SUBYEK PENDIDIKAN MAJAZI
“NABI KHIDHIR GURU NABI MUSA”
Q.S.
AL- KAHFI, 18: 66
Umi Ulfatunnafisah
NIM. (2117292)
Kelas: E
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2018
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Subjek Pendidikan Majazi (Nabi Khidir guru Nabi Musa) Q.S.
Al-Kahfi/18: 66”. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, sahabatnya, keluarganya, serta segala umat-Nya hingga yaumil
akhir.
Makalah ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan yang membahas
tentang masalah yang menjadi pokok bahasan. Makalah ini disajikan sebagai bahan
materi dalam diskusi mata kuliah Tafsir Tarbawi.
Terimakasih kepada Bapak Muhammad Hufron selaku dosen mata kuliah yang
telah membimbing kami dalam Tholabul ilmi, yang senantiasa kami nanti-nantikan
petuah-petuahnya.
Penulis telah berupaya menyajikan makalah ini dengan sebaik-baiknya,
meskipun tidak komprehensif. Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah
ini jauh dari kata sempurna, penulis sudah berusaha dan mencoba mengembangkan
dari beberapa referensi mengenai materi tersebut. Apabila dalam penulisan
makalah ini ada kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan dan
pembahasannya, maka penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari
pembaca.
Akhir kata, semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi
semuanya. Amin Yaa Robbal ‘Alamin.
Pekalongan,
25 oktober 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu menjadi sarana
bagi setiap manusia untuk memperoleh kesejahteraan dunia maupun akhirat, maka
mencari ilmu hukumnya wajib. Mengkaji ilmu itu merupakan pekerjaan mulia,
karenanya banyak orang yang keluar dari rumahnya untuk mencari ilmu dengan
didasari iman kepada Allah SWT. Maka semua yang ada di bumi mendoakannya.
Karena mencari ilmu itu pekerjaan yang memerlukan perjuangan fisik dan akal,
maka nabi pernah bersabda bahwa orang yang keluar untuk mencari ilmu akan
mendapatkan pertolongan dari Allah, karena Allah suka menolong orang yang mau
bersusah payah dalam menjalankan kewajiban agama.
Dalam sebuah
pembelajaran hubungan guru dan murid menempati suatu hal yang sangat penting,
perlu membentuk lingkungan yang didasari dengan keharmonisan antara guru dan
murid, demi tercapainya tujuan belajar mengajar dengan baik, karena pendidikan
adalah masalah pribadi yang perlu diperhatikan dan harus menjalin hubungan
antara keduanya, begitu juga seorang murid harus mempunyai waktu yang cukup
untuk mengambil faedah pengetahuan dan sifat-sifat terpuji dari guru. Oleh
karena itu, hubungan guru dan murid memberikan kemaslahatan, tidak hanya untuk
guru dan murid tersebut tetapi juga bagi makhluk yang ada di bumi ini untuk
bekal di dunia dan di akhirat kelak.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa dalil yang menceritakan kisah Nabi Musa yang berguru kepada
Nabi Khidir?
2.
Bagaimana kisah Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir?
3.
Bagaimana hubungan guru dan murid sebagai partner keilmuan dan
kemaslahatan?
4.
Apa saja nilai yang daat diambil dari kisah Nabi Musa yang berguru
kepada Nabi Khidir?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui dalil yang menceritakan kisah Nabi Musa yang
berguru kepada Nabi Khidir
2.
Untuk mengetahui kisah Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir
3.
Untuk mengetahui hubungan guru dan murid sebagai partner keilmuan
dan kemaslahatan
4.
Untuk mengetahui nilai-nilai yang daat diambil dari kisah Nabi Musa
yang berguru kepada Nabi Khidir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ayat dan Arti
قَالَ لَهُ مُوْسَى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلَى اَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا
عُلِّمْتَ رُشْدًا
Artinya:
Musa berkata kepada Khidir: “ Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu? ”. (QS. Al-Kahfi/18: 66)
B. Kisah Nabi
Musa Pergi Berguru
Maka tersebutlah dalam sebuah hadist yang dirawikan oleh Bukhari
diterima dari Sa’id bin jubair, dia menerima dari Ibnu Abbas dengan sanadnya,
bahwa suatu hari berpidatolah Nabi Musa dan bertanya: “ Siapakah manusia yang
paling pandai ?”. Beliau menjawab: “Aku”.
Perkataan beliau yang terlanjur itu, kalau bagi manusia biasa adalah
suatu kekhilafan, namun bagi seorang rasul adalah satu hal yang sudah pasti
akan mendapat teguran dari Allah. Lalu Allah berfirman kepadanya, bahwa
bukanlah dia yang paling pandai di zaman itu. Ada lagi orang yang lebih pandai,
lebih ‘alim dari dia. Orang itu berdiam disatu tempat dipertemuan antara dua
lautan. “pergilah engkau menemui dia!”. Lalu nabi Musa bertanya kepada
tuhan: “ya tuhanku, bagaimana caranya
aku dapat menemui orang itu?” maka setelah itu Allah menitahkan kepada beliau
supaya berangkat ke tempat pertemuan dua laut itu dan bawalah makanan karena
perjalanan jauh. Diantara makanan itu hendaklah dibawa juga ikan. Letakkan
makanan itu dalam satu jinjingan yang muda dibawa. Di tempat mana saja dia
kehilangan ikan, dan disitulah Khidir berada. [1]
Maka dilaksanakanlah oleh nabi
Musa perintah Allah mencari guru itu. Dia berjalan meninggalkan kampung dan
diiringi oleh seorang pemuda yang selalu menjadi pengawal kemanapun dia pergi.
Menurut satu riwayat Bukhari dari Abu Sufyan bin Uyaynah pemuda itu ialah
pengiring Musa yang terkenal, muridnya yang kelak kemudian akan meneruskan
tugas beliau yaitu Yusya’ bin Nun.[2] Dan setelah itu, berjalanlah nabi Musa
bersama Yusya’ bin Nun. Sehingga, ketika mereka sampai pada sebuah batu besar,
dan tidurlah mereka disana, sementara ikan itu bergerak-gerak lalu jatuh ke
laut. Maka, ikan itu menempuh perjalanan di laut sebagai jalannya. Maksudnya,
air mengalir membentuk sebuah lengkungan
di atas ikan itu, dan ikan itu pun lari.
Dan setelah Musa bangun dari tidurnya, pengawalnya itu memberitahu
kepadanya tentang ikan itu, dan mereka berdua pun berangkat menghabiskan siang
sampai malamnya. Besoknya, Musa meminta makan, karena dia keletihan. Peristiwa
itu terjadi justru setelah ia melampaui tempat yang diperintahkan oleh Allah
kepadanya. Maka berkatalah pengawal itu: “sesungguhnya kau lupa akan ikan itu”.
Lalu, pengawalnya menceritakan pengalamannya di batu besar itu, lalu mereka
berdua kembali lagi mengikuti jejak mereka yang telah dilalui, sehingga mereka
sampai ke batu besar tadi. Dan di sanalah mereka bertemu dengan seorang lelaki
yang berpakaian serba putih.
Khidir adalah julukan guru Nabi Musa yang bernama Balya bin Malkan.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa Balya adalah seorang nabi. Dan untuk itu
mereka mempunyai dalil, yaitu:
a. Firman Allah
Ta’ala
اتَيْنهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا
Yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami (QS. Al-Kahfi:
65).
Rahmat disini yang dimaksud ialah kenabian, berdasarkan firman Allah
ta’ala:
اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَ
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat (Nubuwwah) tuhanmu. (QS.
Az-Zukhruf, 43: 32).
b. Firman Allah
Ta’ala:
وَعَلَّمْنهُ مِنْ لَّدُ نَّا عِلْمًا
Dan yang
telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami (QS. Al-Kahfi:65)
Dengan
pertanyaan ini, berarti Allah telah mengajarkan kepada Al-Khidir tanpa
perantara seorang guru dan tanpa bimbingan dari seorang pembimbing. Padahal,
siapa pun yang seperti itu halnya, maka dialah seorang nabi.
c. Musa berkata
kepadanya:
هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلَى اَنْ تُعَلِّمَنِ
Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu (QS. Al-Kahfi: 66).
Sedangkan
seorang nabi takkan belajar kecuali dari seorang nabi pula.
d. Al-Khidir
sendiri berkata:
وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ اَمْرِيْ
Dan bukankah aku melakukannya itu menurut
kemauanku sendiri (QS. Al-Kahfi:82)
Maksudnya, bahwa aku telah melakukannya
berdasarkan wahyu dari Allah. Dan ini membuktikan bahwa dia adalah seorang
nabi.[3]
Letak pertemuan dua laut/ Majma’ul-bahrain:
ialah tempat pertemuan antara dua laut, lalu menjadi satu laut. Mengenai ini,
ada dua pendapat:
a. Bahwa yang
dimaksud ialah tempat pertemuan antara laut Persi dan laut dan Romawi (tempat
pertemuan antara samudra Indonesia dan laut Merah di Babil-Mandib).
b. Bahwa yang
dimaksud adalah tempat pertemuan antara laut Romawi dan samudra Atlantik di
Tanjah demikian kata Muhammad bin Ka’ab Al-Qurahi (laut Tengah dan lautan
Atlantik di selat Jabal Tariq di depan Tanjah).[4]
C. Guru dan
Murid Partner Keilmuan dan Kemaslahatan
Guru adalah Mursyid, Pembimbing. Guru
bertugas untuk membimbing, mensupervisi, dan menjadi konsultan dalam meniti
jalan mencapai ilmu mengenai kebenaran yang hakiki.
Dalam kitab ta’lim al-muta’allim karangan
Burhanudin al-Zarnuji, menyatakan dalam syairnya beliau berkata: “ engkau tidak
akan mencapai ilmu itu kecuali dengan enam hal, aku akan jelaskan kepadamu
garis besarnya: cedas, sungguh-sungguh, sabar, ada bekal, ada guru yang
membimbing dan masa yang panjang”. Tanpa guru kita akan kehilangan inti ilmu,
ilmu yang ahkiki mustahil didapat, bahkan akan berpotensi besar menuju
kesesatan.
Dalam bukunya Ahmad Tafsir, menyatakan
bahwa interaksi dan relasi antara guru dan murid sangatlah erat sekali sehingga
guru dianggap sebagai bapak spiritual (spiritual father), karena berjasa dalam
memberikan santapan jiwa dengan ilmu.
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, guru
berperan membersihkan, mengarahkan, dan mengiringi hati nurani siswa untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridla-Nya. Dengan kata lain, ini
adalah dimensi sufistik. Peran kedua adalah peran pragmatik. Artinya, guru
berperan menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan keterampilan kepada muridnya.
Selain itu, guru juga memilihkan ilmu mana yang harus didahulukan dan
diakhirkan, beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh dalam mempelajarinya.
Az-Zarnuji dalam membahas hal-hal yang berkaitan dengan murid, lebih
mengaksentuasikan pada kepribadian atau sikap dan moral yang mulia, yang perlu
dimiliki oleh para pelajar. Kepribadian yang harus dimiliki oleh murid,
sebagimana dikatakan Az-Zarnuji adalah setiap murid harus mempunyai
sifat-sifat; tawadu’, ‘iffah (sifat menunjukkan harga diri yang menyebabkan
seseorang terhindar dari perbuatan yang tidak patut), tabah, sabar, wara’
(menahan diri dari perbuatan yang terlarang) dan tawakal yaitu menyerahkan
segala perkara kepada Allah. Di samping itu, Az-Zarnuji juga menganjurkan agar
dalam menuntut ilmu, murid hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada guru,
keluarganya, sesama penuntut ilmu lainnya, sayang kepada kitab dan menjaganya
dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu yang
ada, ajeg dan ulet dalam menuntut ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam
mengejar ilmu pengetahuan. Imam Al-Ghozali berkata kewajiban guru ialah
terlebih dahulu membersihkan jiwa dari akhlak yang tercela serta sifat-sifat
yang hina, mempersempit sibuk dengan keduniwaan.[5]
Al Ghozali membuat suatu sistem yang membentuk suatu komunitas
pendidikan dimana pendidikan hubungan seorang guru dengan muridnya sangat sarat
dengan peraturan yang satu dengan yang lainnya. Ilmu yang bermanfaat adalah
ilmu yang bisa menghantarkan pemiliknya pada ketakwaan pada Allah SWT. Ilmu
adalah nur illahi yang hanya diperuntukkan bagi hamba-hambanya yang sholeh,
ilmu manfaat inilah yang tidak mungkin bisa di dapatkan kecuali dengan adanya
enam yang harus di lengkapi para pencarinya. Adapun enam syarat terdapat dalam
kitab Ta’lim Muta’allim yaitu: “Elingo dak kasil ilmu anging nem perkara, bakal
tak ceritaake kumpul kanti pertelo”. “Rupane limpat, loba, sobar, ana sangune,
lan piwulange guru lan suwe mangsane” Jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia artinya adalah:
1. Limpat
(cerdas), artinya kemampuan untuk menangkap ilmu.
2. Loba
(semangat), artinya sungguh-sungguh dengan bukti ketekunan.
3. Sobar
(sabar), artinya tabah menghadapi cobaan dan ujian dalam mencari ilmu.
4. Ana sangune
(biaya), artinya orang mencari ilmu perlu biaya seperti juga manusia hidup yang memerlukannya.
5. Piwulange
guru (petunjuk guru), artinya orang mencari ilmu harus digurukan tidak boleh
dengan belajar sendiri.
6. Suwe
mangsane (lama), artinya orang belajar perlu waktu yang lama.
Selain itu, murid yang mempunyai etika mulia juga akan mampu mewujudkan
norma-norma dan nilai-nilai positif yang akan mempengaruhi keberhasilan di
dalam proses pendidikan dan pengajaran. Dengan mempunyai etika atau akhlak yang
mulia murid akan mampu mengetahui mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan
yang buruk.[6]
Dan di sisnilah keterkaitan guru dengan muridnya sebagai partner keilmuan,
yaitu sebagai guru memberikan ilmu kepadanya muridnya untuk bekal dan
mengajarkan akhlaq kepada murid supaya berkepribadian baik dalam bermuamalah
dengan sesama manusia dan untuk beribadah kepada Allah SWT. Selain itu,
kemaslahatan yang dapat diambil dari murid dan guru adalah hasil dari seorang
guru, yaitu ilmu yang diajarkan kepada muridnya yaitu ilmu yang bermanfaat,
dalam arti lain bermanfaat disini adalah tidak hanya bermanfaat bagi guru dan
murid tersebut tetapi bermanfaat bagi seluruh makhluk yang ada di bumi ini.
Dengan ilmu itu akan tercipta kehidupan yang sesuai dengan syariat islam dan
menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera serta hidup penuh dengan kasih
sayang sesama manusia dan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan
meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.
D. Nilai
Pendidikan dari Kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa AS.
1. Ilmu harus dicari sekalipun mesti pergi ke
tempat yang jauh. Sebagai mana Allah menyuruh Musa untuk pergi mencari ilmu ke
tempat Khidir yang jauh.
2. Diperlukan
adab kesopanan dalam proses belajar mengajar.
3. Mencari ilmu
itu kepada orang yang lebih pandai dibidangnya. Seperti Allah yang
memerintahkan Nabi Musa untuk berguru kepada nabi Khidir yang ilmunya lebih
dari Nabi Musa.
4. Untuk
mencari ilmu harus bawa dan siap bekal
hidup. Ini ditunjukan dengan, Musa diperintah Allah membawa ikan untuk bekal
perjalanan.
5. Guru dan murid
harus menyadari bahwa ilmu yang dimilikinya sangat sedikit.
6. Seseorang
tidak boleh merasa dirinya lebih pintar, dan cukup ilmu. Ditunjukan dengan, Musa
ditegur Allah ketika ia berkata saya yang paling pandai.
7. Mencari dan
menambah ilmu itu tanpa batas, sekalipun telah berkedudukan tingkat. Ditunjukan
dengan, Musa yang telah berkedudukan tinggi sebagai nabi dan Rasul masih harus
belajar lagi.
8. Mencari ilmu
perlu pengorbanan. Ditunjukan dengan, Musa as. berusaha sekuat mungkin untuk
dapat menemukan dan belajar kepada Nabi Khidir.
9. Dalam proses
belajar mengajar harus ditanamkan perasaan, bahwa murid dibidang tertentu
memiliki ilmu dan kemampuan, demikian juga guru memiliki ilmu dan kemampuan
tertentu. Ini ditunjukan dengan perkatan Khidir kepada Musa as. Engkau punya
ilmu dari Allah yang aku tidak tahu, dan akupun punya ilmu dari Allah yang kamu
tidak tahu.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari kisah Nabi Musa yang diperintahkan oleh Allah untuk berguru kepada
Nabi Khidir dapat ditarik kesimpulan dalam kehidupan dunia pendidikan bahwa
sebagai seorang guru harus bisa bertanggung jawab atas apa yang telah
diamanahkan kepadanya yaitu untuk mengajarkan
ilmu kepada muridnya, selain itu sebagai seorang guru juga harus sabar
dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya, serta sebagai guru harus punya sikap
yang rendah hati, dan merasa bahwa ilmu yang dimilikinya itu sedikit. Sebagai
guru juga harus dapat menyampaikan ilmu yang banyak faidahya yang bertujuan
untuk kemaslahatan semua makhluk yang ada di bumi ini.
Sebagai murid juga harus ta’dzim kepada guru, menghormati, dan sopan
dalam kegiatan belajar dan mengajar. Selain itu sebagi seorang murid juga harus
berani jika dalam proses belajar harus menempuh jarak yang jauh. Dari hubungan
guru dan murid yang anantinya akan terciptanya kemaslahatan bagi semua makhluk
yang ada di bumi dan terciptalah kehidupan yang damai dan sejahtera.
B. Saran
Penulis berharap agar pembaca lebih teliti dan banyak memadukan
dengan buku lain agar pengetahuan yang diperoleh semakin luas khususnya pada materi
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamka, Tafsir Al-Azhar.1982.
Surabaya: Bina Ilmu Offset.
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir
Al-Maragi. 1993. Semarang: Karya Toha Putra.
Syamsirin, Pendidikan Berbasis Etika Menurut Az-Zarnuji
Dalam Prespektif KitabTa’lim Al-Muta’allim Tariqa
At-Ta’lum. At-Ta’dib Vol. 5.
No. 1 Shafar 1430.
Anisa Nandya, Etika Murid Terhadap Guru (Analisis Kitab Ta’lim
Muta’allim Karangan Syaikh Az-Zarnuji),
Jurnal Mudarrisa, Vol. 2, No.1, Juni 2010.
Dedeng Rosidin,
Nilai-nilai Kependidikan kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa. Jurnal
pendidikan Bahasa Arab UPI Education.
PROFIL
Nama : Umi
Ulfatunnafisah
NIM : 2117292
Alamat : Desa Mejagong, Kec. Randudongkal,
Kab. Pemalang
Fakultas : Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Pendidikan :
a.
MI Nurul Huda Mejagong
b.
MTS Nurul Islam Randudongkal
c.
MAN Pemalang
Motto Hidup : Man Shobaro Dzofiro
[1] Hamka, Tafsir
Al-Azhar ( Surabaya: Bina Ilmu
Offset, 1982) hal. 224
[3]Ahmad Mustafa
Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, (Semarang: Karya Toha Putra, 1993) hal.
343-344
[5] Syamsirin, Pendidikan Berbasis Etika Menurut Az-Zarnuji
Dalam Prespektif KitabTa’lim
Al-Muta’allim Tariqa At-Ta’lum. At-Ta’dib Vol. 5. No. 1 Shafar 1430.
[6] Anisa Nandya, Etika
Murid Terhadap Guru (Analisis Kitab
Ta’lim Muta’allim Karangan Syaikh
Az-Zarnuji), Jurnal Mudarrisa, Vol. 2, No. 1, Juni 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar