Laman

Senin, 17 September 2018

TT D C2 (BELAJAR ILMU KEALAMAN UMUM) Q.S. AL-GHASYIYAH 88:17-20


KEWAJIBAN BELAJAR “GLOBAL”
(BELAJAR ILMU KEALAMAN UMUM)
Q.S. AL-GHASYIYAH 88:17-20
Sri Indah Alviah (2117060) 
Kelas : D

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
TAHUN 2018


KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah swt. Atas izin-Nya makalah yang berjudul “Kewajiban Belajar “Global” (Belajar Ilmu Kealaman Umum) Q.S. Al-Ghasyiyah, 88:17-20 ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw., sahabatnya, keluarganya, dan umatnya hingga akhir zaman.
            Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi. Makalah ini menjelaskan tentang klasifikasi ilmu pengetahuan, dalil belajar ilmu kealaman, sains, dan humaniora beserta tafsirannya, dan peran agama Islam dalam pengembangan ilmu.
Penulis sudah berusaha untuk menyusun makalah ini sebaik mungkin. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Hufron, M.S.I. selaku dosen pembimbing mata kuliah Tafsir Tarbawi, serta kepada panitia pelatihan penulisan makalah yang telah memberi pengarahan kepada penulis tentang tata cara penulisan makalah. Penulis menerima saran dan kritik dari pembaca guna penyempurnaan penulisan makalah mendatang.
            Akhirnya, makalah ini diharapkan bisa bermanfaat bagi pembaca. Amin yaa rabbal ‘alamin. Selamat membaca.


                                                           



Pekalongan, 15 September 2018
                                                                       

Penulis



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Agama Islam adalah agama yang senantiasa mengajarkan umat manusia untuk melakukan pengkajian terhadap ilmu pengetahuan. Baik ilmu tentang keduniaan maupun ilmu tentang akhirat, sebagaimana dalam sabda Nabi Muhammad SAW, menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Maka jelaslah bahwa manusia dilahirkan ke dunia ini telah mengemban amanah dari Allah SWT yaitu sebagai khalifah di muka bumi ini. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai ilmu pengetahuan dan klasifikasinya, dalil yang memuat tentang belajar Ilmu Kealaman, Sains, dan Humaniora, dan juga peran agama Islamdalam pengembangan ilmu pengetahuan atau sains.
B.  Rumusan Masalah
1.         Apa saja klasifikasi Ilmu Pengetahuan?
2.         Bagaimanakah dalil belajar Ilmu Kealaman, Sains, dan Humaniora?
3.         Bagaimana peran Agama Islam dalam pengembangan ilmu?
C.  Tujuan
1.         Untuk mengetahui klasifikasi Ilmu Pengetahuan.
2.         Untuk mengetahui dalil belajar Ilmu Kealaman, Sain, dan Humaniora.
3.         Untuk mengetahui peran Agama Islam dalam pengembanga pengetahuan.









BAB II
PEMBAHASAN

A.  Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan atau sains secara singkat dapat dirumuskan sebagai: himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengajian dan dapat diterima oleh rasio, artinya dapat dinalar. Jadi, kita dapat mengatakan bahwa sains adalah himpunan rasionalitas kolektif insani.
Dalam ilmu pengetahuan kealaman atau sains natural, orang mengumpulkan pengetahuan itu dengan mengadakan pengamatan atau observasi, pengukuran atau pngumpulan data pada alam sekitar kita, baik yang hidup seperti manusia, binatang, dan tumbuhan, maupun yang tak bernyawa seperti bintang, matahari, gunung, lautan, dan benda-benda yang mengelilingi kita.
Data yang dikumpulkan dari berbagai observasi dan pengukuran pada gejala alamiah itu dianalisa, kemudian diambil kesimpulannya yang dapat diterima dalam penalaran. Seluruh proses mulai dari pengamatan dan pengukuran sampai dengan analisa dan pengambilan kesimpulan ini untuk mudahnya dapat diberi istilah intizhar; suatu kata yang ada hubungannya dengan nazhar, yang bunyinya dekat dengan nalar.
Ciri khas ilmu pengetahuan kealaman ialah bahwa ia disusun atas dasar intizhar pada gejala-gejala alamiah yang dapat kita periksa berulang-ulang dan dapat diperiksa orang lain seperti perjalanan atau perubahan posisi bintang-bintang, matahari, dan bulan, atau dapat kita timbulkan berulang-ulang dengan kondisi yang sama dan dapat diteliti dalam eksperimen laboratorium, dan dapat diulangi serta diteliti oleh orang lain. Karena sifat keterbukaannya itu, maka sains natural merupakan konsensus atau mufakat dari seluruh masyarakat ilmuwan yang bersangkutan.[1]
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk ciptaaan Allah yang lain. Kedudukan manusia yang tinggi itu memberi pengaruh pembebanan tugas yang mesti diperankan di dunia pendidikan. Dengan demikian, arahan yang dikaitkan dengan Al-Qur’an dan Hadits akan sama saja dengan pengajaran bahasa Arab yang merupakan kategori pengetahuan pertama dari jajaran materi pendidikan yang terkandung pada Pendidikan Islam. Bahasan seperti ini telah dirumuskan oleh para ahli seperti yang telah dikatakan sebagai “Pengajaran tradisional” atau “Materi Pengajaran Agama”. Pembahasan berikut akan mencoba melihat dari dekat deskripsi-deskripsi yang kurang tepat, kemudian dicarikan alternatif baru dengan memberi kesan dan hasil yang tepat menurut materi-materi pokok pengajaran Islam yang dianggap perlu, sebagaimana deskripsi mengenai ilmu pengetahuan yang mencerminkan peranan yang akan diberikan kepadanya.
Kategori kedua dari bidang ilmu pengetahuan yang termasuk dalam isi kurikulum pendidikan Islam, biasanya dipandang sebagai bidang-bidang pengetahuan yang berdiri sendiri atau sebagai kesatuan disiplin ilmu pengetahuan. Kategori ini meliputi : bidang-bidang sosiologi, psikologi, sejarah, dan lain-lain. Keseluruhan bidang pengetahuan ini merupakan bagian integral dalam kurikulum pendidikan Islam. Kesatuan integral ini dipandang oleh Faruqi tercakup pada istilah “Ummatic Sciences”, dengan mempertimbangkan rujukan Al-Qur’an sebagai suatu kesatuan bulat dan utuh di dalam subyek kurikulum Pendidikan Islam. Namun karena istilah yang muncul di dalam Al-Qur’an frekuensinya lebih banyak mempergunakan tema insan ketimbang ummah, maka menurut Faruqi juga mempergunakan subyek disiplin ilmu yang termasuk di dalam istilah “Al-‘Ulum al-Insaniyyah”.
Kategori ketiga yang termasuk dalam kaitannya dengan sub bidang ilmu pengetahuan alam. Dengan tepat bidang-bidag pengetahuan alam ini kemudian disebut dengan “Al-‘Ulum al-Kauniyah” yang termasuk di dalamnya adalah astronomi, biologi, botani, dan lain-lain.[2]
Ibnu Sina mengklasifikasikan ilmu itu kepada tiga macam, yaitu al-‘ilm al-ilahi (ilmu ketuhanan atau metafisika), al-‘ilm al-riyahi (ilmu matematika), dan al-‘ilm tabi’i (ilmu alam). Dalam istilah lain, Ibnu Sina menyebut ketiga ilmu itu pula dengan al-‘ilm al-a’la (ilmu yang tinggi), al-‘ilm al-awsat (ilmu pertengahan) dan al-‘ilm al-asfal (ilmu yang rendah). Klasifikasi yang terakhir ini didasarkan atas mutu atau urgensi suatu ilmu bagi manusia, baik yang menyangkut kehidupan dunia maupun akhirat. Bagi Ibnu Sina, terlihat bahwa ilmu metafisika atau ilmu ketuhanan lebih utama dari ilmu lainnya, sebab persoalan ini menyangku kewajiban manusia sebagai indvidu dan hubungannya dengan Sang Pencipta. Hal ini tidak berarti bahwa ilmu alam dan matematika tidak penting. Klasifikasi itu hanya menunjukkan kepada struktur atau tertib pengajaran; ilmu ketuhanan mesti didahulukan daripada ilmu lainnya, sebab ia menyangkut dengan penanaman akidah dan keyakinan. Kemudian peringkat kedua adalah ilmu matematika, ia didahulukan dari ilmu alam sebab matematika merupakan alat untuk mengkaji ilmu alam. Tetapi, dalam penyusunan kurikulum bisa saja akidah diajarkan seiring dengan ilmu alam dengan menjadikan fenomena alam yang diperhatikan siswa sebagai media penguatan akidah.
Berbeda dari Ibnu Sina, Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu kepada dua macam, yaitu ilmu shari’ah dan ilmu ghayr al-shari’ah. Klasifikasi ini serasi dengan pembagian yang dibuat oleh Ibnu Khaldun, yang membagi ilmu itu kepada ilmu naqal dan ilmu aqal. Yang pertama sama dengan ilmu shari’ah dan yang terakhir sama dengan ilmu ghayr al-shari’ah dalam kategori Al-Ghazali. Klasifikasi ini didasarkan atas sumber ilmu. Ilmu tersebut ada yang bersumber dari wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah) dan ada pula yang bersumber dari alam dan fenomenanya. Ilmu yang bersumber dari wahyu disebut ilmu naqal atau shari’ah dan ilmu yang merupakan hasil penyelidikan terhadap alam dan segala fenomenanya disebut dengan ilmu ‘aqal atau ghayr al-shari’ah. Lebih jauh pandangan Al-Ghazali mengenai ilmu shari’ah dan ilmu ghayru al-shari’ah dapat pula diartikan kepada ilmu yang berkaitan dengan segala hal yang bersifat normatif (ilmu al-shari’ah) dan ilmu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang tidak bersifat normatif atau hukum alam (ilmu ghayru al-shari’ah).[3]
B.  Dalil Belajar Ilmu Kealaman, Sain dan Humaniora
Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ n<Î) È@Î/M}$# y#øŸ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ   n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#øŸ2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ   n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ   n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ
Q.S. Al-Ghasyiyah, 88:17-20
Artinya :
17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,
18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Tafsirannya :
Ayat 17 yang artinya Tidakkah mereka perhatikan binatang unta; bagaimana ia diciptakan? Disini Allah Swt. Mengkhususkan unta sebagai objek pengamatan, mengingat bahwa ia adalah hewan paling utama dan paling berguna di kalangan bangsa Arab ketika itu. Dan memang ia sesungguhnya adalah hewan yang mengagumkan. Meski memiliki bentuk tubuh serta kekuatan yang amat besar, ia begitu patuhnya, bahkan kepada seorang yang lemah atau anak kecil sekalipun. Demikian pula dalam hal kemampuannya mengangkut beban yang berat ke tempat-tempat yang berjarak jauh. Dengan mudahnya ia duduk ketika akan dibebani atau ditunggangi, lalu bangkit berdiri lagi untuk meneruskan perjalanan. Memiliki watak sabar menghadapi beratnya perjalanan, haus dan lapar. Sedikit sja rerumputan sudah cukup baginya, berbeda dengan hewan-hewan lain yang sejenis. Dan masih banyak lagi kelebihan dan keistimewaannya yang tidak dimilikki oleh hewan selainnya. Kelebihannya itu bukan karena besar tuuhnya, sehingga dapat disamakan dengan gajah, misalnya. Sebab, gajah meskipun memiliki sebagian keistimewaan yang dimiliki oleh unta, namun ia tidak menghasilkan air susu; dagingnya tidak dimakan, dan cara mengendalikannya pun tidak semudah unta.
Ayat 18 yang artinya Dan langit; bagaimana ditinggikan? Yang dimaksud dengan ‘ditinggikan’ adalah pengaturan benda-benda yang berada di atas kepala kita, seperti matahari, bulan, dan bintang-bintang, masing-masing dalam garis peredarannya, tidak pernah menyimpang dan tidak pernah pula rusak tatanannya.
Ayat 19 yang artinya Dan gunung-gunung; bagaimana ditegakkan? Yakni untuk menjadi tanda bagi para musafir dan tempat berlindung dari kejaran orang-orang zalim. Di samping itu, pada galibnya ia adalah juga pemandangan indah bagi siapa yang melihatnya.
Ayat 20 yang artinya Dan bumi; bagaimana dihamparkan? Yakni dengan meratakan permukaannya dan menjadikannya mudah dimanfaatkan oleh manusia, untuk bermukim di atasnya maupun berjalan di segala penjurunya.
Pemilihan unta, langit, gunung-gunung, dan bumi sebagai contoh, mengingat bahwa semua ciptaan ini adalah yang senantiasa dilihat oleh orang-orang Arab di lembah-lembah dan gurun pasir mereka. Karenanya, memang selayaknya semua itu disebutkan dalam suatu ragkaian, agar dapat pula tercakup dengan mudah dalam pengamatan yang diminta dari mereka. Oleh sebab itu, seandainya orang-orang yang mengingkari maupun yang lalai itu, mau memperhatikan sebagian dari yang mereka saksikan sehari-hari, bagaimana semua itu terjadi tentunya masing-masing orang sesuai kemampuan penalarannya, niscaya mereka akan menyadari bahwa semua itu adalah ciptaan yang tak mungkin terwujud dan terpelihara kecuali oleh adanya Sang Pencipta, yaitu Allah Swt. Dan bahwa Dia Yang Maha kuasa atas penciptaan semua itu, lalu memeliharanya dan mengaturnya dalam suatu tatanan yang dibangu-Nya atas dasar hikmah, niscaya Dia Maha kuasa pula untuk membangkitkan kembali manusia pada suatu hari, ketika setiap pelaku akan menerima balasan atas segala perbuatannya.
Dan sebagaimana Allah Swt. Telah menciptakan semua itu, sedangkan mausia tidak mengetahui cara penciptaannya, dan yang mereka ketahui hanyalah apa yang dapat mereka saksikan di hadapan mereka; maka sedemikian itu pula berkenaan dengan apa yang akan Ia ciptakan pada hari ‘itu’ kelak. Mereka tidak akan mengetahui cara Ia melakukannya, tetapi yang mereka ketahui hanyalah keberadaan semua itu di hadapan mereka; persis sebagaimana mereka kini menyaksikan segala ciptaan Allah Swt. (dalam kehidupan dunia). Apabila keadaannya sudah begitu jelas, maka yang diperlukan sekarang hanyalah sekadar peringatan dan penalaran, yang dapat membuahkan pelajaran dan kesadaran.[4]


C.   Islam Terdepan dalam Pengembangan Ilmu
Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dan memberikan pedoman-pedoman pokok untuk mengembangkan kebudayaan-kebudayaan setinggi-tingginya, agar manusia berbahagia di duniadan di akhirat. Islam sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah sanggup berperan sebagai penuntun perkembangan kebudayaan manusia termasuk sains dan teknologi. Artinya, dalam Islam ada sistem dan alternatif pemecahan dari persoalan umat manusia, yang mana dasar sistemnya adalah keyakinan tentang adanya Allah, akan tetapi aspek teknis pemecahannya diserahkan pada manusia karena manusialah yang bersentuhan langsung dengan segala pergulatan persoalannya. Hal inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh manusia sepanjang masa dalam historisitas  peradaban dan pencarian eksistensialnya. Yaitu tercapainya kebudayaan dan peradaban yang berkeTuhanan Yang Maha Esa dan berakhlak. Maksudnya, kebudayaan dan peradaban yang tumbuh dalam suasana kehidupan Islam.
Islam untuk mengembangkan beraneka ragam ilmu pengetahuan, mengajarkan manusia untuk melakukan nazhar (mempraktekkan metode, mengadakan observasi dan penelitian ilmiah) terhadap segala macam peristiwa alam di seluruh jagad ini, juga terhadap lingkungan-keadaan masyarakat dan historisitas bangsa-bangsa jaman dahulu.
Selain itu Islam juga mengajarkan bahwa dunia itu bersifat fana (sementara) dan akan diganti dengan alam akhirat yang lebih baik dan abadi. Artinya bahwa dunia yang dihuni oleh umat manusia saat ini akan mengalami kehancuran, sehingga seseorang yang menggantungkan harapan dan hidupnya hanya pada dunia ini merupakan suatu perbuatan yang sia-sia, sebab masih ada dunia lain setelah kehidupan saat ini.
Bersamaan dengan informasi itu, Allah sekaligus mengajarkan kepada manusia agar nilai-nilai dunia yang bersifat fana itu diubah menjadi nilai-nilai ukhrowi yang kekal, yaitu dengan mewujudkannya menjadi amal-amal yang saleh, artinya memberi muatan nilai ukhrowi kepada setiap sikap dan perbuatan dalam perilaku sehari-hari dan untuk hal ini setiap individu dianjurkan berlomba melakukan sebanyak-banyaknya. Sudah barang tentu untuk menjadikan sesuatu perbuatan bernilai ukhrowi memerlukan karya tangan dan kerja otak manusia (usaha yang optimal) namun senantiasa tetap di dalam tuntunan wahyu Ilahi, artinya selalu dalam suasana kehidupan beragama.
Islam menegaskan bahwa alam semesta, langit dan bumi, seluruhnya dibuat menjadi mudah untuk dapat digarap dan dimanfaatkan seoptimal mungkin oleh manusia, atau dengan kata lain dapat dieksplorasi demi kesejahteraan umat manusia, seperti dinyatakan dalam firman Allah Q.S. Al-Jatsiyah yang artinya ”Dan Dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya sebagai suatu rahmat daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat ayat (bukti-bukti kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berpikir”. Dengan firman Allah ini maka semkin terbuka lebar jalan kemajuan bagi teknologi dan sains yang akan menggarap bahan-bahan mentah untuk diubah menjadi hasil-hasil industri yang lebih bermanfaat, lebih menarik dan lebih enak dipakai. Artinya, ayat ini memberi legitimasi terhdap semua usaha eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam, namun tetap tidak kehilangan nilai transendensi sebagai media untuk lebih mengenal Allah.
Secara garis besar Islam memberi tuntunan agar industri-industri mulai dari proses awal eksplorasi sampai dengan hasil yang akan dicapai berjalan dalam rangka mewujudkan kehidupan yang beramal saleh, sehingga ada, bahkan banyak, nilai-nilai kebajikan ukhrowinya yang kekal, atau dapat termuat di dalamnya. Maksudnya agar eksplorasi yang semata bersifat duniawi itu tidak kehilangan nilai kebajikannya, yaitu demi kesejahteraan manusia sendiri, sekaligus juga sebagai alat berbuat baik bagi manusia yang satu pada yang lainnya serta mendukung untuk lebih mengenal dan beribadah kepada Allah.jadi semakin jelas bahwa Islam menuntun teknologi dan sains kepada kehidupan yang menguntungkan manusia dunia akhirat,agar terhindar dari kehancuran karena keteledoran tangannya sendiri maupun karena siksa dan kemurkaan Allah. Artinya, semua itu senantiasa dalam aras fitrah manusia sendiri serta mempunyai arah tujuan untuk ikut mensukseskan penunaian tugas manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi.[5]



BAB III
PENUTUP
1.    Simpulan
Ilmu pengetahuan atau sains adalah suatu himpunan pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui beberapa metode yang disebut sebagai suatu proses pengkajian. Agama Islam telah mengatur dan menuntun umat manusia sebagai khalifah di muka bumi ini untuk melakukan pengkajian terhadap semua yang ada di dunia. Yang kemudian semua yang dikaji oleh manusia itu disebut sebagai ilmu pengetahuan atau sains. Tidak hanya ilmu dunia saja, agama Islam juga menuntun agar manusia dapat menselaraskan antara ilmu pengetahuan umum atau sains dengan ilmu yang berhubungan dengan akhirat, hal ini dimaksudkan agar manusia bisa memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Seperti yang telah tertuang dalam Q.S. Al-Ghasyiyah, 88:17-20, bahwa manusia diperintahkan untuk berpikir kritis tentang semua hal yang ada di bumi ini sehingga dapat diperoleh suatu pengetahuan yang akan mengantarkan manusia kepada tujuan hidupnya.
2.    Saran-saran
Dalam penulisan makalah diatas tentu saja masih terdapat banyak kekurangan, dari penulis mohon maaf apabila materi yang disampaikan masih belum sempurna karena sebagai manusia tempatnya salah dan dosa dan kesempurnaan hanya milik Allah semata. Untuk itu, saya membutuhkan kritik dan saran dari pembaca agar dikemudian hari saya dapat membuat makalah yang lebih baik lagi. Dan terima kasih kepada Bapak Muhammad Hufron, M.S.I. yang telah memberikan tugas kepada kami dan terutama saya sendiri sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Mungkin itu saja yang dapat penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


DAFTAR PUSTAKA
‘Abduh, Muhammad. 1998. Tafsir Juz ‘Amma. Bandung: Penerbit Mizan.
Abdullah, Abdurrahman Saleh. 1994. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Alim, A. Sahirul. 1998. Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi dan Islam. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Baiquni, A. 1983. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern. Bandung: Penerbit Pustaka.
Yusuf, Kadar M. 2013. Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan. Jakarta: Amzah.
















LAMPIRAN
BIODATA

Nama                                       : Sri Indah Alviah
NIM                                        : 2117060
Tempat, Tanggal Lahir            : Pekalongan, 12 April 1999
Alamat                                    : Dk. Gebruk, Ds. Getas, RT03/RW01, Kec.Wonopringgo,
 Kab. Pekalongan
Fakultas/Jurusan                      : FTIK/PAI
Status                                      : Mahasiswi IAIN Pekalongan
Riwayat Pendidikan               :
-          TK Muslimat NU Gebruk Getas
-          SDN 01 Getas
-          SMPN 01 Wonopringgo
-          SMKN 01 Kedungwuni


[1] A. Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, ( Bndung: Penerbit Pustaka, 1983) hlm. 1-2
[2] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994) hlm. 161-162
[3] Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan, ( Jakarta: Amzah, 2013) hlm. 22-24
[4] Muhammad ‘Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998) hlm. 147-149
[5] A. Sahirul Alim, Menguak Keterpaduan Sains, Teknologi dan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998) hlm. 86-92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar