Tafsir Tarbawi II
PENDIDIKAN
INTELEKTUAL TRANSENDENTAL
"Jangan
Mengikut Tanpa Dasar Ilmu"
Baitinnajmah (2021114203)
Kelas : PAI G
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah
melimpahkan taufiq, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Pendidikan
Intelektual Transendental, Jangan Mengikut Tanpa Dasar Ilmu (Surat Al-Isra’:36)
Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw.,
sahabatnya, keluarganya, serta segala umatnya hingga yaumil akhir.
Makalah ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan mengenai pendidikan
intelektual transendental. Tugas ini disajikan sebagai tugas mata kuliah Tafsir
Tarbawi II. Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini jauh
dari kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan mencoba mengembangkan dari
beberapa referensi. Apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan dan
kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya maka penulis sangat menyadari
bahwa semua itu karena keterbatasan kemampuan penulis. Akhir kata, semoga
makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca ynag
budiman. Amin
Pekalongan,
29 Maret 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Ilmu pengetahuan diberikan Allah kepada manusia melalui
kegiatan manusia itu sendiri dalam usaha memahami alam semesta. Dengan
demikian, alam semesta ini merupakan objek pemahaman sekaligus sumber
pengetahuan bagi manusia yang mau menggunakan akalnya. Ilmu pengetahuan sangat penting bagi kehidupan manusia,
karena tanpa ilmu pengetahuan manusia tidak akan bisa melakukan apa-apa. Dapat
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah hal yang paling pokok dalam
keberlangsungan hidup manusia. Dengan ilmu pengetahuan manusia dapat
menciptakan benda-benda yang dapat digunakan untuk mempermudah aktifitas
manusia. Ilmu pengetahuan juga bisa dikatakan sebagai alat untuk memperoleh
sesuatu karena dalam semua proses yang dilakukan manusia memerlukan
pengetahuan. Dan dalam mencari ilmu pengetahuan itu kita dituntut untuk mempertanggungjawabkan
setiap pendengaran, pandangan dan hati atau prasangka, agar ilmu yang kita
dapatkan tidak hanya sekedar ikut-ikut saja yang nantinya dapat mencegah
terjadinya hal-hal buruk, sehingga akan tercipta kedamaian dan kesejahteraan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana pendidikan
intelektual transendental dalam Al-Qur’an dengan tidak mengikut tanpa dasar
ilmu?
C. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui
pendidikan intelektual transendental dalam Al-Qur’an dengan tidak mengikut
tanpa dasar ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Umum
QS. Al-Isra’ ayat 36 berpesan kepada orang per
orang agar melakukan apa yang diperintah Allah dan menghindari apa yang tidak
sejalan dengannya. Lebih lanjut, ayat ini berpesan: “Janganlah mengikuti
persoalan apa pun yang engkau tidak ketahui,” yakni jangan berucap apa yang
engkau tidak ketahui, jangan mengaku tahu apa yang engkau tak tahu, atau
mengaku mendengar apa yang engaku tidak dengar. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semua yang merupakan alat-alat pengetahuan itu,
masing-masing ditanyai tentang bagaimana pemiliknya menggunakannya sedang
pemiliknya akan dituntut mempertanggungjawabkan penggunaannya.[1]
Ayat ini di satu sisi menegaskan manusia dalam konteks
tanggung jawab untuk setiap pendengaran, pandangan dan prasangka. Sedangkan di
sisi lain memerintahkan manusia untuk mencari ilmu agar tidak melakukan hal-hal
yang tercela seperti memfitnah, menuduh dan berbohong. Dalam Kaitannya dengan pendidikan intelektual adalah bahwa al-Qur’an sangat
mengedepankan kebenaran intelektual, bukan sekedar dugaan atau prasangka
belaka. Kebenaran intelektual adalah kebenaran yang didasarkan pada kebenaran
pendengaran, penglihatan, dan hati atau
akal secara integral. Maka untuk mendapatkan kebenaran intelektual ini, diperlukan
pendidikan intelektual.
A.
QS. Al-Isra’
ayat 36 dan Penafsiran
Artinya: “ Dan Janganlah engkau
mengikuti apa-apa yang tiada bagimu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu tentangnya ditanyai.”
وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ
Dan janganlah kamu
bersikap mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang kamu tidak tahu.
Kata-kata ini merupakan undang-undang yang mencakup banyak
persoalan kehidupan. Dan oleh karenanya, mengenai kata-kata ini para penafsir mengeluarkan
beberapa pendapat:
a.
Ibnu Abbas
mengatakan: Janganlah kamu menjadi saksi kecuali atas sesuatu yang diketahui
oleh kedua matamu, didengar oleh kedua telingamu dan dipahami oleh hatimu.
b.
Qatadah,
mengatakan pula: Janganlah kamu mengatakan “saya telah mendengar,” padahal kamu
belum pernah mendengar, atau “saya telah melihat,” padahal kamu tak pernah
melihat, atau “ saya telah mengetahui,” padahal kamu belum tahu.
c.
Dan ada pula
yang mengatakan bahwa yang dimaksud ialah melarang berkata-kata tanpa ilmu,
tapi hanya persangkaan dan waham belaka, seperti yang Allah Ta’ala firmankan:
اجْتَنِبُوْاكَثِيْرًامِّنَالظَّنِّ ۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ
Jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.
(Al-Hujurat:12).
Kecuali
ada dalil yang membolehkan pengamalannya, yakni manakala tidak ada satu dalil
dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, sebagaimana Nabi saw. pernah memberi
keringanan dalam kasus seperti ini kepada Mu’az, ketika beliau mengirimkannya
sebagai hakim di Yaman. Waktu itu, Nabi bersabda, “Dengan apakah kamu
memutuskan?” Jawab Mu’az, “Dengan Kitab Allah.” Nabi berkata, “Kalau tidak kamu
dapati?” Mu’az menjawab, “Maka dengan sunnah Rasulullah saw.” Kata Nabi, “Bila
tidak kamu dapati pula?” Jawab Mu’az, “Saya berijtihad dengan pendapatku.”
d.
Tapi, ada pula
yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah melarang orang-orang musyrik dari
kepercayaan-kepercayaan mereka yang didasarkan pada taqlid kepada nenek moyang
dan hanya mengikuti hawa nafsu belaka, sebagaimana Allah Ta’ala firmankan:
Itu tidak lain hanyalah nama-nama
yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya. Allah tidak menurunkan kesenangan pun untuk
(menyembahnya). Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa
yang diingini oleh hawa nafsu mereka.(An-Najm: 23)[2]
Di
ujung ayat ditegaskan: “Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati,
tiap-tiap satu daripadanya itu akan ditanya.”
Maksudnya,
masing-masing dari semua itu ditanya tentang apa yang dia pikirkan dan dia
lihat, dan pendengaran ditanya tentang apa yang ia dengar. Diungkapkan tentang
pendengaran, penglihatan dan hati bersama mereka karena semuanya adalah indera
yang dimiliki kemampuan mendeteksi. Allah menjadikan semua itu pihak yang
bertanggungjawab. Semua itu dalam kondisi seperti makhluk yang berakal. Oleh
sebab itu diungkapkan sebagaimana layaknya manusia.[3]
Terang
di sini bahwa orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik
nenek moyangnya kerena kebiasaan, adat istiadat dan tradisi yang diterima, atau
keputusan dan ta’ashshub pada golongan membuat orang tidak lagi mempergunakan
pertimbangan sendiri. Padahal dia diberi Allah alat-alat penting agar dia
berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilingnya. Dia diberi hati, atau
akal, atau fikiran untuk menimbang buruk dan baik. sedang pendengaran dan
penglihatan adalah penghubung di antara diri, atau di antara hati sanubari kita
dengan segala sesuatu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mudharat dan
manfaatnya, atau buruk dan baiknya.
Dalam
hidup beragama amat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan dan hati
bagi menimbang. Sebab kadang-kadang dipercampuradukkan orang amalan yang sunnah
dengan yang bid’ah. Bahkan kerapkali kejadian perkara yang sunnah tertimbun dan
yang bid’ah muncul dan lebih masyhur. Maka wajiblah kita beragama dengan
berilmu.
Memang, orang yang masih belum
banyak peralatan tentu akan menurut saja kepada yang lebih pandai. Tetapi
sekedar pokok-pokok dalam agama mestilah dipelajari dan ditanyakan kepada yang
lebih pandai.
(النحل
:٤٣
)
“Bertanyalah kepada orang yang ahli peringatan, kalau kamu tidak
mengetahui.”[4]
B.
Teori
Pengembangan
“Dan
Janganlah engkau mengikuti apa-apa yang tiada bagimu pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu tentangnya ditanyai.”
Tuntutan
di atas merupakan tuntunan universal. Nurani manusia, dimana dan kapan pun
pasti menilainya baik dan menilai lawannya merupakan sesuatu yang buruk, enggan
diterima oleh siapa pun. Karena itu dengan menggunakan bentuk tunggal agar
mencakup setiap orang sebagaimana nilai-nilai di atas diakui oleh nurani setiap
orang, ayat ini memerintahkan lakukan apa yang telah Allah perintahkan di atas
dan hindari apa yang tidak sejalan dengannya dan janganlah engkau mengikuti
apa-apa yang tiada bagimu pengetahuan tentangnya. Jangan berucap apa yang
engkau tidak ketahui, jangan mengaku tahu apa yang engkau tak tahu atau mengaku
mendengar apa yang engkau tidak dengar. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, yang merupakan alat-alat pengetahuan semua itu,
yakni alat-alat itu masing-masing tentangnya akan ditanyai
tentang bagaimana pemiliknya menggunakannya atau pemiliknya akan dituntut
mempertanggungjawabkan bagaimana dia menggunakannya.
Dari
satu sisi ayat ini mencegah sekian banyak keburukan, seperti tuduhan, sangka
buruk, kebohongan dan kesaksian palsu. Di sisi lain ia memberi tuntunan untuk
menggunakan pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai alat-alat untuk meraih
pengetahuan. Sayyid Quthub berkomentar bahwa ayat ini dengan kalimat-kalimatnya
yang sedemikian singkat telah menegakkan suatu sistem yang sempurna bagi hati
dan akal, mencakup metode ilmiah yang baru saja dikenal oleh umat manusia,
bahkan ayat ini menambah sesuatu yang berkaitan dengan hati manusia dan
pengawasan Allah swt. Tambahan dan penekanan ini merupakan keistemawaan Islam
dibanding dengan metode-metode penggunaan nalar yang dikenal selama ini dan
yang sangat gersang itu.
Kehati-hatian
dan upaya pembuktian terhadap semua berita, semua fenomena, semua gerak,
sebelum memutuskan itulah ajakan al-Qur’an, serta metode yang sangat diteliti
dari ajaran Islam. Apabila akal dan hati telah konsisten menerapkan metode ini,
maka tidak akan ada lagi tempat bagi waham dan khurafat dalam akidah, tidak ada
juga wadah bagi dugaan dan perkiraan dalam bidang ketetapan hukum dan
interaksi, tidak juga hipotesa atau perkiraan yang rapuh dalam bidang
penelitian, eksperimen dan ilmu pengetahuan. Amanah ‘ilamiyah yang
didengungkan di abad modern ini, tidak lain kecuali sebagian dari Amanah
aqliyah dan qalbiyah yang dikumandangkan tanggung jawabnya oleh
al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab kepada Allah swt.
yang mennganugerahkannya pendengaran, mata dan hati.[5]
Firman Allah Ta’ala, “Semua itu, “yakni hal-hal yang berkenaan dengan pendengaran,
penglihatan, dan hati” akan diminta pertanggungjawabannya”. Yakni, seorang
hamba akan ditanya mengenai hal itu pada hari kiamat, ditanya tentang dirinya
dan perbuatannya.[6]
C.
Aplikasi Tafsir
Dalam Kehidupan Manusia
Ayat 36 surat al-Isra ini
mengingatkan kita bahwa apa yang kita dengar dan lihat belum tentu menghasilkan
ilmu yang benar. Namun jika kita yakin bahwa apa yang yang kita dengar dan
lihat dapat dipertanggungjawabkan, maka kita pun mesti bertindak sesuai dengan
apa yang kita ketahui dan yakini.
Sejatinya, manusia tidak
hanya bertanggung jawab atas apa yang ia lihat dan dengar. Tapi juga terhadap
segala hal yang terlintas di benak dan hatinya. Sebab meski kita tidak
mengucapkannya secara lisan, namun betapa sering kita berprasangka buruk dalam
hati dan pikiran terhadap orang lain sehingga turut mempengaruhi perilaku dan
tindakan kita. Padahal hal itu hanya sekedar sangkaan tanpa dalil dan bukti.[7]
D. Nilai
Tarbawi
1.
Tolak ukur perbuatan dan tindakan manusia harus
berlandaskan pada ilmu dan keyakinan. Bukan semata-mata berdasarkan pendengaran
sepintas, penglihatan lahiriah ataupun sangkaan.
2.
Perlu
kehati-hatian dalam menggunakan potensi manusia, terutama mata, telinga, dan
hati/pikiran. Dalam konteks meraih ilmu, ia harus digunakan semaksimal mungkin,
di samping kewajiban menunaikan amanah ilmiah.
3. Allah SWT melarang mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan
melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan zan (dugaan) yang bersumber dari
sangkaan dan ilusi.
4. Haram berkata atau berbuat tanpa didasari oleh ilmu, karena dapat
menyebabkan kerusakan. Dan Allah Ta’ala akan menanyakan seluruh anggota badan
dan meminta persaksiannya pada hari Kiamat.
5. Kaitannya dengan pendidikan intelektual adalah bahwa al-Qur’an sangat
mengedepankan kebenaran intelektual, bukan sekedar dugaan atau prasangka
belaka. Kebenaran intelektual adalah kebenaran yang didasarkan pada kebenaran
pendengaran, penglihatan, dan hati atau
akal secara integral. Maka untuk mendapatkan kebenaran intelektual ini,
diperlukan pendidikan intelektual.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pada
surat Al-Isra’ ayat 36 ini telah menjelaskan bahwa Allah menyebutkan satu larangan, yaitu larangan mengikuti suatu perkataan
atau perbuatan yang tidak kita ketahui. Oleh karena itu, dalam
pendidikan kita di haruskan untuk menggunakan akal dan pikiran kita dan juga
meminta petunjuk hanya kepada Allah sehingga kita tidak akan masuk dalam
kesesatan melainkan kebenaran. Jalan yang dipakai jangan hanya taqlid saja
tanpa mengetahui apakah benar sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasulnya atau
tidak. Dalam belajar kita harus memiliki etika untuk tidak mengikuti apa-apa
yang tidak kita ketahui kebenarannya, apa-apa yang tidak kita lihat, dengar,
maupun yang tidak sesuai dengan suara hati kita. Dan kita dilarang berbuat atau
mengatakan hanya berdasarkan prasangka atau dugaan, tanpa pengetahuan yang
benar karena prasangka tidaklah dibenarkan sehingga dikhawatirkan akan
menyesatkan orang lain. Dan semua itu akan dipertanggung jawabkan kepada Allah
swt di hari akhir.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1988. Tafsir
Al-Maragi. Juz XV. Semarang: PT.
Karya Toha Putra Semarang.
Al Qurthubi, Syaikh Imam. 2008. Tafsir
Al Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.
Jakarta: Gema
Insani Press.
Hamka. 1984. Tafsir Al-Azhar Juz XV. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Iran Indonesia Radio IRIB World Service, http://indonesian.irib.ir/international/eropa/item/104841-tafsir-surat-al-isra-ayat-34-36, diakses pada tanggal 27 Maret 2016
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan
Keserasian al-
Qur’an. Jakarta:
Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2012. Al-Lubab Makna, Tujuan Dan Pembelajaran Dari
Surah-Surah Al-Qur’an.
Tanggerang: Lentera Hati.
PROFIL PENULIS
Nama : Baitinnajmah
Nim : 2021114203
TTL : Pekalongan, 13 Juni
1996
Alamat : Perum Grogolan
Baru Gg.Mawar
II,Pekalongan Barat
Motto : Success never comes to
the indolence
(Sukses tidak pernah datang kepada
orang yang malas)
[7]
Iran Indonesia Radio IRIB World Service, http://indonesian.irib.ir/international/eropa/item/104841-tafsir-surat-al-isra-ayat-34-36, diakses pada tanggal 27 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar