HAK
ASASI MANUSIA
Hak
Milik Privasi QS. Al-Maidah (5): 38
Kasutimah (2021115062)
Kelas D
FAKULTAS TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami
haturkan kepada Allah Yang Maha Esa Tuhan semesta alam atas hidayah dan
rahmatnya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat
dan salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membawa kita dari zaman
jahiliyah sampai ke zaman yang terang ini.
Terimakasih kami
sampaikan kepada Allah SWT yang telah memberikan kemudahan kepada kami dalam
menyelesaika proses pembuatan makalah ini. Kepada bapak dosen Muhammad Hufron, M.S.I selaku dosen pengampu yang telah
membimbing kami untuk pembuatan makalah ini.
Kami menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Maka kritik dan saran yang membangun
kami harapkan untuk perbaikan pembuatan
makalah selanjutnya.
Pekalongan, 17 Februari 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan Allah SWT dengan
sempurna. Kelebihan yang dimiliki manusia yaitu akal, yang membedakan manusia
dari makhluk lain. Akal tersebut berguna untuk berfikir, membedakan mana yang
baik dan buruk, yang hak dan bathil dan sebagainya. Dalam kehidupannya, manusia
mempunyai hak dan kewajiban sebagai makhluk sosial. Hak yang dimiliki manusia
antara lain hak hidup, hak berpendapat, hak berkeyakinan agama, hak milik
privasi, dan sebagainya. Kewajiban manusia yang harus dijalankan antara lain
menghormati orang lain, menaati peraturan yang telah ditetapkan, dan
sebagainya. Hak-hak yang telah dimiliki manusia harus dijaga untuk kepentingan
pribadinya. Hak milik privasi wajib untuk dijaga dan digunakan untuk
kepentingan pribadinya. Ketika orang lain mengambil hak milik orang lain, maka
harus diberi sanksi hukuman sesuai dengan perbuatannya agar tidak mengulanginya
lagi dan pembelajaran bagi orang lain. Manusia tidak boleh menyalahgunakan hak
dan kewajibannya untuk merugikan orang lain. Misalnya, mencuri, merampok,
membegal, menipu dan sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Manusia dan Hak Milik Privasi
a.
Pengertian Manusia
Manusia merupakan makhluk hidup
ciptaan tuhan dengan segala fungsi dan potensinya yang tunduk kepada aturan
hukum alam, mengalami kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, mati, dan
seterusnya, serta terkait dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam
sebuah hubungan timbal balik positif maupun negatif.[1]
- Paula J. C. & Janet
W. K.
Menurut Paula J. C. & Janet W.
K. Manusiamerupakanmakhluk yang terbuka, bebasmemilihmakna di
dalamsetiapsituasi, mengembantanggungjawabatassetiapkeputusan, yang
hidupsecaraberkelanjutan, sertaturutmenyusunpolahubunganantarsesamadanunggul
multidimensional denganberbagaikemungkinan.
- Omar Mohammad Al –
Toumi Al – Syaibany
Menurut Omar Mohammad Al – Toumi Al
– Syaibany, pengertianmanusiaadalahmakhluk
yang mulia.Masuiamerupakanmakhluk yang mampuberpikir,
danmenusiamerupakanmakhluk 3 dimensi (yang terdiridaribadan, ruh,
dankemampuanberpikir / akal).Manusia di dalam proses
tumbuhkembangnyadipengaruhiolehduafaktorutamayaitufaktorketurunandanfaktorlingkungan.
- KeesBertens
MenurutKeesBertens, manusiaadalahsetiapmakhluk
yang terdiridariduaunsur yang satuannyatidakdapatdinyatakandalambentukapapun.[2]
b.
Pengertian Hak Milik Privasi
Secara definitif, “hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi
sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi
manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Dengan demikian, hak adalah
unsur normatif yang melekat pada diri
setiap manusia yang dalam penerapannya berada dalam ruang lingkup hak persamaan
dan kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan
instansi.
Didalam UDHR (Universal Declarations of Human Right) atau Deklarasi
hak-hak manusia pasal 17 dinyatakan:
(1)
Setiap orang berhak mempunyai hak milik, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain.
(2)
Tidak boleh seorangpun boleh dicabut hak miliknya secara
sewenang-wenang.
Berkaitan
dengan kepemilikan pribadi ini Islam sangat menghargai hak-hak kepemilikan
pribadi seseorang. Hal ini tercermin adanya persyaratan hak milik untuk
kewajiban zakat dan pewarisan. Seseorang juga diberi hak untuk mempertahankan
hak miliknya dari gangguan orang lain. Bahkan
jika ia mati dalam membela dan mempertahankan hak miliknya itu dipandang
sebagai syahid, penghargaan dari Allah SWT. Sehubungan dengan hak mengambil manfaat
dan memiliki sarana dan prasarana kehidupan Al-Qur’an menggariskan:
ﻴٰﺎ َﻴُّﻬَﺎﺍﻠّﺬِﻴْﻦَ ﺍٰﻤَﻨُﻭﺍ
ﻻَﺘﺄﻜُﻠﻭﺍ ﺍَﻤْﻮَﺍﻠَﻜُﻢْ ﺒَﻴْﻨَﻜُﻢ ﺒِﺎ ﻠْﺒَﺎﻄِﻞِ ﺍِﻻﱠ ﺃﻦْ ﺘَﻜُﻮﻦَ ﺘِﺠَﺎﺮَﺓً ﻋَﻦْ
ﺘَﺮَﺍﺾٍ ﻤِّﻧْﻜﻢْ ۚ ﻮَﻻَﺘَﻘﺘﻠﻮﺍ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢۚ ﺇﻦﺍﷲ ﻜﺎﻦﺑﻜﻢ ﺮﺤﻴﻤﺎ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka.” (QS. An-Nisa:29)
Ayat tersebut
menjelaskan bahwa dalam memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam dan lingkungan
itu, seseorang harus menghormati pula kepentingan serta milik orang lain.
Dengan kata lain, ia harus menempuh cara-cara yang sah dan halal dan tidak
berlaku secara sembrono. Disamping itu didalam sebuah hadistnya Rasulullah saw
bersabda: “Dan siapa yang dibunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia
mati syahid.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist tersebut
memberikan ketegasan tentang kepemilikan
pribadi seseorang yang tidak boleh dirampas atau diambil tanpa seizinnya.
B.
Tafsir QS. Al-Maidah (5): 38
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ
اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٣٨)
a.
Tafsir Al-Misbah
Kata Assariq/ pencuri memberi kesan
bahwa yang bersangkutan telah berulang-ulang kali mencuri, sehingga ia wajar
dinamai pencuri. Jika kita memahami demikian, maka ini berarti, seorang yang
baru sekali atau dua kali mencuri belum
wajar dinamai pencuri, dan dengan demikian ia belum atau tidak dikenai sanksi
yang disebut oleh ayat diatas. Ini berbeda jika kata tersebut diterjemahkan “lelaki
yang mencuri” sebagaimana terjemahan Team Departemen Agama dalam Al-Qur’an
dan Terjemahnya (cetakan Saudi Arabia, Rajab 1415 H).
Memang
mayoritas ulama-kalau enggan berkata semua ulama-memahami kata as-sariq/as-sariqah
dalam arti sebagaimana terjemahan Departemen itu, yakni lelaki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri. Jika demikian, walau hanya sekali dia terbukti mencuri,
maka sanksi tersebut jatuh atasnya.
Ayat
diatas menyebut secara khusus as-sariqah/pencuri perempuan. Ini sengaja
digarisbawahi untuk meluruskan kekeliruan masyarakat jahiliyah yang enggan
menjatuhkan sanksi terhadap wanita yang mencuri, bukan karena sayang atau
kasihan kepada mereka, tetapi mereka tidak memberi nilai kemanusiaan kepada
perempuan, bahkan menyifati mereka sebagai
(pembelaan perempuan adalah tangis, dan kebaktiannya adalah
perempuan), yakni mencuri harta suami untuk ibu bapaknya. Rasul SAW
menyuruh memotong tangan seorang wanita dari suku Al-Makhzumiyah, yaitu Murrat
bin Sufyan, dan ketika itu orang merasa keberatan, maka Zaid Ibn Haritsah
diutus kepada Rasul untuk membatalkan sanksi hukum itu, namun Rasul SAW menolak
sambil bersabda: “Seandainya si A mencuri, akan ku potong tangannya.”
Rasul SAW dalam hadist ini menyebut seorang yang amat mulia, penulis enggan
menuliskannya karena walaupun ini perandaian, tetapi perandaian yang tidak
wajar diucapkan kecuali Rasul SAW
sendiri.
Sementara orang memahami Faqtho’u
aidiyahuma/potonglah kedua tangannya dalam arti majazi, yaknilumpuhkan
kemampuannya. Pelumpuhan dimaksud antara lain mereka pahami dalam arti
penjarakan dia.memang dikenal istilah Aqtho’u lisaanah/ potonglah lidahnya,
dalam arti jangan biarkan dia mengomel atau mengecam dengan jalan memberinya
uang. Tetapi memahami potonglah tangannya serupa dengan potonglah lidahnya
disamping tidak sejalan dengan praktek Rasul SAW, juga tidak dikenal oleh
masyarakat pengguna bahasa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an.[3]
b.
Tafsir Al-Maraghi
Barangsiapa
mencuri, baik laki-laki maupun perempuan, maka potonglah tangannya hai para
Ulil Amri, para hakim, dan para pemerintah, yaitu telapak tangan
sampaipergelangan. Karena mencuri itu dilakukan secara langsung dengan telapak
tangan, sedang lenganhanyalah membawa telapak tangan itu seperti halnya yang
dilakukan oleh badan. Sedang yang dipotong, pertama-tama ialah tangan kanan,
karena biasanya tangan kananlah pengambilan dilakukan. Hanya saja para ulama
terkemuka memang berselisih pendapat mengenaui ukuran harta curian yang
mewajibkan dilaksanakannya pemotongan kanan.
Diriwayatkan
dari Al-Hasan Al-Bashri dan Daud Azh-Zhahiri, bahwa potong tangan itu
dilaksanakan, baik harta yang diambil hanya sedikit atau banyak, berdasarkan
zhahir ayat itu. Juga berdasarhan hadist:
لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ ، يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ ،
وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ
“Allah mengutuk pencuri yang mencuri telur, lalu dipotong tangannya,
dan mencuri tali lalu dipotong tangannya.”
(HR. Bukhari
no. 6783 dan Muslim no. 1687)
Sedang
kebanyakan ulama salaf dan khalaf berpendapat, bahwa hukuman potong tangan itu
hanya dijatuhkan dalam pencurian sampai seperempat dinar (seperempat mitsqal
emas: 0,9695 gram), atau tiga dirham perak (3 dirham perak=8,145 gram).
An-Nakal, dari
kata An-Niklu, artinya tali pengikat binatang. Nakala ‘an Syai’in, artinya
mencegah diri dari sesuatu karena adanya pencegah daripadanya. Jadi An-Nakal
artinya sesuatu yang mengikat manusia dan mencegah orang-orang dari mencuri.
Maksud ayat,
potonglah tangan pencuri itu, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai balasan
atas perbuatan usahanya yang buruk, dan sebagai cegahan dan pelajaran bagi
orang lain. Dan tak ada pelajaran yang besar lagi dari pemotongan tangan, yang
membuat malu si pencuri sepanjang hidupnya dan memberinya cap aib dan kehinaan.
Dan Allah maha
perkasa dalam memberi balasan terhadap pencuri, baik laki-laki maupun
perempuan. Juga terhadap ahli maksiat lainnya, dan Allah maha bijaksana dalam
segala perbuatan-Nya. Maksudnya bahwa Allah telah meletakkan had-had dan
hukuman-hukuman sesuai dengan khikmah yang sesuai dengan masalah. Jadi apapun
yang Allah perintahkan, pastilah mengandung kemaslahatan, dan tidak melarang
suatu hal kecuali memuat kerusakan.[4]
c.
Tafsir Ibnu Katsir
Dalam ayat ini
Allah menetapkan hukum potong tangan terhadap pencuri laki-laki maupun wanita.
Hukum itu memang berlaku di masa jahiliyah, kemudian ditetapkan dalam islam
dengan syarat-syarat.
Sebagian ulama
fiqh mengambil pada lahirnya ayat, yakni nyata telah mencuri maka langsung
dipotong tangannya tanpa memandang sedikit atau banyaknya pencurian. Mereka
juga berpegang pada hadist:“Allah mengutuk pencuri yang mencuri telur, lalu
dipotong tangannya, dan mencuri tali
lalu dipotong tangannya.”
(Bukhari, Muslim)
Adapun imam
madzhab yang empat, maka masing-masing menentukan nishab harga curiannya.
Imam Malik
menetapkan pencurian itu seharga tiga dirham berdasarkan hadis ibnu Umar r.a
berkata:
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَطَعَ فِي مِجَنٍ ثَمَنُهُ
ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ
Rasulullah saw
telah memotong tangan pencuri karena mencuri perisai yang harganya tiga dirham. (Bukhari, Muslim).
Imam syafii
menetapkan pencurian itu seperempat dinar berdasarkan hadist Aisyah r.a., bahwa
Rasulullah saw bersabda: “Tangan pencuri dapat dipotong dalam pencurian yang seperempat dinar keatas (Bukhari, Muslim) Dan
tidak dipotong tangan pencuri kecuali dalam pencurian seharga seperempat dinar
keatas (Muslim).”
Hadist ini
merupakan ketegasan dalam masalah ini, sebab dengan jelas memberi batas
minimnya pencurian yaitu seperempat dinar sedang harga perisai yang disebut
tiga dirham juga berarti seperempat dinar, sebab satu dinar dua belas dirham,
maka seperempatnya tiga dirham. Sehingga dapat dipertemukan pendapat imam Malik
dan imam Syafii.
Imam Ahmad
Hanbal berkata, bahwa seperempat dinar atau tiga dirham itu merupakan ketentuan
syariat, karena itu siapa yang mencuri seharga tiga dirham atau seperempat
dinar harus dipotong tangannya. Berdasarkan hadist Ibn Umar dan Aisyah r.a.
sedang imam Ahmad meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:
اقْطَعُوا فِي
رُبُعِ دِينَارٍ، وَلاَ تَقْطَعُوا فِيمَا هُوَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ
“Potonglah
tangan pencuri itu dalam pencurian seperempat dinar dan jangan kamu potong jika kurang dari itu.” (HR. Ahmad).
Nash hadist ini
menunjukkan syarat nisab dalam pencurian.
Abu Hanifah
berpendapat bahwa nishab pencurian itu sepuluh dirham, dia berdalil bahwa harga
perisai itu sepuluh dirham menurut keterangan Ibn Abbas. Ia berkata bahwa harga
perisai dimasa Rasulullah saw sepuluh dinar. Juga dia berdalil dengan hadist
Abdullah bin Amr bin Al-Ash berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:“Tidak
dipotong tangan seorang pencuri jika pencuriannya kurang dari harga perisai”.
Sedang harga perisai menurut keterangan Ibn Abbas dan Abdullah bin Amr, sepuluh
dirham.[5]
C. ImplikasidalamKehidupanSehari-hari
Hakprivasiadalahhakuntukapa,
dengansiapa, danseberapabanyakinformasitentangdirinya yang bolehdiungkapkepada
orang lain. Setiaporang mempunyaihakuntukmenyimpanprivasinyadan orang
lainikutmenjaganya. Tujuannya agar
tidakadapenyelewengandankehidupanmenjadidamai.
D. AspekTarbawi
a. Setiap orang
memilikihakuntukmelindungidankeleluasaanpribaditanpacampurtangan orang lain.
b. Orang lain yang menyalahgunakanhaknyauntukikutcampururusan
orang lain dapatdihukumsesuaiperbuatannya.
c. Orang yang
mengambilhakmilikataumencurimilik orang lain, dapatdikenaisanksihukuman
BAB III
PENUTUP
Dari beberapa tafsir yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa setiap
manusia mempunyai hak untuk memiliki sesuatu yang tidak boleh ada campur tangan oleh orang lain.
Allah SWT telah menurunkan wahyu bahwa orang yang mencuri dikenai sanksi
hukuman di potong tangannya. Namun, beberapa ulama madzhab berbeda pendapat
dalam menentukan kadar nishab dalam pencurian. Syariat islam telah memberikan
sanksi hukuman kepada orang yang telah menyalahgunakan hak orang lain yang
tujuannya agar tidak terjadi kerusakan islam, agar kehidupan menjadi aman,
damai, serta nyaman.
DAFTAR PUSTAKA
Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy.1986. Terjemah Singkat Tafsir
Ibnu Katsier. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Musthafa Al-Maraghi, Ahmad.1987. Tafsir Al-Maraghi. Semarang:
Tohaputra Semarang.
Shihab,Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan, dan
keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
PROFIL
Nama :Kasutimah
Tempat, TanggalLahir :Pekalongan, 28 Januari 1997
Alamat :DesaPagumenganmas, Rt. 7 Rw. 4, Kec. Karangdadap, Kab.
Pekalongan.
RiwayatPendidikan:
-
SDN Pagumenganmas (Lulus 2009)
-
SMPN 1 Karangdadap (Lulus 2012)
-
MA NU Karangdadap (Lulus 2015)
-
Saatinimasihmenempuhstudisebagaimahasiswa di
FakultasTarbiyahJurusanPendidikan Agama Islam (PAI) di IAIN Pekalongansejak
2015.
[1]http://www.definisi-pengertian.com/2015/12/pengertian-manusia-definisi-menurut-ahli.htmldiakses 26 Februari2016 pukul 09.30
[2]https://pengertiandefinisi.com/pengertian-manusia-menurut-para-ahli/diakses 26 Februari 2017 pukul 09.45
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan, dan keserasian
Al-Qur’an, (Jakarta:Lentera Hati,2002), hlm, 91-93
[4] Ahmad Musthafa Al-Maraghi,
Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Tohaputra Semarang, 1987), hlm, 201-203
[5] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah
Singkat Tafsir Ibnu Katsier, (Surabaya:PT Bina Ilmu,1986), hlm, 90-92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar