Laman

Jumat, 26 Oktober 2018

TT E H4 SUBYEK PENDIDIKAN MAJAZI “NABI KHIDHIR GURU NABI MUSA”


SUBYEK PENDIDIKAN MAJAZI
“NABI KHIDHIR GURU NABI MUSA” 
Q.S. AL- KAHFI, 18: 66
Umi Ulfatunnafisah
NIM. (2117292)
Kelas: E

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2018


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Subjek Pendidikan Majazi (Nabi Khidir guru Nabi Musa) Q.S. Al-Kahfi/18: 66”. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sahabatnya, keluarganya, serta segala umat-Nya hingga yaumil akhir.
Makalah ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan yang membahas tentang masalah yang menjadi pokok bahasan. Makalah ini disajikan sebagai bahan materi dalam diskusi mata kuliah Tafsir Tarbawi.
Terimakasih kepada Bapak Muhammad Hufron selaku dosen mata kuliah yang telah membimbing kami dalam Tholabul ilmi, yang senantiasa kami nanti-nantikan petuah-petuahnya.
Penulis telah berupaya menyajikan makalah ini dengan sebaik-baiknya, meskipun tidak komprehensif. Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna, penulis sudah berusaha dan mencoba mengembangkan dari beberapa referensi mengenai materi tersebut. Apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya, maka penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata, semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Amin Yaa Robbal ‘Alamin.
                                                      Pekalongan, 25 oktober 2018
       Penulis







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu menjadi sarana bagi setiap manusia untuk memperoleh kesejahteraan dunia maupun akhirat, maka mencari ilmu hukumnya wajib. Mengkaji ilmu itu merupakan pekerjaan mulia, karenanya banyak orang yang keluar dari rumahnya untuk mencari ilmu dengan didasari iman kepada Allah SWT. Maka semua yang ada di bumi mendoakannya. Karena mencari ilmu itu pekerjaan yang memerlukan perjuangan fisik dan akal, maka nabi pernah bersabda bahwa orang yang keluar untuk mencari ilmu akan mendapatkan pertolongan dari Allah, karena Allah suka menolong orang yang mau bersusah payah dalam menjalankan kewajiban agama.
Dalam sebuah pembelajaran hubungan guru dan murid menempati suatu hal yang sangat penting, perlu membentuk lingkungan yang didasari dengan keharmonisan antara guru dan murid, demi tercapainya tujuan belajar mengajar dengan baik, karena pendidikan adalah masalah pribadi yang perlu diperhatikan dan harus menjalin hubungan antara keduanya, begitu juga seorang murid harus mempunyai waktu yang cukup untuk mengambil faedah pengetahuan dan sifat-sifat terpuji dari guru. Oleh karena itu, hubungan guru dan murid memberikan kemaslahatan, tidak hanya untuk guru dan murid tersebut tetapi juga bagi makhluk yang ada di bumi ini untuk bekal di dunia dan di akhirat kelak.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa dalil yang menceritakan kisah Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir?
2.      Bagaimana kisah Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir?
3.      Bagaimana hubungan guru dan murid sebagai partner keilmuan dan kemaslahatan?
4.      Apa saja nilai yang daat diambil dari kisah Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui dalil yang menceritakan kisah Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir
2.      Untuk mengetahui kisah Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir
3.      Untuk mengetahui hubungan guru dan murid sebagai partner keilmuan dan kemaslahatan
4.      Untuk mengetahui nilai-nilai yang daat diambil dari kisah Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ayat dan Arti
قَالَ لَهُ مُوْسَى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلَى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Artinya:
    Musa berkata kepada Khidir: “ Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? ”. (QS. Al-Kahfi/18: 66)

B.     Kisah Nabi Musa Pergi Berguru
Maka tersebutlah dalam sebuah hadist yang dirawikan oleh Bukhari diterima dari Sa’id bin jubair, dia menerima dari Ibnu Abbas dengan sanadnya, bahwa suatu hari berpidatolah Nabi Musa dan bertanya: “ Siapakah manusia yang paling pandai ?”. Beliau menjawab: “Aku”.
Perkataan beliau yang terlanjur itu, kalau bagi manusia biasa adalah suatu kekhilafan, namun bagi seorang rasul adalah satu hal yang sudah pasti akan mendapat teguran dari Allah. Lalu Allah berfirman kepadanya, bahwa bukanlah dia yang paling pandai di zaman itu. Ada lagi orang yang lebih pandai, lebih ‘alim dari dia. Orang itu berdiam disatu tempat dipertemuan antara dua lautan. “pergilah engkau menemui dia!”. Lalu nabi Musa bertanya kepada tuhan:  “ya tuhanku, bagaimana caranya aku dapat menemui orang itu?” maka setelah itu Allah menitahkan kepada beliau supaya berangkat ke tempat pertemuan dua laut itu dan bawalah makanan karena perjalanan jauh. Diantara makanan itu hendaklah dibawa juga ikan. Letakkan makanan itu dalam satu jinjingan yang muda dibawa. Di tempat mana saja dia kehilangan ikan, dan disitulah Khidir berada. [1]
 Maka dilaksanakanlah oleh nabi Musa perintah Allah mencari guru itu. Dia berjalan meninggalkan kampung dan diiringi oleh seorang pemuda yang selalu menjadi pengawal kemanapun dia pergi. Menurut satu riwayat Bukhari dari Abu Sufyan bin Uyaynah pemuda itu ialah pengiring Musa yang terkenal, muridnya yang kelak kemudian akan meneruskan tugas beliau yaitu Yusya’ bin Nun.[2]  Dan setelah itu, berjalanlah nabi Musa bersama Yusya’ bin Nun. Sehingga, ketika mereka sampai pada sebuah batu besar, dan tidurlah mereka disana, sementara ikan itu bergerak-gerak lalu jatuh ke laut. Maka, ikan itu menempuh perjalanan di laut sebagai jalannya. Maksudnya, air  mengalir membentuk sebuah lengkungan di atas ikan itu, dan ikan itu pun lari.
Dan setelah Musa bangun dari tidurnya, pengawalnya itu memberitahu kepadanya tentang ikan itu, dan mereka berdua pun berangkat menghabiskan siang sampai malamnya. Besoknya, Musa meminta makan, karena dia keletihan. Peristiwa itu terjadi justru setelah ia melampaui tempat yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Maka berkatalah pengawal itu: “sesungguhnya kau lupa akan ikan itu”. Lalu, pengawalnya menceritakan pengalamannya di batu besar itu, lalu mereka berdua kembali lagi mengikuti jejak mereka yang telah dilalui, sehingga mereka sampai ke batu besar tadi. Dan di sanalah mereka bertemu dengan seorang lelaki yang berpakaian serba putih.
Khidir adalah julukan guru Nabi Musa yang bernama Balya bin Malkan. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa Balya adalah seorang nabi. Dan untuk itu mereka mempunyai dalil, yaitu:
a.       Firman Allah Ta’ala
اتَيْنهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا                                                                                             
Yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami (QS. Al-Kahfi: 65).
Rahmat disini yang dimaksud ialah kenabian, berdasarkan firman Allah ta’ala:
اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَ                                                                                   
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat (Nubuwwah) tuhanmu. (QS. Az-Zukhruf, 43: 32).
b.      Firman Allah Ta’ala:
وَعَلَّمْنهُ مِنْ لَّدُ نَّا عِلْمًا                                                                                             
Dan yang telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami (QS. Al-Kahfi:65)
Dengan pertanyaan ini, berarti Allah telah mengajarkan kepada Al-Khidir tanpa perantara seorang guru dan tanpa bimbingan dari seorang pembimbing. Padahal, siapa pun yang seperti itu halnya, maka dialah seorang nabi.
c.       Musa berkata kepadanya:
هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلَى اَنْ تُعَلِّمَنِ
Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu (QS. Al-Kahfi: 66).
Sedangkan seorang nabi takkan belajar kecuali dari seorang nabi pula.
d.      Al-Khidir sendiri berkata:
وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ اَمْرِيْ
Dan bukankah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri (QS. Al-Kahfi:82)
Maksudnya, bahwa aku telah melakukannya berdasarkan wahyu dari Allah. Dan ini membuktikan bahwa dia adalah seorang nabi.[3]


Letak pertemuan dua laut/ Majma’ul-bahrain: ialah tempat pertemuan antara dua laut, lalu menjadi satu laut. Mengenai ini, ada dua pendapat:
a.       Bahwa yang dimaksud ialah tempat pertemuan antara laut Persi dan laut dan Romawi (tempat pertemuan antara samudra Indonesia dan laut Merah di Babil-Mandib).
b.      Bahwa yang dimaksud adalah tempat pertemuan antara laut Romawi dan samudra Atlantik di Tanjah demikian kata Muhammad bin Ka’ab Al-Qurahi (laut Tengah dan lautan Atlantik di selat Jabal Tariq di depan Tanjah).[4]
C.    Guru dan Murid Partner Keilmuan dan Kemaslahatan
Guru adalah Mursyid, Pembimbing. Guru bertugas untuk membimbing, mensupervisi, dan menjadi konsultan dalam meniti jalan mencapai ilmu mengenai kebenaran yang hakiki.
Dalam kitab ta’lim al-muta’allim karangan Burhanudin al-Zarnuji, menyatakan dalam syairnya beliau berkata: “ engkau tidak akan mencapai ilmu itu kecuali dengan enam hal, aku akan jelaskan kepadamu garis besarnya: cedas, sungguh-sungguh, sabar, ada bekal, ada guru yang membimbing dan masa yang panjang”. Tanpa guru kita akan kehilangan inti ilmu, ilmu yang ahkiki mustahil didapat, bahkan akan berpotensi besar menuju kesesatan.
Dalam bukunya Ahmad Tafsir, menyatakan bahwa interaksi dan relasi antara guru dan murid sangatlah erat sekali sehingga guru dianggap sebagai bapak spiritual (spiritual father), karena berjasa dalam memberikan santapan jiwa dengan ilmu.
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, guru berperan membersihkan, mengarahkan, dan mengiringi hati nurani siswa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridla-Nya. Dengan kata lain, ini adalah dimensi sufistik. Peran kedua adalah peran pragmatik. Artinya, guru berperan menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan kepada muridnya. Selain itu, guru juga memilihkan ilmu mana yang harus didahulukan dan diakhirkan, beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh dalam mempelajarinya.
Az-Zarnuji dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan murid, lebih mengaksentuasikan pada kepribadian atau sikap dan moral yang mulia, yang perlu dimiliki oleh para pelajar. Kepribadian yang harus dimiliki oleh murid, sebagimana dikatakan Az-Zarnuji adalah setiap murid harus mempunyai sifat-sifat; tawadu’, ‘iffah (sifat menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut), tabah, sabar, wara’ (menahan diri dari perbuatan yang terlarang) dan tawakal yaitu menyerahkan segala perkara kepada Allah. Di samping itu, Az-Zarnuji juga menganjurkan agar dalam menuntut ilmu, murid hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada guru, keluarganya, sesama penuntut ilmu lainnya, sayang kepada kitab dan menjaganya dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu yang ada, ajeg dan ulet dalam menuntut ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam mengejar ilmu pengetahuan. Imam Al-Ghozali berkata kewajiban guru ialah terlebih dahulu membersihkan jiwa dari akhlak yang tercela serta sifat-sifat yang hina, mempersempit sibuk dengan keduniwaan.[5]
Al Ghozali membuat suatu sistem yang membentuk suatu komunitas pendidikan dimana pendidikan hubungan seorang guru dengan muridnya sangat sarat dengan peraturan yang satu dengan yang lainnya. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa menghantarkan pemiliknya pada ketakwaan pada Allah SWT. Ilmu adalah nur illahi yang hanya diperuntukkan bagi hamba-hambanya yang sholeh, ilmu manfaat inilah yang tidak mungkin bisa di dapatkan kecuali dengan adanya enam yang harus di lengkapi para pencarinya. Adapun enam syarat terdapat dalam kitab Ta’lim Muta’allim yaitu: “Elingo dak kasil ilmu anging nem perkara, bakal tak ceritaake kumpul kanti pertelo”. “Rupane limpat, loba, sobar, ana sangune, lan piwulange guru lan suwe mangsane” Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah:
1.      Limpat (cerdas), artinya kemampuan untuk menangkap ilmu.
2.      Loba (semangat), artinya sungguh-sungguh dengan bukti ketekunan.
3.      Sobar (sabar), artinya tabah menghadapi cobaan dan ujian dalam mencari ilmu.
4.      Ana sangune (biaya), artinya orang mencari ilmu perlu biaya seperti juga    manusia hidup yang memerlukannya.
5.      Piwulange guru (petunjuk guru), artinya orang mencari ilmu harus digurukan tidak boleh dengan belajar sendiri.
6.      Suwe mangsane (lama), artinya orang belajar perlu waktu yang lama.
Selain itu, murid yang mempunyai etika mulia juga akan mampu mewujudkan norma-norma dan nilai-nilai positif yang akan mempengaruhi keberhasilan di dalam proses pendidikan dan pengajaran. Dengan mempunyai etika atau akhlak yang mulia murid akan mampu mengetahui mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk.[6] Dan di sisnilah keterkaitan guru dengan muridnya sebagai partner keilmuan, yaitu sebagai guru memberikan ilmu kepadanya muridnya untuk bekal dan mengajarkan akhlaq kepada murid supaya berkepribadian baik dalam bermuamalah dengan sesama manusia dan untuk beribadah kepada Allah SWT. Selain itu, kemaslahatan yang dapat diambil dari murid dan guru adalah hasil dari seorang guru, yaitu ilmu yang diajarkan kepada muridnya yaitu ilmu yang bermanfaat, dalam arti lain bermanfaat disini adalah tidak hanya bermanfaat bagi guru dan murid tersebut tetapi bermanfaat bagi seluruh makhluk yang ada di bumi ini. Dengan ilmu itu akan tercipta kehidupan yang sesuai dengan syariat islam dan menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera serta hidup penuh dengan kasih sayang sesama manusia dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.
D.    Nilai Pendidikan dari Kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa AS.
1.       Ilmu harus dicari sekalipun mesti pergi ke tempat yang jauh. Sebagai mana Allah menyuruh Musa untuk pergi mencari ilmu ke tempat Khidir yang jauh.
2.      Diperlukan adab kesopanan dalam proses belajar mengajar.
3.      Mencari ilmu itu kepada orang yang lebih pandai dibidangnya. Seperti Allah yang memerintahkan Nabi Musa untuk berguru kepada nabi Khidir yang ilmunya lebih dari Nabi Musa.
4.      Untuk mencari ilmu harus bawa dan siap  bekal hidup. Ini ditunjukan dengan, Musa diperintah Allah membawa ikan untuk bekal perjalanan.
5.      Guru dan murid harus menyadari bahwa ilmu yang dimilikinya sangat sedikit.
6.      Seseorang tidak boleh merasa dirinya lebih pintar, dan cukup ilmu. Ditunjukan dengan, Musa ditegur Allah ketika ia berkata saya yang paling pandai.
7.      Mencari dan menambah ilmu itu tanpa batas, sekalipun telah berkedudukan tingkat. Ditunjukan dengan, Musa yang telah berkedudukan tinggi sebagai nabi dan Rasul masih harus belajar lagi.
8.      Mencari ilmu perlu pengorbanan. Ditunjukan dengan, Musa as. berusaha sekuat mungkin untuk dapat menemukan dan belajar kepada Nabi Khidir.
9.      Dalam proses belajar mengajar harus ditanamkan perasaan, bahwa murid dibidang tertentu memiliki ilmu dan kemampuan, demikian juga guru memiliki ilmu dan kemampuan tertentu. Ini ditunjukan dengan perkatan Khidir kepada Musa as. Engkau punya ilmu dari Allah yang aku tidak tahu, dan akupun punya ilmu dari Allah yang kamu tidak tahu.[7]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari kisah Nabi Musa yang diperintahkan oleh Allah untuk berguru kepada Nabi Khidir dapat ditarik kesimpulan dalam kehidupan dunia pendidikan bahwa sebagai seorang guru harus bisa bertanggung jawab atas apa yang telah diamanahkan kepadanya yaitu untuk mengajarkan  ilmu kepada muridnya, selain itu sebagai seorang guru juga harus sabar dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya, serta sebagai guru harus punya sikap yang rendah hati, dan merasa bahwa ilmu yang dimilikinya itu sedikit. Sebagai guru juga harus dapat menyampaikan ilmu yang banyak faidahya yang bertujuan untuk kemaslahatan semua makhluk yang ada di bumi ini.
Sebagai murid juga harus ta’dzim kepada guru, menghormati, dan sopan dalam kegiatan belajar dan mengajar. Selain itu sebagi seorang murid juga harus berani jika dalam proses belajar harus menempuh jarak yang jauh. Dari hubungan guru dan murid yang anantinya akan terciptanya kemaslahatan bagi semua makhluk yang ada di bumi dan terciptalah kehidupan yang damai dan sejahtera.

B.     Saran
Penulis berharap agar pembaca lebih teliti dan banyak memadukan dengan buku lain agar pengetahuan yang diperoleh semakin luas khususnya pada materi ini.





DAFTAR PUSTAKA

Hamka, Tafsir Al-Azhar.1982. Surabaya: Bina Ilmu Offset.

Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi. 1993. Semarang: Karya Toha Putra.
Syamsirin, Pendidikan  Berbasis Etika Menurut  Az-Zarnuji  Dalam Prespektif  KitabTa’lim Al-Muta’allim  Tariqa  At-Ta’lum.  At-Ta’dib Vol. 5. No. 1 Shafar 1430.

Anisa Nandya, Etika Murid  Terhadap Guru (Analisis Kitab Ta’lim Muta’allim Karangan Syaikh  Az-Zarnuji), Jurnal Mudarrisa, Vol. 2, No.1, Juni 2010. 

Dedeng Rosidin, Nilai-nilai Kependidikan kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa. Jurnal pendidikan Bahasa Arab UPI Education.


PROFIL



Nama               : Umi Ulfatunnafisah                
NIM                : 2117292
Alamat            : Desa Mejagong, Kec. Randudongkal, Kab. Pemalang
Fakultas           : Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Jurusan            : Pendidikan Agama Islam
Pendidikan      :
a.       MI Nurul Huda Mejagong
b.      MTS Nurul Islam Randudongkal
c.       MAN Pemalang
Motto Hidup   : Man Shobaro Dzofiro




[1] Hamka, Tafsir Al-Azhar  ( Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1982) hal. 224
[2] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Karya Toha Putra, 1993) hal. 343-344

[3]Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Karya Toha Putra, 1993) hal. 343-344
[4] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Karya Toha Putra, 1993) hal. 344-345
[5] Syamsirin, Pendidikan  Berbasis Etika Menurut  Az-Zarnuji  Dalam Prespektif  KitabTa’lim Al-Muta’allim  Tariqa  At-Ta’lum.  At-Ta’dib Vol. 5. No. 1 Shafar 1430.
[6] Anisa Nandya, Etika Murid  Terhadap Guru (Analisis Kitab Ta’lim Muta’allim Karangan Syaikh  Az-Zarnuji), Jurnal Mudarrisa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010. 
[7] Dedeng Rosidin, Nilai-nilai Kependidikan kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa. Jurnal upi education.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar