Laman

Minggu, 26 Februari 2017

tt2 d3c Hak Milik Privasi QS. Al-Maidah (5): 38

 HAK ASASI MANUSIA
Hak Milik Privasi QS. Al-Maidah (5): 38


Kasutimah (2021115062)
Kelas D

FAKULTAS TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017



KATA PENGANTAR
Segala  puji syukur kami haturkan kepada Allah Yang Maha Esa Tuhan semesta alam atas hidayah dan rahmatnya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat dan salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membawa kita dari zaman jahiliyah sampai ke zaman yang terang ini.
            Terimakasih kami sampaikan kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan kepada kami dalam menyelesaika proses pembuatan makalah ini. Kepada bapak dosen Muhammad  Hufron, M.S.I selaku dosen pengampu yang telah membimbing kami untuk pembuatan makalah ini.
            Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Maka kritik dan saran yang membangun  kami harapkan untuk perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.







Pekalongan, 17 Februari 2017


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan Allah SWT dengan sempurna. Kelebihan yang dimiliki manusia yaitu akal, yang membedakan manusia dari makhluk lain. Akal tersebut berguna untuk berfikir, membedakan mana yang baik dan buruk, yang hak dan bathil dan sebagainya. Dalam kehidupannya, manusia mempunyai hak dan kewajiban sebagai makhluk sosial. Hak yang dimiliki manusia antara lain hak hidup, hak berpendapat, hak berkeyakinan agama, hak milik privasi, dan sebagainya. Kewajiban manusia yang harus dijalankan antara lain menghormati orang lain, menaati peraturan yang telah ditetapkan, dan sebagainya. Hak-hak yang telah dimiliki manusia harus dijaga untuk kepentingan pribadinya. Hak milik privasi wajib untuk dijaga dan digunakan untuk kepentingan pribadinya. Ketika orang lain mengambil hak milik orang lain, maka harus diberi sanksi hukuman sesuai dengan perbuatannya agar tidak mengulanginya lagi dan pembelajaran bagi orang lain. Manusia tidak boleh menyalahgunakan hak dan kewajibannya untuk merugikan orang lain. Misalnya, mencuri, merampok, membegal, menipu dan sebagainya.









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Manusia dan Hak Milik Privasi
a.       Pengertian  Manusia
Manusia merupakan makhluk hidup ciptaan tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati, dan seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik positif maupun negatif.[1]
  1. Paula J. C. & Janet W. K.
Menurut Paula J. C. & Janet W. K. Manusiamerupakanmakhluk yang terbuka, bebasmemilihmakna di dalamsetiapsituasi, mengembantanggungjawabatassetiapkeputusan, yang hidupsecaraberkelanjutan, sertaturutmenyusunpolahubunganantarsesamadanunggul multidimensional denganberbagaikemungkinan.
  1. Omar Mohammad Al – Toumi Al – Syaibany
Menurut Omar Mohammad Al – Toumi Al – Syaibany, pengertianmanusiaadalahmakhluk yang mulia.Masuiamerupakanmakhluk yang mampuberpikir, danmenusiamerupakanmakhluk 3 dimensi (yang terdiridaribadan, ruh, dankemampuanberpikir / akal).Manusia di dalam proses tumbuhkembangnyadipengaruhiolehduafaktorutamayaitufaktorketurunandanfaktorlingkungan.

  1. KeesBertens
MenurutKeesBertens, manusiaadalahsetiapmakhluk yang terdiridariduaunsur yang satuannyatidakdapatdinyatakandalambentukapapun.[2]
b.      Pengertian Hak Milik Privasi
Secara definitif, “hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan,  kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Dengan demikian, hak adalah unsur  normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada dalam ruang lingkup hak persamaan dan kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi.
Didalam UDHR (Universal Declarations of Human Right) atau Deklarasi hak-hak manusia pasal 17 dinyatakan:
(1)   Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
(2)   Tidak boleh seorangpun boleh dicabut hak miliknya secara sewenang-wenang.
Berkaitan dengan kepemilikan pribadi ini Islam sangat menghargai hak-hak kepemilikan pribadi seseorang. Hal ini tercermin adanya persyaratan hak milik untuk kewajiban zakat dan pewarisan. Seseorang juga diberi hak untuk mempertahankan hak miliknya dari gangguan orang lain. Bahkan  jika ia mati dalam membela dan mempertahankan hak miliknya itu dipandang sebagai syahid, penghargaan dari Allah SWT. Sehubungan dengan hak mengambil manfaat dan memiliki sarana dan prasarana kehidupan Al-Qur’an menggariskan:
ﻴٰﺎ َﻴُّﻬَﺎﺍﻠّﺬِﻴْﻦَ ﺍٰﻤَﻨُﻭﺍ ﻻَﺘﺄﻜُﻠﻭﺍ ﺍَﻤْﻮَﺍﻠَﻜُﻢْ ﺒَﻴْﻨَﻜُﻢ ﺒِﺎ ﻠْﺒَﺎﻄِﻞِ ﺍِﻻﱠ ﺃﻦْ ﺘَﻜُﻮﻦَ ﺘِﺠَﺎﺮَﺓً ﻋَﻦْ ﺘَﺮَﺍﺾٍ ﻤِّﻧْﻜﻢْ ۚ ﻮَﻻَﺘَﻘﺘﻠﻮﺍ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢۚ ﺇﻦﺍﷲ ﻜﺎﻦﺑﻜﻢ ﺮﺤﻴﻤﺎ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka.” (QS. An-Nisa:29)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam dan lingkungan itu, seseorang harus menghormati pula kepentingan serta milik orang lain. Dengan kata lain, ia harus menempuh cara-cara yang sah dan halal dan tidak berlaku secara sembrono. Disamping itu didalam sebuah hadistnya Rasulullah saw bersabda: “Dan siapa yang dibunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia mati syahid.”(HR. Bukhari dan Muslim)
      Hadist tersebut memberikan ketegasan  tentang kepemilikan pribadi seseorang yang tidak boleh dirampas atau diambil tanpa seizinnya.
B.     Tafsir QS. Al-Maidah (5): 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٣٨)
a.       Tafsir Al-Misbah
 Kata Assariq/ pencuri memberi kesan bahwa yang bersangkutan telah berulang-ulang kali mencuri, sehingga ia wajar dinamai pencuri. Jika kita memahami demikian, maka ini berarti, seorang yang baru  sekali atau dua kali mencuri belum wajar dinamai pencuri, dan dengan demikian ia belum atau tidak dikenai sanksi yang disebut oleh ayat diatas. Ini berbeda jika kata tersebut diterjemahkan “lelaki yang mencuri” sebagaimana terjemahan Team Departemen Agama dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya (cetakan Saudi Arabia, Rajab 1415 H).
                  Memang mayoritas ulama-kalau enggan berkata semua ulama-memahami kata as-sariq/as-sariqah dalam arti sebagaimana terjemahan Departemen itu, yakni lelaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri. Jika demikian, walau hanya sekali dia terbukti mencuri, maka sanksi tersebut  jatuh atasnya.
                  Ayat diatas menyebut secara khusus as-sariqah/pencuri perempuan. Ini sengaja digarisbawahi untuk meluruskan kekeliruan masyarakat jahiliyah yang enggan menjatuhkan sanksi terhadap wanita yang mencuri, bukan karena sayang atau kasihan kepada mereka, tetapi mereka tidak memberi nilai kemanusiaan kepada perempuan, bahkan menyifati mereka sebagai  (pembelaan perempuan adalah tangis, dan kebaktiannya adalah perempuan), yakni mencuri harta suami untuk ibu bapaknya. Rasul SAW menyuruh memotong tangan seorang wanita dari suku Al-Makhzumiyah, yaitu Murrat bin Sufyan, dan ketika itu orang merasa keberatan, maka Zaid Ibn Haritsah diutus kepada Rasul untuk membatalkan sanksi hukum itu, namun Rasul SAW menolak sambil bersabda: “Seandainya si A mencuri, akan ku potong tangannya.” Rasul SAW dalam hadist ini menyebut seorang yang amat mulia, penulis enggan menuliskannya karena walaupun ini perandaian, tetapi perandaian yang tidak wajar diucapkan  kecuali Rasul SAW sendiri.
     Sementara orang memahami Faqtho’u aidiyahuma/potonglah kedua tangannya dalam arti majazi, yaknilumpuhkan kemampuannya. Pelumpuhan dimaksud antara lain mereka pahami dalam arti penjarakan dia.memang dikenal istilah Aqtho’u lisaanah/ potonglah lidahnya, dalam arti jangan biarkan dia mengomel atau mengecam dengan jalan memberinya uang. Tetapi memahami potonglah tangannya serupa dengan potonglah lidahnya disamping tidak sejalan dengan praktek Rasul SAW, juga tidak dikenal oleh masyarakat pengguna bahasa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an.[3]
b.      Tafsir Al-Maraghi
Barangsiapa mencuri, baik laki-laki maupun perempuan, maka potonglah tangannya hai para Ulil Amri, para hakim, dan para pemerintah, yaitu telapak tangan sampaipergelangan. Karena mencuri itu dilakukan secara langsung dengan telapak tangan, sedang lenganhanyalah membawa telapak tangan itu seperti halnya yang dilakukan oleh badan. Sedang yang dipotong, pertama-tama ialah tangan kanan, karena biasanya tangan kananlah pengambilan dilakukan. Hanya saja para ulama terkemuka memang berselisih pendapat mengenaui ukuran harta curian yang mewajibkan dilaksanakannya pemotongan kanan.
Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri dan Daud Azh-Zhahiri, bahwa potong tangan itu dilaksanakan, baik harta yang diambil hanya sedikit atau banyak, berdasarkan zhahir ayat itu. Juga berdasarhan hadist:
لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ ، يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ ، وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ
“Allah mengutuk pencuri yang mencuri telur, lalu dipotong tangannya,       dan mencuri tali lalu dipotong tangannya.”
(HR. Bukhari no. 6783 dan Muslim no. 1687)
Sedang kebanyakan ulama salaf dan khalaf berpendapat, bahwa hukuman potong tangan itu hanya dijatuhkan dalam pencurian sampai seperempat dinar (seperempat mitsqal emas: 0,9695 gram), atau tiga dirham perak (3 dirham perak=8,145 gram).
            An-Nakal, dari kata An-Niklu, artinya tali pengikat binatang. Nakala ‘an Syai’in, artinya mencegah diri dari sesuatu karena adanya pencegah daripadanya. Jadi An-Nakal artinya sesuatu yang mengikat manusia dan mencegah orang-orang dari mencuri.
            Maksud ayat, potonglah tangan pencuri itu, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai balasan atas perbuatan usahanya yang buruk, dan sebagai cegahan dan pelajaran bagi orang lain. Dan tak ada pelajaran yang besar lagi dari pemotongan tangan, yang membuat malu si pencuri sepanjang hidupnya dan memberinya cap aib dan kehinaan.
            Dan Allah maha perkasa dalam memberi balasan terhadap pencuri, baik laki-laki maupun perempuan. Juga terhadap ahli maksiat lainnya, dan Allah maha bijaksana dalam segala perbuatan-Nya. Maksudnya bahwa Allah telah meletakkan had-had dan hukuman-hukuman sesuai dengan khikmah yang sesuai dengan masalah. Jadi apapun yang Allah perintahkan, pastilah mengandung kemaslahatan, dan tidak melarang suatu hal kecuali memuat kerusakan.[4]
c.       Tafsir Ibnu Katsir
Dalam ayat ini Allah menetapkan hukum potong tangan terhadap pencuri laki-laki maupun wanita. Hukum itu memang berlaku di masa jahiliyah, kemudian ditetapkan dalam islam dengan syarat-syarat.
Sebagian ulama fiqh mengambil pada lahirnya ayat, yakni nyata telah mencuri maka langsung dipotong tangannya tanpa memandang sedikit atau banyaknya pencurian. Mereka juga berpegang pada hadist:“Allah mengutuk pencuri yang mencuri telur, lalu dipotong tangannya, dan mencuri tali lalu dipotong tangannya.” (Bukhari, Muslim)
Adapun imam madzhab yang empat, maka masing-masing menentukan nishab harga curiannya.
Imam Malik menetapkan pencurian itu seharga tiga dirham berdasarkan hadis ibnu Umar r.a berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي مِجَنٍ ثَمَنُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ

Rasulullah saw telah memotong tangan pencuri karena mencuri perisai yang harganya tiga dirham. (Bukhari, Muslim).
Imam syafii menetapkan pencurian itu seperempat dinar berdasarkan hadist Aisyah r.a., bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tangan pencuri dapat dipotong dalam pencurian yang  seperempat dinar keatas (Bukhari, Muslim) Dan tidak dipotong tangan pencuri kecuali dalam pencurian seharga seperempat dinar keatas (Muslim).”
Hadist ini merupakan ketegasan dalam masalah ini, sebab dengan jelas memberi batas minimnya pencurian yaitu seperempat dinar sedang harga perisai yang disebut tiga dirham juga berarti seperempat dinar, sebab satu dinar dua belas dirham, maka seperempatnya tiga dirham. Sehingga dapat dipertemukan pendapat imam Malik dan imam Syafii.
Imam Ahmad Hanbal berkata, bahwa seperempat dinar atau tiga dirham itu merupakan ketentuan syariat, karena itu siapa yang mencuri seharga tiga dirham atau seperempat dinar harus dipotong tangannya. Berdasarkan hadist Ibn Umar dan Aisyah r.a. sedang imam Ahmad meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:
اقْطَعُوا فِي رُبُعِ دِينَارٍ، وَلاَ تَقْطَعُوا فِيمَا هُوَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ
“Potonglah tangan pencuri itu dalam pencurian seperempat dinar   dan jangan kamu potong jika kurang dari itu.” (HR. Ahmad).
Nash hadist ini menunjukkan syarat nisab dalam pencurian.
Abu Hanifah berpendapat bahwa nishab pencurian itu sepuluh dirham, dia berdalil bahwa harga perisai itu sepuluh dirham menurut keterangan Ibn Abbas. Ia berkata bahwa harga perisai dimasa Rasulullah saw sepuluh dinar. Juga dia berdalil dengan hadist Abdullah bin Amr bin Al-Ash berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:“Tidak dipotong tangan seorang pencuri jika pencuriannya kurang dari harga perisai”. Sedang harga perisai menurut keterangan Ibn Abbas dan Abdullah bin Amr, sepuluh dirham.[5]
C.     ImplikasidalamKehidupanSehari-hari
Hakprivasiadalahhakuntukapa, dengansiapa, danseberapabanyakinformasitentangdirinya yang bolehdiungkapkepada orang lain. Setiaporang mempunyaihakuntukmenyimpanprivasinyadan orang lainikutmenjaganya. Tujuannya agar tidakadapenyelewengandankehidupanmenjadidamai.
D.    AspekTarbawi
a.       Setiap orang memilikihakuntukmelindungidankeleluasaanpribaditanpacampurtangan orang lain.
b.      Orang lain yang menyalahgunakanhaknyauntukikutcampururusan orang lain dapatdihukumsesuaiperbuatannya.
c.       Orang yang mengambilhakmilikataumencurimilik orang lain, dapatdikenaisanksihukuman









BAB III
PENUTUP
Dari beberapa tafsir yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk memiliki sesuatu yang tidak  boleh ada campur tangan oleh orang lain. Allah SWT telah menurunkan wahyu bahwa orang yang mencuri dikenai sanksi hukuman di potong tangannya. Namun, beberapa ulama madzhab berbeda pendapat dalam menentukan kadar nishab dalam pencurian. Syariat islam telah memberikan sanksi hukuman kepada orang yang telah menyalahgunakan hak orang lain yang tujuannya agar tidak terjadi kerusakan islam, agar kehidupan menjadi aman, damai, serta nyaman.













DAFTAR PUSTAKA
Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy.1986. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Musthafa Al-Maraghi, Ahmad.1987. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: Tohaputra Semarang.
Shihab,Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
















PROFIL
Nama :Kasutimah
Tempat, TanggalLahir :Pekalongan, 28 Januari 1997
Alamat :DesaPagumenganmas,  Rt. 7 Rw. 4, Kec. Karangdadap, Kab. Pekalongan.
RiwayatPendidikan:
-          SDN Pagumenganmas              (Lulus 2009)
-          SMPN 1 Karangdadap             (Lulus 2012) 
-          MA NU Karangdadap               (Lulus 2015)       
-          Saatinimasihmenempuhstudisebagaimahasiswa di FakultasTarbiyahJurusanPendidikan Agama Islam (PAI) di IAIN Pekalongansejak 2015.        






[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:Lentera Hati,2002), hlm, 91-93
[4] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Tohaputra Semarang, 1987), hlm, 201-203
[5] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, (Surabaya:PT Bina Ilmu,1986), hlm, 90-92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar