MAKALAH
SUMBER ILMU
PENGETAHUAN
INDERA, AKAL SEHAT, DAN INTUISI HATI
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Hadits Tarbawi II
Dosen Pengampu : Muhammad Ghufron, M. S. I.
Kelas E
Kelompok
: 4
Dessy Nur Laily 2021
111 140
TARBIYAH
/ PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu
pengetahuan kehidupan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi
kehidupan manusia. Dari ilmu pengetahuan manusia dapat lebih mengenali dan
mengetahui hal-hal yang mereka temui, sehingga dapat mengambil makna dari
setiap kejadian dalam aktivitas keseharian manusia yang menjadi pengalaman bagi
individu-individu untuk dapat menyikapi kejadian-kejadian maupun
permasalahan-permasalahan di lain waktu.
Arti
pentingnya ilmu memberikan keistimewaan tersendiri bagi manusia sehingga
menjadikan manusia mempunyai kedudukan yang lebih unggul dari pada
makhluk-makhluk yang lain. Dari keistimewaan ini manusia dapat menjalankan
fungsi kekhalifahan.
Ilmu
pengetahuan sendiri mempunyai proses yang jelas tentang pencapaian pengetahuan
dan objek pengetahuan baik yang bersifat materi maupun non materi, secara
fenomenal maupun non fenomenal, bahkan sampai yang berwujud maupun yang ghaib,
yang berasal dari pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain.
Objek-objek
pengetahuan ini diterima manusia melalui inderanya, seperti mengamati, membaca
dan mendengarkan. Kemudian melalui kal sehatnya dengan menganalisa hal-hal yang
mereka temui, dan denan intuisi hatinya untuk menyeimbangkan pemikirannya
terhadap adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta.
BAB II
PEMBAHASAN
SUMBER ILMU PENGETAHUAN
PERSEPSI INDRA (SENSE)
1.
Hadits 17 : Memanfaatkan Panca Indra
untuk Mencari Ilmu
a. Materi hadits
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بنُ غَيْلَانِ اَخْبَرَنَا اَيُو دَاوُد, اَنْيَأنَا شُعْبَة ًعَنْ سِمَاكِ بنِ حَرْبٍ قَال سَمِعْتُ عَيْدَ الرَّحْمن بنَ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدِ يُحَدِّثُ عَنْ اَبِيْهِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسّلَّمَ يَقُوْلُ : نَضَّرَ اللهُ إِمْرَاَءً سَمِعَ مِنَّا شَيْأً فَبَلَغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلِّغُ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ,
قَالَأَبُوْعِيْسَى هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ وَقَدْ رَوَاهُ عَبْدِ اْلمَالِكُ بِنْ عُمَيْرِ عَبْدِ الرَّحْمنِ بِنْ عَبْدِ اللهِ ( رواه ترمذي. وابوب العلم. باب فى الحثّ على تبليغ السماع )
b.
Terjemah
hadits
Mahmud bin
Ghailan menceritakan kepada kami, Abu Dawud memberitahukan kepada kami, Syu’bah
menceritakan kepada kami, dari Simak bin Harb berkata “Aku mendengar
Abdurrahman bin Abdillah bin Mas’ud ra
bercerita dari ayahnya dia berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :
“Semoga Allah memuliakan seseorang yang mendengar sesuatu (hadits) dari kami,
lalu dia menyampaikannya (kepada yang lain) sebagaimana yang dia dengar, maka
kadang-kadang orang yang disampaikan ilmu lebih memahami dari pada orang yang
mendengarnya. (HR. At-Tirmidzi)[1]
c.
Mufrodat
Memuliakan :نَضَّر
orang yang
mendengar :
سَمِع
sesuatu :
شَيْأً
menyampaikannya :
فَبَلَغَهُ
orang yang
disampaikan :
فَرُبَّ
lebih
memahami :
أَوْعَى
pendengar :
سَامِعٍ
d. Keterangan hadits
نَضَّر Artinya
do’a yang ditunjukkan kepada orang yang dimaksud oleh hadits yaitu
semoga Allah memperelok atau memuliakan dengan keagungan dan keindahan. سَمِع Maksudnya mendengar sesuatu
dari kami, maksudnya adalah perkara agama berupa suatu ayat dari Al-Qur’an atau
suatu riwayat hadits lalu ia menyampaikannya persis seperti apa yang ia dengar
tanpa mengurangi atau menambahi baik laki-laki atau perempuan. مُبَلِّغُ Maksudnya adalah orang yang
mendengar hadits tidak secara langsung tetapi melalui perantara. سَامِعٍ Maksudnya adalah orang yang
mendengar hadis secara langsung dari Nabi SAW.أَوْعَى Maksudnya adalah lebih
hafal, lebih menguasai, lebih memahami dari pada orang yang mendengar secara
langsung.[2]
e. Biografi Perowi
Abdullah Ibn Mas’ud
‘Abdullah Ibn Mas’ud adalah ‘Abdullah Ibn Mas’ud Ibn
Ghafil Ibn Habib Al Hudzaly, seorang sahabat yang dahulu pernah bersumpah setia
kepada Bani Zuhra.
Ibu beliau bernama Ummu ‘Abdillah
Bint Abu Daud Ibn Sau-Ah yang juga memeluk agama islam dipermulaan Islam,
berhijrah dua hijrah, turut selalu menyertai Nabi dan menjadi penjaga sepatu
Nabi.
Beliau meriwayatkan sejumlah 848
hadits. Bukhori dan Muslim menyepakati sejumlah 64 hadits, 21 di antaranya di
riwayatkan oleh Bukhori sendiri dan di antaranya oleh Muslim. Beliau menerima
hadits dari Nabi
sendiri, dari ‘Umar Dan Dari Sa’ad Ibn Mu’adz. Hadits-hadits beliau di riwayatkan oleh 2 orang
putranya yaitu ‘Abdurrahman Dan Abu ‘Ubaidah, putra saudaranya ‘Abdullah Ibn
Utabah dan istrinya
Zaenab Ats Tsaqtsiyah.
Di antara para sahabat
yang menerima hadits dari beliau ialah ‘Abdillah, Abu Musa. Abu Rafi’, Abu
Syuraih, Abu Sa’id, Jabir, Anas, Abu Ju’hafah. Di antara para tabi’in
ialah, Alqamah, Masruq, Syuraih Al Qadli, Abu
Wa-il ‘Abdurrahman Ibn Abi
Laila, Abu Utsman An Nabdy, dan
lain lain.
Rosulullah SAW mempersaudarakan Beliau dengan Az Zubair dan sesudah
hijrah beliau disaudarakan dengan Sa’ad Ibn Mu’adz. Abu Nu’aim berkata,
Ibnu Mas’ud adaah anggota keenam dari anggota anggota masyarakat Islam. Beliau menerima
langsung dari rosul sejumlah 70 surat Al-Qur’an.
Beliaulah orang yang mula-mula berani membaca Al-Qur’an dengan suara yang nyaring dihadapan
orang Quraisy di Makkah.
Beliau wafat di Madinah pada tahun
32 H dan di kebumikan di Al-Baqi’.[3]
At
Tirmidzi
Nama lengkap
imam at-Tirmzi adalah Abu Isa Muhammad bin Saurah bin Musa bin ad-Dhahhak
al-Zulami al-Bughi at-Tirmizi. Beliau dilahirkan di Turmuz pada tahun 209 H,
dan di kota ini pula ia wafat dalam usia 70 tahun. Sebagai sesosok ulama, ia
mendapatkan penilaian positif. Abu Ya’la al-Khalili menyatakan bahwa ia adalah
seorang yang tsiqat dan mendapat persetujuan ulama.[4]
Dari sumber yang
ada dapat dicatat bahwa Imam Tirmizi sejak remaja telah belajar dengan
guru-guru di kampungnya. Seperti di Khurasan ia berguru kepada Ishaq Ibnu
Rawaih, di Nashafur beliau beguru kepada Muhammad bin Amr al-Sawaq, kemudian ia
menuju Iraq untuk belajar kepada ulama dan para hafiz. Menurut al-Khatib
al-Bagdadi bahwa at-Tirmizi belajar selama 35 tahun.
Kalau
diperhatikan masa hidup ulama hadis perawi terkemuka, seperti al-Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Nasa’I, Ibnu Majah maka dapat dikatakan bahwa para ahli hadis
merupakan orang-orang sebaya, sehingga besar sekali kemungkinan mereka berguru
dan memperoleh masukan-masukan dari sumber lain. Demikian juga dengan riwayat
hadis mereka. Sesekali menerima riwayat dari sumber yang sama dan di lain waktu
dan kesempatan memperoleh riwayat hadis dari sumber yang hadits.[5]
f.
Aspek Tarbawi
Peran indera bagi proses penerimaan ilmu
pengetahuan merupakan hal yang sangat penting dan mempunyai pengaruh terhadap
kualitas penerimaan. Dari hadits di atas, pembahasan dititik beratkan pada
pentingnya mendengarkan sebagai sumber kita memperoleh ilmu. Namun tidak hanya
dengan mendengarkan saja, ilmu yang sama-sama didengar oleh beberapa orang
secara bersamaan belum tentu sama dalam penerimaan makna dari ilmu yang telah
didengar. Hal ini karena kemampuan akal dan pemikiran individu berbeda dalam
mengolah apa yang ia peroleh.
Dari hadits di atas, orang yang mendengar suatu
riwayat hadits atau ayat Al-Qur’an telah memperoleh kemuliaan yang disamakan
dengan orang yang mempunyai ilmu. Kemudian dari orang yang telah mendengar
suatu riwayat, hendaknya menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain sesuai
dengan apa yang telah ia dengar dengan tidak menambahi atau mengurangi riwayat
hadits tersebut.
Perbedaan kemampuan pemikiran dan akal
masing-masing individu, menjadikan pendengar atau penerima ilmu pertama kurang
memahami atau mengetahui ilmu tersebut dari pada pendengar kedua atau tidak
mendengar secara langsung suatu periwayatan ilmu. Oleh karena itu kita tidak
boleh menganggap remeh orang lain, sebab mereka pasti mempunyai kelebihan dari
pada kita.
2.
Hadits 18 : Dorongan untuk Memanfaatkan Panca
Indra
a.
Materi hadits
حدّثنا تَمِيْمُ بنُ المُنْتَصِيْرْ اَخْبَرَنَا إِسْحَاقُ يَعْنِى ابْنِ يُوْسُوْفَ عَنْ شَرِيْكَ عَنْ اَبِى إِسْحَاقَ عَنْ ابِى الْاَخْوَصْ عَنْ عَبْدِ اللهِ وَهُوَابْنُ مَسْعُوْدٍ قَالَ:
وَكَنَا لَانَدْرِي مَا نَقُوْلُ اِذَا جَلَسْنَا فِى الصَّلاَةِ وَكَانَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ عُلِّمَ فَذَكَرَ نَحْوَه قَالَ شَرِيْكِ وَحْدَثَنَا جَامِعْ يَعْنِى ابنِ اَبِى شَدَّادِ عَنْ اَبِى وَائِلْ عَنْ عَبْدِاللهِ بِمِثْلِهِ قاَلَ وَكَانَ يُعَلِّمُنَا كَلِمَاتٍ وَلَمْ يَكُنْ يَعَلِّمُنَا هُنَّ كَمَا يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ : اللَّهُمَّ أَلَّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا وَأَصْلِحْ ذَاتِ بَيْنَنَا وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَ مِ وَنَجَّنَا مِنْ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِوَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُلُوبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَاتِنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ وَاجْعَلْنَاشَاكِرِيْنَ لِنِعْمَتِكَ مُشْنِيْنَ بِهَاقَا بِلِيْهَا وَأَتِمَّهَا عَلَيْنَا (رواه ابو داود فى السنن, كتاب الصلاة, باب التشهد)
b.
Terjemah
Hadits
Tamim bin Al Muntashir telah menceritakan kepada kami, telah mengabarkan
kepada kami Ishaq, yaitu Ibnu Yusuf dari Syarik dari Abi ishaq dari Abi Akhwash
dari Abdullah bin Mas’ud berkata : Kami tidak tahu apa yang akan kami ucapkan apabila kami duduk dalam shalat.
Dan Beliau (Rasulullah SAW) telah diajarkan, selanjutnya dia menyebutkan hadits seperti itu. Syarik
berkata : telah menceritakan kepada kami Jami’ yaitu Ibnu Abi Syaddad dari Abi
Waail dari Abdillah dengan hadits yang sama dia berkata : Beliau biasa
mengajarkan kami beberapa kalimat, dan beliau tidak mengajarkannya kepada kami
sebagaimana beliau mengajarkan tasyahhud : “Wahai Allah, rukunkanlah hati-hati kami, damaikanlah
diantara kami, tunjukilah kami kepada jalan kesejahteraan, selamatkanlah kami
dari kegelapan menuju kebenaran, jauhkanlah kami dari perbuatan-perbuatan keji
yang terang dan yang samar, limpahkanlah berkah kepada kami, pada pendengaran,
penglihatan, hati, isteri dan cucu kami, terimalah taubat kami, sesungguhnya
Engkaulah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang dan jadikanlah kami
orang-orang yang mensyukuri ni’mat Engkau berterima kasih lagi menerimanya, dan
sempurnakanlah ni’mat itu atas kami”.[6]
c.
Mufrodat
Kami tidak
tahu :
لَانَدْرِي
kami ucapkan :
نَقُوْلُ
kami duduk :
جَلَسْنَا
dalam shalat :
فِى الصَّلاَةِ
telah
diajarkan :
قَدْ عُلِّمَ
mengajarkan
kami :
يُعَلِّمُنَا
beberapa
kalimat :
كَلِمَاتٍ
tasyahhud :
التَّشَهُّدَ
rukunkanlah : أَلَّفْ
hati-hati
kami :
قُلُوبِنَا
damaikanlah :
وَأَصْلِحْ
tunjukilah
kami :
وَاهْدِنَا
jalan
kesejahteraan :
سُبُلَ السَّلَ مِ
selamatkanlah
kami :
وَنَجَّنَا
kegelapan :
الظُّلُمَاتِ
kebenaran :
النُّور
jauhkanlah
kami :
جَنِّبْنَا
perbuatan-perbuatan
keji :
الْفَوَاحِشَ
yang terang :
ظَهَرَ
yang samar :
بَطَنَ
limpahkanlah
berkah kepada kami : بَارِكْ لَنا
pendengaran kami :
أَسْمَاعِنَا
penglihatan kami :
أَبْصَارِنَا
hati kami : وَقُلُوبِنَا
isteri kami :
وَأَزْوَاجِنَا
cucu kami :
وَذُرِّيَاتِنَا
terimalah
taubat kami :
تُبْ عَلَيْنَا
Maha
Penerima taubat :
التَّوَّابُ
Maha
Penyayang :
الرَّحِيْمُ
dan
jadikanlah kami :
وَاجْعَلْنَا
orang-orang
yang mensyukuri :
شَاكِرِيْنَ
ni’mat
Engkau :
لِنِعْمَتِكَ
berterima
kasih :
مُشْنِيْنَ
menerimanya
: قَا بِلِيْهَا
sempurnakanlah :
وَأَتِمَّهَا
d.
Keterangan
Hadits
Sholat merupakan rangkaian do’a, dimana do’a
yang paling dekat untuk diperkenankan Allah, adalah doa yang ada di dalam
sholat, terlebih do’a yang ada di penghujung sholat.[7]
Do’a sendiri merupakan komunikasi antara makhluk
dengan Allah SWT sebagai Sang Pencipta. Setelah semua usaha untuk melaksanakan
perintah-Nya serta meninggalkan larangannya, wujud tawakkal makhluk adalah
dengan berdo’a, memohon kepada Allah atas apa yang akan terjadi kemudian,
karena Allah yang lebih mengetahui semuanya.
\
e. Biografi Perowi
Tamim bin Al Muntashir bin Tamim
Tamim bin Al
Muntashir bin Tamim merupakan shahabat dari kalangan tabi’ul ‘atba’ yang hidup
di negeri Hait. Beliau wafat pada tahun 244 H.
Mengenai
komentar para ulama hadits tentang kualitas periwayatan beliau, seperti An
Nasa’I, Ibnu Hajar, dan Ibnu Hibban memberikan komentar tsiqoh terhadap
hadits-hadits yang beliau riwayatkan. [8]
Abu
Dawud
Nama lengkap
Imam Abu Dawud adalah Sulaiman bin al-Asy as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad
bin ‘Amr al-Azi as-Sijistani. Beliau merupakan seorang Imam ahli hadis yang
sangat teliti, tokoh terkemuka para ahli hadits dan pengarang kitab sunan.
Beliau lahir pada tahun 202 H/817 M di Sijiatan.[2] Abu Dawud meninggal dunia
di Basrah pada tanggal 16 Syawal 275 H/889 M.[9]
Pribadi Abu
Dawud sejak sejak masih kecil merupakan pecinta ilmu pengetahuan dan bergaul dengan
para ulama guna menerima ilmu yang diinginkannya. Sebelum dewasa beliau telah
melakukan rihlah ilmiyah dan belajar hadis keberbagai negeri seperti, Hijaz,
Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri-negeri lainnya. Hasil
pengembarannya dikonklusikan dengan menyaring hadis-hadis untuk kemudian
ditulis dalam sunannya. Dari biografi di atas, dapat dikatakan bahwa Abu Dawud
adalah tokoh yang penting di kalangan ahli hadits sebagai buktinya bahwa
hadits-hadits yang ia riwayatkan dan himpunkan diakui sebagai karya klasik yang
menjadi pegangan para ulama hadits sesudahnya, terutama bagi pihak yang
berminat mengadkan studi tentang hadits hukum(ahkam).[10]
Di Baghdad beliau mengajarkan hadits dan fiqih kepada
para penduduk dengan menggunakan kita sunan sebagai referensi utamanya. Kitab
sunannya mendapat pujian yang besar dari Imam Ahmad bin Hambal. Imam Abu Dawud
Kemudian menetap di Basrah atas permintaan gubernur Basrah.
Beliau mempunyai
beberapa guru antara lain: Ahmad bin Hambal al-Qan’abi, Abu ‘Amr ad-Darir,
Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja, Abu al-Walid at-Tayalisi dan lain-lain.
Di antara muridnya antara lain: Abu Isa at-Tirmizi, Abu Abd ar-Rahman
an-Nasa’i, Abu Bakar bin Abi dawud, Abu ‘Awanah, Abu Sa’id al-A’rabi, Abu Ali
al-Lu’lu’i, Abu Bakar bin Dassah, Abu Salim Muhammad bin Sa’id al-Jaldawi dan
lain-lain.[11]
f.
Aspek Tarbawi
Dari hadits di
atas, Rasulullah SAW sebagai teladan utama kita telah memberikan pelajaran
dasar kepada umatnya tentang pentingnya do’a sebagai pengingat kita kepada Allah
SWT,
Do’a merupakan
hal yang penting setelah indera dan akal sehat yang kita punya setelah kita
optimalkan dalam mencari ilmu. Karena do’a yang kita panjatkan kepada Allah SWT
merupakan wujud bahwa hati dan jiwa kita telah siap dalam menerima konsekuensi
ilmu dari indera dan akal pemikiran kita, menunjukkan bahwa kita memperoleh ilmu itu atas izin dan kuasa
Allah SWT, menunjukkan posisi kita yang rendah, kecil dan tak berdaya atas
kekuasaan Allah di alam semesta ini, menunjukkan bahwa ni’mat yang Allah
berikan kepada kita sungguh tak terhitung banyaknya, sampai kita terkadang lupa
akan semua karunia Allah tersebut.
Inilah arti
do’a, sebagai wujud kepasrahan kita kepada Allah atas semua yang terjadi,
kemudian sebagai wujud syukur kita kepada Allah SWT atas ni’matnya, salah
satunya dari ilmu yang kita peroleh dari panca indera yang kita punya, sehingga
harapan kedepannya kita dapat mengamalkan ilmu yang kita punya agar bermanfaat
bagi diri kita maupun orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
BAB
III
PENUTUP
Dari kedua
hadits di atas menjelaskan tentang sumber ilmu pengetahuan yang dapat kita
peroleh, yaitu melalui indera kita, dengan mata untuk mengamati hal-hal yang
kita temui, kemudian dengan telinga untuk mendengar suatu riwayat ilmu. Setelah
memperoleh ilmu, tentunya sebagai makhluk yang dianugrahi akal sehat, kita
harus mengolahnya terlebih dahulu untuk dapak mengambil inti pembelajaran dari
ilmu yang kita peroleh agar dapat memberikan manfaat bagi diri kita sendiri
maupun orang lain. Namun dari indera dan akal sehat saja, masih kurang untuk
mendukung kita dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Adanya intuisi hati akan
melengkapi indera dan akal untuk memaksimalkan kita dalam mencari ilmu. Hati
akan menjadi penyeimbang pemikiran akal dan penggunaan indera.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawy,
Yusuf. 1997. As-Sunnah sebagai Sumber Iptek dan Peradaban. Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Assa’idi,
Sa’dullah. 1996. Hadits-Hadits Sekte. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi. 2011. Koleksi
Hadits-Hadits Hukum 1. Semarang: Pustaka Rizqi Putra.
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi. 1997. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang:
Pustaka Rizqi Putra.
At-Tirnmidzi,
Muhammad Isa bin Surat. 1992. Sunan At-Tirmidzi Juz IV. Semarang: CV.
Asy Syifa’.
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/03/sunan-abi-daud-dan-sunan-at-tirmidzi.html, Diakses tanggal 18 Februari 2013.
Id.lidwa.com/app.
Diakses tanggal 18 Februari 2013.
Mundziry,
Hafidz. 1992. Terjemah Mukhtashar Sunan Abi Dawud Juz 1. Semarang: CV.
Asy Syifa’.
Nashif, Syekh
Manshur Ali. 1993. Mahkota Pokok-Pokok Hadits Rasulullah SAW Jilid 1. Bandung:
Sinar Baru Algesindo.
Shihab, Muhammad
Quraish. 2000. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
[1] Muhammad
‘Isa bin Surat at Tirmidzi, Terjemah Sunan At Tirmidzi, Juz IV
(Semarang: CV. Asy Syifa’, 1992), hlm. 283-284.
ah SAW Jilid 1 (Bandung:
CV. Sinar Baru Algesindo, 1993), hlm. 166.
[3] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pngantar Ilmu Hadits, Cet. I
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 263-264.
[5]
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/03/sunan-abi-daud-dan-sunan-at-tirmidzi.html, Diakses tanggal 18 Februari 2013.
[6] Hafidz Al
Mundziry, Terjemah Mukhtashar Sunan Abi Dawud Juz 1 (Semarang: CV. Asy
Syifa’, 1992), hlm. 660-661.
[7] Teungku
Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 1. Cet. 1 (
Semarang: Pustaka Rizq Putra, 2011), hlm.
708-709.
[11]
http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/03/sunan-abi-daud-dan-sunan-at-tirmidzi.html, Diakses tanggal 18 Februari 2013.
Assalamualaikum...
BalasHapusNi'matul Chikmah (2021111296)
Ketika seseorang mendengar/mendapatkan ilmu dari orang lain, kmd ia ingin mengamalakan kepada tman2nya. Namun ketika org tersebut tdk mampu menyampaikan ilmu tersebut karena keterbatasannya dlm mengungkapkan sesuatu dan ia takut org yang diajak berbicara slh mengartikan apa yg ia sampaikan. Bagaimana menurut pemakalah mengenai hal ini, mengingat ory yng mendengarkan/ mpy ilmu wajib mengamalkannya ???
terima kasih..
Wassalam...
Wa 'alaikum salam....
Hapusterima kasih atas pertanyaannya,
kewajiban untuk mengamalkan ilmu yang kita miliki, itu bukan hanya sebatas menyampaikan ilmu yang kita punya kepada orang lain, sehingga ilmu kita dapat dikatakan telah diamalkan atau telah bermanfaat bagi orang lain. Namun pada hakikatnya, mengamalkan ilmu itu mempunyai pengertian yang luas, mengamalkan ilmu dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengaplikasikan ilmu yang dia punya didalam kehidupan sehari-hari, baik yang mempunyai manfaat bagi orang lain ataupun tidak, namun dari diri pribadianya telah menunjukkan arah perubahan yang lebih baik.
kemudian mengenai keterbatasan seseorang dalam hal menyampaikan ilmu, menurut saya orang tersebut tidak mempunyai kewajiban menyampaikan ilmu yang dia punya atau ilmu yang dia miliki, dalam hal ini kewajiban mengamalkan ilmu bergeser dari arti menyampaikan menjadi dapat mengaplikasikan ilmu yang telah dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.
karena hal itu lebih dapat bermakna,bahwa orang yang mempunyai keterbatasanpun jika dia mempunyai ilmu dan dapat mengaplikasikan dalam sifat dan perilakunya, tentu orang lain akan merespon khusus dan punya penilaian tersendiri.
sekiranya demikian mbak atul,
terimakasih.....
Firda Amalia 2021111138
BalasHapusassalamu'alaikum...
berkaitan dengan panca indera,salah satunya indera penglihatan,pertanyaan saya,bagaimana menurut anda dengan pendapat yg mengatakan bahwa seorang pendidik (guru)haram hukumnya jika melihat muridnya,jika begitu lalu bagaimana cara guru berinteraksi dengan muridnya?
terimakasih..
wa 'alaikum salam...
Hapusterimakasih atas pertanyaanya,
pengihatan merupakan indera yang sangat besar peranannya dalam proses menerima atau menyampaikan ilmu,
menurut saya, penglihatan dan indera yang lain itu berperan atas kehendak dan pengawasan dari akal, nalar, dan hati nurani. jadi melihat itu juga berdasarkan niatan dari hati dan pemikiran dari akal nalar tentang sesuatu yang kita lihat.
pendapat yang mengatakan bahwa seorang pendidik (guru)haram hukumnya jika melihat muridnya, kalau menurut saya, ya kita cari tahu dulu latar belakang motif dan niatan melihatnya, adanya pendapat ini mungkin melihat dari sudut pandang perbandingan antara besarnya kemanfaatan dan kemudharatan dari apa yang kita lihat, sisi keharaman dalam hal ini berarti segi kemudharatan lebih besar dari pada kemanfaatan yang ditimbulkan dari melihat sesuatu, yaitu anak didik, sehingga seorang guru diharamkan melitah anak didiknya, dapat dimisalkan dengan seorang pendidik laki-laki yang haram melihat anak didik perempuannya, ataupun sebaliknya. keharaman ini menurut saya karena dikhawatirkan dari melihat atau berinteraksi itu akan memunculkan nafsu.
berawal dari niatan dan pengawasan hati mengenai melihat tentu menjadi dasar utama, nah... jika mengikuti pendapat diatas, interaksi antara guru dan murid secara langsung dalam artian saling melihah ataupun bertatap muka ketika proses pembalajaran dapat dihindari, zaman sekarang kan canggih, media pembelajaran sudah maju, tanpa bertemupun kegiatan pembelajaran tetap bisa dilaksanakan dengan memaksimalkan media yang telah tersedia.
terimakasih....
miftahudin 2021 111 154
BalasHapustolong jelaskan peran masing masing indra pada manusia dalam proses belajar mengajar., terimakasih
peran masing masing indera dalam proses pemelajaran,
Hapus1. telinga sebagai indera pndengaran, ya mempunyai fungsi untuk mendengarkan, yakni kita memreroleh ilmu dari proses mendengarkan.
2. mata sebagai indera penglihatan, ya untuk melihat, yaitu memperoleh ilmu dari papun yang kita lihat.
3. tangan dan kaki, sebagai alat gerak, untuk mengaplikasikan media-media pembelajaran yang ada.
4. lisan, sebagai indera untuk dapat mengkomunikasikan apa apa yang kita punya dan apa yang kita terima, seperti menyampaikan ilmu.
namun indera-indera diatas jika tanpa peran akal pikiran dan hati, tidak akan maksimal. kedudukan akal yaitu mampu membawa indera agar dapat menerima ilmu yang benar dan mengamalkan ilmu sesuai dengan apa yang kita miliki. kemudian hati untuk membimbing kesemuanya agar selaras dengan niat dan tujuan memperoleh keridloan Allah tas ilmu yang kita punya.
terimakasih....
Assalamualaikum...
BalasHapusRahardyani Tyas Subekti 2021 111 298
Sesuatu yang ditangkap panca indera tidak selamanya benar, semuanya memiliki peluang benar dan salah terkadang persepsi indera juga bisa keliru.
pertanyaannya apakah dibenarkan jika seseorang dalam mencari ilmu hanya mengandalkan panca inderanya saja ????
terimakasih ...
wassalam ... ^_^
wa 'lailkum salam....
Hapusterimakasih atas pertanyaannya..
menurut saya jika seseorang dalam mencari ilmu hanya mengandalkan panca indera saja itu tidak dapat dibenarkan, karena dia telah mengingkari eksistensi hati nuraninya sebagai pemimpin tubuh dan jiwa dalam menerima dan menilai ilmu yang masuk, serta eksistensi akal dalam menelaah kembali, mencari kebenaran yang sebenarya dari ilmu tersebut, dan mengungkap makna yang terkandung dalam ilmu sehingga dapat diamalkan ataupun diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat memberi kemanfaatan bagi diri sendiri maupun orang lain.
selain itu tentu tidak mungkin orang yang menerima ilmu itu hanya melibatkan indera saja tanpa pemikiran dan pengawasan dari hati.
terimakasih....
wa 'alaikum salam....
2021 111 127
BalasHapusassalamu'alaikum
bagaimanakah peran serta kita dalam memenuhi kebutuhan Ilmu bagi para penyandang cacat, apakah kita hrus slalu membedkan mereka dengan yg normal, ataukah kita dpt memfasilitasi sarana prasaran bgi mereka (penyandag cacat)........
berikan tanggapan pemakalah??
terimakasih,
wassalamu'alaikum.....
Wa 'alaikum salam...
Hapusterima kasih atas paertanyaannya..
penyandang cacat berarti orang yang berkebutuhan khusus, pada hakikatnya mereka sama dengan orang-orang normal yang juga membutuhkan ilmu, namun dengan kapasitas, jenis, dan perlakuan yang berbeda.
menurut saya, peran kita dalam memenuhi kebutuhan ilmu untuk mereka disesuaikan dengan posisi dan kemampuan kita. jika kita mampu untuk ikut membantu langsung dalam artian kita sebagai tenaga pendidik bagi mereka, yang paling mendasar adalah kesadaran kita terhadap keterbatasan mereka, sehingga kita dapat memeksimalkan peran kita dalam megajar dengan kesabaran dan keikhlasan. kemudian jika kita belum mampu berperan secara langsung, peran kita mungkin hanya sebatas mendukung lembaga-lembaga pendidikan yang khusus untuk orang-orang yang berkebutuhan khusus.
mengenai perbedaan perlakuan, jelas berbeda, karena mereka tidak seperti orang normal, kita justru harus lebih memperhatikan mereka.
tentang fasilitas, pemenuhan fasilitas tentunya berdasarkan jenis-jenis keterbatasan mereka, namun yang paling penting adalah dukungan dan perhatian kita dalam menyikapi dan mengganggap mereka adalah bagian dari kita.
terima kasih,,,
wa 'alaikum salam....
Assalamu,alaikum mbak desi
BalasHapussaya cuma mau tanya ni, maksudnya Hadits 17 : Memanfaatkan Panca Indra untuk Mencari Ilmu itu bagaimana ya... kenapa diketerangan haditsnya seperti itu.. hanya menjelaskan menerima ilmu, menyampaikan kemudian tidak mengurangi apa yang diterima dari ilmu itu
mohon jelaskan kembali
Terimakasih
wa 'alikun salam..
Hapusterima kasih atas pertanyaannya..
sebelumnya mohon mamf atas ketidakjelasan keterangan di atas.
hadits 17 memang mengindikasikan peran panca indera untk mencari ilmu, nah... keterangan hadits yang menjelaskan tentang menerima ilmu dan menyampaikan dengan tidak mengurangi ilmu seperti yang telah diterima, maksudnya bahwa kita menerima ilmu tentu dengan indera seperti melihat atau mendengar, yang kemudian dipahami oleh akal. selanjutnya menyampaikan ilmu tanpa mengrangi ilmu sesuai apa yang telah diterima, maksudnya bahwa setelah kita menerima ilmu kita mempunyai kewajiban untuk menyampaikan dan mengamalkan sesuai dengan kemampuan kita, namun tanpa mengurangi ilmu tersebut. proses menyampaikan ilmu dan menngamalkannya itu dengan memanfaatkan panca indera, seperti dengan lisan dan tulisan kita untuk menyampaikan ilmu, atau dengan karya kita yang bermanfaat bagi orang lain.
kemudian penyampaian yang sesuai dengan tidak mengurangi ilmu adalah peran hati dan akal dalam mengendalikan dan mengawasi perbuatan kita.
terimakasih...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusAssalamu'alaikum Wr.Wb
BalasHapusNur Hayati Isnia
2021 111 079
yang ingin saya tanyakan, manusia diberkahi oleh Allah SWT salah satunya adalah akal, menurut pemakalah sendiri,bagaimana cara memanfaatkan akal agar tidak terkontaminasi dengan hal-hal yang negatif? terus menurut pemakalah saran untuk menjaga hati agar terhindar dari hal-hal seperti dengki dan sebagainya itu dengan apa?
matursuwun.
mohon penjelasannya ya mbak...
wa 'alaikum salam....
Hapusterimakasih atas pertanyaannya..
akal adalah pembeda antara manusia denga makhluk ciptaan Allah SWT yang lain.
cara memenfaatkan akal agar tidak terpengaruh dengan hal-hal yang negatif, menurut saya dengan membiasakan pola pikir dan perilaku yang positif dan mempunyai manfaat. kemudian kita harus menyadari arti dari kehidupan kita ini, hidup didunia itu sementara maka harus dimaksimalkan untuk hal-hal yang baik, agar kesempatan dan aktivitas dalam hidup kita tidak sia-sia. dari lingkungan, kita harus bisa menyeleksi orang-orang sekitar kita apakah mereka baik untuk kita atau buruk. kemudian hal-hal yang negatif juaga dapat muncul dari peran hati yang kurang, untuk itu hati harus bisa memberi motivasi dan pengawasan agar kita tetap bisa mengendalikan akal dan memnfaatkan akan dengan maksimal.
menurut saya, menjaga hati agar terhindar dari hal-hal seperti dengki dan sebagainya, itu tergantung dari pribadi dan latar belakang kehidupan masing-masing individu. dengki dan teman-temanya itu muncul jika manajemen hati belum baik, pemikiran belum terarah, dan kurang perhatian serta pemahaman dari orang-orang sekitar. hal-hal yang dapat dilakukan seperti :
- menyadari bahwa dengki dan sebagainya merugikan bagi kita, dan menjauhkan rilo Allah SWT atas perbuatan kita
- lihatlah semua yang kita alami dan temui dari sisi positif dan kelebiahannya, sehingga kita merasa bahwa kita adalah orang yang beruntung maka rasa bersyukur kita kepada Allah SWT akan selalu meningkat atas nikmat yang telah diberikan.
- mempunyai pandangan dan motivasi untuk selalu melihat ke atas dalam hal dan kepentingan akhirat, seperti ingin selalu meningkatkan kadar iman, taqwa, dan ihsan, layaknya orang-orang yang ahli ibadah, ahli ilmu, dan lain sebagainya. kemudian selalu melihat ke bawah untuk hal dan kepentingan duniawi, seperti kelebihan dan kesempatan yang ada pada diri kita, sehingga kita selalu bersyukur dan terhindar dari dengki dan sebaginya.
sekiranya demikian..
terima kasih..
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNur Fitriyani 2021 111 143
BalasHapusDari semua panca indra kita manakah yang paling
dominan berfungsi sebagai sumber ilmu pengetahuan?? apa alasannya mohon jelaskan! terima kasih.
wa 'alaikum salam...
Hapusterimakasih atas pertanyaannya..
panca indera itu saling melengkapi satu dengan yang lainnya, karena perbedaan fungsi dan peran masing-masing indera, namun jika dilihat dari perannya, indera yang paling dominan adalah penglihatan, pendengaran, dan hati. sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An Nahl ayat 78, yang artinya "dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur."
terimakasih...
Muh. Mertojoyo (2021 111 155)
BalasHapusBagaimana cara yang tepat untuk mengajarkan ilmu kepada orang yang tuli?
menurut saya, orang yang tuli itu karena mempunyai keterbatasan dalam indera pendengaran, jadi untuk mengajarkan ilmu kepada mereka adalah dengan menggunakan indera yang lain seperti penglihatan, pembelajaran dapat dilakukan dengan bahasa isyarat yang mereka pahami, ataupun dengan menggunakan media pembelajaran yang telah tersedia sesuai kemampuan dari orang yang tuli. Namun yang perlu diperhatikan dari semua usaha kiata dalam mengajarkan ilmu adalah dukungan dan sikap kita yang mendukung proses pembelajaran.
HapusMoh. Nasoikhul Ibad (2021 111 178)
BalasHapuscoba jelaskan kembali maksud keterangan hadits (أَوْعَى) Maksudnya adalah lebih hafal, lebih menguasai, lebih memahami dari pada orang yang mendengar secara langsung!
terima kasih atas pertanyaannya...
Hapusأَوْعَى Maksudnya adalah lebih hafal, lebih menguasai, lebih memahami dari pada orang yang mendengar secara langsung.
perlu di pahami Mas, hadits diatas kan menerangkan tentang pemanfaatan indera sebagai sumber ilmu pengetahuan dan mengamalkan ilmu, nah... di atas kan dijelaskan tentang orang yang menerima ilmu dengan cara mendengarkan dari narasumber.
di misalkan, A menyampaikan ilmu kepada B secara langsung mengenai tata cara sholat. kemudian karna B telah menerima ilmu dari A maka B mempunyai kewajiban untuk menyampaikan ilmu itu juga kepada yang lainnya, seperti C, sama juga dengan cara komunikasi, yakni menerangkan dan mendengarkan. si B menyampaikan ilmu sesuai dengan pemahamannya dari apa yang disampaikan oleh A kepada C tanpa mengurangi atau menambahi sedikitpun ilmu tata cara sholat tersebut. nah.... disini maksud أَوْعَى, mungkin si C lebih hafal, lebih menguasai, lebih memahami dari pada orang yang mendengar secara langsung yaitu B.
menurut pemahaman saya seperti itu, karena kemampuan masing-masing individu kan berbeda-beda sesuai potensi dan usaha mereka.
sekiranya demikian..
terimakasih...
Nurul Inayatissaniyyah
BalasHapus2021 111 141
pada makalah anda menerangkan bahwa panca indera untuk menuntut ilmu, nah bagaimana jika panca indera yang dimiliki seseorang tidak berfungsi sebagaimana mestinya (cacat). menurut anda, dengan apakah orang tersebut dapat menuntut ilmu?
menurut saya, tidak mungkin semua panca indera mengaalami keterbatasan, tidak berfungsi, ataupun cacat, pasti hanya salah satu indera saja yang mengalami keterbatasan. nah... mereka berarti masih bisa menerima ilmu dengan inderanya yang lain, walaupun tidak semaksimal orang yang normal. ow iya mabak, perlu di ketahui, orang yang mengalami keterbatasan pada inderanya biasanya mempunyai kelebihan di atas orang normal dalam pamahaman maupun intelegensinya. mengenai upaya mereka untuk tetap dapat menuntut ilmu, ya dengan memanfaatkan media pembelajaran yang telah tersedia sesuai kebutuhan khusus mereka.
Hapusterima kasih...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusinayah 2021 111 165
BalasHapusseorang santri dalam pengajiannya ia selalu tidur, tetapi setelah lulus dari pesantren ia ternyata bisa menjadi seorang ulama. bagaimana menurut anda tentang hal semacam itu. bagaimana proses seorang santri yang tidur dalam pengajian tetapi bisa menjadi deorang ulama?
terimakasih atas pertanyaannya,
Hapusmenurut saya, seorang santri diatas adalah orang yang beruntung.
begini mbak, mohon dibenarkan jika salah, sepengetahuan saya, orang yang hadir dalam majlis-majlis ilmu akan sia-sia dan tidak mendapatkan barakah ilmu, jika dia berbicara dan mengganggu orang lain, nah... dapat dipahami bahwa jika tidak mengganggu atau berbicara sendiri ketika sedang dalam pembelajaran, tidak akan menghilangkan barakah ilmu, kasus diatas santri yang selalu tidur berarti tidak kehilangan barakah ilmu, sehingga dia bisa menjadi seorang ulama di kemudian hari.
dilihat dari tidurnya, bisa saja dia tertidur tetapi mampu memehami ilmu yang disampaikan ketika pangajian, terus dipelajari kembali secara teratur dan disiplin, sehingga dia bisa menjadi seorang ulama.
terimakasih....
sekarang ini bayak sekali alat2 yg bisa membantu panca indra kita .cuntoh seperti alat untuk USG , BAGAIMANA TANNGAPAN PEMAKALAH ? TRIMAKASIH
BalasHapusterimakasih atas pertanyaannya...
Hapusmenurut saya itu malah bagus... kan malah bisa membantu dan mempermudah kita dalam memaksimalkan pemenfaatan panca indera.
mengenai USG, alat ini kan digunakan untuk mediagnosis bagian tubuh kita yang secara kasat mata tidak dapat kita lihat, Nah.. berarti kita memperoleh sumber pengetahuan baru selain dari indera kita, yang dapat bermanfaat untuk kita agar lebih memperhatikan tubuh, menjaganya dan semakin bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan berupa tubuh dengan segala kelengkapannya.
terimakasih...
assalamu,alaikum ???
BalasHapussaya mau tanya bagaimana cara seseorang memperoleh ilmu pengatahuan apabila panca indranya tidak berfungsi! semisal buta, tuli dan bisu ?? terus bagaimana caranya dia melaksanakan kewajiban seperti shalat,haji, zakat ?? mhon penjelasanya ya mbaaa ?? trimakasih ......wassalamu,alaikum ???
wa 'alaikum salam.....
Hapusterima kasih atas pertanyaannya..
sebelumnya mohon maaf mas, di atas kan sudah dijelaskan,
orang yang mempunyai keterbatasan pada inderanya, beratti ya kewajiban menuntut ilmu dan melaksanakan ibadah sesuai dengan kemampuannya, karena memang terhalang oleh keterbatasannya.
nah.. sekarang kan media pembelajaran dan teknologi sudah semakin maju, sehingga dapat membantu orang-orang yang berkebutuhan khusus mengikuti pembelajaran layaknya orang normal.
sekiranya demikian, terimakasih..
2021 111 142
BalasHapusjika penggunaan panca indra sudah maksimal akan ttpi hati dan otak tidak bisa konsen dg apa yg sudah kita dengarkan, kita perhatikan, dan kita rasakan..apakah kita sudah dapat dikatakan memanfaatkan panca indera secara optimal dan bagaimana caranya agar kesemuanya dapat dilaksanakan secara maksimal baik panca indra, hati, dan otak kita agar serasi dalam menunutut ilmu ? mohon penjelasannya....
terimakasih atas pertanyaannya..
Hapuspenggunaan panca indera yang maksimal itu berarti dia telah mampu menyeimbangkannya dengan hati dan akal, sehingga dari inderanya ada input berupa ilmu yang masuk, kemudian diproses mengenai pambenarannya dengan konteks realita oleh akal, dan di arahkan oleh hati agar sesuai jalur, selanjutnya muncul output berupa aplikasi ilmu yang telah dimiliki dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat memberi kemanfaatan bagi diri sendiri maupun orang lain.
mengenai cara agar pemanfaatan panca indera, hati, dan akal itu dapat maksimal, menurut saya ya kembali lagi ke pribadi masing-masing, karena kita yang lebih tahu tentang diri kita, masalah kita, dan penyelesaian masalahnya.
mungkin cara yang dapat dilakukan agar tiga komponen sumber ilmu itu seimbang dan maksimal, menurut saya, untuk indera, ya minimal kita mengingat tentang kelebihan yang ada pada indra yang kita punya, kita lebih beruntung dari orang lain yang maaf, mempunyai keterbatasan, sehingga kita mempunya motivasi yang tinggi dalam menuntut ilmu. kemudian dari akal kita, kita harus selalu mengingat bahwa kesempatan yang ada itu tidak datang dua kali, jadi sebisa mungkin kesempatan yang ada kita harus mampu mamanfaatkan. kemudian tentang waktu yang ada itu bukan hal yang bisa diulang, sehingga kita termotivasi untuk menggunakan waktu secara maksimal dengan hal-hal yang bermanfaatkan. selanjutnya mengenai peran hati, anggaplah semua yang ada itu ladang ibadah, begitu juga dengan penggunaan indera dalam menuntun atau mengamalkan ilmu. bimbing hati dengan iman kita dan dukungan dari orang-orang yang menyayangi dan kita sayangi, insyaa Allah kita dapat menyeimbangkan indera, akal, dal hati dengan maksimal, sesuai dengan yang diharapkan, dan diridloi Allah SWT.
sekiranya demikian, terimakasih...Aspek-aspek Kompetensi
Dewi Lisetyawati
BalasHapus2021 111 139
melihat fenomena sekarang banyak orang yang memiliki panca indra sempurna tetapi mereka justru malas menggunakan indranya tersebut untuk mencari ilmu, sedangkan orang yang mempunyai keterbatasan dalam panca indranya (cacat) justru giat atau bersemangat dalam mencari ilmu. bagaimana tanggapan pemakalah mengenai ha; tersebut? dan bagaimana caranya agar mereka yang mempunyai panca indra yang sempurna agar giat dalam mencari ilmu?mohon penjelasannya..
terima kasih
terima kasih atas pertanyaannya..
Hapussaya sependapat dengan anda mengenai fenomena tersebut mbak,,
menurut saya, adanya fenomena diatas, karena keseimbangan antara indera, akal, dan hati belum ada, yang sempurna inderanya belum mampu memaksimalkan karena hati dan akalnya belum membimbingnya, sehingga meremehkan potennsi yang sebenarnya ada pada diri mereka. kemudian yang mempunyai keterbatasan, dari kelemahan yang ada padanya dia berusaha lebih baik lagi salah satunya dengan semangat yang tinggi dalam mencari ilmu. namun keterbatasan yang ada tidak dapat memaksimalkan dia menuntut ilmu layaknya orang normal.
mengenai cara yang agar orang yang sempurna inderanya giat mencari ilmu ya dengan menyadarkan mereka, memberi pemahaman bahwa mereka mampu mempeoleh ilmu semaksimal mungkin dengan indera mereka. dan lain sebaginya. namun kesemua cara tetap kembali kepada pribadi masing-masing individu.
terimakasihh...
asslmkm ukhtiii
BalasHapus:)
nama : sakinah
nIM : 2021 111 111
dari semua panca indra yang Allah anugrahkan kepada kita, manakah yang paling sering berbuat kemaksiatan?
baagaimanakah solusinya?
wassalam
slm smgat!
Wa 'alaikum salam….
HapusTerima kasih atas pertanyaannya,
Menurut saya, semua indera akan sama tingkat perbuatan maksiatnya jika tanpa pengawasan dari hati bahwa di hari akhir kelak semua ada pertanggunggjawabannya dan bepikir dua kali tentang resiko sebelum bertindak.
Indera penglihatan kita yang tidak kita kendalikan sehingga melihat hal-hal yang bukan haknya kita lihat, tentu akan bernilai maksiat dan menghilangkan manfaat. Begitu juga dengan indera pendengaran dan lisan kita.
Mengenai solusi, menurut saya, kita harus menyadari indera yang ada, fungsi dan peranannya, penggunaannya, akibat dari penggunan, dan pertanggungjawaba dia akhirat nanti. Kemudian kita meningkatkan peran hati kita dalam penggunaan indera dengan membimbing agar dapat bermanfaat bukan maksiat, seperti lebih meningkatkan kualitas iman dan taqwa kita, dan lain sebagainya.
Terimakasih….
muhammad rifqi 2021111179
BalasHapuskenapa orang yang panca indranya sering untuk maksiat sulit menangkap ilmu
terima kasih atas pertanyaannya,
Hapusdiatas telah dijelaskan, bahwa semua yang kita lakukan akan ada resiko dan pertanggungjawabannya. nah.. jika panca indera sering digunakan untuk hal-hal yang maksiat dan jauh dari nilai kemanfaatan, maka akan beresiko, baik secara langsung atupun tidak. sulitnya menangkap ilmu, berarti merupakan resiko yang diterima secara langsung atas pemanfaatan indera untuk kemaksiatan. hal ini karena pengaruh negatif dari kemaksiatan telah masuk ke hati dan akal, sehingga meusak konsenterasi dan pemahaman terhadap ilmu yang datang.
jika telah menyadari indera digunakan untuk kemaksiatan menyebabkan sulit untuk menangkap ilmu, maka harus sesegera mungkin memperbaiki kesalahan tersebut, agar ilmu tetap dapat dipahami dan menghiasi diri kita.
terimakasih....
bgaimana jika panca indera dan hati tidak menyatu?sehingga tidak dapat menerima ilmu secara maksimal?bgaimana solusinya agar mudah mnerima ilmu?
BalasHapustrims
terima kasih atas pertanyaannya,
Hapustidak bisa menyatunya indera dengan hati pasti ada faktor-faktor yang mempengaruhi, entah dari internal seperti konflik diri atas ketidakpuasan hidup yang ia jalani, atau dari eksternal seperti lingkungan yang tidak mendukung.
nah.. solusinya ya menurut saya kembalikan lagi pada masing-masing individu dengan latar belakang masalah, faktor yang mempengaruhi, dan penyelesaian yang tepat untuk masalah. misalnya, jika tidak menyatunya indera karena faktor dari dirinya sendiri, berarti dia belum mampu memanagemen hatinya agar mengarahkan indera untuk hal-hal yang bermanfaat, solusinya ya dengan menyadari bahwa keseimbangan indera dan hati itu adalah penting, jika belum juga menyadari, kita coba lihat orang-orang yang ada di atas kita, dalam artian orang-orang yang telah mampu menyatukan hati dan indera sehingga dapat menerima dan mengamalkan ilmu dengan maksimal.
kemudian jika pengaruh itu dari luar pribadi kita, ya semaksimal mungkin kita menghindar, atau beruzlah seperti konsep para sufi, maksudnya kita tidak menghindar sepenuhnya hingga menghindari kontak langsung dari orang dan lingkungan sekitar, tetapi kita tetap bergaul dengan mereka dan lingkungan, cuma apa yang kita terima itu harus difilter terlebih dahulu dengan prinsip dan pedoman hidup kita,,,
sekiranga demikian, terimakasih,....
menurut kasus yang sering terjadi adalah ketika seseorang mengaji (menuntut ilmu)telinga, mata, pikiran,dan hati telah tertuju kepada sang guru. namun sering kali ketika telah meninggalkan tempat menuntut ilmu itu, apa yang telah ia dengar, mengerti, dan perhatikan tadi menjadi hilang. apakah itu karena panca indra dari orang itu yang kurang berfungsi dengan baik atau bagaimana, tolong penjelasannya.... terima kasih
BalasHapusterima kasih atas pertanyaannya...
Hapussaya sependapat dengan anda mbak...
kasus tersebut sepertinya bukan lagi sebatas kasus, tetapi telah menjadi hal yang umum.
kalau menurut saya, bukan panca indra dari orang itu yang kurang berfungsi dengan baik, tetapi pemanfaatannya yang belum maksimal. jika kita renungkan, kadar konsentrasi, arah pikiran kita dan suasana hati, itu masih terbawa oleh situasi dan lingkungan yang ada. misalnya kita ada dalam suatu majlis ilmu, dalam proses pembelajaran kita dapat mengikuti dan menerima ilmu, serta dapat memahami dan mempunyai niat untuk mengamalkannya, usai pembelajaran sesuai pesan dari guru. namun ketika selesai pembelajaran dengan situasi yang ramai dan banyak tema pembicaraan kita jadi terlupa dengan apa yang telah kita pelajari tadi. jadi pribadi kita seperti itu dapat dikatakan sebagai pribadi yang kondisional dan belum mempunyai prinsip dan pondasi yang kuat.
nah... mengenai solusi, mari kita instrokpeksi diri kita masing-masing...
sekiranya demikian.. terimakasih..