Laman

Rabu, 01 Maret 2017

tt2 c4d “PATUHI KEDUA ORANG TUA PASRAH KEPADA ALLAH” “QS. AşŞāffāt [037] ayat 100–102”

KEDUDUKAN ORANG TUA
“PATUHI KEDUA ORANG TUA PASRAH KEPADA ALLAH”
“QS. AşŞāffāt [037] ayat 100–102”
  

Ramadhan Maulana Hasbi
202 1115 087
 Kelas C

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)PEKALONGAN
2017


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia–Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW beserta keluarga, shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan para pengikutnya yang selalu setia kepada Al Qur’an dan As Sunnah sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan penulisan makalah ini bukan hanya karena usaha keras dari penulis sendiri, akan tetapi karena adanya dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin berterima kasih kepada :
1.   Bpk. Dr. H. Ade Dedi Rohayana, M.Ag., selaku Rektor IAIN Pekalongan
2.   Bpk. Dr. M. Sugeng Sholehuddin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Pekalongan
3.   Bpk. Dr. H. Salafudin, M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam
4.   Bpk. Muhammad Hufron, MSI, selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Tafsir Tarbawi II
5.   Orang tua (Bapak dan Ibu) yang sudah mendukung saya dalam mengikuti perkuliahan di IAIN Pekalongan
6.   Dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, penulis minta maaf kepada semua pihak yang merasa kurang berkenan. Namun demikian, penulis selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik. Kiranya makalah ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang membacanya. Terima kasih.
Pekalongan,        Maret 2017

Ramadhan Maulana Hasbi
202 1115 087


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Orang tua mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam mendidik karakter anaknya, hingga ridha Allah SWT adalah ridha orang tua juga. Sangat disayangkan bila orang tua membiarkan anaknya terombang–ambing dalam kehidupan yang sementara ini tanpa adanya pendidikan.
Orang tua yang mendidik anaknya dengan baik, maka anak akan menuruti semua perkataan orang tuanya dengan baik pula. Karena kasih sayang dan perhatian yang diberikan itu membuat mereka menuruti.
Mematuhi perintah orang tua merupakan satu tanda taat kita kepada Allah SWT diantara ketaatan yang lain. Namun mentaati orang tua jauh lebih tinggi daripada segalanya. Bila diibaratkan, dunia ini tidak ada apa–apa kalau tidak ada orang tua.
Nabi Ibrahim alayhissalaam telah mencontohkan bagaimana kedekatan dengan istri–istrinya serta anak–anaknya dan mendidik mereka agar selalu dekat kepada Allah SWT. Hal ini sangat diperlukan untuk menghasilkan pribadi yang shalih shalihah.
Pendidikan yang diberikan kepada anak–anaknya dapat mendorong anaknya untuk tetap dekat kepada orang tuanya, hal ini dicontohkan oleh puteranya Nabi Ismail alayhissalaam karena beliau sangat sabar dalam menerima cobaan dari Allah SWT.
Namun pointnya adalah membangun hubungan baik dengan Allah SWT itu merupakan satu indikator keberhasilan dari orang tua untuk mendidik agar anaknya menuruti perintah orang tua.

B.  Judul Makalah
Makalah ini bertemakan “Kedudukan Orang Tua”, sedangkan judulnya “Patuhi Kedua Orang Tua Pasrah Kepada Allah” dalam QS. AşŞāffāt [037] ayat 100–102
C.  Nash dan Terjemahan QS. Aş Şāffāt [037] ayat 100–102
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِيْنَ ١٠٠فَبَشِّرْ نٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ ١٠١فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْىَقَالَ يٰبُنَيَّ إِنِّىٓ اَرٰىفِى الْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَفَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىقَالَ يٰٓأَبَتِافْعَلْ مَاتُؤْمَرُۖسَتَجِدُنِىٓ إِنْ شَآءَ اللّٰهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ ١٠٢
100. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang Termasuk orang-orang yang saleh.
101. Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang Amat sabar[1283].
102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar".

[1283] Yang dimaksud ialah Nabi Ismail a.s.

D.  Arti Penting untuk dikaji
Setiap ayat perlu untuk dikaji agar bisa diimplementasikan dalam kehidupan serta membuat hidup ini terartur. Dalam QS. AşŞāffāt [037] ayat 100–102 ini penting untuk dikaji karena kesabaran seorang ayah untuk berdo’a kepada Allah SWT agar dikarunia seorang anak. Serta kerelaan seorang anak terhadap ayahnya dalam menuruti kemauannya dalam hal ibadah. Ini perlu dicontoh dan dikaji, agar semakin mendekat kepada Allah SWT.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Teori Patuhi Orang Tua Pasrah pada Allah
Untai do’a diatas, berisi permohonan kepada Allah SWT agar kita dikaruniai seorang anak atau keturunan yang shalih dan baik. Doa yang pertama pernah dihaturkan oleh Nabi Ibrahim alayhissalaam, yang lantas dikaruniai seorang anak yang shalih bernama Ismail.
Untuk itu, kepada siapapun yang ingin mempunyai anak maka sewajarnya jika mengamalkan do’a tersebut. Selain secara khusus mohon dikaruniai seorang anak, do’a diatas juga berisi permohonan agar anak yang dikaruniakan kepada kita merupakan anak yang shalih dan baik.[1]
Patuh mempunyai arti taat atau tunduk terhadap ketentuan atau aturan yang berlaku. Sedangkan patuhi adalah aktivitas menuruti terhadap suatu ketentuan atau aturan yang diperintahkan. Orang tua adalah ayah dan ibu, orang yang dianggap tua, orang–orang yang dihormati. Orang tua yang dimaksudkan dalam makalah ini lebih kepada orang tua yang melahirkan (ibu) dan membesarkan (ibu dan ayah).
Pasrah dalam hal ini adalah tawakkal. Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hakikat tawakkal adalah hati benar–benar bergantung kepada Allah dalam rangka memperoleh mashlahat (hal–hal yang baik) dan menolak mudhorot (hal–hal yang buruk) dari urusan–urusan dunia dan akhirat.”
Tawakkal harus dibangun diatas dua hal pokok yaitu bersandarnya hati kepada Allah dan mengupayakan sebab yang halal. Tawakkal bukanlah pasrah tanpa usaha, namun harus disertai ikhtiyar atau usaha. Rasulullah SAW telah memberikan contoh tawakkal yang disertai usaha yang memperjelas bahwa tawakkal tidak lepas dari ikhtiyar dan penyandaran diri kepada Allah.[2]
Jadi pengertian patuhi orang tua pasrah pada Allah adalah aktivitas dalam rangka mentaati perintah orang tua sebagai ikhtiyar untuk mendapatkan keridhaan Allah melalui orang tua.

B.  Tafsir QS. Aş Şāffāt [037] ayat 100–102
1.   Tafsir Al Azhar
“Ya Tuhanku! Karunialah aku dari keturunan yang baik–baik.” (ayat 100). Dia mengharapkan agar Allah memberinya keturunan. Karena sudah lama dia nikah, namun anak belum juga ada. Bertahun–tahun lamanya dia menunggu putera, tidak juga dapat. Ternyata kemudian bahwa isterinya yang bernama Sarah itu mandul.
Dengan persetujuan anjuran isterinya Sarah itu, dia nikah lagi dengan Hajar, dayang dari Sarah, karena mengharapkan anak, ketika menikahi Hajar barulah permohonan itu terkabul. Hajar melahirkan anak laki–laki yang beliau beri nama Ismail. Inilah yang dilukiskan dalam ayat berikutnya.
“Maka Kami gembirakan dia dengan seorang anak yang sangat penyabar.” (ayat 101). Dapatlah kita bayangkan betapa hebatnya Ibrahim menghadapi hidup. Setelah mengembara berpuluh tahun meninggalkan kampung halaman, hijrah, barulah setelah itu menjadi tua diberik kegembiraan oleh Tuhan beroleh putera laki–laki. Disebut di ujung ayat sifat anak itu, yaitu HALIIM, yang dapat diartikan sangat penyabar.
“Berkatalah dia; “Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwasannya aku menyembelih engkau. Maka fikirkanlah, apa pendapatmu!” Dengan kata–kata yang halus mendalam, si ayah berkata kepada anaknya. Dalam pertanyaan ini Tuhan telah membayangkan kepada kita bagaimana seorang manusia yang terjadi dari darah daging, sebab itu merasa juga sedih dan rawan, tetapi sedikit juga ragu atau bimbang bahwa dia adalah Nabi. Disuruh anaknya memikirkan mimpinya itu dan kemudian diharapnya anaknya menyatakan pendapat.
“Berkata dia – yaitu Ismail – ; “Ya ayahku! Perbuatlah apa yang diperintahkan kepada engkau. Akan engkau dapati aku InysaAllah termasuk orang yang sabar” (ayat 102). Alangkah mengharukan jawaban si anak. Benar–benar terkabul doa ayahnya yang memohon diberi keturunan yang shalih. Benar–benar tepat apa yang dikatakan Tuhan tentang dirinya, yaitu seorang anak yang sangat penyabar. Dia percaya bahwa mimpi ayahnya adalah wahyu dari Allah, bukan mimpi sembarangan mimpi. Sebab itu dianjukan ayahnya melaksanakan apa yang diperintahkan.[3]

2.   Tafsir Ibnu Katsir
رَبِّ هَبْ لِيمِنَ الصَّالِحِيْنَ ١٠٠
“Yaa Rabb–ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang–orang yang shalih”
Yakni anak–anak yang taat, yang menjadi pengganti kaum dan keluarga yang dia tinggalkan.
فَبَشِّرْ نٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ ١٠١
“Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar”
Ia adalah Isma’il alayhissalaam. Dia adalah anak pertama yang dengannya Ibrahim alayhissalaamdiberi kabar gembira, dan ia lebih tua atau lebih besar dari Ishaq alayhissalaam, menurut kesepakatan kaum Muslimin dan Ahli Kitab.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْىَقَالَ يٰبُنَيَّ إِنِّىٓ اَرٰىفِى الْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَفَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىقَالَ يٰٓأَبَتِافْعَلْ مَاتُؤْمَرُۖسَتَجِدُنِىٓ إِنْ شَآءَ اللّٰهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ ١٠٢
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur yang sanggup) berusaha bersama–sama Ibrahim, Ibrahim berkata; ‘Hai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, maka fikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab; ‘Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang–orang yang sabar’.”
Sekelompok ulama berpendapat bahwa anak yang disembelih adalah Ishaq. Hal itu juga dikisahkan dari sekelompok ulama Salaf, bahkan ada nukilan dari sebagian sahabat radhiyallahu anhum. Tetapi itu tidak terdapat di dalam al Qur’an maupun as Sunnah. Dan saya kira hal itu tidak diperoleh melainkan dari para tokoh Ahlul Kitab, dan diambil begitu saja tanpa dalil sama sekali.
Dan inilah Kitab Allah yang menjadi saksi dan petunjuk, bahwa anak yang disembelih oleh Ibrahim alayhissalam itu adalah Ismail alayhissalam, yaitu puteranya. Sebab Kitab ini menyampaikan kabar gembira dengan kedatangan seorang anak yang sabar. Dan al Qur’an juga menyebutkan bahwa anak itulah yang disembelih.[4]

3.   Tafsir Jalalain
رَبِّ هَبْ لِي                   (Ya tuhanku, anugerahkanlah kepadaku) seorang anak
مِنَ الصَّالِحِيْنَ ١٠٠          (Seorang anak yang termasuk orang-orang yang saleh)
فَبَشِّرْ نٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ ١٠١
(Seorang anak yang termasuk orang-orang yang saleh) yakni yang banyak memiliki kesabaran
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْىَ
(Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim) yaitu telah mencapai usia sehingga dapat membantuknya bekerja; menurut suatu pendapat umur anak itu telah mencapai tujuh tahun. Menurut pendapat yang lain, pada saat itu anak Nabi Ibrahim berusia tiga belas tahun
قَالَ يٰبُنَيَّ إِنِّىٓ اَرٰى
(Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat) maksudnya telah melihat
فِى الْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ
(Aku dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu!) Mimpi para nabi adalah mimpi yang benar, dan semua pekerjaan mereka berdasarkan perintah dari Allah SWT
فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰى
(Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”) Tentang impianku itu; Nabi Ibrahim bermusyawarah dengannya supaya iya menurut, mau disembelih, dan taat kepada perintah-Nya
قَالَ يٰٓأَبَتِ
(Ia menjawab: “ Hai bapakku) huruf ta pada lafad abati ini merupakan pergantian dari ya idafah
افْعَلْ مَاتُؤْمَرُۖ
(kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu) untuk melakukannya
سَتَجِدُنِىٓ إِنْ شَآءَ اللّٰهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ ١٠٢
(Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”) menghadapi hal tersebut [5]

C.  Aplikasi dalam Kehidupan
Bagi Allah SWT mudah untuk memberikan anak kepada seseorang yang sudah berkeluarga, namun point nya adalah Allah SWT ingin menguji hamba–Nya sejauh mana dia berusaha untuk tetap bersama Allah SWT.
Ikhtiyar untuk memperoleh buah hati harus dijalankan oleh setiap keluarga, orang tua tetap terus berdoa kepada Allah SWT untuk memberikan anak yang shalih disamping melakukan aktivitas yang menjadikan dirinya shalih. Dan ketika diberi anak shalih maka didiklah anak tersebut agar tetap dekat dengan Allah SWT dan orang tua, agar ketika dewasa hidupnya akan bergantung dengan persetujuan orang tua.
Hal ini perlu diaplikasikan karena mengingat pendidikan kesabaran dan kerelaan dari kedua hamba Allah SWT itu perlu dijadikan renungan dan teladan bagi kita semua, supaya kita bisa menjadi orang yang sabar dan ridha.

D.  Aspek Tarbawi
Nilai pendidikan yang dapat diambil dalam QS. AşŞāffāt [037] ayat 100–102 antara lain :
1.   Berdo’a kepada Allah SWT
2.   Memohon kepada Allah SWT supaya diberikan anak yang shalih
3.   Bersabar dalam menjalani kehidupan
4.   Ikhlas dan ridha terhadap apa yang disuruh oleh Allah SWT
5.   Patuhi perintah orang tua selama tidak bertentangan dengan syariat




BAB III
PENUTUP

Simpulan

Mematuhi orang tua adalah satu ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan begitu ridha Allah SWT mudah tercurahkan kepada hamba–Nya. Melalui pendidikan yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim alayhissalaam dan puteranya Nabi Ismail alayhissalaam bisa kita terapkan dalam kehidupan.

Menjadi orang yang bersabar memang membutuhkan proses yang tidak langsung, melainkan dengan suatu proses yang lama, dengan proses yang lama itu bisa membentuk karakter yang berkepribadian penyabar.

Orang tua yang merupakan pendidik pertama dalam peranannya mendidik anaknya harus terus memberikan pendidikan kepada anaknya, agar anaknya dekat dengan Allah SWT dan orang tuanya.

Selain melakukan pendidikan, orang tua dianjurkan untuk terus berdo’a kepada Allah SWT untuk kebaikan anak–anaknya serta bersabar dalam berdo’a. Untuk itu apapun hasilnya, itulah pemberiaan dari Allah SWT yang harus disyukuri dan diridhai, karena Allah SWT memberikan apa yang kita butuhkan.



DAFTAR PUSTAKA

al_Qur’ān dan terjemahan

al_Sheikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq. 2003. Lubaabut Tafsiir min Ibnu Katsiir (Tafsir Ibnu Katsir) Juz 7, penj. Tim Abdul Ghoffar. Bogor: Pustaka Imam Asy Syafi’i

asy_Syuyuthi, Jalaluddin dan Jalaludin Muhammad ibn Ahmad al_Mahalliy. 2009. Tafsir Jalalain berikut Asbābun Nuzūl Ayat Surat al_Kaĥfi s.d. an_Nās Jilid II. penj,. Bahrun Abubakar. Bandung: Sinar Baru Algensido

Hamka. 2005. Tafsir al Azhar Juz XXIII. Jakarta: Pustaka Panjimas




DATA DIRI MAHASISWA






A.  Data Diri
Nama Lengkap                    : Ramadhan Maulana Hasbi
Tempat, Tanggal Lahir       : Tegal, 19 Februari 1996
Agama                                 : Islām
Jenis Kelamin                      : Laki–Laki
Kebangsaan                         : Indonesia
Status                                   : Belum Menikah
Alamat                                 : Jl. Kramat, Kedungrejo Rt. 06 Rw. 05
Kecamatan Batang, Kabupaten Batang
No Hp                                  : +62 857 8669 6013
Email / Facebook                : ramadhanmaulanahasbi96@gmail.com

B.  Riwayat Pendidikan
SD/MI/Sederajat                 : SD Negeri 8 Proyonanggan, Batang   2002 – 2009
SMP/MTs/Sederajat            : SMP Negeri 6 Batang                         2009 – 2012
SMK/SMA/MA/Sederajat  : SMK Bhakti Praja Batang                  2012 – 2015
Perguruan Tinggi                : STAIN/IAIN Pekalongan             2015 – sekarang

C.  Pengalaman Organisasi
OSIS                                    : SMP Negeri 6 Batang                         2010 – 2011
PMR                                    : SMK Bhakti Praja Batang                  2013 – 2014
PMI                                      : Relawan PMI Kabupaten Batang 2013 – sekarang




[1]     M. Arief Hakim, Doa-Doa Terpilih: Munajat Hamba Allah dalam Suka dan Duka, (Bandung: Marja’, 2004), hlm. 133–134
[3]     Hamka, Tafsir al Azhar Juz XXIII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), hlm. 141–144
[4]     Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq al Sheikh, Lubaabut Tafsiir min Ibnu Katsiir (Tafsir Ibnu Katsir) Juz 7, penj. Tim Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Asy Syafi’i, 2003) hlm. 27
[5]  Jalaludin Muhammad ibn Ahmad al_Mahalliy dan Jalaluddin asy_Syuyuthi, Tafsir Jalalain berikut Asbābun Nuzūl Ayat Surat al_Kaĥfi s.d. an_Nās Jilid II. penj,. Bahrun Abubakar, (Bandung: Sinar Baru Algensido, 2009) hlm. 631

Tidak ada komentar:

Posting Komentar