Laman

new post

zzz

Sabtu, 07 Mei 2016

TT G 11 B "Jangan Mengikut Tanpa Dasar Ilmu"



 Tafsir Tarbawi II
PENDIDIKAN INTELEKTUAL TRANSENDENTAL
"Jangan Mengikut Tanpa Dasar Ilmu"


 
Baitinnajmah   (2021114203)
Kelas   : PAI G
 
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
2016


KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan taufiq, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pendidikan Intelektual Transendental, Jangan Mengikut Tanpa Dasar Ilmu (Surat Al-Isra’:36) Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw., sahabatnya, keluarganya, serta segala umatnya hingga yaumil akhir.
Makalah ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan mengenai pendidikan intelektual transendental. Tugas ini disajikan sebagai tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi II. Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan mencoba mengembangkan dari beberapa referensi. Apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya maka penulis sangat menyadari bahwa semua itu karena keterbatasan kemampuan penulis. Akhir kata, semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca ynag budiman. Amin



Pekalongan, 29 Maret 2016
                                                                                   
Penulis




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
            Ilmu pengetahuan diberikan Allah kepada manusia melalui kegiatan manusia itu sendiri dalam usaha memahami alam semesta. Dengan demikian, alam semesta ini merupakan objek pemahaman sekaligus sumber pengetahuan bagi manusia yang mau menggunakan akalnya. Ilmu pengetahuan sangat penting bagi kehidupan manusia, karena tanpa ilmu pengetahuan manusia tidak akan bisa melakukan apa-apa. Dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah hal yang paling pokok dalam keberlangsungan hidup manusia. Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat menciptakan benda-benda yang dapat digunakan untuk mempermudah aktifitas manusia. Ilmu pengetahuan juga bisa dikatakan sebagai alat untuk memperoleh sesuatu karena dalam semua proses yang dilakukan manusia memerlukan pengetahuan. Dan dalam mencari ilmu pengetahuan itu kita dituntut untuk mempertanggungjawabkan setiap pendengaran, pandangan dan hati atau prasangka, agar ilmu yang kita dapatkan tidak hanya sekedar ikut-ikut saja yang nantinya dapat mencegah terjadinya hal-hal buruk, sehingga akan tercipta kedamaian dan kesejahteraan.
B.  Rumusan Masalah
Bagaimana pendidikan intelektual transendental dalam Al-Qur’an dengan tidak mengikut tanpa dasar ilmu?
C.  Tujuan Masalah
Untuk mengetahui pendidikan intelektual transendental dalam Al-Qur’an dengan tidak mengikut tanpa dasar ilmu.




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Umum
            QS.  Al-Isra’ ayat 36 berpesan kepada orang per orang agar melakukan apa yang diperintah Allah dan menghindari apa yang tidak sejalan dengannya. Lebih lanjut, ayat ini berpesan: “Janganlah mengikuti persoalan apa pun yang engkau tidak ketahui,” yakni jangan berucap apa yang engkau tidak ketahui, jangan mengaku tahu apa yang engkau tak tahu, atau mengaku mendengar apa yang engaku tidak dengar. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua yang merupakan alat-alat pengetahuan itu, masing-masing ditanyai tentang bagaimana pemiliknya menggunakannya sedang pemiliknya akan dituntut mempertanggungjawabkan penggunaannya.[1]
            Ayat ini di satu sisi menegaskan manusia dalam konteks tanggung jawab untuk setiap pendengaran, pandangan dan prasangka. Sedangkan di sisi lain memerintahkan manusia untuk mencari ilmu agar tidak melakukan hal-hal yang tercela seperti memfitnah, menuduh dan berbohong. Dalam Kaitannya dengan pendidikan intelektual adalah bahwa al-Qur’an sangat mengedepankan kebenaran intelektual, bukan sekedar dugaan atau prasangka belaka. Kebenaran intelektual adalah kebenaran yang didasarkan pada kebenaran pendengaran, penglihatan, dan  hati atau akal secara integral. Maka untuk mendapatkan kebenaran intelektual ini, diperlukan pendidikan intelektual.
A.  QS. Al-Isra’ ayat 36 dan Penafsiran
Artinya: “ Dan Janganlah engkau mengikuti apa-apa yang tiada bagimu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu tentangnya ditanyai.”
وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ
            Dan janganlah kamu bersikap mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang kamu tidak tahu.
Kata-kata ini merupakan undang-undang yang mencakup banyak persoalan kehidupan. Dan oleh karenanya, mengenai kata-kata ini para penafsir mengeluarkan beberapa pendapat:
a.       Ibnu Abbas mengatakan: Janganlah kamu menjadi saksi kecuali atas sesuatu yang diketahui oleh kedua matamu, didengar oleh kedua telingamu dan dipahami oleh hatimu.
b.      Qatadah, mengatakan pula: Janganlah kamu mengatakan “saya telah mendengar,” padahal kamu belum pernah mendengar, atau “saya telah melihat,” padahal kamu tak pernah melihat, atau “ saya telah mengetahui,” padahal kamu belum tahu.
c.       Dan ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud ialah melarang berkata-kata tanpa ilmu, tapi hanya persangkaan dan waham belaka, seperti yang Allah Ta’ala firmankan:
اجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِّنَالظَّنِّ ۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ
Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. (Al-Hujurat:12).
            Kecuali ada dalil yang membolehkan pengamalannya, yakni manakala tidak ada satu dalil dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, sebagaimana Nabi saw. pernah memberi keringanan dalam kasus seperti ini kepada Mu’az, ketika beliau mengirimkannya sebagai hakim di Yaman. Waktu itu, Nabi bersabda, “Dengan apakah kamu memutuskan?” Jawab Mu’az, “Dengan Kitab Allah.” Nabi berkata, “Kalau tidak kamu dapati?” Mu’az menjawab, “Maka dengan sunnah Rasulullah saw.” Kata Nabi, “Bila tidak kamu dapati pula?” Jawab Mu’az, “Saya berijtihad dengan pendapatku.”
d.      Tapi, ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah melarang orang-orang musyrik dari kepercayaan-kepercayaan mereka yang didasarkan pada taqlid kepada nenek moyang dan hanya mengikuti hawa nafsu belaka, sebagaimana Allah Ta’ala firmankan:
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya. Allah tidak  menurunkan kesenangan pun untuk (menyembahnya). Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka.(An-Najm: 23)[2]
            Di ujung ayat ditegaskan: “Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati, tiap-tiap satu daripadanya itu akan ditanya.”
            Maksudnya, masing-masing dari semua itu ditanya tentang apa yang dia pikirkan dan dia lihat, dan pendengaran ditanya tentang apa yang ia dengar. Diungkapkan tentang pendengaran, penglihatan dan hati bersama mereka karena semuanya adalah indera yang dimiliki kemampuan mendeteksi. Allah menjadikan semua itu pihak yang bertanggungjawab. Semua itu dalam kondisi seperti makhluk yang berakal. Oleh sebab itu diungkapkan sebagaimana layaknya manusia.[3]
            Terang di sini bahwa orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik nenek moyangnya kerena kebiasaan, adat istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta’ashshub pada golongan membuat orang tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri. Padahal dia diberi Allah alat-alat penting agar dia berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilingnya. Dia diberi hati, atau akal, atau fikiran untuk menimbang buruk dan baik. sedang pendengaran dan penglihatan adalah penghubung di antara diri, atau di antara hati sanubari kita dengan segala sesuatu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mudharat dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya.
            Dalam hidup beragama amat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan dan hati bagi menimbang. Sebab kadang-kadang dipercampuradukkan orang amalan yang sunnah dengan yang bid’ah. Bahkan kerapkali kejadian perkara yang sunnah tertimbun dan yang bid’ah muncul dan lebih masyhur. Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu.
            Memang, orang yang masih belum banyak peralatan tentu akan menurut saja kepada yang lebih pandai. Tetapi sekedar pokok-pokok dalam agama mestilah dipelajari dan ditanyakan kepada yang lebih pandai.
 (النحل :٤٣ )
“Bertanyalah kepada orang yang ahli peringatan, kalau kamu tidak mengetahui.”[4]
B.  Teori Pengembangan
            “Dan Janganlah engkau mengikuti apa-apa yang tiada bagimu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu tentangnya ditanyai.”
            Tuntutan di atas merupakan tuntunan universal. Nurani manusia, dimana dan kapan pun pasti menilainya baik dan menilai lawannya merupakan sesuatu yang buruk, enggan diterima oleh siapa pun. Karena itu dengan menggunakan bentuk tunggal agar mencakup setiap orang sebagaimana nilai-nilai di atas diakui oleh nurani setiap orang, ayat ini memerintahkan lakukan apa yang telah Allah perintahkan di atas dan hindari apa yang tidak sejalan dengannya dan janganlah engkau mengikuti apa-apa yang tiada bagimu pengetahuan tentangnya. Jangan berucap apa yang engkau tidak ketahui, jangan mengaku tahu apa yang engkau tak tahu atau mengaku mendengar apa yang engkau tidak dengar. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, yang merupakan alat-alat pengetahuan semua itu, yakni alat-alat itu masing-masing tentangnya akan ditanyai tentang bagaimana pemiliknya menggunakannya atau pemiliknya akan dituntut mempertanggungjawabkan bagaimana dia menggunakannya.
            Dari satu sisi ayat ini mencegah sekian banyak keburukan, seperti tuduhan, sangka buruk, kebohongan dan kesaksian palsu. Di sisi lain ia memberi tuntunan untuk menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai alat-alat untuk meraih pengetahuan. Sayyid Quthub berkomentar bahwa ayat ini dengan kalimat-kalimatnya yang sedemikian singkat telah menegakkan suatu sistem yang sempurna bagi hati dan akal, mencakup metode ilmiah yang baru saja dikenal oleh umat manusia, bahkan ayat ini menambah sesuatu yang berkaitan dengan hati manusia dan pengawasan Allah swt. Tambahan dan penekanan ini merupakan keistemawaan Islam dibanding dengan metode-metode penggunaan nalar yang dikenal selama ini dan yang sangat gersang itu.
            Kehati-hatian dan upaya pembuktian terhadap semua berita, semua fenomena, semua gerak, sebelum memutuskan itulah ajakan al-Qur’an, serta metode yang sangat diteliti dari ajaran Islam. Apabila akal dan hati telah konsisten menerapkan metode ini, maka tidak akan ada lagi tempat bagi waham dan khurafat dalam akidah, tidak ada juga wadah bagi dugaan dan perkiraan dalam bidang ketetapan hukum dan interaksi, tidak juga hipotesa atau perkiraan yang rapuh dalam bidang penelitian, eksperimen dan ilmu pengetahuan. Amanah ‘ilamiyah yang didengungkan di abad modern ini, tidak lain kecuali sebagian dari Amanah aqliyah dan qalbiyah yang dikumandangkan tanggung jawabnya oleh al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab kepada Allah swt. yang mennganugerahkannya pendengaran, mata dan hati.[5] Firman Allah Ta’ala, “Semua itu, “yakni hal-hal yang berkenaan dengan pendengaran, penglihatan, dan hati” akan diminta pertanggungjawabannya”. Yakni, seorang hamba akan ditanya mengenai hal itu pada hari kiamat, ditanya tentang dirinya dan perbuatannya.[6]
C.  Aplikasi Tafsir Dalam Kehidupan Manusia
            Ayat 36 surat al-Isra ini mengingatkan kita bahwa apa yang kita dengar dan lihat belum tentu menghasilkan ilmu yang benar. Namun jika kita yakin bahwa apa yang yang kita dengar dan lihat dapat dipertanggungjawabkan, maka kita pun mesti bertindak sesuai dengan apa yang kita ketahui dan yakini.
            Sejatinya, manusia tidak hanya bertanggung jawab atas apa yang ia lihat dan dengar. Tapi juga terhadap segala hal yang terlintas di benak dan hatinya. Sebab meski kita tidak mengucapkannya secara lisan, namun betapa sering kita berprasangka buruk dalam hati dan pikiran terhadap orang lain sehingga turut mempengaruhi perilaku dan tindakan kita. Padahal hal itu hanya sekedar sangkaan tanpa dalil dan bukti.[7]
D.  Nilai Tarbawi
1.    Tolak ukur perbuatan dan tindakan manusia harus berlandaskan pada ilmu dan keyakinan. Bukan semata-mata berdasarkan pendengaran sepintas, penglihatan lahiriah ataupun sangkaan.
2.    Perlu kehati-hatian dalam menggunakan potensi manusia, terutama mata, telinga, dan hati/pikiran. Dalam konteks meraih ilmu, ia harus digunakan semaksimal mungkin, di samping kewajiban menunaikan amanah ilmiah.
3.    Allah SWT melarang mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan zan (dugaan) yang bersumber dari sangkaan dan ilusi.
4.    Haram berkata atau berbuat tanpa didasari oleh ilmu, karena dapat menyebabkan kerusakan. Dan Allah Ta’ala akan menanyakan seluruh anggota badan dan meminta persaksiannya pada hari Kiamat.
5.    Kaitannya dengan pendidikan intelektual adalah bahwa al-Qur’an sangat mengedepankan kebenaran intelektual, bukan sekedar dugaan atau prasangka belaka. Kebenaran intelektual adalah kebenaran yang didasarkan pada kebenaran pendengaran, penglihatan, dan  hati atau akal secara integral. Maka untuk mendapatkan kebenaran intelektual ini, diperlukan pendidikan intelektual.


BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
            Pada surat Al-Isra’ ayat 36 ini telah menjelaskan bahwa Allah menyebutkan satu larangan, yaitu larangan mengikuti suatu perkataan atau perbuatan yang tidak kita ketahui. Oleh karena itu, dalam pendidikan kita di haruskan untuk menggunakan akal dan pikiran kita dan juga meminta petunjuk hanya kepada Allah sehingga kita tidak akan masuk dalam kesesatan melainkan kebenaran. Jalan yang dipakai jangan hanya taqlid saja tanpa mengetahui apakah benar sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasulnya atau tidak. Dalam belajar kita harus memiliki etika untuk tidak mengikuti apa-apa yang tidak kita ketahui kebenarannya, apa-apa yang tidak kita lihat, dengar, maupun yang tidak sesuai dengan suara hati kita. Dan kita dilarang berbuat atau mengatakan hanya berdasarkan prasangka atau dugaan, tanpa pengetahuan yang benar karena prasangka tidaklah dibenarkan sehingga dikhawatirkan akan menyesatkan orang lain. Dan semua itu akan dipertanggung jawabkan kepada Allah swt di hari akhir.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1988. Tafsir Al-Maragi. Juz XV. Semarang: PT.
Karya Toha Putra Semarang.
Al Qurthubi, Syaikh Imam. 2008. Tafsir Al Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema
Insani Press.
Hamka. 1984. Tafsir Al-Azhar Juz XV. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Iran Indonesia Radio IRIB World Service, http://indonesian.irib.ir/international/eropa/item/104841-tafsir-surat-al-isra-ayat-34-36, diakses pada tanggal 27 Maret 2016
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2012. Al-Lubab Makna, Tujuan  Dan Pembelajaran Dari
Surah-Surah Al-Qur’an. Tanggerang: Lentera Hati.






PROFIL PENULIS


 
Nama   : Baitinnajmah
Nim      : 2021114203
TTL      : Pekalongan, 13 Juni 1996
Alamat : Perum Grogolan Baru Gg.Mawar
II,Pekalongan Barat
Motto   : Success never comes to the indolence
              (Sukses tidak pernah datang kepada
orang yang malas)


                [1] M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan  Dan Pembelajaran Dari Surah-Surah Al-Qur’an, (Tanggerang: Lentera Hati, 2012), hlm.233.
                [2] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, Juz XV, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1988),hlm.84-85.
                [3] Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm.642-643.
                [4] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz XV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hlm.66.
                [5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.462-463.
                [6] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, ringkasan tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm.59.
                [7] Iran Indonesia Radio IRIB World Service, http://indonesian.irib.ir/international/eropa/item/104841-tafsir-surat-al-isra-ayat-34-36, diakses pada tanggal 27 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar