Laman

Selasa, 14 Maret 2017

spi c6 DINASTI-DINASTI DI DUNIA ISLAM SEIRING DINASTI ABBASIAH II


PERADABAAN ISLAM DINASTI-DINASTI LAIN DI DUNIA ISLAM II

 Nur Aida  Ida Nuryanti



FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN  HUKUM EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017








KATA PENGANTAR
            Segala Puji syukur selalu kami haturkan khadirat  Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta inayah-Nya kepada kami. Salam kesejahteraan semoga dilimpahkaan kepada junjungan kita, Nabi agung Muhammad Saw segenap keluarga, dan orang-orang yang mengikuti jejaknya sampai akhir zaman. Sehingga kami bisa menyelesaikan tuagas penyusunan Makalah Sejarah Kebudayaan Islam dengan judul Peradaban Islam dinasti-dnasti lain di dunia Islam II.
            Kami selaku penyusun makalah menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak  Muhammaad Ghufron,M.S.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang selalu mendukung kami, serta tim kelompok yang selalu  kompak dan konsisten dalam penyelesaaian tugas ini.
            Dalam makalah dengan tema Peradaaban Islam dinasti-dinasti lain di dunia Islam II, kami membahas tentang kemunculan dinasti-dinasti ini, masa kejayaan dan runtuhnya dinasti-dinasti ini. Dan kami berharap, semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan bagi kami penyusun dan para pembaca semuanya. Amin.






 Pekalongan, 17 Maret 2017


                                                Penyusun                   



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
       Dalam konteks peradaban, Islam menampilkan peradabaan baru yang esensinya berbeda dengan peradaban sebelumnya. Dengan demikian Islam telah melahirkan revolusi kebudayaan dan peradaban. Setelah berakhirnya kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, maka digantikan oleh beberapa dinasti-dinasti. Dalam Islam kita telah mengenal banyak dinasti pemerintahan, seperti Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah dan lain sebagainya. Adanya dinasti-dinasti tersebut merupakan revolusi ke tiga dari bentuk pemerintahan langsung oleh Rosulullah dan masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Selain dinasti-dinaasti besar tersebut, juga ada dinasti-dinasti lain di dunia Islam yang ikut serta memajukan peradaban Islam di dunia seperti adanya Dinasti Buwaihi, Dinasti Murobbitun, Dinasti saljuk, Dinasti Muwakhidun, Dinasti Ayyubiyah dan Dinasti Mamluk.
B. Rumusan Masalah
1.   Bagaimana pemerintahan pada masa dinasti Buwaihi?
2.   Bagaimana pemerintahan pada maasa dinasti  Murobbitun?
3.   Bagaimana pmerintahan pada masa dinasti Saljuk?
4.   Bagaimana pemerintahan pada masa dinasti Muwakhidun?
5.   Bagaimana pemerintahan pada masa dinasti Ayyubiah?
6.   Bagaimana pemerintahan pada masa dinasti Mamluk?
C. Tujuan
       Mengetahui kondisi pemerintahan pada masa dinasti-dinasti lain di dunia Islam, seperti dinasti Buwaihi, dinasti  Murobbitun, dinasti Saljuk, dinasti Muwakhidun, dinasti Ayyubiyah, dan dinasti  Mamluk.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Dinasti Buwaihi (333-447 H/945-1055 M)
Wilayah kekuasaan Dinasti Buwaihi meliputi Irak dan Iran. Dinasti ini dibangun oleh tiga bersaudara, yaitu Ali bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi dan Ahmad bin Buwaihi.[1] Ketiganya adalah anak dari Buwaihi, keluarga miskin yang pekerjaannya mencari ikan. Keluarga ini terkenal pemberani dan gigih. Tiga bersaudara itu masuk kedinas  ketentaraan yang waktu itu cukup menjanjikan, dan mengawali karir mereka sejak memasuki militer menjadi anggota pasukan panglima perang daerah Dailam.
Perjalanan Dinasti Buwaihi dapat dibagi dalam dua periode. Periode pertama merupakan periode pertumbuhan dan konsolidasi, sedangkan periode kedua adalah periode defensif, khususnya diwilayah Irak dan Iran Tengah. Dinasti Buwaihi mengalami perkembangan pesat ketika Dinasti Buwaihi Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah. Para penguasa Dinasti Buwaihi antara lain :
1.       Ibn Ahmad Buwaihi (Mu’iz al-Daulah                                                        334-356 H
2.       Bakhtiar (‘Izz al-Daulah)                                                                             356-367 H
3.       Abu Syuja’ Khusru (‘Adhdu al-Daulah)                                                      367-372 H
4.       Abu Kalyajar (Shamsham al-Daulah)                                                         372-376 H
5.       Abu al-Fawarits (Syiraf al-Daulah)                                                             376-379 H
6.       Abu Nashr Fairus (Baha’ al-Daulah)                                                           379-403 H
7.       Abu Syuja’ (Sulthan al-Daulah)                                                                  403-411 H
8.       Musyrif al-Daulah                                                                                        411-416 H
9.       Abu Thahir (Jalal al-Daulah)                                                                       416-435 H
10.    Abu Kalyajar al-Marzuban (Imam al-Daulah)                                            435-440 H
11.    Abu nashr Kushr (al-Malik al-Rahim)                                                        440-447 H

Pada masa pemerintahan ‘Adhdu al-Daulah, yang dikenal sebagai seorang pecinta ilmu, Dinasti Buwaihi mengalami kemajuan yang pesat. Keadaan politik yang kurang stabil sebelumnya dapat diperbaikinya. Pada masa ini pula penguasa Buwaihi mulai memakai gelar al-Malik. Kepada para Fuqaha’, Muhadditsin, Mufassirin, Mutakallimin, Pujangga, Sastrawan, Dokter, ahli hisab, ahli bangunan dan lainnya, ‘Adhdu al-Daulah tidak segan-segan memberikan honor yang cukup besar sebagai bentuk penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Selain itu terdapat perpustakaan besar yang berisi bermacam-macam buku.
Kota lain yang maju pada masa ini selain Kota Baghdad adalah Kota Syiraz dan Ray, yang merupakan pusat terpenting dibidang politik, ilmu pengetahuan dan kesastraan. Disamping ilmu pengetahuan, bidang lain yang mendapat perhatian diantaranya perbaikan-perbaikan kota dan pembangunan gedung-gedung pemerintahan dan rumah sakit.
Kemajuan-kemajuan diatas, juga diikuti oleh kemajuan perdagangan, ekonomi, pertanian dan industri. Kemajuan-kemajuan yang dicapai tersebut ditopang oleh stabilitas politik dan keamanan. Sehingga situasi kondusif menjadi kuat dan banyak sektor perekonomian yang menopang ekonomi dan ketahanan negara.[2]
Sebenarnya Bani Buwaihi beraliran Syi’ah, namun kebebasan bermadzhab cukup kelihatan. Orang dari kalangan Bani Abbas yang berpaham sunni tidak boleh memaksakan pahamnya kepada orang Syi’ah, begitupun sebaliknya. Mereka hidup berdampingan dengan paham yang berbeda tetapi cukup harmonis.[3]
Dinasti Buwaihi mengalami kemunduran dengan adanya pengaruh Tugril Beg dari Dinasti Saljuk. Peninggalan dinasti ini antara lain berupa observatoriuim di Baghdad dan sejumlah perpustakan di Syiraz dan Isfahan (Iran).

B.      Dinasti Murabitun (448-541 H/1056-1147 M)
Al-Mrabitun adalah nama sebuah dinasti Islam yang berkuasa di Maghribi dan Spanyol (Andalusia). Asal-usul dinasti ini berasal dari Lemtuna, salah satu anak dari suku Sahaja. Mereka biasa juga disebut al-Muksimum (pemakai kerudung sampai menutupi wajah dibawah muka). Dinasti ini berwal dari sekitar 1.000 anggota pejuang. Kegiatan mereka antara lain menyebarkan agama Islam dengan mengajak suku lain untuk menganut agama Islam. Mereka mengambil ajaran madzhab Salaf (gerakan Salafiyah) secara ketat. Wilayah meraka meliputi Afrika Barat Daya dan daerah Spanyol.
Ddibawah seorang pemimpin spiritual, Abdullah bin Yasin dan seorang komandan militer, Yahya bin Umar, meraka berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Wadi Dara. Kemudian meraka juga berhasil menaklukkan Kerajaan Sijilmasat yang dikuasai Mas’ud bi Wanuddin al-Magrawi tahun 447 H/1055 M. Ketika Yahya bin Umar meninggal dunia, jabatannya digantikan oleh saudaranya, Abu Bakar bin Umar. Kemudian Abu Bakar melakukan penaklukkan ke daerah Sahara, Maroko. Tahun 450 H/1058 M ia menyeberang ke Atlas Tinggi (hit atlas). Setelah itu diadakan penyerangan ke Maroko Tengah dan Selatan. Selanjutnya ia memerangi suku Baghawata yang dianggap menganut paham bid’ah. Pada penyerangan ini Abdullah bin Yasin tewas (451 H/1059 M). Sejak itu Abu Bakar memegang tampuk kekuasan secara penuh dan lambat laun ia berhasil mengembangkan sistem kesultanan.
Abu Bakar berhasil menaklukkan daerah sebelah utara Atlas Tinggi dan akhirnya pada tahun 462 H/1070 M ia dapat menaklukkan daerah Marrakech (Maroko). Kemudian ia mendapat informasi bahwa Bulugan, Raja Kala dan Bani Hammad mengadakan penyerangan ke Maghribi dengan melibatkan sebagian kaum Sahaja. Mendengar berita itu ia memutuskan kembali ke Sahara untuk menegakkan perdamaian diantara kaum al-Murabitun.
Sekembalinya dari Sahara, setelah berhasil memadamkan penyerangan Bulugan, ia menyerahkan kekuasaannya kepada Yusuf bin Tasyfin (w.500 H/1107 M), karena ia mengklaim bahwa Maroko berada dibawah kekuasaannya. Akhirnya Abu Bakar kembali lagi ke Sahara dan kemudian hidup di Sudan sampai akhir hayatnya. (1080 M).
Pada 1062 Yusuf bin Tasyfin mendirikan ibu kota di Maroko. Ia juga berhasil menaklukkan Fez (1070 M) dan Tangier (1078 M). Pada 1080-1082 M ia berhasil meluaskan wilayahnya sampai ke Aljazair. Ia mengangkat para pejabat dari kalangan al-Murabitun untuk menduduki jabatan gubernur pada wilayah taklukkan, sementara ia sendiri memerintah di Maroko.
Puncak prestasi dan karier politiknya dicapai ketika ia berhasil menyeberang ke Spanyol. Ia datang ke Spanyol atas undangan Amir Cordova, al-Mu’tamid bin Abbas yang terancam kekuasaannya oleh Raja Alfonso VI (Raja Leon Castilla). Dalam melaksanakan tugasnya ini, Yusuf bin Tasyfin mendapat dukungan kuat dari Muluk at-Tawa’if yang ada di Andalusia. Dalam sebuah pertempuran besar di Zallakah, 12 Rajab 479 H/23 Oktober 1086 M, ia berhasil mengalahkan raja Alfonso VI, selanjutnya ia juga berhasil merebut Granada dan Malaga. Mulai saat itulah ia memakai gelar Amirul Mukminin.
Yusuf  bin Tasyfin juga berhasil menaklukkan Amen dan Badajoz. Namun, di Laventa ia mendapat perlawanan sengit dari Ceuta dan pihaknya dapat dikalahkan di Ceuta. Akan tetapi ia dapat memperoleh kemenangan kembali. Maridali ditaklukkan pada 503 H/1110 M. Kemudian Kerajaan Saragosa dan Pulau Balearic berhasil diduduki oleh Dinasti al-Murabitun.
Ketika Yusuf bin Tasyfin meninggal dunia, ia mewariskan kekuasaannya kepada anaknya Ali bin Yusuf bin Tasyfin. Warisan itu berupa sebuah wilayah kerajaan yang luas dan besar yang terdiri atas negeri di Maghribi, bagian Afrika dan Spanyol. Ali melanjutkan politik pendahuluan dan berhasil mengalahkan anak Alfonso VI pada 111 M. Selanjutnya ia menyeberang ke Andalusia, merampas Tavalera de Rein.[4]
Beberapa perkembangan yang terjadi pada masa Dinasti al-Murabitun, antara lain:
1.   Perkembangan administrasi
a.    Al-Nidham al-Siyasi wa al-Idari
Pemimpin Dinasti Murabitun disebut Amir al-Muslimin dan Nashir al-Din yang berarti pemimpin pemerintah bukan sekedar pemimpin politik saja, tetapi sekaligus pemimpin agama. Untuk melaksanakan tugas-tugasnya, amir dibantu para menteri dan sekretaris. Di Marakesy didirikan Bait al-Ummah yang oleh para fuqaha’, dan mereka itulah yang diajak musyawarah oleh Amir al-Muslimin seputar urusan kenegaraan. Adapun secara administratif, wilayah Murabitun dibagi menjadi dua wilayah besar, yaitu wilayah Maghribi dan Andalusia.
b.   Al-Jaisy wa al-Asthul
Sebagai dinasti yang kuat, Murabitun perlu pertahanan dan keamanan. Untuk itu dibentuklah dua jenis pasukan, yaitu angkatan darat dan angkatan laut. Mereka direkrut dari bangsa Barbar dan Arab. Khusus untuk keselamatan kepala negara, dipercayakan kepada para budak, utamanya dari Sudan. Untuk pengaturan masalah ini, termasuk penggajian, maka dibentuk suatu badan khusus yang disebut diwan al-Jundi.
Untuk kepentingan-kepentingan tertentu, terkadang negara juga melakukan perekrutan tentara tambahan, bahkan direkrut pula pasukan yang statusnya sukarelawan (al-Mutathowwi’ah) yang dikomandani oleh fuqaha’. Dalam setiap pertempuaran disertakan fuqaha’ dan hakim untuk menyalakan semangat jihad dari pasukan yang bertempur.
c.    Al-Qadla’
Dibidang kehakiman, di Andalusia hakim memilki tugas istimewa, tidak hanya persoalan kehakiman yang harusdiselesaikan olehnya, tetapi juga juga persoalan politik. Oleh karena itu, untuk menduduki jabatan ini harus memenuhi syarat-syarat kelayakan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para fuqaha’.
Dinasti al-Murabitun membagi wilayah kehakiman, baik di Maghribi maupun Andalusia menjadi tiga kawasan, yaitu kawasan barat, timur dan tengah. Masing-masing kawasan memilki qadli al-jam’ah yang dipimpin oleh seorang qadli yang disebut qadli al-qudlah. Pengangkatan para qadli dilakukan dengan cara musyawarah Amir al-Muslimin denagn para wazirnya dn pembesar istana. Tetapi, pada masa Ali bin Yusuf, mekanisme tersebut dirubah melalui pilihan, sedangkan Amir al-Muslimin hanya memberi pengesahan saja.
Dalam melaksanakan tugasnya, para qadli dibantu oleh sekretaris. Lingkunagn qadli al-jama’ah dilengkapi empat orang penasehat hukum dari kalangan fuqaha’. Cara ini dimulai sejak masa Ali bin Yusuf menjabat sebagai pemimpin Dinasti al-Murabitun.
2.   Perkembangan dan kemajuan ekonomi
Dibidang perekonomian, para penguasa memberikan perhatian khusus, terutama Yusuf bin Tasyfin dan Ali bin Yusuf. Keduanya sangat serius dalam mengembangkan Murabitun dalam berbagai sektor ekonomi. Secara garis besar, sumber-sumber pemasukan keuangan negara adalah zakat, pajak juga dari perniagaan dan bea cukai, ghanimah dan jizyah.
Pengembangan dibidang pertanian dilakukan dengan membangun berbagai sarana irigasi dan jaringan keamanan, yang menyebabkan hasil pertanian menjadi melimpah, seperti zaitun, tin, kurma, za’faran, kapas dan buah-buahan. Dalam sektor industri juga mencapai kemajuan. Hasilnya seperti tekstil, kertas, kaca dan industri sabun. Demikian pula dalam sektor perdagangan. Diantara pendukung pesatnya perdagangan adalah letak strategis wilayah Murabitun.
3.   Kemajuan bidang intelektual
Khususnya pada masa Yusuf bin Tasyfin dan Ali bin Yusuf,kemajuan intelektual dapat dilihat dari indikator berikut:
a.    Lahirnya beberapa pemikir terkemuka, seperti al-Qadli al-Iyadl dan Ibn Sakrah dalam bidang hadits, al-Ghassani dan Abu Bakar bin al-A’rabi dalam bidang tafsir serta Muhammad bin Hakim bin Muhammad bin Ahmad al-Judzam dan Ali bin Yahya bin Aflaj bin Zarqun dalam bidang Ushul fiqh.
b.   Munculnya karya-karya keilmuan, baik berupa filsafat, sains, ilmu agama maupun bahasa.
c.    Didirikannya sarana-sarana pendidikan, seperti masjid dan madrasah.
d.   Tingginya semanagat menuntut ilmu.[5]

 Namun lambat laut Dinasti al-Murabitun mengalami kemunduran dalam memperluas wilayahnya. Hal tersebut disebabkan perubahan sikap mental mereka, yakni adanya kemewahan yang berlebihan. Kondisi ini merubah mereka dari sikap yang keras dalam kehidupan Sahara menjadi sikap lemah lembut dalam kehidupan Spanyol yang penuh gemerlap dan kemewahan materi.
Dinasti al-Murabitun memegang kekuasaan selama sekitar 90 tahun dengan enam orang penguasa, yaitu Abu Bakar bin Umar (449 H/1986 M), Yusuf bin Tasyfin (453-500 H/1061-1107 M), Ali bin Yusuf (500-537 H/1107-1142 M), Tasyfin bin Ali (537-541 H/1143-1147 M) Ibrahim bin Tasyfin dan Ishaq bin Ali. Dinasti al-Murabitun berakhir tatkala dikalahkan Dinasti al-Muwahhidun yang dipimpin Abdul Mukmin.[6]
Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Murabitun, antara lain :
1.   Faktor internal
Faktor internal kemunduran Dinasti Murabitun adalah figur penguasa yang lemah. Awal kekuasaannya, Ali bin Yusuf memperlihatkan keberhasilannya, tetapi lambat laun semakin menunjukkan gejala kelemahannya, lebih-lebih para penguasa sesudahnya. Ali bin Yusuf sering mengacuhkan tugas kenegaraannya dan berbalik pada praktik ritualitas agama. Kelengahan ini memberi peluang terhadap para bawahannya untuk mewujudkan kepentingan pribadi mereka, salah satunya untuk menumpuk kekayaan.
Sementara itu dibidang keagamaan, fiqih Islam Madzhab Maliki yang seharusnya mampu membuka wawasan keberagaman umat oleh para fuqaha’, dipahami dan dipraktikan secara sempit dan kaku. Akibatnya mereka bersikap eksklusif dan menutup diri terhadap paham lain, bahkan mereka biasa mengkafirkan terhadap paham lain yang dianggap tidak identik dengan mereka.
2.   Faktor eksternal
Faktor eksternal kejatuhan Murabitun diawali dengan banyaknya pemberontakan secara terus menerus, baik di Andalus maupun Afrika Utara, utamaya dari mereka yang kelak berhasil membangun Daulat Muwahhidun.[7]

C.      Dinasti Saljuk (469-706 H/1077-1307 M)
Saljuk adalah nama keluarga keturunan Saljuk bin Duqaq (Tuqaq) dari suku bangsa Guzz dari Turki yang menguasai Asia Barat Daya pada abad ke-11 dan akhirnya mendirikan sebuah kekaisaran yang meliputi kawasan Mesopotamia, Suriah, Palestina dan sebagian besar Iran. Wilayah kekuasaan mereka yang demikian luas menandai awal kekuasaan suku Bangsa Turki dikawasan Timur Tengah hingga abad ke-13.
Dinasti Sljuk dibagi menjadi lima cabang, yaitu Saljuk Iran, Saljuk Irak, Saljuk Kirman, Sljuk Asia Kecil dan Saljuk Suriah. Dinasti Saljuk didirikan oleh Saljuk bin Duqaq dari suku Bangsa Guzz. Akan tetapi, tokoh yang dipandang sebagai pendiri Dinasti Saljuk yang sebenarnya adalah Tugril Beq. Ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan Dinasti Saljuk dan mendapat pengakuan dari Dinasti Abbasiyah. Dinasti Saljuk melemah setelah para pemimpinnya meninggal atau ditaklukkan oleh bangsa lain. Peninggalan dinasti ini adalah Kizil Kule (Menara Merah) di Alanya, Turki Selatan yang merupakan pangkalan pertahanan Bani Saljuk dan Masjid Jumar di Isfahan, Iran.[8]

D.      Dinasti Muwahhidun (515-667 H/1121-1269 M)
Dinasti Muwahhidun adalah sebuah dinasti Islam yang pernah berjaya dikawasan Afrika Utara dan Spanyol selama lebih dari satu abad. Dinasti ini didirikan pada tahun 1114 M, berdasarkan ajaran pendirinya, yakni Muhammad bin Tumart (1080-1130 M), yang dikenal dengan sebutan Ibnu Tumart.
Dinasti Muwahhidun, yang berarti golongan berfaham tauhid, didasarkan atas prinsip dakwah Ibnu Tumart yang memerrangi faham at-Tajsim yang menganggap bahwa tuhan mempunyai bentuk (antropomorfisme) yang berkembang di Afrika Utara yang masa itu dibawah kekuasaan Dinasti Muwahhidun (448-541 H/1056-1147 M) atas dasar bahwa ayat yang berkaitan dengan sifat tuhan yang tersebut dalam al-Qur’an seperti tangan tuhan, tidak dapat ditakikan (dijelaskan) dan harus difahami seperti apa adanya. Menurut Ibnu Tumart, faham at-Tajsim identik dengan syirik (menyekutukan Allah) dan orang yang menganut faham at-Tajsim adalah musyrik.
Ibnu Tumart menganggap bahwa menegakkan dan memberantas kemungkaran harus dilakukan dengan kekerasan. Oleh karena itu, dalam mendakwahkan prinsipnya, Ibnu Tumart tidak segan-segan mengguanakan kekerasan. Sikap keras Ibnu Tumart itu tentu saja tidak disenangi sebagian besar masyarakat, terutama kalangan ulama dan penguasa. Oleh karena itu, tidak heran apabila Ibnu Tumart mendapat tantangan dimana-mana. Ia melindungi Sulatan Ali bin Yusuf bin Tasyfin tahun 507-537 H/1113-1142 M yang hanya menguasainya dari Marrakech (Ibu Kota Kerajaan Murabitun). Namun dakwah Inbu Tumart ini mendapat dukungan dari berbagai suku Barbar, seperti suku Haragah, Hantanah, Jadmiwah dan Janfisah.
Pada umumnya, dakwah Ibnu Tumart bersifat murni, artinya tidak didasari kepentingan politik tertentu, semata-mata hanya ingin menegakkan tauhid yang murni. Akan tetapi, setelah merasa bahwa dakwahnya telah mendapat sambuutan yang cukup berarti dan pengikutnya sudah mulai banyak, sementara itu Dinasti Murabitun mulai melemah, Ibnu Tumart berambisi untuk menjatuhkan kekuasaan kaum Murabitun. Maka pada tahun 514 H/1120 M ia melaksanakan maksudnya itu. Ia menamakan penguasa al-Muwahhidun dan wilayah kekuasaannya yaitu Tindasi dan sekitarnya sebagai ad-Daulah al-Muwahhidiyah.
Langkah pertama yang diambil Ibnu Tumart dalam meraih ambisinya adalah mengajak Kabilah Barbar bergabung bersamanya. Kabilah yang menolak bergabung diperanginya sehingga dalam waktu yang relatif singkat banyak Kabilah Barbar yang tunduk dibawah perintahnya. Pada 524 H/1129 M dengan jumlah pasukan sebanyak 40.000 orang, dibawah Komando Abu Muhammad al-Basyir at-Tansyarisi, kaum al-Muwahhidun menyerang ibu kota Dinasti al-Murabitun, Marrakech. Peristiwa itu dikenal dengan nama perang Buhairoh. Dalam perang itu, kaun al-Muwahhidun menderita kekalahan besar. Banyak prajurit mereka terbunuh, termasuk komandan perang dan beberapa anggota al-Asyrah. Kekalahan ini mengakibatkan meninggalnya Ibnu Tumart pada tahun itu juga.
Setelah Ibnu Tumart wafat, Abdul Mu’min bin Ali dibaiat sebagai pemimpin al-Muwahhidun (467-558 H/1094-1163 M). Ia dipilih padahal tidak ada hubungan kekerabatan dengan Ibnu Tumart, karena ia dianggap sebagai orang yang paling dekat dengan Ibnu Tumart. Selain itu, ia dikenal sebagai orang yang berpengatahuan luas,pintar dan pemberani, pilihan itu ternyata tepat. Dibawah kepemimpinannya kaum al-Muwahhidun meraih kemenangan demi kemenangan. Pada 526 H/1131 M kaum al-Muwahhidun menguasai Nadla, kemudian Dir’ah, Taigan, Fazar dan Gamayah. Pada tahun 534 H/1139 M kaum al-Muwahhidun melancarkan serangan ke kubu-kubu pertahanan al-Murabitun sehingga satu demi satu kekuasan al-Murabitun jatuh ketangan al-Muwahhidun. Fez, kota terbesar kedua setelah Marrakech, direbut al-Muwahhidun tahun 540 H/1145 M. Setahun kemudian kaum al-Muwahhidun berhasil menguasai ibu kota Marrakech dan menjatuhkan Dinasti al-Murabitun.
Setelah berhasil menjatuhkan al-Murabitun dan menguasai seluruh wilayah Maghribi, Abdul Mu’min bin Ali berambisi memperluas wilayah kekuasaannya. Untuk memindah-kan pusat pemerintahan al-Muwahhidun dari Tinmallal ke Marrakech. Dari situ Abdul Mu’min memancarkan ekspansi jauh kewilayah timur. Pada 1152 ia merebut Aljazair, enam tahun berikutnya seluruh wilayah Tunisia dikuasai kaum al-Muwahhidun dan hanya dua tahun setelah itu, yaitu 1160 Tripoli (Libia) jatuh ketangannya.
Sementara itu di Andalusia (Spanyol) kaum al-Muwahhidun merebut kembali wilayah kaum al-Murabitun yang dikuasai kaun Nasrani. Pada masa Abdul Mu’min wilayah kaum al-Muwahhidun membentang dari Tripoli hingga ke Samudra Atlantik sebelah barat, suatu prestasi gemilang yang belum pernah tercapai dinasti atau kerajaaan apapun di Afrika Utara.
Pada tahun 558 H/1162 M Abdul Mu’min bermaksud memperluas wilayah kekuasaan ke Spanyol yang dikuasai orang Kristen. Oleh karena itu, ia menyiapkan pasukan yang cukup besar, tetapi nasib menentukan lain. Sebelum niatnya tercapai, pada tahun itu juga Abdul Mu’min bin Ali meninggal. Ia digantikan putranya, Abu Ya’kub Yusuf bin Abdul Mu’min (w. 580 H/1184 M), seorang yang cakap, gemar ilmu dan senang berjihad. Sama seperti ayahnya, ia berambisi memperluas wilayah kekuasaan al-Muwahhidun jauh kesebelah utara dan timur. Untuk itu ia tidak segan-segan memimpin langsung pasukan al-Muwahhidun dan meninggalkan ibu kota untuk jangka wakttu yang lama.
Pada masanya paling sedikit dua kali kaum al-Muwahhidun menyerang wilayah Andalusia. Pertama pada tahun 565 H/1169 M dibawah komando saudaranya, Abu Hafs. Kaum al-Muwahhidun berhasil berhasil merebut Kota Toledo. Kemudian pada tahun 580 H/1184 M dibawah komandonya sendiri, kaum al-Muwahhidun berhasil menguasai wilayah Syantarin disebelah barat Andalusia dan menghancurkan tentara Kristen di daerah Lissabon ( Ibu Kota Portugal dimasa ini). Akan tetapi, dalam pertempuran memperebutkan Lissabon itu, Abu Ya’kub Yusuf terluka berat, yang mengakibatkan kematiannya.
Diantara penguasa al-Muwahhidun, Abu Ya’kub Yusuf adalah yang paling dekat kaum ulama dan cendikiawan. Pada masanya, hidup oarng besar seperti Ibnu Rusyd (filsuf besar Islam yang mengilhami kebangkitan intelektualitas di barat), Ibnu Tufail (filsuf terkenal Islam yang mengarang buku Hayy Ibn Yaqzan), Ibnu Mulkun Abu Ishaq Ibrahim bin Abdul Malik (ahli bahasa yang terkenal), Abu Bakar bin Zuhur (ahli kesehatan yang merangkap menteri), dan sebagainya, sehingga Marrakech merupakan pusat peradaban Islam terbesar dimasa ini.
Pengganti Abu Ya’kub Yusuf adalah putranya, Abu Ya’kub al-Mansur. Pada tahun awal kekuasaannya terjadi dua pemberontakan di Spanyol :
1.   Cucu Ibnu Ganiyah, Ali bin Ishaq bin Muhammad, penguasa kepulauan Murqah, Manurqah dan Yabisah.
2.   Orang Kristen yang berusaha merebut wilayah Islam di Spanyol.

Kedua pemberontakan tersebut dapat dipatahkan, bahkan pasukan al-Muwahhidun berhasil menawan sekitar 13.000 orang Kristen dan memaksa Raja Alfonso bertekuk lutut dengan menerima konsesi terhadap Dinasti al-Muwahhidun.
Akan tetapi, setelah beberapa tahun, tepatnya pada tahun 591 H/1194 M, Alfonso kembali memberontak dengan keyakinan bahwa ia akan membebaskan wilayah Spanyol dari penguasaan orang Islam. Untuk itu ia mengerahkan pasukan yang sangat besar, namun pemberontakan itu dapat dipatahkan tentara al-Muwahhidun yng langsung dipimpin oleh Khalifah sendiri dengan dukungan kabilah Arab, Zanatah, Masmudah, Gamarah, Agraz dan kaum budak. Benteng Ark yang merupakan pusat pertahanan orang Kristen dapat dihancurkan dan kaum al-Muwahhidun menawan sekitar 200.000 tentara Kristen. Kemenangan besar kaum al-Muwahhidun ini rupanya kemengangan terakhir kaum Muslim terhadap orang Kristen di Spanyol. Setelah itu dalam pertempuran selanjutnya antara kaum Muslim dan orang  Kristen, kaum Muslim tidak pernah menang.
Disamping itu, di wilayah Maghribi sendiri terjadi beberapa pemberontakan yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan al-Muwahhidun. Pemberontakan yang terbesar dilakukan Ali bin Ishaq selagi pasukan al-Muwahhidun berperang melawan pasukan Kristen si Spanyol, tetapi pemberontakan itu dapat dipatahkan.
Sementara itu, akibat perang salib yang berlangsung di Timur antara kaum Muslimin dibawah kepemimpinan Shalahudin Yusuf al-Ayyubi dan orang Kristen, telah terjalin hubungan yang erat antara Khalifah Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur dan Shalahudin Yusuf al-Ayyubi. Disebutkan bahwa Abu Yusuf membantu pasukan Shalhudin dengan mengirim 180 unit kapal perang untuk melawan tentara Kristen. Namun demikian, hubungan baik antara Abu Yusuf dan Shalahudin itu tidak lantas melupakan ambisi sang Khalifah untuk menguasai Mesir. Hal tersebut belum dapat dilaksanakan karena terhalang oleh pemberontakan dalam negeri, baik oleh orang Islam sendiri maupun orang Kristen di Spanyol.[9]
Beberapa kemajuan yang dicapai Dinasti al-Muwahhidun, khususnya pada masa Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur, antara lalin:
1.   Bidang kemiliteran
Diantara kehebatan dinasti Muwahhidun adalah memiliki pasukan tangguh. Penaklukan banyak dilakukannya, baik di Afrika maupun Andalusia. Selain itu, Muwahhidun juga memilki armada perang yang cukup besar yang sudah ada semenjak Khalifah Abdul Mukmin.
2.   Bidang ekonomi
Sumber-sumber pemasukan negara pada masa Dinasti Muwahhidun cukup variatif, diantaranya :
a.    Kekayaan dari hasil rampasan perang, yang selalu bertambah setiap terjadi penaklukkan. Terutama rampasan perang yang didapatkan di daratan Eropa yang berasal dari wilayah-wilayah Kristen yang dikuasai dalam pertempuran Ark.
b.   Pajak tanah dan penghasilan
Pada masa Dinasti Muwahhidun ada proyek pengukuran tanah wilayah dalam wilayah Afrika Barat, Afrika Utara dan Andalusia untuk menentukan dan menetapkan jumlah al-Kharaj, pajak buminya. Selain pajak tanah, juga hasil pertanian wilayah Maghribi.
c.    Pabrik senjata dan galangan kapal
Dinasti al-Muwahhidun memiliki galangan kapal sendiri di pantai Utara dan Barat yang menghasilkan ribuan kapal-kapal perang dengan persenjataan lengkap.
3.   Bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Abdul Mukmin yang merupakan seorang pemimpin yang memilki perhatian tinggi terhadap terhadap kemajuan intelektual. Ia memerintahkan para sarjana hukum (fuqaha al-amshar) untuk memurnikan kembali ajaran kitab-kitab fiqh yang sudah tersebar luas, dengan mengembalikan pada al-Qur’an dan Sunnah menurut madzhab al-Maliki.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran dan kehancuran Dinasti Muwahhidun ini, antara lain:
1.   Terjadinya beberapa kali kekalahan yang dialami Dinasti Muwahhidun terutama di daratan Spanyol, yang bermula dari kekalahan dalam pertempuaran di Las Navas de Tolosa (609 H/1212 M).
2.   Adanya perebutan kekuasaan dan lemahnya figur Khalifah.
3.   Adanya tumpang tindih kekuasaan
4.   Terjadinya berbagai pemberontakan baik di Andalusia maupun di Afrika Utara dan Barat.
5.   Meminta bantuan kepada Raja Kristen, yang memberikan syarat agar Dinasti Muwahhidun menyerahkan sepuluh kota benteng yang disukainya, mendirikan gereja di Maraskesy dan menolak orang kristen yang masuk Islam dan menyerahkan kembali pada jemaahnya, yang kemudian menjadi bumerang bagi Dinasti Muwahhidun.
6.   Perang Salib dan persekutuan gereja Eropa.[10]

E.      Dinasti Ayyubiyah (569-650 H/1174-1252 M)
Pusat pemerintahan Dinasti Ayyubiyah adalah Kairo, Mesir. Wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Mesir, Suriah dan Yaman. Dinasti Ayyubiyah didirikan Shalahuddin Yusuf al-Ayyubi, setelah menaklukkan kholifah terakhir Dinasti Fathimiyah, al-Adid. Shalahuddin Yusuf adalah tokoh dan pahlawan perang salib. Selain dikenal sebagai panglima perang, Shalahuddin juga mendorong kemajuan dibidang agama dan pendidikan. Berakhirnya masa pem ferintahan Ayyubiyah ditandai dengan meninggalnya Malik al-Asyraf Muzaffaruddin, sultan terakhir dan berkuasanya Dinasti Mamluk. Peninggalan Ayyubiyah adalah Benteng Qal’ah al-Jabal di Kairo, Mesir.

F.       Dinasti Delhi (602-962 H/1206-1555 M)
Dinasti Delhi terletak di India Utara. Dinasti Delhi mengalami lima kali pergantian kepemimpinan, yaitu Dinasti Mamluk, Dinasti Khalji, Dinasti Tuglug, Dinasti Sayid dan Dinasti Lody. Pada periode pertama, Delhi dipimpin Dinasti Mamluk selama 84 tahun. Mamluk merupakan keturunan Qutbuddin Aybak, seorang budak dari Turki. Dinasti Khalji dari Afghanistan memerintah selama 30 tahun. Dinasti Tuglug memerintah sampai 93 tahun, sedangkan Dinasti Sayid selama 37 tahun. Penguasa terakhir Delhi adalah Dinasti Lody yang memerintah selama 75 tahun. Peninggalan Dinasti Delhi antara lain adalah Masjid Kuwat al-Islam dan Qutub Minar yang berupa menara di Lalkot, Delhi (India).

G.     Dinasti Mamluk (648-923 H/1250-1517 M)
Dinasti Mamluk memiliki wilayah kekuasaan di Mesir dan Suriah. Dinasti Mamluk berasal dari golongan hamba yang dimiliki oleh para sultan dan amir, yang dididik secara militer oleh tuan mereka. Dinasti Mamluk yang memerintah di Mesir dibagi dua, yaitu Mamluk Bahri dan Mamluk Burji. Sultan pertama Dinasti Mamluk Bahri adalah Izzuddin Aibak. sultan Dinasti Mamluk Bahri yang terkenal antara lain adalah Qutuz, Baybars, Qalawun dan Nasir Muhammad bin Qalawun. Baybars adalah sultan Dinasti Mamluk Bahri yang berhasil membangun pemerintahan yang kuat dan berkuasa selama 17 tahun. Dinasti Mamluk Burji kemudian mengambil alih pemerintah dengan menggulingkan sultan Mamluk Bahri terakhir, as-Salih Hajji bin Sya’ban. Sultan pertama penguasa Dinasti Mamluk Burji adalah Barquq (784-801 H/1382-1399 M). Dinasti Mamluk Mesirmemeberikan sumbangan besar bagi sejarah Islam dengan mengalahkan kelompok Nasrani Eropa yang menyerang Syam (Syiria), selain itu Dinasti Mamluk Mesir berhasil memngalahkan Bangsa Mongol, merebut dan mengislamkan Kerajaan Nubia (Ethiopia), serta menguasai Pulau Cyprus dan Rhodes. Dinasti Mamluk Mesir berakhir setelah al-Asyras Tumam Bai, sultan terakhir dihukum gantung oleh pasukan Usmani Turki. Peninggalan Dinasti Mamluk antara lain berupa Masjid Rifai, Mausoleum Qalawun dan Masjid Sultan Hassan di Kairo.[11]


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Dinasti-dinasti lain di dunia Islam II meliputi: dinasti Buwaihi, dinasti  Murobbitun, dinasti Saljuk, dinasti Muwakhidun, dinasti Ayyubiyah, dan dinasti  Mamluk. Yang masing-masing dalam memerintah mempunyai keistimewaan. Juga memiliki masa kemajuan dan kemunduran yang berbeda. Yang mana telah dipaparkan dalam isi makalah.

















DAFTAR PUSTAKA
·        Munir Amin, Samsul. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
·       Fu’adi Imam. 2012. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Yogyakarta: Teras.
·       Fu’adi Imam. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras.







 PROFIL PEMAKALAH



Nama              : Nur Aida
Nim                 : 2014116057
Ttl                   : Pekalongan, 7 Januari 1997
Alamat                        : Tirto, Pekalongan





Nama              : Ida Nuryanti
Nim                 : 2014116064
Ttl                   : Semarang, 5 Maret 1998
Alamat                        : Tirto, Pekalongan
























[1] Drs. Samsul Munir Amin, M.A.,Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah,2010),hlm.277.
[2] Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.Ag,Sejarah Peradaban Islam,(Yogyakarta: Teras,2011),hlm.185-193.
[3] Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.Ag,Sejarah Peradaban Islam,(Yogyakarta: Teras,2011),hlm.193.
[4] Drs. Samsul Munir Amin, M.A.,Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah,2010),hlm.268-270.
[5] Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.Ag,Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,(Yogyakarta: Teras,2012),hlm.90-95.
[6] Drs. Samsul Munir Amin, M.A.,Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah,2010),hlm.270.
[7] Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.Ag,Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,(Yogyakarta: Teras,2012),hlm.95-97.
[8] Drs. Samsul Munir Amin, M.A.,Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah,2010),hlm.278.
[9] Drs. Samsul Munir Amin, M.A.,Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah,2010),hlm.270-274.
[10] Prof. Dr. Imam Fu’adi, M.Ag,Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,(Yogyakarta: Teras,2012),hlm.103-111.
[11] Drs. Samsul Munir Amin, M.A.,Sejarah Peradaban Islam,(Jakarta: Amzah,2010),hlm.278-280.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar