Laman

Jumat, 15 September 2017

SBM A 3-D “KETELADANAN”

 “KETELADANAN”

Ariani Fitriana Dewi\
2023116050

JURUSAN PGMI FAKULTAS TARBIYAH
 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN (IAIN PEKALONGAN)
2017





Kata Pengantar
                       
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji  syukur saya  panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayah-Nya, makalah ini terselsaikan dengan tepat  waktu, dalam makalah  ini  saya akan membahas mengenai “Teladan (Uswah)”.
Makalah ini dibuat  dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan selama  mengerjakan  makalah ini. Oleh  karena  itu, saya mengucapkan terimakasih  yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karenanya  saya mengundang para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang dapat membangun saya agar dapat lebih baik kedepannya.
Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamualaikum Wr. Wb













BAB I
PENDAHULUAN


A.    Tema
“Keterampilan Dasar Mengajar”
B.     Sub Tema
“ Teladan (Uswah) ”
C.    Mengapa Penting dikaji
Teladan guru sangatlah penting untuk dikaji, dalam dunia pendidikan merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses kegiatan belajar mengajar. Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapatkan sorotan peserta didikserta orang disekitar lingkungannya yang menganggap  atau mengakuinya sebagai guru.















BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Keteladanan
Dalam  kamus  Besar  Bahasa Indonesia  disebutkan bahwa “Keteladanan” dasar katanya “Teladan” yaitu : “(Perbuatan atau barang dsb) yang patut ditiru dan di contoh. Dalam bahasa Arab “keteladanan” diungkapkan denagan kata “uswah” dan “qudwah” yang berarti “pengobatan dan perbaikan”. Dengan demikian Keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain. Namun keteladanan yang dimaksud disini adalah keteladanan yang dapat dijadikan sebagai alat pendidikan islam, yaitu keteladanan yang baik, sesuai dengan pengertian “uswah”.[1]
Setiap tenaga didik dilembaga pendidikan harus memiliki tiga hal yaitu competency, personality dan religiosity. Competency menyangkut kemampuan dalam menjalankan tugas professional yang meliputi kompetensi materi (subtansi), keterampilan dan metodologi. Personality menyangkut integrasi, komitmen dan dedikasi, sedangkan religiosity menyangkut pengetahuan, kecakapan dan pengalaman dibidang keagamaan. Guru akan mampu menjadi model dan mampu mengembangkan keteladanan di hadapan siswanya. Semua guru adalah guru agama. Artinya, tugas untuk menanamkan nilai-nilai etis religious bukan hanya tugas guru bidang studi keagamaan saja, melainkan tugas semua orang dilembaga pendidikan, termasuk Kepala Sekolah dan karyawan sekolah adalah guru agama.
Semua orang dalam komunitas sekolah harus mampu menjadi teladan bagi peserta didik. Bahkan, peserta didik yang senior juga harus mampu menjadi teladan bagi adik-adiknya. Keteladanan yang dikembangkan di sekolah adalah keteladanan secara total, tidak hanya dalam hal yang bersifat normative saja seperti ketekunan dalam beribadah, kerapian, kedisiplinan, kesopanan, kepedulian, kasih saying, tetapi juga hal-hal yang melekat pada tugas pokok atau tugas utamanya. Keteladanan seorang kepala sekolah antara lain adalah apabila datang paling awal dan pulang paling akhir pada jam sekolah, terdepan dalam menjalankan kewajiban dan mau mengalah dalam mengambil hak. Keteladanan seorang guru adalah apabila ia dapat menjadi guru yang berprestasi, guru teladan. Yaitu, guru yang menguasai materi, metodologi dan terampil dalam mengajar yang didukung dengan komitmen dan dedikasi yang tinggi sehingga mampu menjalankan tugas dengan tekun dan disiplin.
Membangun keteladanan  tidak  ubahnya  seperti  membangun  kultur (budaya), watak dan kepribadian. Pada awalnya terasa sulit dan perlu perjuangan atau lebih tepatnya disebut jihad. Untuk mengembangkan keteladanan, seorang pemimpin pendidikan dan guru harus rela berkorban. Dan jiwa pengorbanan inilah yang ditanamkan di lembaga-lembaga pendidikan yang diteliti sehingga dalam waktu yang relative singkat mampu melakukan perubahan dengan sangat tepat. Dengan semangat rela berkorban, guru dapat merelakan uangnya untuk membeli bahan ajar (buku, majalah dan bahan ajar lainnya), rela mngorbankan waktu malamnya untuk membuat persiapan mengajar, ikhlas mendoakan keberhasilan anak didiknya, rela mengorbankan sebagian kepentingan pribadi dan keluarganya demi anak didik dan sekolahnya, sabar ketika menghadapi perilaku siswa yang kurang menyenangkan, serta telaten membimbing anak didiknya yang memiliki kekurangan. Guru yang berjiwa besar, yang keteladanannya sangat membekas dalam jiwa anak didiknya, guru yang benar-benar dapat “digugu” lan “ditiru”.
Keteladanan adalah kunci keberhasilan, termasuk keberhasilan seorang guru dalam mendidik anak didiknya. Contoh dan keteladanan lebih bermakna daripada seribu perintah dan larangan. Syair Arab mengatakan “Qawul ul-hal afshah min lisanil-maqal” (keteladanan lebih fasih daripada perkataan). Dengan keteladanan guru, siswa akan menghormatinya, memperhatikan pelajarannya.[2]
1.      Guru sebagai model dan Teladan
Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang sangat besar untuk menganggap bahwa peran ini  tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Keprihatinan, kerendahan, kemalasan dan rasa takut, secara terpisah ataupun bersama-sama bisa menyebabkan seseorang berpikir atau berkata, “Jika saya harus menjadi teladan atau dipertimbangkan untuk menjadi model, maka pembelajaran bukanlah pekerjaan yang tepat bagi saya. Saya tidak cukup baik untuk diteladani, di samping saya sendiri ingin bebas untuk menjadi diri sendiri dan untuk selamanya tidak ingin menjadi teladan bagi orang lain. Jika peserta didik harus memiliki model, biarlah mereka menemukannya dimanapun. Alasan tersebut tidak bisa dimengerti, mungkin dalam hal tertentu dapat diterima teteapi mengabaikan atau menolak aspel fundamental dari sifat pembelajaran. Menjadi teladan merupakan sifat dasar kegiatan pembelajaran, dan ketika seorang guru tidak mau menerima ataupun menggunakannya secara konstruktif maka telah mengurangi keaktifan pembelajaran. Peran dan fungsi ini, patut dipahami, dan tak perlu menjadi beban yang memberatkan, sehingga dengan keterampilan dan kerendahan hati akan memperkaya arti pembelajaran.[3]
Sebagai teladan, tentu saja prinadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang di sekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Beberapa hal di bawah ini perlu mendapat  perhatian dan bila perlu didiskusikan para guru.
1.      Sikap dasar : postur psikologi yang akan Nampak dalam masalah-masalah penting, seperti keberhasilan, kegagalan, pembelajaran, kebenaran, hubungan antar manusia, agama pekerjaan, permainan dan diri.
2.      Bicara dan gaya bicara : penggunaan bahasa sebagai alat berpikir.
3.      Kebiasaan bekerja : gaya yang dipakai oleh seseorang dalam bekerja yang ikut mewarnai kehidupannya.
4.      Sikap melalui pengalaman dan kesalahan : pengertian hubungan antara luasnya pengalaman dan nilai serta tidak mungkinnya mengelak dari kesalaham.
5.      Pakaian : merupakan perlengkapan pribadi yang amat penting dan menampakkan ekspresi seluruh kepribadian.
6.      Hubungan kemanusiaan : diwujudkan dalam semua pergaulan manusia, intelektual, moral, keindahan, terutama nagaimana berperilaku.
7.      Proses berpikir : cara yang digunakan oleh pikiran dalam menghadapi dan memecahkan masalah.
8.      Perilaku neurotis : suatu pertahanan yang dipergunakan untuk melindungi diri dan bisa juga untuk menyakiti orang lain.
9.      Selera : pilihan yang secara jelas merefleksikan nilai-nilai yang dimiliki oleh pribadi yang bersangkutan.
10.  Keputusan : keterampilan rasional dan intutif yang dipergunakan untuk menilai setiap situasi.
11.  Kesehatan : kualitas tubuh, pikiran dan semangat yang merefleksikan kekuatan, perspektif, sikap tenang, antusias dan semangat hidup.
12.  Gaya hidup secara umum : apa yang dipercaya oleh seseorang tentang setiap aspek kehidupan dan tindakan untuk mewujudkan kepercayaan itu.
Secara teoritis, menjadi teladan merupakan bagian integral dari seorang guru, sehingga menjadi guru berarti menerima tanggungjawab untuk menjadi teladan. Memang setiap profesi mempunyai tuntutan-tuntutan khusus, dan karenanya bila menolak berarti menolak profesi itu. Dalam beberapa hal memang benar bahwa guru harus menjadi teladan di kedua posisi, tetapi jangan sampai hal tersebut menjadikan guru tidak memiliki kebebasan sama sekali. Dalam batas-batas tertentu, sebagai manusia biasa tentu saja guru memiliki berbagai kelemahan dan kekurangan.[4]
B.     Metode Keteladanan
Metode ini digunakan untuk mewujudkan tujuan pengajaran dengan memberi keteladanan yang baik pada para siswa agar dapat berkembang fisik, mental dan kepribadiannya secara benar. Adapun kelebihan metode keteladanan diantaranya :
1)      Peserta didik lebih mudah menerapkan ilmu yang dipelajari di sekolah.
2)      Guru lebih mudah mengevaluasi hasil belajar
3)      Tujuan pendidikan lebih terarah dan mencapai dengan baik
4)      Tercipta hubungan baik antara siswa dan guru
5)      Mendorong guru untuk selalu berbuat baik karena dicontoh oleh siswanya.
Sedangkan kekurangan metode ini adalah adanya guru  yang tidak memenuhi kode etik keguruan. Guru tidak mencerminkan sikap mentalitas dan moralitasnya dihadapan siswa, sehingga anak didik cenderung bersikap apatis, tidak menunjukkan motivasi belajar dan cenderung berlawanan dengan tat tertib sekolah.[5]
Metode keteladanan sebagai suatu metode digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan dengan memberi contoh keteladanan baik kepada siswa agar mereka dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik[6] dan benar. Keteladanan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pendidikan ibadah, akhlak, kesenian, dll.














BAB III
PENUTUP

A.    DAFTAR PUSTAKA


Arief, Armai. 2002. Ilmu dan metodologi pendidikan islam. Jakarta selatan : Ciputat Press
Barizi, ahmad. 2010. Menjadi guru unggul. Jogjakarta : Ar-ruzz media

Mulyasa, E. Menjadi guru professional. 2005. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya
Mulyasa, E. Standar  kompetensi dan  Sertifikasi  Guru. 2007. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya
Mustakim, Zaenal. Strategi dan metodologi pembelajaran. 2017. Pekalongan : IAIN Pekalongan Press


B.     PROFIL

Ariani Fitriana Dewi, Lahir di Pekalongan, 29 mei 1998. Ia menempuh pendidikannya di RA Simbang Kulon, lalu ia melanjutkan ke MISS Simbang Kulon 02. Jenjang SMPnya ia dapatkan di MtsS Simbang Kulon 02 dan Sekolah akhirnya di MAS Simbang Kulon. Dan meneruskan di perguruan Tinggi IAIN Pekalongan jurusan PGMI

C.     Cover
 






[1] Armai, Arief. Ilmu dan metodologi pendidikan islam (Jakarta selatan : Ciputat Press, 2002), hlm 117
[2] Ahmad, Barizi. Menjadi guru unggul. Jogjakarta : Ar-ruzz media.2010. hlm 69-72
[3] E,Mulyasa. Menjadi guru professional. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.2005, hlm 45-46, cet.ke-1
[4] E, Mulyasa. Standar kompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya.2007). halm 127-128, cet.ke-2
[5] Zaenal, Mustakim. Strategi dan metodologi pembelajaran ( Pekalongan : IAIN Pekalongan Press.2017), hlm.135
[6] Ibid, halm. 119-120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar