Laman

Jumat, 22 September 2017

TT1 L 4-d HIKMAH DAN ILMU KESEMPURNAAN AKAL (Q.S. AL-QASHAS 28:14)



HIKMAH DAN ILMU KESEMPURNAAN AKAL
(Q.S. AL-QASHAS 28:14)


Navana Dewi :2021216004


JURUSAN TARBIYAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) PEKAL PEKALONGAN
2017


KATA PENGANTAR

Segala puji kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “hikmah ilmu dan kesempurnaan akal” guna menyelesaikan tugas mata kuliah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dengan adanya penyusunan makalah seperti ini, dapat menambah pengetahuan kita. Semoga segala yang telah kita kerjakan merupakan bimbingan yang lurus dari Yang Maha Kuasa.
Dalam penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan penyempurnaan tugas ini dan untuk pelajaran bagi kita semua dalam pembuatan tugas-tugas yang lain di masa mendatang. Semoga dengan adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan kita dan kemajuan ilmu pengetahuan.


 





BAB I
PENDAHULUAN
a.       Tema
Kedudukan ahli ilmu
b.      Sub tema
Hikmah dan ilmu kesempurnaan akal (Q.S. Al-Qashas 28:14)
c.       Mengapa penting dibahas
Sub tema ini penting dibahas agar  manusia bersyukur atas anugerah akal yang diberikan oleh Allah yang menjadikan derajat manusia lebih tinggi. Sehingga  hendaknya dalam berperilaku harus disertai dengan akal sehat karena manusia merupakam khalifah dibumi yang wajib membangun dan menjaga bumi. Dengan akalnya manusia harus memanfaatkan untuk berfikir bagaimana cara membangun dan memperbaiki bumi.
Akal juga berperan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia karena pentingnya akal tersebut, maka manusia harus menjaga akalnya dengan senantiasa berfikir positif, mentauhidkan Allah SWT, mengagungkan Rasulullah SAW senantiasa memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah menjalankan syariat Islam dengan baik dan mengamalkan hukum-hukum Islam.
Akal merupakan anugrah dari Allah SWT untuk manusia yang memiliki fungsi dan manfaat luar biasa. Dengan akal membuat manusia berbeda dengan makhluk ciptaan Allah yang  lainnya, dan menjadikan manusia dapat berfikir dan mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk. Serta untuk mengontrol tindakannya.
Fungsi akal ini adalah agar manusia  dapat berfikir bagaimana upaya membangun bumi, menjaga, dan melestarikan ciptaan-Nya. Akal manusia juga dapat digunakan untuk berfikir tentang syariat Islam sehingga menjadi insan yang senantiasa mau belajar dan menjalankan syariat Islam dengan baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Qs. Al Qashas (28) : 14
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٤)

“Dan setelah Musa cukup umur dan Sempurna akalnya, kami berikan ke- padanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
B.     Mufrodat
hikmah
$VJõ3ãm
dewasanya
xçxçn£ä©r&
Orang yang berbuat baik
tûüÏZÅ¡ósßJø9$#
ilmu
$VJù=Ïã
C.     Tafsir dan Penjelasan Qs. Al Qashas (28) : 14
1.      Tafsir Al-Mishbah
Ayat tersebut menegaskan bahwa: dan setelah dia mencapai kemapanan umurnya  dan sempurna jasmani dan ruhaninya, kami anugrahkan kepadanya hikmah, yakni kenabian atau kearifan, atau amal ilmiah dan pengetahuan yakni ilmu ilmiah.
Kata xçn£ä©r&asyuddanu terambil dari kata al-asyudd oleh sementara pakar dinilai sebagai bentuk jamak dari katasyiddah/keras atau syudd. Kata tersebut dipahami dalam arti kesempurnaan kekuatan. Berbeda pendapat ulama tentang usia kesempurnaan manusia. Ada yang menyatakan 20 tahun, tetapi kebanyakan menilai dimulai dari usia 33 tahun atau 35 tahun. Thabathaba’i ketika menafsirkan QS. Yusuf [12]:22: memahaminya dalam arti usia muda tnpa menentukan tahun sampai dengan usia 40 tahun. Tetapi  ulama itu ketika menafsirkan ayat ini menyatakan bahwa pada galibnya kesempurnaan itu terjadi sekitar usia 18 tahun.
Kata ini ada yang memahaminya berfungsi sebagai menguatkan kata asyuddahu tetapi pendapat yang lebih tepat adalah  usia puncak kesempurnaan akal. Dalam QS. Al-ahqaf [46]:15 dinyatakan bahwa sehingga apabila dia telah mencapai asyuddahu dan mencapai empat puluh tahun. Ini mengesankan bahwa ada awal kesempurrnaan dan ada akhirnya. Kita dapat berkata bahwa awalnya sekitar dua puluhan dan puncaknya empat puluh tahun. Sesudah itu kekuatan sedikit demi sedikit menurun dan menurun.
Thabathaba’i memahaminya kata $VJõ3ãm hukuman dalam arti ketepatan pandangan menyangkut substansi satu persoalan dan kebenaran penetapannya. Dan ini pada akhirnya berarti keputusan yang benar menyangkut baik buruknya satu pekerjaan serta penerapan keputusan itu.
Kata ûüÏZÅ¡ósßJø9$#al-muhsininjamak dari kata  al-muhsin. Kata  ihsan menurut al harrali sebagaimana kutipan al-biqa’i, adalah puncak kebaikan amal perbuatan.
Ar-Raghib al-Asfahani berpendapat bahwa kata ihsan digunakan untuk dua hal. Pertama, memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua perbuatan baik. Karena itu, kata tersebut lebih luas dari sekadar “memberi nikmat atau nafkah”. maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam dari kandungan makna kata Adil[1]
2.      Tafsir Al-Maraghi
Dalam ayat-ayat terdahulu Allah menceritakan bahwa Dia telah melimpahkan  nikmat-Nya kepada Musa diwaktu kecil,

وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَاسْتَوَى آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (١٤)
            Setelah tubuhnya kuat dan akalnya sempurna, maka kami memberinya pemahaman agama dan pengetahuan tentang syari’at. Hal ini ditegaskan oleh Allah didalam firman-Nya yang lain.
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.”
Sebagaimana kami telah  memberi balasan kepada Musa atas ketaatannya kepada Kami dan memberinya kebaikan atas kesabarannya terhadap perintah Kami, maka demikian pula Kami membalas setiap hamba yang berbuat kebajikan, mentaati perintah dan menjauhi larangan Kami.[2]
3.      Tafsir Al-Azhar
“Dan setelah cukupp umurnya dan dewasa, Kami berikanlah kepadanya Hukum dan Ilmu.” (pangkal ayat 14). Telah dapat dikira-kirakan bahwa kurang lebih 30 tahun dia menjadi “anak angkat” fir’aundari kecil dibesarkan dalam istana fir’aun. Tetapi sejak kecil itu pula ibunya telah terbiasakan membawanya pulang dari istana, bahkan dia diasuh dan dibimbing dirumah ibunya sendiri  dan disaat-saat  yang perlu dibawa keistana. Dengan demikian maka keluarga Imran, yaituu nama ayah Musa telah pula mendapat keuntungan dari hubungan anaknya dengan istana. Abangnya Harun pun telah mendapatkan pekerjaan yang layak  di istana dan leluasa masuk istana. Keluarga Musa sebagai keluarga Bani Israel golongan yang tertindas dan dipandang hina, karena Musa jadi “anak angkat” telah mendapat hak istimewa yang tidak didapat oleh Bani Israel yang lain. Keadaan ini pernah diuraikan oleh Musa dihadapan  Fir’aun.
Lantara itu, meskipun dia dianggap sebagai “orang istana”, dia tidak terpisah dari kaumnya. Dia mengetahui apa yang dialami oleh kaumnya.  Dia mengetahui apa yang dialami oleh kaumnya. Dia telah selalu melihat ketidak adilan yang dilakukan oleh fir’aun dan segala kaki-tangannya teradap kaumnya. Sebab itu maka pengalaman-pengalaman yang pahit, yang dilihat yang didengar  menambah pengetahuan mana yang adil dan mana yang zalim,keadaan yang disaksikan tiap hari  juga menambah matang pribadi Musa, menambah dia cerdik dan pandai. Allah telah memberinya anugrah Hukum dan Ilmu. Sebab dalam istana niscaya dia diajar sebagai anak-anak bangsawan dan dalam masyarakat diajar ileh pengalaman pengalaman dan melihat kepincangan-kepincangan yang  berlaku terhadap rakyat yang lemah. “Dan demikianlah kami mengajari orang-orang yang berbuat baik”.[3]
4.      Tafsir ibnu katsier
Ayat ini mengisahkan peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa a.s sebelum ia diutus sebagai seorang Rasul, dimana ia setelah cukup umur dan sempurna akalnya, Allah memberikan hikmah dan pengetahuan, diceritakan peristiwa yang dialaminya yang mengantar ketingkat yang ditakdirkan Allah baginya, yaitu tingkat kenabian dan kesempatan bermunajat langsung kepadanya.[4]
D.    Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari
Dalam ayat al-Qur’an menganjurkan agar manusia menggunakan akal pikirannya untuk mencapai hasil yang dicita-citakan. Inilah  iklim baru yang dibentuk oleh al-Qur’an dalam rangka mengembangkan akal pikiran manusia serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.[5]
Qs. Al-Qashash , menunjukkan bahwa Allah SWT membuktikan kebenaran janji-janjinya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kisah Nabi musa yang di hanyutkan di sungai untuk menghindari dibunuhnya oleh Fir’aun, namun pada akhirnya ditemukan oleh Fir’aun dan diangkat menjadi anak. sebenarnya banyak indikator yang menunjukkan bahwa itu adalah bayi dari Bani Isra’il , selain itu juga telah dapat dikira kirakan bahwa kurang lebih 30 tahun dia ( Nabi Musa AS) menjadi anak angkat fir’aun, dari kecil dibesarkan dalam istana fir’aun.
Tetapi sejak kecil itu pula ibunya telah membiasakan membawanya pulang dari istana, bahkan dia diasuh , dibimbing di rumah ibunya sendiri dan di saat-saat yang perlu dibawa ke istana. Petunjuk-petunjuk itu tidak disadari oleh fir’aun dan semua stafnya. Dan ini membuktikan bahwa Allah melakukan apa yang di kehendakinya tanpa disadari oleh Fir’aun[6]
Dari kisah diatas kita dapat menerapkan atau mengaplikasikan Qs.Al-Qashash ayat 14 dengan cara sebagai berikut :
1.                  Senantiasa beriman kepada Allah , dan mempercayai segala firman-Nya
2.                  Senantiasa percaya bahwa Allah mampu mewujudkan apa yang tidak mungkin menurut manusia
3.                  Senantiasa menjadi seseorang yang baik dan sesuai dengan syari’at kerena semua itu akan ada balasannya.
4.                  Senantiasa berusaha dan tawakkal terhadap apa saja yang terjadi di dalam hidup kita.
5.                  Kita sebagai manusia hendaknya selalu menggunakan akal kita untuk menjawab semua masalah kehidupan yang ada.
E.     Aspek Tarbawi
a.       Allah SWT akan selalu menepati janjinya
Hal ini dibuktikan melalui QS Al-Qashash ayat 14 bahwa Allah Swt turun tangan untuk membuktikan kebanaran janjinya. kendati sekian banyak indikator yang menunjukkan bahwa bayi yang dibuang di sungai adalah bayi dari bani Israil yang sangat dibenci oleh raja Firaun tetapi masih saja bayi itu diselamatkan dan diasuh dalam istana raja Fir’aun tanpa ada yang menyadari bahwa itu adalah bayi keturunan bani Israil
b.      Allah Swt akan memberikan ganjaran bagi orang-orang yang berbuat baik.
Hal ini dibuktikan dari ibu nabi Musa yang selalu taat kepada Allah bertakwa kepada Allah dan selalu berbuat baik, maka Aallah membalasnya dengan mengembalikan Musa kepada ibunya setelah Musa dewasa dan diangkat menjadi seorang Nabi dan Rasul
c.       Selalu bertawakkal kepada Allah
Ketidakberdayaan, kehati-hatian menghadapi ketetapan Allah SWT dengan tetap berusaha dan menyerahkan semuanya kepada Allah.



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian penafsiran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa QS, Al-Qashash berisi mengenai kisah Nabi Musa As dari beliau lahir sampai dengan diangkatnya menjadi rasul. Qs.Alqashash ayat 14 ini menerangkan bahwa Allah menganugerahkan kepada manusia akal yang sempurna ketika seseorang tersebut telah menginjak usia sekitar asyuddu sekitar 20 – 40 tahun, dalam usia tersebut manusia telah mampu berfikir mana yang baik dan mana yang buruk.
Selain itu Allah juga akan memberikan balasan kepada orang-orang yang telah berbuat baik sesuai dengan syari’at agama islam. dan perintah untuk percaya kepada janji-janji Allah serta selalu bertawakkal kepada-Nya



















DAFTAR PUSTAKA
Shihab. M. Quraish. 2002.Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentara Hati.

Al-Mraghi. Ahmad  Mustaf. 1993. Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT karya Toha
Putra.

Prof. Dr. Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar.Jakarta: Pustaka Panjimas.

H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy. 1990. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu
Katsier. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Dr. Munir. Ahmad. 2007.Tafsir Tarbawi. Yogyakarta: Teras,



[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, ( Jakarta: Lentara Hati, 2002), hlm 317-318.
[2] Ahmad Mustafa Al-Mraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT karya Toha Putra, 1993),hlm 78
[3] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm 61
[4]H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1990), hlm 147
[5] Dr. Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi, (Yogyakarta: Teras,2007 ) hlm 69
[6]Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhaar, ( Jakarta : PT pustaka Panjimas,1982) hlm. 61





Tidak ada komentar:

Posting Komentar