Laman

Senin, 03 September 2018

TT B A4 (KESEMPURNAAN AKAL MANUSIA)


KEDUDUKAN ILMU PENGETAHUAN DALAM QS. AL-QASHAS, 28:14
(KESEMPURNAAN AKAL MANUSIA)

Nila Sesi Mareta (2117020)
Kelas : B

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018/2019


PEMBAHASAN
A. Ilmu dan Akal Manusia
            Ilmu adalah yang menjadi landasan bukti petunjuk, dan yang bermanfaat dari ilmu adalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ilmu lebih baik daripada keadaan. Ilmu merupakan petunjuk dan keadaan yang mengikutinya. Keadaan merupakan kendaraan yang tidak bisa berjalan sendiri. Jika tidak disertai ilmu maka ia berjalan menuju tempat yang merusak. Keadaan seperti harta yang bisa berada di tangan orang baik dan orang jahat. Jika tidak di sertai cahaya ilmu, maka ia akan menjadi bencana bagi pelakunya, sedangkan manfaat ilmu seperti air hujan yang merambah permukaan tanah yang tinggi dan rendah, perut lembah dan semua pepohonan. Ilmu merupakan penentu yang membedakan antara keraguan dan yakin, penyimpangan dan kelurusan, petunjuk dan kesesatan. Dengan ilmu, orang-orang yang berjalan bisa sampai kepada Allah.
            Dengan ilmu bisa diketahui berbagai macam syariat dan hukum bisa dibedakan antara yang halal dan yang haram. Dengan ilmu persaudaraan bisa dijalani, dengan ilmu keridhaan kekasih bisa diketahui, dan dengan ilmu bisa menghantarkan ke tujuan yang dekat.
            Bukti paling akurat yang menunjukan kemuliaan ilmu, bahwa kelebihan orang berilmu daripada semua manusia seperti kelebihan rembulan pada malam purnama daripada semua bintang. Para malaikat merundukkan sayapnya kepada mereka dan memayungi mereka. Semua penghuni langit dan bumi memintakan ampunan bagi orang yang berilmu.[1]
            Dengan ilmu, hati akan menjadi kuat dengan pengetahuan-pengetahuan yang pasti, benar dan mendatangkan keyakinan, sehingga tidak ada satupun badai keraguan yang mampu menggoyahkan dan hati akan menemukan jalanya, jalan itu akan menjadi terang dan bercahaya baginya, sehingga hati tidak akan pernah tersesat dalam kegelapan.[2]
            Potensi yang ada pada manusia hanya akan bersinar jika ‘digosok’ dengan ilmu. Golongan yang menguasai ilmu berada pada maqam atau tempat yang tinggi. Ilmu itu menjurus pada aspek agama dan yang lain-lainnya secara umum. Namun ada juga ilmu yang haram untuk dipelajari seperti ilmu sihir dan ilmu membuat arak.[3]
            Akal, menurut Abd al-Jabbar yang membicarakan tentang akal, akal adalah pengetahuan-pengetahuan yang dengannya manusia dapat memperoleh pengetahuan-pengetahuan (lain) dan menjalankan perbuatan-perbuatan yang menjadi kewajibannya. Pengetahuaan itu ada dua macam:
(1) yang dibuat oleh Allah dalam diri manusia tanpa kemampuan manusia untuk menghilangkannya, dan
(2) pengetahuan yang diperoleh manusia melalui penalaran.
            Kalau dikatakan bahwa akal adalah pengetahuan yang dengannya manusia dapat memperoleh pengetahuan lain, maka mau tidak mau pengetahuaan yang termasuk di dalam kesempurnaan akal ini adalah pengetahuan jenis pertama, yakni yang ada pada manusia karena diciptakan Allah di dalamnya, tanpa kemampuan manusia untuk menolaknya; namun tidak semua pengetahuan yang demikian ini termasuk kedalam jenis kesempurnaan akal.
            Pengetahuaan yang termasuk ke dalam jenis kesempurnaan akal ini, menurut ‘Abd al-Jabbar, adalahpengetahuan tentang keadaan khusus yang dialami orang yang punya akal, semisal berkehendak, tidak suka dan berkeyakinan. Serta pengetahuaan tentag yang jelek sebagai jelek, yang baik sebagai baik dan yang wajib sebagai wajib.[4]
B. Dalil Hikmah dan Ilmu: Kesempurnaan Akal Manusia
                QS. Al-Qashash : 14
Artinya: “Dan setelah dia (Musa) dewasa dan sempurna akalnya Kami anugerahkan kepadanya Hikmah (kenabian) dan pengetahuan. Dan demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang beruat baik.”
            Ditemukannya seorang bayi disungai pada masa pembunuhan anak-anak Bani Isra’il, kehadiran saudara Nabi Musa a.s. mengamat-amati adiknya, kedatangannya membawa usul kepada Fir’aun agar ia disusukan oleh seorang wanita tertentu, pastilah mengantar kepada terbukanya rahasia asal-usul mereka sebagai salah seorang keluarga Bani Isra’il. Demikian juga, kesediaan Musa menyusu hanya padanya, menunjukan pula bahwa ia adalah anak ibu yang berasal dari Bani Isra’il itu. Indikator-indikator yang demikian jelas itu, tidak disadari oleh Fir’aun dan semua stafnya.[5]
(Pangkal ayat 14). Telah dapat dikira-kirakan bahwa kurang lebih 30 tahun dia menjadi “anak angkat” Firaun. Dari kecil dibearkan dalam istana Firaun. Tetapi sejak kecil itu pula ibunya telah membeiasakan membawanya pulang dari istana, bahkan dia diasuh, dibimbing dirumah ibunya sendiri dan disaat-saat yang perlu dibawa keistana. Dengan demikian maka keluarga imran, yaitu nama ayah Musa telah pula mendapat keuntungan dari hubungan anaknya dengan istana. Keluarga Musa, sebagai keluarga Bani Israil golongan yang tertindas dan dipandang hina, karena Musa jadi “anak angkat” telah mendapat hak istimewa yang tidak didapat oleh keluarga bani israil yang lain.
            Lantaran itu, meskipun ia dianggap sebagai “orang istana”, dia tidak terpisah dari kaumnya. Dia mengetahui apa yang dialami oleh kaumnya dia telah selalu melihat kelakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh kekuasaan Firaun dan segala kaki tangannya terhadap kaumnya. Sebab itu maka pengalaman-pengalaman yang pahit, yang dilihat, yang didengar, menambah pengetahuannya tentang mana yang adil dan mana yang dholim. Kalau terasa dalam hatinya, bahwa kalau dia yang memegang hukum tentu tidak begini yang akan diputuskannya tentang hukum, tentu begitu mestinya. Diapun melihat perbedaan yang mencolok mata tentang perlakuan kepada rakyat kalau yang tersalah itu kaum qubthi, kaum Firaun sendiri, kesalahan itu akan dituup-tutup. Tetapi kalau bani israil yang bersalah, maka hukumnya sangat kejam, tidak sepadan dengan kesalahan atau pelanggaran yang diperbuatnya. Keadaan yang disaksikan tiap hari ini menambah matang pribadi Musa, menambah dia cerdik dan pandai. Allah telah memberinya anugerah Hukum dan Ilmu. Sebab dalam istana niscaya dia diajar sebagai anak-anak orang bangsawan dan dalam masyarakat diajar oleh pengalaman-pengalaman dan melihat kepincangan-kepincangan yang berlaku terhadap rakyat yang lemah. (ujung ayat 14).
            Pada ujung ayat ini dapat kita menggali suatu kenyataan. Yaitu bahwa disamping apa yang telah ditentukan oleh Allah bahwa Musa kelak kemudian hari akan dijadikan nabi dan rasul, dengan kehendak tuhan juga telah ada orang-orang yang berbuat baik, yang telah berhasil usahanya sehingga Musa menjadi seorang yang mengerti hukun dan berilmu. Tentu saja yang berusaha berbuat baik ini ialah orang-orang yang mendidik dan mengasuhnya. Terutama ibu kandungnya, kedua istri Firaun yang budiman itu. dipujikan disini bahwa usaha mereka yang baik itu berhasil.[6]
            Dan lebih intinya lagi ayat ini mengkisahkan peristiwa yang dialami Nabi Musa a.s sebelum ia di utus sebagai seorang rasul, dimana ia setelah cukup umur dan sempurna akalnya, Allah memberinya hikmah dan pengetahuan, di ceritakan peristiwa yang dialaminya yang mengantarnya ke tingkat yang di takdirkan Allah baginya, yaitu tingkat kenabian dan kesempatan bermunajat langsung kepada-Nya.[7]
            Dari kisah ini, jelas sekali bagaimana Allah swt. “turun tangan” untuk membuktikan kebenaran janji-Nya. Dan ini membuktikan, betapa Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya tanpa disadari sedikitpun oleh Fir’aun.[8]
C. Urgensi Ilmu dan Ilmu Hikmah
·         Dapat meningkatkan akan pengetahuan tentang Allah.
·         Dengan efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan merealisasikannya.
·         Dapat membimbing orang lain.
·         Dapat memecahkan problem manusia dalam masyarakat.
·         Ilmu hikmah bisa untuk menyelesaikan berbagai macam masalah kehidupan, membantu kita kuat mengarungi kehidupan yang penuh cobaan, merupakan sarana memohon perlindungan kepada Allah swt dan mengubah perilaku buruk menjadi baik serta membuat kita semakin dekat dengan Allah swt dan bisa juga sebagai sarana amal ibadah untuk mendapatkan ridha Allah swt.




DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal, Danial. 2007. Al-Qur’an For Life Excellence. Jakarta: Mizan Publika.
Al-jauziyah, Qayyim, Ibnu. 1998. Madarijus Salikin. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Bahreisy, Salim. 1990. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir. Surabaya: Bina Ilmu.
Hamka. 2004. Tafsir Al-Azhar Juz XX. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Machasin. 2000. Al-Qadi Abd Al-Jabbar. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Tangerang: Lentera Hati.
Yazdi, Mishbah, Taqi, Muhammad. 2012. 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi. Jakarta: Penerbit Citra.
















             
              
BIODATA DIRI
Nama   : Nila Sesi Mareta
TTL     : Pemalang, 11 Maret 1999    
Alamat : Jl.Sutawijaya, Gg. Wijaya II, Rt.02/02, Ds.Pegongsoran, Kec Pemalang, Kab Pemalang.
Riwayat pendidikan    :  -SD N 03 Pegongsoran
   -SMP N 05 Pemalang
    -MAN Pemalang



[1] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin Pendakian Menuju Allah, (Jakarta: Pustaka Ai-Kautsar,1998), hlm.326-327
[2] Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, 22 Nasihat Abadi Penghalus Budi, (Jakarta: Penerbit Citra, 2012), hlm. 53
[3] Danial Zainal Abidin, Al-Qur’an For Life Excellence, (Jakarta Selatan: Mizan Publika, 2007), hlm29-30
[4] Machasin, Al-Qadi Abd al-Jabbar Mutasyabih al-Qur’an dan Dalih Rasionalitas, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2000), hlm.68-69
[5] Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Tanggerang: Penerbit Lentera Hati, 2002), hlm.319
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 59-61
[7] Salim Bahreisy, Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid 6, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm147
[8] Quraish Shihab, Ibid., hlm. 318-319

Tidak ada komentar:

Posting Komentar