Laman

Minggu, 26 Februari 2017

tt2 a3d “HAK BERKEYAKINAN AGAMA” QS. Al-Kafirun ayat 6

HAK ASASI MANUSIA
“HAK BERKEYAKINAN AGAMA”  QS. Al-Kafirun ayat 6

Azzahrotul Safira  (2021115100)
Kelas A

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN / JURUSAN PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “HAK ASASI MANUSIA (HAK BERKEYAKINAN AGAMA) dalam QS. Al-Kafirun ayat 6. Sholawat beserta salam tak lupa pula saya haturkan kepada junjungan kita Nabi agung  Muhammad saw yang telah membawa kita semua dari alam kejahilan ke alam yang terang benderang yang di sinari oleh ilmu pengetahuan, iman dan islam. Tak lupa pula saya mengucapkan terima kasih kepada :
1.     Allah swt yang telah memberikan kemudahan bagi saya untuk mengerjakan makalah ini.
2.     Kedua Orang Tua yang selalu mendukung saya untuk semangat dalam belajar.
3.     Dosen Pengampu mata kuliah tafsir tarbawi yang telah membimbing saya dalam menyelesaikan makalah ini.
4.     Saya juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “HAK ASASI MANUSIA (HAK BERKEYAKINAN AGAMA) dalam QS. Al-Kafirun ayat 6” ini.
Saya sadar dalam penulisan makalah ini, masih banyak kekurangan. Untuk itu, saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun.


Pekalongan, 4 Maret 2017

Azzahrotul Safira

2021115100


BAB I
PENDAHULUAN`
1.     Latar Belakang
Semua agama  mengajarkan kasih sayang, cinta, kedamaian, kebajikan, persaudaraan, dan sejumlah nilai-nilai kemanusiaan secara normatif dan ideal. Namun jika melihat secara historis, agama tidak selalu berfungsi positif untuk kemanusiaan. Agama kadangkala memunculkan banyak ploblem permasalahan. Oleh karena itu perlu adanya keyakinan dalam beragama. Aqidah atau berkeyakinan agama adalah sesuatu yang sangat penting bagi umat manusia. Tanpa memiliki keyakinan kehidupan seseorang tidak akan terarah serta tidak memiliki tujuan hidup yang harus di raihnya.
Agama islam merupakan agama yang tidak memaksakan agar manusia dapat menjadi pengikunya, akan tetapi keyakinan merupakan karunia yang harus disyukuri lalu dipertahankan keberadaanya. Berkeyakinan agama merupakan hak asasi setiap individu. Antar individu tidak boleh menggnggu individu lain atau memancing yang menimbulkan kerusuhan atau pertengkaran. Kita sebagai muslim memang harus menyampaikan ajaran Islam kepada mereka yang belum mendapat petunjuk, akan tetapi tidak boleh memaksakannya. Bertoleransi itu perlu, terutama bertoleransi terhadap agama.    
2.     Judul
Makalah ini berjudul “Hak Berkeyakinan Agama”
3.     Nash

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Artinya : “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”






4.     Arti penting untuk di kaji
Di dalam QS. Al-Kafirun ayat 6 menjelaskan tentang ajaran yang di bawa oleh Rasulullah SAW untuk umatnya, ajaran nya yaitu berupa saling toleransi antar agamat. Toleransi ini berarti pengakuan tentang adanya realita perbedaan agama dan keyakinan, bukan pengakuan pembenaran terhadap agama dan keyakinan selain Islam. Dan toleransi merupakan aqidah dalam islam. Perbedaan agama dan keyakinan tidak menutup jalan untuk saling tolong menolong dan tidak menjadi alasan untuk bermusuhan.
























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori
Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar bagi hidup dan kehidupan manusia yang bersifat kodrati yakni ia tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Sedangkan dalam Undang-undang tentang hak asasi manusia pasal 1 dinyatakan : “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormari, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Manusia selalu memiliki hak-hak dasar (basic right) antara lain:
a.      Hak hidup.
b.     Hak untuk hidup tanpa ada perasaan takut dilukai atau dibunuh oleh orang lain.
c.      Hak kebebasan.
d.     Hak untuk bebas, hak untuk memiliki agama atau kepercayaan, hak untuk memperoleh informasi, hak menyatakan pendapat, hak berserikat dan sebagainya.
e.      Hak pemilikan
f.      Hak untuk memilih sesuatu, seperti pakaian, rumah, mobil, perusahaan, pabrik dan sebagainya.[1]
Hak berkeyakinan agama
Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling utama. Oleh karena itu, dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan negara wajib menjamin dan melindungi setiap warga negaranya sebagaimana dikuatkan dalam UU nomor 12 tahun 2005 yang isisnya sebagai berikut (1) setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan, beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik individu bersama-sama dengan orang lain di tempat umum atau tertutup, untuk menjalanka agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengalaman dan pengajaran. (2) tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.
Prinsip kebebasan beragama di dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia tidaklah berdiri sendiri, melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lainnya, yaitu kebebasan pikiran dan hati nurani.[2]

B.    Tafsir dari QS. Al-Kafirun ayat 6
1.     Tafsir Al-Mishbah
Setelah menegaskan tidak mungkinnya bertemu dalam keyakinan ajaran Islam dan kepercayaan Nabi Muhammad saw. Dengan kepercayaan kaum yang mempersekutukan Allah, ayat di atas menetapkan cara pertemuan dalam kehidupan bermasyarakat yakni: Bagi kamu secara khusus agama kamu. Agama itu tidak menyentuhku sedikit pun, kamu bebas untuk mengamalkannya sesuai kepercayaan kamu dan bagiku juga secara khusus agamaku, aku pun mestinya memperoleh kebebasan untuk melaksanakannya, dan kamu tidak akan disentuh sedikit pun olehnya
Kata (  ( دينdin dapat berarti agama atau balasan, atau kepatuhan. Sementara ulama memahami kata tersebut di sini dalam arti balasan. Antara lain dengan alasan bahwa kaum musyrikin Mekkah tidak memiliki agama. Mereka memahami ayat di atas dalam arti masing-masing kelompok akan menerima balasan yang sesuai. Bagi mereka ada balasannya, dan bagi Nabi pun demikian. Baik atau buruk balasan itu, diserahkan kepada Tuhan. Dialah yang menentukannya.
Didahulukannya kata ( لكم ) lakum dan ( لي ) liya berfungsi menggambarkan kekhususan, karena itu pula masing-masing agama biarlah berdiri sendiri dan tidak perlu dicampurbaurkan. Tidak perlu mengajak kami untuk menyembah sembahan kalian setahun agar kalian menyembah pula Allah. Kalau (  ( دين din diartikan agama, maka ayat ini tidak berarti bahwa Nabi diperintahkan mengakui kebenaran anutan mereka. Ayat ini hanya mempersilakan mereka menganut apa yang mereka yakini. Apabila mereka telah mengetahui tentang ajaran agama yang benar dan mereka menolaknya serta bersikeras menganut ajaran mereka, silakan.
Ayat 6 di atas, merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik, bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku. Sehingga demikian masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada orang lain tetapi sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing.
Demikian terlihat bahwa absolusitas ajaran agama adalah sikap jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan atau kenyataan di luar bagi yang tidak menyakininya. Ketika kaum musyrikin bersikeras menolak ajaran Islam, maka demi kemaslahatan bersama, Tuhan memerintahkan Nabi Muhammad saw menyampaikan yang terdapat dalam QS. Saba’ (34): 24-26 yang artinya “Sesungguhnya kami atau kamu yang berada dalam kebenaran, atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: Kamu tidak akan diminta mempertanggungjawabkan pelanggaran-pelanggaran kami dan kami pun tidak akan diminta mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kamu. Katakanlah: “Tuhan kita akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan di antara kita dengan benar, sesungguhnya Dia Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui”
Pada ayat di atas terlihat bahwa ketika absolusitas diantara keluar, ke dunia nyata Nabi saw tidak diperintahkan menyatakan apa yang di dalam keyakinan tentang kemutlakan kebenaran ajaran Islam, tetapi justru sebaliknya, kandungan ayat tersebut bagaikan menyatakan: Mungkin kami yang benar, mungkin pula kamu; mungkin kami yang salah, mungkin pula kamu. Kita serahkan saja kepada Tuhan untuk memutuskannya. Bahkan diamati dari redaksi ayat diatas, bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi dan pengikut-pengikut beliau diistilahkan dengan pelanggaran (sesuai dengan anggapan mitra bicara), sedang apa yang mereka lakukan dilukiskan dengan kata perbuatan, yakni tidak menyatakan bahwa amal mereka adalah dosa dan pelanggaran.[3]
2.     Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
Din (  ( دينmempunyai sekian banyak arti, yang telah diuraikan ketika menafsirkan ayat keempat surah Al-Fatihah. Secara umum, kata tersebut diartikan agama. Di sini timbul persoalan, apakah orang-orang kafir Mekkah itu mempunyai agama?
Bagi yang berpendapat bahwa mereka tidak beragama, kata din (  ( دينberarti pembalasan, sedang yang mengartikannya sebagai agama, mengakui bahwa kata agama di sini tidak dipahami, dalam pengertian yang utuh, sebagaimana halnya agama dalam pandangan para pakar perbandingan agama.
Sementara pakar Alqur’an mengartikan ( لكم ) sebagai “khusus untuk kamu”, sehingga ayat terakhir ini seakan berpesan kepada mereka bahwa agama yang kalian anut itu khusus untuk kalian, ia tidak menyentuh sedikit pun; dan agama yang saya anut, juga khusus untukku, tidak menyentuh kalian sedikit pun. Karena itu, tidak perlu campur-baurkan, tidak perlu mengajak kami untuk menyembah sembahan kalian setahun agar kalian menyembah pula Allah di tahun yang lain, sebagaimana yang mereka usulkan.
Dari uraian di atas terlihat bahwa kata din (  ( دينdipahami dalam arti agama atau anutan. Para musafir yang enggan menamai anutan kaum kafir Mekkah itu sebagai agama, memahami kata din dalam arti “pembalasan” sehingga ( لكم دينكم ) diartikan “pembalasan atau ganjaran perbuatan kalian khusus untuk kalian, dan ganjaran atau balasan perbuatan kami juga khusus untuk kami.”
Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku merupakan pengakuan eksistensi secara timbal balik, sehingga masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada orang lain sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing.
Agama mengajarkan yang demikian, karena kesatuan pendapat dalam segala hal tidak mungkin tercapai, khususnya setelah pertumbuhan penduduk yang sedemikian pesat serta keanekaragaman kebutuhan. Perbedaan serta keanekaragam pendapat (agama) manusia adalah satu kenyataan. Dari sini perbedaan tersebut hendaknya di manfaatkan untuk menjalin kerja sama antar mereka serta perlombaan dalam mencapai kebajikan dan keridhaan-Nya.[4]
3.     Tafsir Juz ‘amma
Ayat لَكُمْ دِينُكُمْ Bagimulah Agamamu, Agamamu hanya khusus bagi kamu, tidak menjangkau diriku. Maka janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa aku berpegang kepadanya atau terlihat dalam sebagian darinya. Kemudian ayat  وَلِيَ دِينِ dan bagikulah agamaku! Yakni agamaku adalah agama yang menyangkut diriku secara khusus. Yaitu yang kepadanya aku menyeru. Tidak ada sedikit pun persekutuan antara aku dan kamu didalamnya!.
Tentunya dapat dipahami bahwa makna seperti ini, seperti yang telah kami jelaskan, adalah yang dapat disimpulkan secara langsung dari surah yang mulia tersebut. Khusunya ayat terakhirnya, Bagimu agamamu dan bagiku agamaku! Ayat ini secara jelas sekali menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah penolakan adanya pencampuran dalam bentuk apa pun, seperti yang dinyatakan secara keliru oleh sebagian orang. Makna yang dapat disimpulkan dari ayat ini, sama seperti yang disimpulkan dari firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka (QS Al-An’am [6]: 59). Yakni, tidak ada kaitan apa pun antara kamu dan mereka, tidak dalam hal al-ma’bad (yang disembah) dan tidak pula dalam hal ‘ibadah.[5]

C.    Aplikasi Dalam Kehidupan
a.      Memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran agama islam yang dianutnya.
b.     Tidak mencampuradukkan perkara akidan dan ibadah.
c.      Bertauhid kepada Allah dan menjauhi perbuatan syirik.
d.     Beribadah dengan ikhlas dan benar sesuai tuntutan Rasulullah.
e.      Menghormati pemeluk agama lain dan tidak memaksakan agama kepada oranglain.
f.      Memberi kebebasan orang lain untuk memeluk suatu agama.
g.     Tidak mengganggu orang lain yang berbeda keyakinan ketika mereka beribadah.
h.     Saling menghormati antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama lain.
D.    Aspek Tarbawi
a.      Memiliki kemantapan keimanan sehingga tidak terpengaruh ajakan untuk memeluk agama lain.
b.     Meningkatkan keimanan supaya tidak mudah terpengaruh oleh orang lain.
c.      Tidak melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengganggu penganut agama lain.
d.     Menjalankan ibadah dan beriman hanya kepada Allah SWT.









BAB III
PENUTUP
       I.          Kesimpulan
Agama islam merupakan agama yang tidak memaksakan agar manusia dapat menjadi pengikunya, akan tetapi keyakinan merupakan karunia yang harus disyukuri lalu dipertahankan keberadaanya. Berkeyakinan agama merupakan hak asasi setiap individu. Antar individu tidak boleh menggnggu individu lain atau memancing yang menimbulkan kerusuhan atau pertengkaran. Kita sebagai muslim memang harus menyampaikan ajaran Islam kepada mereka yang belum mendapat petunjuk, akan tetapi tidak boleh memaksakannya. Bertoleransi itu perlu, terutama bertoleransi terhadap agama.






 DAFTAR PUSTAKA
Abduh,  Muhammad. 1999. Tafsir Juz ‘Amma. Bandung: Mizan, 1999.
Shihab, M. Quraish.  2002. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 1997. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Bandung: Pustaka Hidayah.
Ubaidillah, A. 2000. Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press.



BIODATA DIRI

Nama                       : Azzahrotul Safira                
TTL                          : Pekalongan, 19 Juni 1997
Alamat                                 : Kayugeritan Karanganyar
Riwayat Pendidikan :
a.      SDN 02 Kayugeritan Karanganyar
b.     MTs YMI Wonopringgo
c.      MAS Simbang Kulon Buaran Pekalongan





[1] A. Ubaidillah, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Cet I, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hlm. 207
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 580-582
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 641-642
[5] Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, Cet V, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 348-349

Tidak ada komentar:

Posting Komentar