulah turun ayat ini:
“TIDAK ADA paksaan dalam agama”.(pangkal ayat 256). Kalau anak itu sudah terang menjadin Yahudi, tidaklah boleh dia dipaksa memeluk Islam.
Menurut riwayat Ibnu Abbas, Nabi SAW hanya memanggil anak-anak itu dan disuruh memilih, apakah mereka sudi memeluk agama ayah mereka, yaitu Islam atau tetap dalam Yahudi dan turut diusir? Dan menurut riwayat, ada di antara anak-anak itu yang memilih Islam dan ada yang terus jadi Yahudi dan sama berangkat dengan Yahudi yang mengasuhnya itu meninggalkan Madinah. Keyakinan suatu agama tidaklah boleh dipaksakan, sebab: “Telah nyata kebenaran dan kesesatan”. Orang boleh mempergunakan akalnya buat menimbang dan memilih kebenaran itu, dan orang pun memiliki fikiran waras untuk menjauhi kesesatan. “Maka barang siapa yang menolak segala pelanggar batas dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya telah berpeganglah dia dengan tali yang amat teguh, tidak akan putus selama-lamanya ”. Agama Islam memberi orang kesempatan buat mempergunakan  fikirannya yang murni, guna mencari kebenaran. Asal orang sudi membebaskan diri dari pada hanya turut-turutan dan pengaruh dari hawa nafsunya, niscaya dia akan bertemu dengan kebenaran itu. Apabila inti kebenaran sudah didapat, niscaya Iman kepada Tuhan Allah mesti timbul, dan kalau iman kepada Tuhan Allah, Yang tunggal telah tumbuh, segala pengaruh dari yang lain, dari sekalian pelanggar batas mesti hilang. Tetapi suasana yang seperti ini tidak bisa dengan paksa, mesti timbul dari keinsafan sendiri. “Dan Allah adalah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui”. (Ujung ayat 256). didengarNya permohonan hambaNya minta petunjuk. DiketahuiNya hambaNya berusaha mencari kebenaran.
Sungguh-sungguh ayat ini suatu tantangan kepada manusia, karena Islam adalah benar. Orang tidak akan dipaksa memeluknya, tetapi orang hanya diajak buat berfikir. Asal dia berfikir sehat, dia pasti akan sampai kepada Islam. Tetapi kalau ada paksaan, mestilah timbul perkosaan fikiran, dan mestilah timbul taklid. Manusia sebagai orang seorang akan datang dan akan pergi, akan lahir dan akan mati. Tetapi fikiran manusia akan berjalan terus. Penilaian manusia atas agama akan dilanjutkan dan kebebasan berfikir dalam memilih keyakinan adalah menjadi tujuan dari manusia yangbtelah maju.[5] 


2.      Tafsir Al-Maraghi
Tidak ada paksaan memasuki agama (Islam). Karena iman merupakan pernyataan kesadaran dan kepatuhan. Keduanya tidak dapat dipaksakan, tetapi bisa diusahakan dengan menyampaikan hujjah dan bukti-bukti kebenaran.
Ayat ini cukup dijadikan dasar menolak tuduhan musuh-musuh Islam dan sebagian orang-orang Islam sendiri, bahwa Islam sendiri, bahwa Islam ditegakkan dengan pedang. Sebenarnya Islam ini ditawarkan kepada manusia dengan kekerasan (demikian kata mereka). Siapa yang mau menerima akan selamat. Tetapi siapa yang menolak, maka pedanglah sebagai hakimnya. Sejarah menjadi saksi yang jujur, bahwa betapa dustanya tuduhan yang dibuat-buat ini. Pernahkah Nabi menggunakan pedang untuk memaksa seseorang masuk Islam?. Bahkan Nabi pada masa permulaan dakwah mengerjakan shalat dengan sembunyi-sembunyi, sedangkan kaum musyrik selalu menganiaya beliau dengan berbagai cara dan siksaan pada umat Islam.
Kaum musrik tidak mendapat kesulitan untuk mengaiaya orang-orang Islam yang lemah, sehingga dengan terpaksa Nabi dan para sahabatnya berhijrah. Adakah pernah ketika masa Madinah, masa kejayaan Islam, terjadi tindakan pemaksaan beragama?. Padahal ayat ini turun pada saat Islam mulai memperoleh kejayaannya. Tentang peperangan umat Islam dengan orang Yahudi Bani Nadhir pada tahun ke-4 Hijriah sama sekali bukan usaha pemaksaan beragama.
Terjadinya pemaksaan beragama memang dikenal dalam beberapa agama, terutama agama Kristen, yang memaksa orang memeluk agamanya dengan cara apa saja.[6]

3.      Tafsir Al-Mishbah
Setelah jelas bagi setiap orang, melalui ayat yang lalu, siapa Allah dan kewajaran-Nya untuk disembah, serta keharusan mengikuti agama yang ditetapkan-Nya, serta jelas pula bahwa Dia memiliki kekuasaan yang tidak terbendung, maka bisa jadi ada yang  menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan bagi Allah untuk memaksa makhluk menganut agama-Nya, apalagi dengan kekuasaan-Nya yang tidak terkalahkan itu. Untuk menampik dugaan ini, datanglah ayat 256 di atas.
Tidak ada paksaan dalam menganut agama. Mengapa ada paksaan, padahal Dia tidak membutuhkan sesuatu, Mengapa ada paksaan, padahal Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja). Perlu dicatat, bahwa yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang telah memilih satu akidah, katakana saja akidah Islam, maka dia terikat dengan tuntunan-tuntunannya, dia berkewajiban melaksanakan perintah-perintahnya. Dia terancam sanksi bila melanggar ketetapannya. Dia tidak boleh berkata, “Allah telah memberi saya kebebasan untuk shalat atau tidak, berzina atau nikah.” Karena bila dia telah menerima akidahnya, maka dia harus melaksanakan tuntunannya.
Kembali kepada penegasan ayat ini, tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama; Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Agama-Nya dinamai Islam, yakni damai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam.
Mengapa ada paksaan, padahal telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Jika demikian, sangatlah wajar setiap pejalan memilih jalan yang benar, dan tidak terbawa ke jalan yang sesat. Sangatlah wajar semua masuk agama ini. Pasti ada sesuatu yang keliru dalam jiwa seseorang yang enggan menelusuri jalan yang lurus setelah jelas jalan itu terbentang di hadapannya.
Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah jelas jalan yang lurus. Itu sebabnya, sehingga orang gila dan yang belum dewasa, atau yang tidak mengetahui tuntunan agama, tidak berdosa jika melanggar atau tidak menganutnya, karena bagi dia jalan jelas itu belum diketahuinya. Tetapi anda jangan berkata, bahwa Anda tidak tahu jika Anda mempunyai potensi untuk mengetahui tetapi potensi itu tidak Anda gunakan. Disini Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang Anda miliki.[7]

4.      Tafsir Ibnu Katsir
Allah Ta’ala berfirman, “Tidak ada paksaan dala agama.” Maksudnya, janganlah kamu memaksa seorang pun untuk memasuki agama Islam, karena agama Islam itu sudah jelas dan terang. Dalil-dalil dan argumentasinya sudah nyata sehingga seseorang tidak perlu dipaksa supaya masuk agama Islam. Namun, orang yang ditunjukkan kepada Islam, dilapangkan hatinya, dan disinari mata hatinya oleh Allah, maka ia akan masuk kedalamnya secara terang benserang. Adapun orang yang hatinya dibutakan Allah, pendengaran, dan penglihatannya dikunci mati oleh Allah, maka tidaklah berguna memaksanya untuk memasuki Islam.
Diceritakan bahwa ayat ini turun karena ada seorang wanita Anshar berjanji kepada dirinya bahwa apabila putranya hidup, maka dia akan menjadikannya Yahudi. Tatkala Bani Nadhir diusir dan di antara mereka ada anak-anak kaum Anshar, maka kaum Anshar berkata, “Kami tidak akan membiarkan anak kami menjadi Yahudi.” Maka Allah akan menurunkan ayat, “Tidak ada paksaan dalam agama.” Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas.
Cerita senada diceritakan pula oleh Abu Daud dan Nasa’I dari Bandar, serta diriwayatkan oleh Abu Hatim dan Ibnu Hibban dari Hadits syu’bah. Demikian pula Mujahid dan yang lainnya mengatakan bahwa ayat diatas diturunkan karena kejadia tersebut. Muhammad bin Ishak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa ayat itu diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki dari Bani Salim bin Auf yang bernama Al Hushaini. Dia menasranikan kedua putranya yang telah memeluk agana Islam. Maka dia berkata kepada Nabi SAW, “Apakah saya dianggap memaksa keduanya, padahal keduanya telah menolak agama kecuali agama Nasrani?” Maka Allah menurunkan ayat diatas berkaitan dengan itu. Ayat ini telah dinasakh dengan ayat mengenai perang, “Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam).” (al fath: 16) Allah berfirman, “Wahai Nabi, berjihadlah melawan kaum kafir dan munafik serta bersikap keraslah kepada mereka.” Dan Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka mendapat kekerasan dari kamu, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (at Taubah:123)
Berdasarkan hal itu, maka seluruh umat wajib diseru untuk memasuki agama Islam. Apabila ada yang menolak masuk Islam atau tidak membayar jiayah, maka dibunuh hingga mati. Inilah makna memaksa. Dalam kitab sahih dikatakan (409), “Tuhanmu heran kepada kaum yang digiring ke dalam surga dengan dibelenggu.” Maksudnya, para tawanan yang dibawa ke dalam Islam dalam keadaan diikat dan dibelenggu, kemudian mereka masuk Islam, memperbaiki amal-amalnya dan sikap hatinya sehingga mereka menjadi penghuni surga.[8]


C.    Aplikasi dalam Kehidupan
Allah SWT telah menjelaskan kepada kita semua, bahwa apa itu taghut dan hukum bagi orang-orang yang beriman kepada taghut, selain itu ayat ini juga menjelaskan, bahwa tidak adanya paksaan kepada siapapun untuk masuk Islam, dan jelas-jelas sudah bahwa kegiatan terorisme yang marak terjadi belakangan ini para pelakunya bukanlah orang-orang Islam yang lurus jalannya melainkan orang-orang Islam sesat, dan celakalah mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari kita mulai menumbuhkan sikap yang toleransi kepada siapapun, yang lebih baik lagi toleransi kepada orang yang berbeda agama, misalnya menghormati orang beda agama yang sedang melaksanakan Ibadahnya, tidak membeda-bedakan satu sama lain, dan bahwasanya Islam itu adalah agama yang mencintai kedamaian.

D.    Aspek Tarbawi
Nilai pendidikan yang dapat diambil dalam surat Al-Baqarah ayat 256, antara lain:
1.      Bahwa agama itu (pada dasarnya) tidak bisa dipaksakan.
2.      Ayat ini juga menegaskan bahwa tidak benar Islam disiarkan dengan kekerasan, pedang, kekuasaan, dan sebagainya karena Islam tidak mengajarkan kekerasan dan pemaksaan.
3.      Setiap orang tua supaya menanamkan Iman dan Islam sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan, karena orang tualah yang bisa menjadikan Islam, Yahudi, Majusi, atau Nasrani.
4.      Umat Islam harus menggalakkan dakwah, menjelaskan Islam (kebenaran) setiap waktu, setiap saat, setiap kesempatan kapanpun, dimanapun kepada umat manusia supaya Islam dapat dipahami dengan baik dan benar serta tidak disalah artikan.



BAB III
PENUTUP
Simpulan
Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi toleransi dan Islam merupakan agama yang menghormati agama yang lainnya. Sebagai umat Islam kita wajib memperkuat keimanan kita agar kita tidak mudah digoyahkan oleh akidah-akidah yang menyesatkan karena akhir-akhir ini banyak orang yang sudah tersesat oleh akidah yang tidak benar. Cara memperkuat keimanan kita kepada Allah SWT yaitu dengan mempelajari Ilmu Tauhid yang membahas tentang keesaan Allah SWT dan juga kita wajib mengetahui sifat-sifat Allah SWT, baik itu sifat Wajib Allah, Sifat Mustahil Allah, dan sifat Jaiz Allah yang terdapat dalam Aqoid 50. Dengan demikian maka keimanan kita akan semakin kuat dan selalu dekat kepada Allah SWT. Karena sesuatu amal Ibadah yang banyak ketika tidak didasari dengan keimanan yang kuat, maka akan sia-sia semua amal Ibadah tersebut.
Intinya seseorang yang masuk Islam itu bukan karena paksaan melainkan karena kesadaran hati nuraninya yang sudah terbuka mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Sebagai umat Islam kita harus bertingkah laku yang baik kepada sesama manusia sekalipun itu non Muslim, dengan kita menghargai satu sama lain maka mereka akan memandang bahwa agama Islam itu adalah agama yang bisa dicontoh untuk agama-agama yang lain.



DAFTAR PUSTAKA
Seyyed Hossein Nasr. 2003. The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan. (Bandung: Mizan Pustaka).
Ahmad Syafii Maarif. 1995. Membumikan Islam. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah. 1982. Tafsir Al-Azhar. (Yogyakarta: Panji Masyarakat).
Ahmad Musthafa Al-Maraghi. 1986. Tafsir Al-Maraghi. (Yogyakarta: Sumber Ilmu).
M. Quraish Shihab. 2005. Tafsir Al-Mishbah. (Jakarta: Lentera Hati).
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i. 2006. Tafsir Ibnu Katsir. (Jakarta: Gema Insani).







                                          PROFIL PEMAKALAH
MAHASISWA IAIN PEKALONGAN

Nama                                 : M. Khusni Mubarok
Tempat/tanggal lahir         : Pekalongan, 13 November 1996
Alamat                              : Desa Bugangan No.29 RT.001/RW.001 Kec. Kedungwuni
                                            Kab. Pekalongan Kode Pos 51173
No. HP                              : 0857-4289-5029
Alamat E-mail                   : husni13mubarok@gmail.com
Usia                                   : 20 Tahun
Agama                               : Islam
Hobi                                  : Jalan-jalan
Riwayat Pendidikan         : 1. TK Muslimat NU Bugangan.........Lulus Th.2004
                                            2. MIWS Bugangan..........................Lulus Th.2009
                                            3. SMP 2 Kedungwuni.....................Lulus Th.2012
                                            4. SMK Gondang Wonopringgo.......Lulus Th.2015
                                            5. IAIN Pekalongan.........................Masih Proses
Organisasi                         : 1. Pimpinan Anak Cabang Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
                                                Kecamatan Kedungwuni
                                            2. Karang Taruna Kecamatan Kedungwuni
                                            3. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Motto Hidup                     : Kejujuran adalah kunci sebuah kesuksesan



[1] Hossein Nasr, Seyyed, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, (Bandung:Mizan Pustaka, 2003), hlm.50.
[2] Ibid., hlm.344.
[3] Syafii Maarif, Ahmad, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm.101.
[4] Ibid., hlm.103.
[5] Abdulkarim Amrullah, Haji Abdulmalik, Tafsir Al-Azhar, ( Yogyakarta: Panji Masyarakat, 1982), hlm. 32-34.
[6] Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, (Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1986), hlm. 17-18.
[7] Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 551-552.
[8] Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 427-428.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar