Laman

Senin, 03 September 2018

TT B A3 (HIKMAH ANUGERAH ALLAH SWT)


KEDUDUKAN ILMU PENGETAHUAN DALAM QS. AL-BAQARAH, 2:269
(HIKMAH ANUGERAH ALLAH SWT)
Siti Arfiatun Nadliyah
(2117019)
Kelas B

       PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
             FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2018



BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Ilmu Hikmah
Allah memberikan ilmu yang berguna yang bisa membangkitkan kemauan kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, sehingga ia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, lalu dengan mudah dapat membedakan antara ilham yang datang dari Allah dan bisikan setan.[1]
 Hikmah didalam Al-qur’an ada dua macam yaitu yang disebutkan dengan sendirian dan yang disusuli dengan penyebutan al-kitab. Yang disebutkan sendirian ditafsiri nubuwah, tapi ada pula yang menafsiri ilmu Al-Qur’an. Menurut Ibnu Abbas R.A, hikmah adalah ilmu tentang Al-qur’an, yang nasikh dan mansukh, yang pasti maknanya dan yang tersamar, yang diturunkan lebih dahulu dan yang diturunkan lebih akhir, yang halal dan yang haram dan lain sebagainya.
         Menurut Adh-Dhahhak, hikmah adalah Al-Qur’an dan pemahaman kandungannya. Menurut mujahid, hikmah adalah Al-Qur’an, ilmu dan pemahaman. Dalam riwayat lain darinya, hikmah adalah ketepatan dalam perkataan dan perbuatan. Menurut An-Nakha’y, artinya makna segala sesuatu dan pemahamannya. Menurut Al-Hasan, hikmah adalah wara’ dalam agama Allah.
         Adapun hikmah yang disusuli dengan penyebutan Al-Kitab ialah petunjuk amal, akhlak dan keadaan. Begitulah yang dikatakan Asy-Syafi’y dan imam-imam yang lain. Ada pula berpendapat, artinya ketetapan berdasarkan wahyu.
         Pendapat yang paling tepat tentang makna hikmah ini seperti yang dikatakan mujahid dan Malik yaitu pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, ketepatan dalam perkataan dan perbuatan. Yang demikian ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan memahami Al-Qur’an, mendalami syariat-syariat islam serta hakikat islam.
         Hikmah ada dua macam yaitu yang bersifat ilmu dan yang bersifat amal. Yang bersifat ilmu ialah mengetahui kandungan-kandungan segala sesuatu, mengetahui kaitan sebab dan akibat. Penciptaan dan perintah, takdir dan syariat. Sedangkan yang bersifat amal yaitu meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya.
         Salah satu sifat-sifat lain hati adalah terang dan gelapnya hati. Hati yang tidak memiliki hikmah-hikmah, baik yang praktis (‘amali) maupun yang teoritis (nazhari), maka hati tersebut adalah hati yng gelap, yang tidak tahu harus berbuat apa dan meyakini apa, tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang batil. Agar hati menjadi terang, maka jalannya adalah dengan mencari hikmah.[2]
         Sarana yang bisa menampung hikmah ini, adalah akal yang mampu memberi keputusan dalam menelusuri segala sesuatu dengan berbagai argumentasi, disamping menyelidiki hakikatnya secara bebas. Siapa saja yang telah dianugerahi akal seperti ini, maka ia akan mampu membedakan antara janji Yang Maha Pengasih dan ancaman setan. Ia akan berpegang pada janji Allah, dan membuang jauh-jauh ancaman setan.[3]
         Menurut Manazilus Sa’irin, ada tiga derajat hikmah yaitu:
1. Kita memberikan kepada segala sesuatu sesuai dengan haknya, tidak melanggar batasannya, tidak mendahulukan dari waktu yang telah ditetapkan dan tidak pula menundanya.
         Karena segala sesuatu itu mempunyai tingkatan dan hak, maka engkau harus memenuhinya sesuai dengan takaran dan ketentuannya. Karena segala sesuatu mempunyai batasan dan kesudahan, maka engkau harus sampai kebatasan itu dan tidak boleh melampauinya. Karena segala sesuatu mempunyai waktu, maka engkau tidak boleh mendahulukan atau menundanya. Yang disebut hikmah adalah yang memperhatikan tiga sisi ini.
         Ini hukum secara umum untuk seluruh sebab dan akibatnya, menurut ketentuan Allah dan syariat-Nya. Menyia-nyiakan hal ini berarti menyia-nyiakan hikmah, sama dengan menyia-nyiakan benih yang ditanam dan tidak mau menyirami tanah. Melampaui hak seperti menyirami benih melebihi kebutuhannya, sehingga benih itu terendam air, yang justru akan membuatnya mati. Mendahului dari waktu yang ditentukan seperti memanen buah sebelum masak. Begitu pula meninggalkan makanan, minuman dan pakaian, merupakan tindakan yang melanggar hikmah dan melampaui batasan yang diperlukan. Jadi yang disebut hikmah adalah berbuat menurut semestinya dan pada waktu yang semestinya. Hikmah memounyai tiga sendi yaitu ilmu, ketenangan dan kewibawaan. Kebalikannya adalah kebodohan, kegabahan dan terburu-buru.
2.  Mempersaksikan pandangan Allah dalam hukum-Nya dan memperhatikan kemurahan hati Allah dalam penahan-Nya. Artinya, kita bisa mengetahui hikmah dalam janji dan ancaman Allah serta menyaksikan hukum-Nya.
            Dengan begitu kita bisa menyaksikan keadilan Allah dalam ancaman-Nya, kemurahan Allah dalam janji-Nya, dan semua dilandaskan pada hikmah-Nya. Kita juga bisa mengetahui keadilan Allah dalam hukum-hukum syariat-Nya dan hukum-hukum alam yang berlaku  pada semua makhluk, yang didalamnya tidak tidak ada kedzaliman dan kesewenang-wenangan, termasuk pula hukum-hukum yang diberlakukan terhadap orang-orang yang dzalim sekalipun. Allah adalah yang paling adil dari segala yang adil.
3. Dengan tuntutan bukti kita bisa mencapai mencapai basharah, dengan petunjukmy kita bisa mencapai hakikat, dan dengan isyaratmu kita bisa mencapai sasaran. Artinya, dengan tuntutan dalil dan bukti kita bisa mencapai derajat ilmu yang paling tinggi, yang juga disebut bashirah, yang oenisbatan ilmu dengan hati sama dengan penisbatan obyek pandangan kepandangan mata.ini merupakan kekhususan yang dimiliki para sahabat yang tidak dimiliki selain mereka dari umat islam, dan bashirah ini merupakan derajat ulama yang paling tinggi.[4]
            Orang yang dikruniakan hikmah adalah orang yang menguasai Qur’an dan Sunnah. Dengan hal ini, mereka memiliki kepemahaman yang mendalam tentang islam. Dan dengan kekuatannya tersebut, mereka menjadi golongan yang bijaksana, yang dapat mengatur hidup mereka dengan baik, dan menadi conto dalam masyarakat.[5]
B. Dalil Ahli Ilmu Hikmah Anugerah dari Allah SWT
            Surat Al-Baqarah (2 : 269)
              
Artinya :
“Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang dianugerahi Al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang yang barakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.
Tafsir ayat:
Ayat ini menunjukkan bahwasanya kekayaan yang sejati ialah hikmat yang diberikan Allah. Kecerdasan akal, keluasan ilmu, ketinggian budi, kesanggupan menyesuaikan diri dengan masyarakat,  itulah kekayaan yang sangat banyak. Betapapun orang menjadi kaya raya, jutawan yang hara bendanya berlimpah-limpah, kalau dia tidak dianugerahi oleh Allah dengan hikmat, samalah artinya dengan orang miskin. Sebab dia tidak sanggup dan tidak mempunyai pertimbangan yang sehat, buat apa harta bendanya itu akan dikeluarkan.
Didalam segala zaman ada saja orang kaya yang tidak diberi hikmat. Dan didalam segala zaman terdapat pula ahli hikmat, tetapi ia tidak kaya tentang harta. Nama orang kaya raya iu hilang setelah dia mati, tetapi ahli hikmat-ahli hikmat kekal namanya jauh dan lama setelah dia mati, karena bekas hikmatnya masih dirasai orang. Tetapi ada pula orang kaya raya dengan harta benda, diapun dianugerahi Allah hikmat. Lalu dikeluarkannya harta benda yang pinjamkan Allah kepadanya itu semasa hidupnya untuk jalan yang baik. Dimana-mana bertemulah harta waqaf yang dia tinggalkan. Anaknya yang shalih mendoakannya, shadaqah jariyah yang dia tinggalkan, mengekalkan namanya dan ilmu pengetahuan yang dia ajarkan menjadi kekayaan yang tidak putus-putus dia mengambil hasilnya, walaupun tulangnya telah berserak didalam kubur.[6]
Allah membukakan samudera kebijaksanaan kepada siapa saja yang menginginkannya. Hakikat dari pengetahuan diri sebetulnya sudah ada daam inti semua makhuk. Tetapi hanya hanya sang pencari sejatilah yang mampu menyelami kedalaman samudera, untuk memperoleh mutiara ilmu dan kebijaksanaan.[7]

C. Ilmu Hikmah Sebagai Filsafat
Hati memerlukan ilmu dan hikmah agar dengannya nafsu dan amarah dapat dikekang dalam melaksanakan hal-hal yang bermanfaat. Ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang Allah serta keagungannya. Penguasaan ilmu ini dan keyakinan yang lahir darinya akan berbeda antara seseorang dengan yang lain.[8]
Dalam Al-Qur’an dan riwayat, biasanya istilah hikmah digunakan untuk hikmah praktis yang dapat menerangi jalan hati. Seseorang yang dapat berhias dengan hikmah amali (perilaku yang baik), mengetahui apa saja yang harus diperoleh, perbuatan apa saja yang harus dilakukan dan sifat apa saja yang harus dimiliki, maka dia sebenarnya sedang berjalan dijalan yang terang dan penuh cahaya. Akan tetapi, apabila dia tidak memiliki hikmh praktis dan berjalan dijalan yang gelap, maka meski akidah dan hatinya kuat, naun karena dia tidak tau perbuatan apa saja yang harus dia lakukan dan sifat-sifat apa saja yang harus didapatkan, maka ia tidak akan sampai kemana-mana.
Hati akan menjadi kuat dengan pengetahuan-pengetahuan yang pasti, benardan endatangkan keyakinan, sehingga tidak ada satupun badai keraguan dan syubhat yang mampu menggoyahnya. Dengan hikmah praktis, hati akan menemukan jalannya, jalan itu akan menjadi terang dan bercahaya baginya, sehingga hati tidak akan pernah tersesat dalam kegelapan.[9]
            Dengan demikian ilmu hikmah sebagai filsafat merupakan salah satu sarana untuk berfikir agar mendapatkan hikmah dari Allah. Tetapi tentu saja berfikir yang tidak secara rasional tetapi harus dilandaskan dengan Al-qur’an dan As-Sunah. Dengan adanya hikmah dari Allah tentunya kita dapat berfilsafat atau berfikir dalam suatu hal. Tanpa adanya hikmah dari Allah kita tidak akan bisa berfilsafat. Karena dengan adanya hikmah tersebut kita bisa mengetahui sesuatu hal baik maupun buruk dan kita juga bisa membedakan mana yang harus kita lakukan dan mana yang harus kita hindarkan.












DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal, Danial. 2008. Al-Quran for Life Excellence. Bandung: Mizan Publika.
Al-Jauziyah, Qayyim, Ibnu. 1998. Madarijus Salikin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Maragi, Mustafa, Ahmad. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Karya Toha Putra Semarang.
Al-Maraghi, Mustafa, Ahmad, Syekh. 1986. Tarjamah Tafsir Al-Maraghi. Yogyakarta: Sumber Ilmu.
Haeri, Fadhlullah, Syekh. 2001. Jiwa Alquran Tafsir Surah Al-Baqarah. Serambi: Serambi Ilmu Semesta
Hamka. 1983. Tafsir Al Azhar Juzu’ 3. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Yazdi, Misbah, Taqi, Muhammad. 2012. 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi. Jakarta: Penerbit Citra.








                                    







BIODATA PROFIL

Nama                           : Siti Arfiatun Nadliyah
TTL                             : Pemalang, 15 Januari 1999
Alamat                        : Desa Asemdoyong 01 Gang Rewel Rt. 13/02 Kec. Taman Kab.               Pemalang
Riwayat Pendidikan   : - SDN 04 Asemdoyong
                                      - MTs N Pemalang
                                      - MAN Pemalang



[1] Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi, (Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1986), hlm. 49
[2] Muhammad Taqi Misbah Yazid, 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi, (Jakarta: Penerbit Citra, 2012), hm. 53
[3] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Karya Toha Putra Semarang, 1993), hlm. 74
[4]  Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah), (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), hlm. 330-333
[5] Danial Zainal Abidin, Al-Qur’an For Life Excellen, (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2007), hlm. 29
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juzu’ ke 3, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 55 
[7] Syekh Fadhlullah Haeri, Jiwa Al-Quran Tafsir Surah Al-Baqarah, (Serambi: Serambi Ilmu Semesta, 2001), hlm. 186
[8] Danial Zainal Abidin, Al-Qur’an for Life Excellence, (Jakarta: Penerbit Hikmah, 2007), hlm. 31
[9] Muhammad Taqi Mishbah Yazid, 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi, (Jakarta: Penerbit Citra, 2012), hlm.53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar