Laman

Senin, 03 September 2018

TT D A2 KEDUDUKAN ILMU PENGETAHUAN (HIKMAH ANUGRAH ALLAH)

KEDUDUKAN ILMU PENGETAHUAN
(HIKMAH ANUGRAH ALLAH)
Q.S AL-BAQARAH AYAT 269

Hilda Maritasolihah    (2021116297)
Kelas : D 

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018




KATA PENGANTAR
            Alhamdulillah, Segala puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya kami dapat mrnyelesaikan makalah Tafsir Tarbawi tentang  Hikmah Anugrah Allah.
Shalawat serta salam semohga tetap tercurahkan kepada baginda nabi besar kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh ukhuwah islamiyah ini.
            Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penyusun mengakui masih banyak terdapat kejanggalan – kejanggalan dan kekurangan dalam makalah ini. Hal ini disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan dan pengalaman yang penyusun miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.
            Penulis juga berharap makalah ini mudah-mudahan berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin tak ada gading yang retak begitu penyusun makalah ini, sekian dan terimakasih.
Selamat membaca









Pekalongan, 2 September 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dari mana asal muasal datangnya ilmu seperti itu. Tidak ada keterangan pasti atau refrensi yang dapat dipercaya yang mampu menjelaskan asal muasal datangnya ilmu yang mereka sebut ilmu hikmah. Ilmu hikmah bukanlah ilmu tasawuf, dan juga bukan semacam karamah. Tapi kalau ilmu hikmah diamalkan sesuai atuuran, akan membawa hasil yang diharapkan, tidak peduli apakah yang mengamalkan itu orang baik, setengah baik, atau tidak baik (orang jahat).
Apabila kita memperhatikan definisi ilmu hikmah yang disampaikan oleh para ulama, maka kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu hikmah itu ada sumbernya, yaitu Al-Quran dan Al- Hadits. Keduanya merupakan referensi ilmu hikmah yang sebenarnya.
Dalam hal ini pentingnya makalah dibahas karena kita sebagai manusia yang memiliki ilmu tersebut sehingga kita mampu sebagai golongan orang-orang yang mendapatkan hikmah dari Allah.

B.     Rumusan Masalah
1.  Apa pengertian Hakikat Ilmu Hikmah ?
2.  Bagaimana Dalil Ahli Ilmu Hikmah Anugrah besar dari Allah SWT ?
3.  Bagaimana Ilmu Hikmah sebagai Filsafat ?

C.    Tujuan

1. Agar dapat menjelaskan pengertian Hakikat Ilmu Hikmah
2. Agar dapat menjelaskan Dalil Ahli Ilmu Hikmah Anugrah besar dari Allah SWT
3. Agar dapat menjelaskan Ilmu Hikmah sebagai Filsafat



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Ilmu Hikmah
Ilmu hikmah adalah suatu amalan spiritual yang berupa ayat al-qur’an, doa-doa tertentu, hizib atau mantra-mantra suci yang berbahasa arab dan diimbangi dan tingkah laku batin untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati. Yang disebut mantra suci adalah mantra yang isi kandungannya tidak melanggar syariat islam. Ilmu hikmah bisa dipelajari dengan amalan berupa dzikir, tabarruk, menyendiri, membersihkan hati, bersikap bijaksana atau riyadlah tertentu sesuai ajaran para guru atau ulama(mujiz).[1]
Ilmu hikmah banyak sekali manfaatnya, mencakup segala urusan dunia dan akhirat. Ilmu hikmah bisa untuk menyelesaikan berbagai macam masalah kehidupan, membantu kita kuat dalam mengarungi kehidupan yang penuh cobaan. Kunci dalam ilmu hikmah adalah memohon pertolongan dan rahmat dari Allah agar dalam memjalani hidup didunia kita diberi keselamatan, kelancaran, kesuksesan, kemudahan, kebahagiaan dan segala hal baik yang kita butuhkan. Juga dalam perjalanan kita diakhirat nanti diberi kelancaran. Oleh karena itu, inti dari Ilmu Hikmah sebenarnya adalah mendekatkan diri dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Hingga kita sama sekali tidak merasa punya kehebatan. Karena upaya yang mampu hamba lakukan kecuali karena adanya Allah semata.
Al-Hikmah juga bermakna kumpulan keutamaan dan kemuliaan yang mampu membuat pemiliknya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Al-Hikmah merupakan ungkapan dari perbuatan seseorang yang dilakukan pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat pula.[2]
B.     Dalil Ahli Ilmu Hikmah Anugrah besar dari Allah SWT
1. Tafsir QS. Al Baqarah ayat 269

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَآءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.[3]
            Dalam Al- Qur’an surah Al-Baqarah ayat 269 ini penting untuk dikaji agar kita sebagai hamba Allah yang telah di beri akal olehNya, bisa mempergunakan akal yang kita miliki itu dengan baik dan dapat mengamalkan ilmu yang kita dapat dari hasil mempergunakan akal dengan baik tersebut, karena ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang kita amalkan untuk diri kita sendiri dan orang lain.

Mufrodat :
يُؤْتِى  = Dia memberikan
الْحِكْمَةَ = Hikmah
يَشآءُ = Dia kehendaki
خَيْرًا = Kebajikan
يَذَّكَّرُ = Mengambil pelajaran

2.  Penjelasan Tafsir

269. a. Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Hikmat itu lebih luas daripada ilmu, bahkan ujung daripada ilmu adalah permulaan hikmat. Hikmat boleh juga diartikan mengetahui yang tersirat di belakang yang tersurat, menilik yang ghaib dari yang terlihat nyata, mengetahui akan kepastian ujung karena telah melihat pangkal.
Menurut Syaikh Muhammad Abduh, bahwasanya hikmat itu adalah ilmu yang sah, yang dapat dipertanggung-jawabkan,  yang telah sangat mendalam pengaruhnya di dalam diri sendiri, sehingga dia yang menentukan iradah dan kemauan, untuk memilih apa yang dikerjakan. Kalau suatu amal perbuatan benar-benar timbul daripada ilmu yang shahih, maka amal itu akan menjadi amal yang shahih, yang memberi faedah dan membawa orang kepada kebahagiaan.[4]
Allah memberikan ilmu yang berguna yang bisa membangkitkan kemauan kepada hamba-hambaNya yang dikehendakiNya, sehingga ia dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, lalu dengan mudah dapat ia membedakan antara ilham yang datang dari Allah dan bisikan setan. Allah memberikan hikmat kepada barang siapa yang dikehendaki Nya ; artinya ialah diberi alat budi itu, diantara makhluk ini, hanyalah manusia saja. Maka akal yang cerdas itu adalah alat yang seampuh-ampuhnya untuk memperdalam ilmu yang sejati. Akal adalah alat penimbang, penyisihkan di antara agak-agak dengan kesimpulan yang benar. Penyisihkan di antara mana yang dapat diketahui dan difahami dan mana yang meminta renungan panjang. Kalau akal sudah bekerja dan memberi hasil yang baik, maka segala keraagu-raguan, faham, daan agak-agak menjadi hilang, dan mudahlah membedakan mana yang was-was dan mana ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan.
Penangkapan ilmu ialah akal, yang menangkap pengertian berdasarkan dalil-dalil dan memahaminya dengan sebenarnya. Dan siapa yang diberi pengetahuan seperti ini, nisyaca mampu membedakan antara janji Tuhan dan janji setan, mampu memegang teguhjanji Allah dan melemparkan janji setan.[5]

269. b. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.

Barang siapa yang diberi ilmu yang berguna dan diberi petunjuk cara menggunakan akal serta menempuh arah yang benar, maka orang ini berarti mendapatkan petunjuk dan kebaikan di dunia dan diakhirat. Karena itu ia dapat menggunakan potensi-potensi yang ada dalam dirinya, seperti penglihatan, pendengaran, hati dan pikirannya secara berdaya guna dan menyiapkan untuk kesenangannyayang benar, lalu berserah diri kepada Allah karena Dialah asal segala sesuatu dan kepada-Nya lah semua akan berakhir. Dia tidak mau menerima bisikan-bisikan setan dan mengotori dirinya sendiri dengan berbuat dosa.[6]
Siapa saja yang telah diberi taufik (pertolongan Allah) akan mengerti mengenai ilmu yang bermanfaat ini. Ia juga akan dituntun oleh Allah untuk menggunakan akalnya secara sehat dan diarahkan ke jalan yang benar. Ini berarti ia telah mendapatkan kebaikan dunia akhirat.[7]
Kekayaan sejati  ialah hikmat yang diberikan Allah. Kecerdasan akal, keluasan ilmu, ketinggian budi, kesanggupan menyesuaikan diri dengan masyarakat; itulah kekayaan yang sangat banyak. Betapapun orang menjadi kaya raya, jutawan yang harta-bendanya berlimpah-limpah, kalau dia tidak dianugerahi oleh Allah hikmat, samalah artinya dengan orang miskin. Sebab ia tidak sanggup dan tidak mempunyai pertimbangan yang sehat, buat apa harta bendanya itu akan dikeluarkan.

269. c. Dan hanya orang-orang yang berakal lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

Tidak akan bisa mengambil hakikat dari ilmu pengetahuan dan bisa terpengaruh oleh ilmu itu, hingga kehendaknya bisa dikendalikan dan tunduk kepada kemauannya, melainkan hanya orang-orang yang mempunyai akal sehat dan berjiwa luhur, yang mampu menyelami hakikat kenyataan.
Dengan ilmu pengetahuan, mereka mampu memilih hakikat kehidupan yang bermanfaat bagi dirinya, yang bisa membuat dirinya bahagia dalam kehidupan ini, sekaligus bisa meniti tangga kebahagiaan ukhrawi.[8]
Orang yang mempunyai inti-fikiranlah cuma yang akan mengerti soal yang penting ini. Orang yang fikirannya hanya terhadap mengumpulkan benda, yang memandang bahwa kekayaan ialah kesanggupan mengumpulkan harta benda belaka, tidaklah akan mengingat ini. tujuan hidupnya hanya berkisar pada Tuhan kepada harta. Sebab itu maka hidupnya tidaklah akan memberi faedah dan manfaat kepada sesamanya manusia daan hari depannya pun gelap gulita.

C.    Ilmu Hikmah sebagai Filsafat
kita bisa memahami proyek filsafat hikmah secara utuh dan ringkas. Untuk menjelaskan proyek filsafat hikmah, makalah ini akan berpijak pada rumusan-rumusan Mulla Shadra dan Allamah Thabathaba`i. Ada beberapa langkah menarik yang diambil oleh Mulla Shadra, untuk merumuskan kompleksitas proyek filsafat hikmah dengan segenap implikasinya.
Pertama, meletakkan sistem filsafat hikmah di atas sejumlah dasar pengetahuan hudhûri/badîhi, sambil menegaskan bahwa semua dasar itu bersifat swabukti (self-evident). Dasar-dasar swabukti tidak memerlukan pembuktian (barhanah) atau pengukuhan (itsbât), melainkan hanya memerlukan pemaparan atau penjelasan. Kedua, menurunkan sejumlah prinsip rasional-filosofis untuk mendukung bangunan filsafatnya dari prinsip-prinsip swabukti yang telah diketahui manusia secara hudhûri tersebut. Ketiga, menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis yang bersumber pada prinsip-prinsip swabukti dengan sejumlah mukâsyafah (penyingkapan batin) para mistikus. Kategori pengetahuan ini juga sering disebut dengan ilmu gaib atau ilmu laduniKeempat, menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis dan mukâsyafah dengan teks-teks suci dalam rangka memperteguh dan memperluas bangunan filsafat hikmah. Kelima, mengajukan metodologi sistematis untuk mencapai kebenaran utuh sebagaimana tersebut di atas secara teoretis dan praktis. Dalam sistem filsafat hikmah, metode rasional-filosofis tidak bisa berdiri secara terpisah dari metode penyucian hati dan begitu pula sebaliknya; keduanya saling membutuhkan, sedemikian sehingga bila yang satu berjalan tanpa yang lain maka kerancuan dan kesesatan akan terjadi.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Allah SWT. memerintahkan hambaNya untuk menuntut ilmu dan menggunakan akal sehatnya dalam menjalankan segala sesuatu, dan mengamalkan segala sesuatu yang dimilikinya, termasuk ilmu itu sendiri. Orang-orang ahli ilmu memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT., dan ilmu pengetahuan pun memiliki kedudukan dalam agama Islam.
Dari Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 269 dapat dipetik pelajaran yang sangat berharga, yaitu : bahwa dengan ilmu pengetahuan, setiap manusia mampu memilih hakikat kehidupan yang bermanfaat bagi dirinya, yang membuat dirinya bahagia dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, serta keutamaan akal, bahwa orang yang tidak dapat mengambil pelajaran, menunjukan akan adanya kekurangan pada akalnya, yaitu akal sehat, akal yang memberikan petunjuk pada dirinya. Dari tafsiran Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 269 dapat di aplikasikan di dalam kehidupan yaitu salah satunya dengan menuntut ilmu dan menjadi pendidik untuk mengamalkan ilmu pengetahuan yang dimiliki agar menjadi ilmu yang bermanfaat.

B.     Saran
Kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih ada banyak kekurangan dan kesalahan oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan.Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya berupa penambahan wawasan tentang  : Hikmah Anugerah Allah.
Kami hanya manusia biasa yang tidak terlepas dari kekurangan, maka dari itu kami mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun yang lain.





DAFTAR PUSTAKA



Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi penterjemah Drs. M. Thalib, cet.1 (Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1986).

Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi penterjemah Drs. M. Thalib,cet.2., (Bandung: ROSDA, 1987).

Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi 3 penterjemah Bahrun Abubakar, Lc. Dkk., (Semarang: Karya Toha Putra, 1993).

Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Terjemah Al Maraghia 3 penterjemah K. Anshori Umar, Dkk., (Semarang: Karya Toha Putra, 1987).

Al-Qur’an, Tafsir Wa Bayan,

Amrullah, Malik Karim AbdulTafsir Al Azhar juz III, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983)

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahnya (Jakarta: CV Darus Sunnah, 2014)

KH. Musyadad, Cara Mudah Menjadi Para normal, Penerbit CV. Aneka Solo, 2000.









BIODATA

Nama       : Hilda Maritasolihah Putri Himi
TTL         : Pemalang, 09 Januari 1998
Alamat    : Jl Gladiul Moga
Fakultas  : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Jurusan   : Pendidikan Agama Islam
Nim         : 2021116297





[1] KH. Musyadad, Cara Mudah Menjadi Para normal, Penerbit CV. Aneka Solo, 2000. Hal. 15
[2] Al-Qur’an, Tafsir Wa Bayan, Hal. 412
[3] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjamahnya (Jakarta: CV Darus Sunnah, 2014), hlm.46

[4] Amrullah, Abdul Malik Karim, Tafsir Al Azhar juz III, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983),  hlm. 74-75.

[5] Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi penterjemah Drs. M. Thalib, cet.1 (Yogyakarta: Sumber Ilmu, 1986),  hlm. 49.

[6] Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi penterjemah Drs. M. Thalib,cet.2., (Bandung: ROSDA, 1987), hlm.49-50.

[7] Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi 3 penterjemah Bahrun Abubakar, Lc. Dkk., (Semarang: Karya Toha Putra, 1993), hlm. 74.

[8] Al-Maraghi, Ahmad Musthofa, Terjemah Al Maraghia 3 penterjemah K. Anshori Umar, Dkk., (Semarang: Karya Toha Putra, 1987), hlm. 75.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar