Laman

Sabtu, 06 Oktober 2018

TT D E3 TUJUAN PENDIDIKAN GENERAL "IBADAH PADA ALLAH"


TUJUAN PENDIDIKAN “GENERAL
IBADAH PADA ALLAH
QS. Hud, 11: 61
Nikmatul Maulana
NIM. (2117114)
Kelas : D

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAIN) PEKALONGAN
2018




BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Manusia diciptakan Tuhan mempunyai tujuan yang sangat mulia, dengan dibekali akal manusia menjadi makhluk yang paling sempurna dibandingkan yang lain. pertama Allah menciptakan Adam, nenek moyang umat manusia, kemudian menciptakan manusia dari sari pati yang berasal dari tanah yang diproses dengan sedemikian rupa sehingga menjadi satu kesatuan yang sempurna. manusia diciptakan untuk  mengenal Allah dan menyembahNya, dan dijadikan sebagai khalifahNya di bumi. Allah menjadikan manusia untuk memakmurkan bumi ini. Dengan akal yang ada manusia diharapkan memanfaatkannya, dengan menuntut ilmu serta bekerja keras demi kehidupan yang baik di dunia maupun diakhirat.
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana hakikat Ibadah kepada Allah swt?
2.    Bagaimana penafsiran dari surah Hud ayat 61?
3.    Apa saja sifat-sifat wajib dan sifat Jaiz bagi Allah swt?
C.    Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui tujuan diciptakannya manusia
2.    Mengetahui isi kandungan surah Hud 61
3.    Mengetahui sifat wajib bagi Allah swt
4.    Mengetahui sifat Jaiz bagi Allah swt



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat ibadah kepada Allah SWT
                Manusia diciptakan Tuhan mempunyai tujuan yang sangat mulia, setiap makhluk yang diciptakan Tuhan sudah tentu mempunyai tujuan dan hikmah bagi Allah yang tidak  diketahui oleh manusia, karena Allah tidak akan menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Apalagi penciptaan manusia yang dibekali dengan akal. Allah tidak menciptakan manusia untuk bersenang-senang sebagaimana hewan, tidak Menciptakannya hanya untuk hidup bertahun-tahun kemudian ditelan masa dan bumi begitu saja sampai binasa  di dalam tanah begitu saja tanpa di bangkit dan dihisab di hari kiamat.
            Sesungguhnya manusia diciptakan untuk  mengenal Allah dan menyembahNya, dan dijadikan sebagai khalifahNya di bumi. Sayyid Quthub melihat bahwa di antara tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah swt, karena menurutnya di alam ini harus ada hamba (a’bdun/dan Tuhan (rabbun) yang disembah. Kehidupan hamba secara menyeluruh harus tertuju kepada dasar ini. Pendapat Sayyid Quthub ini mungkin berlandaskan pada firman Allah swt dalam surat Al-Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya:  "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Q.S. ArRum : 30).
Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi kepada agama yang lurus, yang sebagian ulama memahami sebagai agama yang berlandaskan ketauhidan. Di pahami juga bahwa fitrah adalah bagian dari khalq (ciptaan) Allah. Sebagai hamba yang beribadah kepadaNya, di dalam diri manusia ditanamkan sifat mengakui Tuhan (kebenaran mutlak), bebas, terpercaya, memiliki rasa percaya diri dan alam semesta ini.
Tujuan yang kedua diciptakannya  manusia adalah sebagai khalifah di bumi ini. Menurut Muhammad Quthub peran khalifah ini sangat luas  sekali, yaitu meliputi bermacam aktivitas, dalam kehidupan duniawi dalam memakmurkan bumi ini. Oleh sebab itu manusia selaku khalifah Allah harus mengetahui sumber daya yang terkandung di alam ini, dengan menggunakannya untuk meningkatkan taraf hidup sesuai dengan keinginan Allah swt. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menegakkan syariat Allah di bumi sehingga dengan demikian tercapailah metode Ilahi yang sangat sinkron dengan rahasia alam yang sangat universal. Menjalan tugas kekhalifahan di bumi (pribadi dan kolektif) merupakan ibadah. Menurut M. Quraisy Shihab ibadah itu terbagi kepada dua macam, yaitu :
a)    Ibadah murni ( mahdhah ), yaitu ibadah yang telah ditentukan oleh Allah, bentuk, kadar, atau waktunya, seperti shalat, zakat, puasa dan haji.
b)   Ibadah ghairu mahdhah, yaitu segala aktivitas lahir dan batin manusia yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
                Menurut Sayyid Quthub hakikat ibadahitu disimpulkan dalam dua hal pokok, yaitu : Pertama, hakikat menetapkan dalam diri manusia bahwa  ibadah itu kepada Allah semata, tidak kepada yang lain. Kedua, sama sekali tidak bersandar kepada yang lain selain kepada Allah.
            Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa tujuan diciptakan manusia hanya untuk beribadah kepada Allah Sang Pencipta. Ibadah yang dimaksudkan disini sangat luas artinya, yaitu meliputi dalam segala tindak tanduk manusia, tidak terbatas pada ibadah mahdhah saja. Oleh karena itu Allah menjadikan manusia sebagai khalifahNya di bumi, agar manusia mengatur atau mengelola bumi ini sesuai dengan potensi yang ada pada dirinya masing-masing, karena Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban di luar dari kemampuan yang telah diberikan kepadanya.[1]
B.     Dalil Ibadah kepada Allah SWT
Q.S Hud 11:61
وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ
Artinya : dan kepada Samud (kami utus) saudara mereka salih. Salih berkata; "hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).(Q.S Hud 11:61)
Tafsir Ibnu Katsier
                Allah berfirman, "kami telah mengutus kepada kaum tsamud seorang Rasul, ialah saudara mereka sendiri Shaleh, yang berseru kepada mereka agar hanya menyembah kepada Allah yang telah menciptakan mereka dari tanah (bumi) dan menjadikan mereka berkuasa diatasnya, mengelolanya untuk kepentingan hidup dan kemakmuran mereka. Karenanya, sebagai imbalan, Shaleh berkata kepada mereka, "Beristighfarlah (mohon ampun) kamu dari dosa-dosa kamu yang lalu, kemudian bertaubatlahdari melakukan dosa yang akan datang. Sesungguhnya Tuhanku adalah dekat yang mendengar doa-doa hamba-hamba-Nya serta memperkenankanya. Kaum Tsamud tersebut adalah penduduk "al-Hijr" sebuah kota terletak antara Tabuk dan Madinnah.[2]
Tafsir Al-Maraghi
وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ ۖ
Dan kepada Samud, kami utus saudara mereka, Salih, Salih berkata; "Hai kaumku sembalah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan selain Dia."
Kata-kata ini, seperti halnya kata-kata semisalnya yang telah kita baca, yaitu mengenai penyampaian dakwah yang dilakukan Nabi Hud as.
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Allah-lah yang telah memulai penciptaan kalian dari Tana. Yaitu, pertama Allah menciptakan Adam, nenek moyang umat manusia, kemudian menciptakan kaliah dari sari pati yang berasal dari tanah. Juga melewati bermacam-macam perantara karena (nutfah) yang berubah menjadi sesuatu yang melekat pada uterus ('alaqah), kemudian berubah pula menjadi gumpalan daging (Mudgah), kemudian menjadi kerangka tulang yang dibalut dengan daging. Asal semuanya adalah darah, sedang darah yang itu berasal dari makanan. Makanan itu, kadang terdiri dari tumbuhan yang hidup diatas tanah, kadang tetdiri dari daging yang berasal dari tumbuhan setelah melewati satu tahapan atau lebih.
وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
Dan Allah menjadikan kalian orang-orang yang memakmurkan tanah itu. Artinya, bahwa kaum Nabi Shalih itu ada yang menjadi petani, pengrajin dan ada pula tukang batu, sebagaimana yang tercantum dalam ayat lain :
وَكَانُوا يَنْحِتُونَ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا آمِنِينَ
"Dan mereka memahat rumah-rumah dari gunung-gunung batu (yang didiami) dengan aman."(QS Al-Hijr 15:82)
Kesimpulanya : sesungguhnya Allah-lah yangtelah menciptakan bentuk kejadian kalian, dan menganugerahkan kepadamu sarana-sarana kemakmuran dan kenikmatan di atas bumi. Maka, tidaklah takut kamumenyembah Allah, karena Allah-lah yang berjasa dan memberi anugerah pada kalian. Oleh karena itu, bersyukur kepada-Nya adalah kewajiban mu dengan cara beribadah kepada-Nya dengan ikhlas.
فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
Maka, mohonlah kepada Allah supaya mengampuni kalian atas dosa-dosamu yang lalu karena kemusyrikanmu dengan mempersekutukan Allah kepada yang lain, juga atas kejahatan-kejahatan yang telah kamu lakukan. Kemudian, kembalilah kalian kepada-Nya dengan memohon taubat tiap kali kamu terlanjur melakukan suatu dosa, semoga dia mengampuni kalian.
إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ
Sesungguhnya Tuhanku Maha dekat kepada hamba-hamba-Nya, tidak samar bagi-Nya permohonan ampun mereka maupun dorongan yang membangkitkan untuk melakukan permohonan ampun. Allah juga Maha Pengampun dan mengabulkan do'a bagi siapapun yangberdo'a kepada-Nya dan memohon, apabila dia seorang mu'min yang ikhlas.[3]
C.    Sifat wajib dan Jaiz bagi Allah SWT
a.    Sifat wajib Allah
1)        Wujud (ada)
Adanya Allah itu bukan karena ada yang mengadakan atau menciptakan, tetapi Allah itu ada dengan zat-Nya sendiri.
2)   Qidam (dahulu/awal)
Sifat Allah ini menandakan bahwa Allah swt sebagai pencipta lebih dulu ada daripada semesta alam dan isinya yang ia ciptakan.
3)   Baqa’ (kekal)
Allah akan kekal dan abadi selamanya, kekalnya Allah SWT tidak berkesudahan.
4)   Mukhalafatuhu Lilhawadith (berbeda dengan ciptaannya/ makhluk-Nya)
Sifat ini menunjukkan bahwa Allah SWT berbeda dengan hasil ciptaan-Nya. Coba kita perhatikan tukang jahit hasil baju yang dijahit sendiri tidak mungkin sama dengan baju yang dibuat orang lain.
5)   Qiyamuhu Binafsihi (Allah berdiri sendiri)
Artinya bahwa Allah SWT itu berdiri dengan zat sendiri tanpa membutuhkan bantuan yang lain. Maksudnya, keberadaan Allah SWT itu ada dengan sendirinya tidak ada yang mengadakan atau menciptakan. Contohnya, Allah SWT menciptakan alam semesta ini karena kehendak sendiri tanpa minta pertolongan siapapun.
6)   Wahdaniyyah (tunggal/Esa)
Artinya adalah bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa., baik itu Esa zat-Nya, sifat-Nya, maupun perbuatannya. Esa zat-Nya maksudnya zat Allah SWT itu bukanlah hasil dari penjumlahan dan perkiraan atau penyatuan satu unsur dengan unsur yang lain menjadi satu. Berbeda dengan makhluk, makhluk diciptakan dari berbagai unsur, seperti wujudnya manusia, ada tulang, daging, kulit dan seterusnya. Esa sifat-Nya artinya semua sifat-sifat kesempurnaan bagi Allah SWT tidak sama dengan sifat-sifat pada makhluk-Nya, seperti marah, malas, dan sombong. Esa perbuatan-Nya berarti Allah SWT berbuat sesuatu tidak dicampuri oleh perbuatan makhluk apapun dan tanpa membutuhkan proses atau tenggang waktu. Allah SWT berbuat karena kehendak-Nya sendiri tanpa ada yang menyuruh dan melarang.
7)   Qudrat (berkuasa)
Kekuasaan Allah SWT, atas segala sesuatu itu mutlak, tidak ada batasnya dan tidak ada yang membatasi, baik terhadap zat-Nya sendiri maupun terhadap makhluk-Nya. Berbeda dengan kekuasaan manusia ada batasnya dan ada yang membatasi.
8)   Iradah (berkehendak)
Allah SWT menciptakan alam beserta isinya atas kehendak-Nya sendiri, tanpa ada paksaan dari pihak lain atau campur tangan dari siapapun. Apapun yang Allah SWT kehendaki pasti terjadi, begitu juga setiap sesuatu yang Allah SWT tidak menghendaki pasti tidak akan terjadi. Manusia mempunyai keinginan, tetapi keinginan itu kandas di tengah jalan. Apabila manusia berkeinginan tanpa disertai dengan kehendak Allah SWT. Pasti keinginan itu tidak terwujud. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keterbatasan, sedangkan Allah SWT memiliki kehendak yang tidak terbatas. Jadi berbeda dengan kehendak atau kemauan manusia.
9)   Ilmu (mengetahui)
Artinya Allah SWT memiliki pengetahuan atau kepandaian yang sangat sempurna, artinya ilmu Allah SWT itu tidak terbatas dan tidak pula dibatasi. Allah SWT mengetahui segala sesuatu yang ada di alam semesta, baik yang tampak maupun yang gaib. Bahkan, apa yang dirahasiakan di dalam hati manusia sekalipun. Bukti kesempurnaan ilmu Allah SWT, ibarat air laut menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Allah SWT, tidak akan habis kalimat-kalimat tersebut meskipun mendatangkan tambahan air yang banyak seperti semula. Kita sering kagum atas kecerdasan dan ilmu yang dimiliki orang-orang pintar di dunia ini. Kita juga takjub akan indahnya karya dan canggihnya tekhnologi yang diciptakan manusia. Sadarkah kita bahwa ilmu tersebut hanyalah sebagian kecil saja yang diberikan Allah SWT kepada kita.
10)     Hayat (hidup)
Artinya hidupnya Allah tidak ada yang menghidupkannya. Melainkan hidup dengan zat-Nya sendiri, karena Allah Maha Sempurna. Berbeda dengan makhluk yang diciptakan-Nya. Contohnya: Manusia ada yang menghidupkan. Selain itu, mereka juga membutuhkan makanan, minuman, istirahat, tidur, dan sebagainya. Akan tetapi, hidupnya Allah SWT tidak membutuhkan semua itu. Allah SWT hidup selama-lamanya, tidak mengalami kematian bahkan mengantuk pun tidak.
11)     Sama’ (mendengar)
Allah SWT mendengar setiap suara yang ada di alam semesta ini. Tidak ada suara yang terlepas dari pendengaran Allah SWT walaupun suara itu lemah dan pelan. Seperti suara bisikan hati dan jiwa manusia. Pendengaran Allah SWT berbeda dengan pendengaran makhluk-Nya, karena tidak terhalang oleh suatu apapun, sedangkan pendengaran makhluk-Nya dibatasi ruang dan waktu.
12)     Bashar (melihat)
Allah SWT melihat segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Penglihatan Allah bersifat mutlak, artinya tidak dibatasi oleh jarak (jauh atau dekat) dan tidak dapat dihalangi oleh dinding (tipis atau tebal). Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, kecil maupun besar, tampak atau tidak tampak, pasti semuanya terlihat oleh Allah SWT. Dengan memahami sifat bashar Allah SWT hendaknya kita selalu berhati-hati dalam berbuat. Mungkin kita bisa berbohong kepada manusia, seperti orang tua, guru, atau teman. Akan tetapi kita tidak akan bisa berbohong kepada Allah SWT.
13)     Kalam (berbicara/berfirman)
Allah SWT bersifat kalam artinya Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya yang diturunkan kepada para nabi dan rasul-Nya. Pembicaraan Allah SWT tentu tidak sama dengan pembicaraan manusia karena Allah SWT tidak berorgan (panca indra), seperti lidah dan mulut yang dimiliki oleh manusia. Allah SWT berbicara tanpa menggunakan alat bantu yang berbentuk apapun, sebab sifat kalam Allah SWT sangat sempurna. Sebagai bukti bahwa adanya wahyu Allah SWT berupa Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu kita sebagai hamba Allah SWT hendaknya membiasakan diri mengucapkan kalimat-kalimat tayyibah, artinya kata-kata yang mulia, seperti ketika kita berbuat salah, maka segeralah membaca istighfar.
14)     Kaunuhu qadiron
Yaitu keadaan Allah Ta’ala yang berkuasa mengadakan dan meniadakan.
15)     Kaunuhu muridan
Yaitu keadaan Allah Ta’ala yang menghendaki dan menentukan tiap-tiap sesuatu, Ia berkehendak atas nasib dan takdir manusia.
16)     Kaunuhu ‘aliman
Yaitu keadaan Allah Ta’ala yang mengetahui akan tiap-tiap sesuatu, mengetahui segala hal yang telah terjadi maupun yang belum terjadi, Allah pun dapat mengetahui isi hati dan pikiran manusia.
17)     Kaunuhu hayyan
Yaitu keadaan Allah Ta’ala yang hidup, Allah adalah Dzat yang hidup, Allah tidak akan pernah mati, tidak akan pernah tidur ataupun lengah.
18)     Kaunuhu sami’an
Yaitu keadaan Allah Ta’ala yang mendengar, Allah selalu mendengar pembicaraan manusia, permintaan atau doa hamba-Nya.
19)     Kaunuhu basiron
Yaitu keadaan Allah Ta’ala yang melihat akan tiap-tiap yang maujudat (benda yang ada). Allah selalu melihat gerak-gerik kita. Oleh karena itu, hendaknya kita selalu berbuat baik.
20)     Kaunuhu mutakaliman
Yaitu keadaan Allah Ta’ala yang berkata-kata, Allah tidak bisu, Ia berbicara atau berfirman melalui ayat-ayat Al Quran. Bila Al Quran menjadi pedoman hidup kita, maka kita telah patuh dan tunduk terhadap Allah SWT.[4]
b.   Sifat jaiz bagi Allah
          Sifat Jaiz Allah hanya ada satu, yaitu "Fi'lu Kulli Mumkinin Au Tarkuhu" yang berarti Menjadikan sesuatu yang mungkin terjadi atau tidak menjadikannya. Maksudnya bahwa Allah berwenang untuk menciptakan dan berbuat sesuatu sesuai kehendaknya, atau tidak menciptakan dan berbuat sesuatu sesuai kehendakNya.[5]



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Allah tidak akan menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Apalagi penciptaan manusia yang dibekali dengan akal. Sesungguhnya manusia diciptakan untuk  mengenal Allah dan menyembahNya, dan dijadikan sebagai khalifahNya di bumi.
Ayat 61 surat huud ini mengandung perintah yang jelas kepada manusia langsung maupun tidak langsung untuk membangun bumi dalam kedudukannya sebagai khalifah, sekaligus menjadi alasan mengapa manusia harus menyembah Allah SWT semata-mata. Tugas manusia di bumi ini sebagai pemakmur yaitu untuk memakmurkan bumi, mensejahterakan umat manusia sendiri lebih-lebih lingkungan-nya.
Tujuan pendidikan adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah.
Saran
            Manusia harus menyembah Allah SWT semata-mata. Kita jangan pernah mensekutukanNya. Selain itu Manusia diharapkan mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah swt, dengan menggunakan akalnya untuk berfikir, yaitu membedakan yang benar dan yang salah, melakukan hal yang bermanfaat dan meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.




DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajudin, and Pusstaka Tarbiyah Baru. "Amak. Ahlusunnah dan Ahlul Bid’ah. Majalah Aulia: Surabaya, 2006. Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir. Pustaka Imam Asy-syafi’i: Jakarta, 2003. Abdullah. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Sandro Jaya: Jakarta, 2009
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi 12 (semarang : Karya Toha, 1993)
              Muhammad, Muhammad Thaib. "Kualitas Manusia Dalam Pandangan Al-Qur’an." Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah 13.1 (2017): 1-10.
Munawir, Munawir. "Aswaja NU Center dan Perannya sebagai Benteng Aqidah." SHAHIH: Journal of Islamicate Multidisciplinary 1.1 (2016):
            Salim Bahreisy, Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid 4,(Surabaya : Bina Ilmu, 1988)





BIOGRAFI PENULIS

Nama lengkap penulis Nikmatul Maulana, namun sejak kecil biasa dipanggil "Anung",, hobinya menggambar/melukis. Alamat rumah, Desa Kaligawe, Kec.Karangdadap Kab.Pekalongan, beragama Islam, riwayat pendidikan : SD N Kaligawe, SMP N 1 Talun, SMA N 1 Talun, dan sedang melanjutkan jenjang S1 di IAIN Pekalongan, Fakultas Tarbiah dan Ilmu Keguruan, jurusan; Pendidikan Agama Islam, moto hidup "Bersyukur lalu bahagia, bukan Bahagia lalu bersyukur"


[1] Muhammad, Muhammad Thaib. "Kualitas Manusia Dalam Pandangan Al-Qur’an." Jurnal Ilmiah Al-Mu’ashirah 13.1 (2017): 1-10.hlm 6-8
[2]Salim Bahreisy, Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid 4,(Surabaya : Bina Ilmu, 1988) hlm.308-309
[3] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi 12 (semarang : Karya Toha, 1993) hlm. 97-99
[4] Munawir, Munawir. "Aswaja NU Center dan Perannya sebagai Benteng Aqidah." SHAHIH: Journal of Islamicate Multidisciplinary 1.1 (2016): 61-81
[5] Abbas, Sirajudin, and Pusstaka Tarbiyah Baru. "Amak. Ahlusunnah dan Ahlul Bid’ah. Majalah Aulia: Surabaya, 2006. Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir. Pustaka Imam Asy-syafi’i: Jakarta, 2003. Abdullah. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Sandro Jaya: Jakarta, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar