Laman

Rabu, 07 November 2018

TT E J2 OBYEK PENDIDIKAN INDIRECT "ORANG AWAM SEBAGAI OBYEK PENDIDIKAN"


OBYEK PENDIDIKAN INDIRECT
"ORANG AWAM SEBAGAI OBYEK PENDIDIKAN"
Thoyibah
NIM. (2117325)
Kelas E

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2018




BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Sifat jahil manusia telah diungkapkan dalam Alqur’an sebagai sifat dasar manusia. Manusia telah diberikan amanat untuk menjadi khalifah dimuka bumi, amanat ini sudah ditawarkan Allah kepada semua ciptaan-Nya. Semua tiada yang sanggup kecuali manusia.
Melihat kenyataan yang demikian, memang banyak dijumpai akhirnya manusia tidak dapat memegang amanat Allah yang diberikan kepadanya, lantaran dirinya jahil. Oleh karena  itu, ilmu akan sangat beperan penting bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagai salah satunya, Alqur’an merupakan wahyu Allah yang didalamnya terdapat ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari manusia sebagai petunjuk yang akan memberikan keselamatan kepadanya. Seperti yang terkandung dalam Alqur’an yang menerangkan orang yang berbuat jahil dan kejahatan lalu ia mendapat petunjuk yaitu dengan bertaubat. Maka dari itu dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian orang jahil dan ciri-cirinya khususnya yang terkandung dalam surat an-nisa’ ayat 17 . Dengan demikian kita akan mendapat pelajaran-pelajaran agar terhindar dari kejahilan.
B.     RUMUSAN MASALAH
a.       Apa yang dimaksud dengan jahil?
b.      Apa dalil orang awam sebagai obyek pendidikan?
c.       Bagaimana penafsiran QS. An Nisa’ ayat 17?
d.      Bagaimana aspek kehidupan dalam QS. An Nisa’ ayat 17 ?
e.       Bagaimana aspek tarbainya dalam QS. An Nisa’ ayat 17 ?
C.     TUJUAN
A.    Untuk mengetahui pengertian jahil
B.     Untuk mengetahui dalil orang awam sebagai obyek pendidikan
C.     Untuk mengetahui penafsiran QS. An Nisa’ayat 17
D.    Untuk  mengetabui aspek kehidupan dalam QS. An Nisa’ ayat 17
E.     Untuk mengetahui aspek tarbawi dalam QS. An Nisa’ ayat 17

BAB II
PEMBAHASAN
A.    TEORI
Secara mudahnya jahil artinya bodoh. Al-Raghib memberikan catatan bahwa jahil bukan semata-mata  karena ketidak-tahuan tentang sesuatu. Akan tetapi kebodohan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :
1.      Kebodohan yang disebabkan karena ketiadaan ilmu pengetahuan pada diri seseorang sehingga ia melakukan kesalahan dalam kontek ilm. Dan ini adalah kebodohan yang paling dasar atau alami.
2.      Kebodohan yang dapat di kategorikan sebagai kesalahan Karena adanya suatu keyakinan tertentu, dimana ketentuan tersebut ternyata bertolak belakang dengan kebenaran yang sesungguhnya.
3.      Kebodohan yang disebabkan karena kesengajaannya untuk berpihak kepada yang salah.
Ciri-ciri orang jahil:
1.      Melakukan pertikaian dan perselisihan dalam memperebutkan kebutuhan dunia.
2.      Melupakan dirinya akan mati.
3.      Hilangnya keimanan kepada Allah.
4.      Berbuat yang tidak ada manfaatnya.
5.      Malas menuntut ilmu
Dari pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa tiada yang mampu membedakan manusia dan binatang kecuali pada ilmunya sebagai tolak ukur seberapa mulia derajat nilai kemanusiannya. Jahl diantitesakan dengan kata ‘aql yang sebagai lawannya adalah suatu kemampuan untuk menerima kebenaran dari cara dan proses yang benar.[1]
B.     Nash dan arti Al Qur’an Surat An Nisa’ ayat 17
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (QS An-Nisa : 17).[2]
C.     Tafsir QS. An Nisa’ ayat 17
1.      Tafsir Al-Mishbah
Sesungguhnya taubat di sisi Allah, yakni penerimaan taubat yang diwajibkan Allah atas diri-Nya sebagai salah satu bukti rahmat dan anugerah-Nya kepada manusia, hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan, baik dosa kecil maupun dosa besar lantaran kejahilan, yakni didorong oleh ketidaksadaran akan dampak buruk dari kejahatan itu, yang bkemudian mereka bertaubat dengan segera, yakni paling lambat sesaat sebelum berpisahnya ruh dari jasad, maka mereka itulah – yang kedudukannya cukup tinggi – yang diterima Allah taubatnya; dan Allah sejak dahulu hingga kini Maha Mengetahui siapa yang tulus dan taubatnya lagi Maha Bijaksana, yakni menempatkan segala suatu pada tempatnya secara wajar, sehingga Dia menerima taubat siapa yang wajar diterimanya dan menolak siapa yang pantas ditolak taubatnya.
Kata  ( جهالة)  jahalah bukan berarti bodoh atau tidak mengetahui. Karena siapa yang melakukan dosa, tanpa mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah dosa, maka pada hakikatnya tidak dinilai Allah berdosa, dengan demikian, dia tidak wajib bertaubat.
Kata (من قريب ) min qarib berarti sesaat sebelum kematian karena betapapun lamanya seseorang hidup didunia ini waktu itu pada hakikatnya singkat dan jarak antara hidupnya di dunia dengan kematian sangatlah dekat.[3]
2.      Tafsir Al-Maraghi
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera”
As-Su’ adalah perbuatan jelek yang mengakibatkan pelakunya dinilai jelek, apabila ia berjiwa sehat dan normal. Taubat disini mencakup dosa-dosa kecil dan dosa-dosa besar.
Al-Jahalahah, kebodohan dan sifat dungu yang menguasai diri ketika syahwat telah memuncak sampai kepala, atau ketika nafsu gadab memberontak, sehingga yang bersangkutan kehilangan kesabaran dan lupa perkara yang hak. Setiap orang yang melakukan maksiat (berbuat durhaka) kepada Allah dinamakan orang jahil. Kemudian perbuatannya dinamakan jahalah (kebodohan).
فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
“maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya”
Mereka adalah yang telah melakukan perbuatan dosa secara tidak mengerti (jahil). Tidak lama kemudian, ia bertaubat. Maka Allah memberi taubat dan ampunan padanya, karena pengaruh dosa masih belum mendalam dalam jiwanya, dan ia tidak menetapi perbuatannya itu karena ia mengetahui.
 وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dengan pengetahuan-Nya tentang perkara hamba dan kemaslahatan hamba, membuat taubat mereka pasti diterima. Sebab Allah maha mengetahui kelemahan hamba-hamba-Nya dan mereka sendiri tidak ada yang selamat (bersih) dari perbuatan-perbuatan jelek. Andaikata Allah tidak mensyari’atkan kepada mereka taubat, niscaya mereka akan hancur dan rusak karena pasti mereka tenggelam dalam perbuatan-perbuatan maksiat, di samping menurut nafsu syahwatnya dan bujukan setan. Sebab, mereka mengetahui bahwa diri mereka pasti hancur karena itu. Sudah tidak ada gunanya lagi berjuang sekuat tenaga melawan hawa nafsu dan membersihkan jiwanya.
Setelah Allah mensyari’atkan untuk mereka berdasarkan kebijaksanaan-Nya, yaitu Dia mau menerima taubat, berarti telah terbuka pintu keutamaan untuk mereka. Allah memberikan hidayah kepada mereka, bagaimana cara menghapus kejelekan dengan kebaikan. Tetapi Allah hanya mau menerima taubat yang tulus, bukan sekadar lisannya yang mengucapkan taubat, mengucapkan kalimat istighfar dan menunaikan beberapa kiffarah melalui sedekah atau zikir-zikir, akan tetapi dosa-dosanya masih tetap dilakukan.[4]
3.       Tafsir Al-Azhar
Terlanjur berbuat jahat karena kebodohan. Adanya ada juga orang yang tahu, bahwa itu adalah perbuatan yang jahat, tetapi karena sangat keras dorongan hawa nafsu, tidaklah tertahan lagi. Misalnya karena sangat marah, lalu memukuli orang, atau karena sangat memuncak syahwat. Setelah diberi orang nasehat, tetapi nasehat itu tidak mempan terhadapnya. Karena hidup belum banyak pengalaman, masih seumpama bodoh. Demi setelah terlanjur berbuat salah, timbullah sesal yang mendalam. Sehingga kesalahan itu sendiri sudah menambah pengetahuannya, menghilangkan kebodohannya. Timbul tekanan batin yangan amat sangat, lalu dia menyesal dan lekas-lekas diperbaikinya, lekas-lekas taubat.[5]
4.      Tafsir Ibnu Katsir
Allah Ta’ala berfirman, sesungguhnya Allah hanya akan menerima taubat orang-orang yang melakukan kejahatan karena kebodohan. Kemudian dia bertaubat, walaupun setelah melihat dengan jelas malaikat yang akan mencabut rohnya, asal dia belum sekarat. Mujtahid dan ulama lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kebodohan ialah setiap orang yang durhaka lantaran salah atau sengaja sebelum dia menghentikan dosanya itu. Abu Shalih meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Diantara kebodohannya ialah dia melakukan kejahatan itu.” “Kemudian mereka bertaubat sebentar kemudian.” Ibnu Abbas mengatakan, “Yang dimaksud sebentar ialah jarak antara keadaan dirinya sampai dia melihat malaikat maut. Adh-Dhahak berkata, “Dekat ialah sebelum seseorang sekarat.” Sedangkan Ikrimah berkata, “Masa dunia seluruhnya disebut dekat”.[6]
D.    Aplikasi dalam Kehidupan
Dalam surat An-Nisa ayat 17 dapat diaplikasikan dalam kehidupan yaitu dalam memerangi suatu kejahilan manusia dapat menggali ilmu agar tidak tertinggal dalam hal pengetahuan khususnya mengenai agama yang sudah sepatutya kita mengetahui ajaran-ajaran dalam agama yang dianut.
Menjadi pribadi yang yang baik tidaklah sulit hanya saja hawa nafsu yang tinggi yang tidak dapat dikendalikan itu yang menjadi faktor utama. Dalam suatu tindakan, sudah sepatutnya kita memikirkan dengan matang, tidak terburu oleh hawa nafsu dan syahwat, apa yang akan kita lakukan tesebut merupakan perbuatan yang baik atau sebaliknya. Dalam hal ini kita juga harus berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari perkara kejahatan, keburukan dan kebodohan yang ada dalam kehidupan ini. Andaikata kita telah melakukan dosa yang dianggap Allah itu buruk, dengan rasa sadar sudah seharusnya kita segera meminta ampun kepada-Nya, mengakui kesalahan dan tidak mengulanginya. Karena ia pasti akan merima taubat hambanya yang bersungguh-sungguh. Bertaubatlah sebelum ajal menemui karna orang yang bertaubat setelah meninggal itu tidaklah ada gunanya dan tidak akan diterima taubatnya oleh Allah.
E.     Aspek Tarbawi
Nilai pendidikan yang dapat kita ambil dalam surat an-Nisa ayat 17 ini, yaitu:
1.      Sudah sepatutnya sebagai khalifah di bumi, kita belajar dengan sungguh-sungguh untuk memerangi kebodohan yang saat ini sudah merajalela. Dan banyak orang bodoh yang bangga dengan kebodohannya.
2.      Kita harus senantiasa berpikir dengan matang, tidak terburu dengan hawa nafsu sebelum melakukan sesuatu agar tidak melakukan kesalahan yang membuat kita menyesal setelah melakukannya.
3.      Apabila merasa berbuat salah terhadap sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan maka kita harus segera memohon ampun kepada Allah  dan bertaubat karena pintu taubat selalu terbuka bagi orang yang menyegerakan taubatnya, menyesali perbuatan dosa dan tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut. Karena taubat tidak akan diterima ketika orang yang meninggal dalam keadaan kafir, dan orang-orang yang mengakhirkan taubatnya.
4.      Kita harus senantiasa dapat menegendalikan hawa nafsu yang bergejolak dalam diri kita yang dapat menjerumus pada hal yang tidak baik.[7]




BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan mengenai surat An Nisa aya 17 di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang berbuat durhaka atau maksiat kepada Allah, jika ia mau menggunakan pengetahuannya tentang pahala dan siksaan pastilah ia tidak akan melakukan perbuatan maksiat itu, melainkan karena kebodahanya ia melakukan hal yang dilarang oleh Allah. Jika hal ini terjadi maka ia harus segera bertaubat kepada Allah karena Dia telah menjanjikan akan menerima taubat hambanya sebelum manusia berpisah dengan ruhnya.

















DAFTAR PUSTAKA
Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Hamka. 2004. Tafsir Al Ahzar Juz IV. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Ar Rifa’i, Muhammad Nasib. 2006. Taisiru Al-Aliyyatul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani.
Al Maraghy, Ahmad Mushthafa. 1986. Terjemah Tafsir Al Maraghi. Semarang: PT Toha Putra.
Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir Al Misbah. Tanggerang: Lentera Hati.
Munir, Ahmad. 2008. Tafsir Tarbawi. Yogyakarta: TERAS.


[1] Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi, (Yogyakarta: TERAS, 2008), hlm. 105-106.
[2] Ahmad Mushthafa Al Maraghy, Terjemah Tafsir Al Maraghi, (Semarang: PT Toha Putra, 1986), hlm. 376.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, (Tanggerang: Lentera Hati, 2005), hlm.375-377.
[4]Ahmad Mushthafa Al Maraghy, Op.Cit hlm. 377-381.
[5] Hamka, Tafsir Al Ahzar Juz IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), hlm. 430.
[6] Muhammad Nasib Ar Rifa’i, Taisiru Al-Aliyyatul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 670.
[7] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 107-109.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar