BAB I
PENDAHULUAN
Tiap-tiap aliran filsafat bukanlah merupakan usaha mengakhiri
perbedaan-perbedaan prinsipil dari suatu ajaran. Tetapi justru di dalam
kebebasan memilih dan mengembangkan ide-ide filsafat itu, asas filosofis yang
menghormati martabat kemanusiaan setiap orang tidak hanya teroritis adanya,
melainkan praktis, dilaksanakan. Inilah satu bukti dan jaminan konkrit
kebenaran-kebenaran filsafat yang asasi.
Jadi mengingkari kebebasan subyek, meniadakan eclecticisme
bertentangan dengan asas-asas utama di dalam filsafat yang ideal. Dan ini
perlahan-lahan tetapi pasti, membunuh perkembangan filsafat itu sendiri. Bahkan
tidak adanya eclecticisme itu bertentangan dengan kodrat asasi pribadi manusia
yang mengandung sifat-sifat individualitas dan sifat kepribadian yang unik.
Klasifikasi aliran-aliran filsafat pendidikan berdasarkan
perbedaan-perbedaan teori dan praktek pendidikan yang menjadi ide pokok
masing-masing filsafat tersebut. Demikian pula klasifikasi itu sendiri akan
berbeda-beda menurut cara dan dasar yang menjadi kriteria dalam menetapkan
klasifikasi itu. Misalnya ada yang membuat klasifikasi aliran filsafat
pendidikan berdasarkan asas dichotomi yakni antara aliran progressive dan
aliran conservative. Tetapi klasifikasi yang demikian sukar untuk menampung
adanya kenyataan bahwa masing-masing aliran yang relatif banyak itu mempunyai
pula segi-segi yang overlapping. Karena itu tak akan ada sifat yang murni bagi
suatu aliran untuk digolongkan sebagai konservatif semata-mata, jika kita cukup
jujur untuk melihat adanya unsur-unsur progressif di dalamnya. Itulah sebabnya,
perlu kita sadari bahwa klasifikasi aliran-aliran filsafat itu harus didasarkan
atas penelitian yang mendalam dan sangat hati-hati.
BAB II
PEMBAHASAN
”ALIRAN PERENIALISME DAN ALIRAN REKONTRUKSIONISME”
A.
Aliran Perenialisme
Perenialisme diambil dari kata perennial, yang diartikan
sebagai continuing throughout the whole year atau lasting for a very long time, yang
bermakna abadi atau kekeal. Dari makna tersebut mempunyai maksud bahwa
Perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai
dan norma-norma yang bersifat kekal dan abadi.
Aliran Perenialisme menganggap bahwa zaman modern adalah zaman yang
mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan sehingga banyak
menimbulkan krisis di segala bidang kehidupan manusia. Untuk menghadapi situasi
krisis itu, perenialisme memberikan pemecahan dengan jalan regressiv road to
culture, yaitu jalan kembali atau mundur kepada kebudayaan lama (masa
lampau), kebudayaan yang dianggap ideal dan telah teruji ketangguhannya.
Disinilah pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam rangka mengembalikan
keadaan manusia modern kepada kebudayaan masa lampau yang ideal tersebut
(Zuhairini,1995: 27-28).
Pendiri utama dari aliran filsafat ini adalah Aristoteles, kemudian
didukung dan dilanjutkan oleh St. Thomas Aquines yang menjadi pembaru utama di
abad ke-13 (Ali, 1993:154). Aristoteles dan Thomas Aquines meletakkan dasar
bagi filsafat ini, hingga pada pokoknya ajaran filsafat ini tidak berubah
semenjak abad pertengahan. Kendati banyak bermunculan dan berjatuhan
rival-rival filsafat ini, namun ia tetap berlajut dari generasi kegenerasi,
dari tahun ketahun, bahkan ratusan tahun, dan tetap tumbuh dan berkembang.
1)
Latar Belakang
munculnya Aliran Perenialisme
Di Zaman modern ini, banyak bermunculan krisi di berbagai bidang
kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan krisis
ini, perenialisme memberikan jalan keluar yaitu dengan mengebalikan pada kebudayaan
masa lampau yang dianggap cukup ideal danteruji ketangguhannya. Untuk itu,
pendidikan harus lebih banyak mengarah perhatiannya pada kebudayaan ideal yang
telah teruji dan tangguh.
Pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada
kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Karena itu. Perenialisme
memandang pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan
manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal dimaksud, “Education as
cultural regression.” Perenialisme tak melihat jalan yang meyakinkan selain
kembali kepada prinsip-prinsip yang telah sedemikian mebentuk sikap kebiasaan,
bahkan kepribadian manusiaselain kebudayaan dulu dan kebudayaan abad
pertengahan.
2)
Pandangan
Ontologi Perenialisme
Ontologi perenialisme terdiri dari pengertian-pengertianseperti
benda individual, esensi, aksiden dan subtansi. Secara ontologis, perenialisme
membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya. Benda individual di
sini adalah benda sebagaimana yang tampak dihadapan manusia dan yang ditangkap
dengan panca indra seperti batu, lembu, rumput, orang dalam bentuk, ukuran,
warna dan aktivitas tertentu. Esensi dari suatu kualitas menjadikan benda itu
lebih intrinsik dari pada fisiknya, seperti manusia yang ditinjau dari
esensinya adalah makhluk berfikir. Sedangkan aksiden adalah keadaan-keadaan
khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan
yang esensial. Dengan demikian, segala yang ada di alam semesta ini, seperti
manusia, batu, bangunan dasar, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, merupakan hal yang
logis dalam karakternya.
3)
Pandangan
Epistimologi Perenialisme
Perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui
dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran
adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian anatara pikiran dengan benda-benda.
Benda-benda di sini adalah hal-hal yang keberadaannya bersendikan
prinsip-prinsip keabadian. Ini berarti, bahwa perhatian mengenai kebenaran
adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran
itu akan terlindung apabila segala sesuatu dapat diketahui dan nyata. Jelaslah
bahwa pengetahuan itu merupakan hal yang sangat penting karena ia merupakan
pengolahan akal pikiran konsekuen.
4)
Pandangan Aksiologi
Perenialisme
Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan asas-asas
supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu,
ontologi dan epistimologi tidak hanya didasarkan pada prinsip teologi dan
supernatural, tetapi juga aksiologi. Khusus dalam tingkah laku manusia, manusia
sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai kodratnya,
disamping kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan yang tidak baik
(Muhammad Noor Syam, 1986: 319).
Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam prerenialisme, karena
ia berdasarkan pada asas-asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi,
khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama pada
jiwanya. Oleh karena itu, hakikat manusia itu juga menentukan hakikat
perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nialai adalah persoalan spiritual. Dalam
aksiologi, prinsip pikiran demikian bertahan dan tetap berlaku. Secara etika,
tindkan itulah yang bersesuaian dengan sifat rasional manusia, karena manusia
itu secara alamiah condong pada kebaikan.
Jadi, manusia sebagai subjek dalam tingkah laku telah memiliki
potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya,
di samping kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan ke arah
yang tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat
rasional manusia.
5)
Pandangan
Perenialisme tentang Belajar
Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut perenialisme, adalah
latiahan dan displin mental. Maka, teori dan praktik pendidikan haruslah
mengarah kepada tuntutan tersebut. Teori dasar dalam belajar menurut
Perenialisme terutama:
a.
Mental diciplin
sebagai mental
b.
Rasionalitas
dan asas Kemerdekaan
c.
Learning to
Reason (Belajar untuk berfikir)
d.
Belajar sebagai
persiapan hidup
e.
Learning
through teaching (Belajar
melalui pengajaran)
6)
Pandangan
Perenialisme mengenai Pendidikan
Sebagai filsafat pendidikan umumnya, filsafat pendidikan
perensialisme juga mempengaruhi sekolahan-sekolahan modern sekarang,
pandangan-pandangan kuikulumnya mempengaruhi pratik pendidikan.
a.
Pendidikan
Dasar dan (Sekolah) Menegah
1.
Pendidikan
sebagai persiapan
2.
Kurikulum
sekolah menengah
b.
Pendidikan
Tinggi dan Adult Education
1.
Kurikulum
Universitas
2.
Kurikulum
Pendidikan Orang Dewasa (Adult Education)
B.
Aliran Rekontruksionisme
Pendidikan merupakan suatu proses pemindahan ilmu dari satu
generasi ke generasi selanjutnya dalam rangka pelestarian kebudayaan. Oleh
karena itu, sebuah pendidikan harus selalu dinamis dalam mencapai tujuannya.
Seiring dengan itu, maka dalam menerapkan suatu sisitem dalam pendidikan harus
selalu sejalan dengan dinamika manusia dan masyarakatnya. Sejak dahulu sampai
sekarang sering kita rasakan perkembangan dari pendidikan dengan adanya
perubahan kurikulum yang dilaksanakan dalam sebuah sekolah. Hal ini memang
diperlukan agar pendidikan dapat sesuai dengan perkembangan sosial budayadan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kata rekontruksionisme berasal dari bahasa Inggris rekonstuct, yang
berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan,aliran
rekontruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan
lama dengan membangun tata susuna hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran
rekontruksionisme pada prinsipnya sepaham dengan alira perensialisme, yaitu berawal
dari krisis kebudayaan modern.
1.
Latar Belakang
Kehadiran aliran rekontruksionisme ini dalam pendidikan didorong
oleh adanya suatu tuntutan yang menghendaki agar sekolah berperan mengambil
bagian dalam membangun masyarakat masa depan. Hal ini dikarenakan masyarakat
mengalami kebimbangan, ketakutan dan kebingungan dalam menghadapi perkembangan
zaman. Rekontruksionisme ini berusaha membina suatu konsensus yang paling luas
dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Dan rekontruksionisme ini pertama kali dikemukakan oleh Brameld dan Brubacher
yang menkajiide pokok rekontruksionisme.
2.
Ontologi Aliran
Rekontruksionisme
Rekontruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha mencari
kesepakatan tentang tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia
dalam suatu tata susunan baru seluruh lingkungannya, dengan kata lain
rekontruksionisme ingin merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang sama sekali baru melalui lembaga dan proses pendidikan.
Tujuan ini hanya mungkin diujudkan melalui usaha kerjasama dari
semua bangsa-bangsa. Penganut aliran ini yakin bahwa telah tumbuh kesadaran dan
konsensus seperti dimaksud di seluruh dunia. Mereka telah percaya bahwa telah
ada hasrat yangsama dari bangsa-bangsa tentang cita-cita nyang tersimpul dalam
ide rekontruksionalisme. Yang dimaksud disini adalah suatu dunia yang diatur,
diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh
suatu golongan (Mohammad Noor Syam, 1988: 314).
3.
Epistimologi
Ailran Rekontruksionisme
Kajian epistimologi aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran
pragmatisme (progressive) dan perenialisme. Menurut aliran ini, untuk
memahami realitas memerlukan suatu asas tahu. Maksudnya, kita tidak mungkin
memahami realita ini tanpa melalui proses pengalama dan hubungan dengan realita
terlebih dahulum melalui penemuan ilmu pengetahuan. Karenanya, baik indra
maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal dibawa oleh
panca indra menjadi pengetahuan yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat
dibuktikan dengan self-evidence, yakni bukti yang ada pada diri
sendiri,realita, dan eksistensinya. Dengan kata lain, pengetahuan yang benar
buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri.
4.
Aksiologi
Aliran Rekontruksionisme
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai.
Begitu juga dalam hubungan manusia dengan alam semesta, prosesnya tidak mungkin
dilakukan dengan sikap netral. Dalam halini, manusia sadar ataupun tidak sadar
telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan manusia. Tetapi,
secara umum ruang lingkup pengertian “nilai” ini tidak terbatas.
Menurut Barnadib (1992: 69), aliran ini memandang masalah nilai
berdasarkan asas-asas supernatural, yakni menerima nilai natural yang
universal, yang abadi, berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia
adalah emanasi potensial yang berasal dari Tuhan. Atas dasar pandangan inilah tinjauan tentang kebenaran
dan keburukan dapat diketahui.
5.
Pandangan
Aliran Rekontruksionisme tentang Belajar
Pandangan aliran ini terhadap belajar juga dapat dilihat dari
beberapa aspek pendidikan, yaitu:
a)
Pelajar
b)
Pengajar
c)
Pengajaran
6.
Pandangan
Aliran Rekontruksionisme tentang Pendidikan
Pandangan aliran rekontruksionisme tentang pendidikan ini dapat
dilihat dari beberapa, aspek, yaitu:
a)
Teori
Pendidikan Aliran Rekontruksionisme
Ø Tujuan pendidikan
Ø Metode pendidikan
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aliran Perenialisme dianggap sebagai “ regressive road to
culture” yakni jalan kembali ke kebudayaan masa lampau. Pandangan
perenialisme mengenai belajar dengan mendasarkan pada teori belajar; Mental
discipline sebagai teori dasar, rasionalitas dan asas kemerdekaan, belajar
untuk berfikir serta belajar sebagai persiapan hidup. Perenialisme juga
memiliki formula mengenai jenjang pendidikan beserta kurikulum, yaitu
pendidikan dasar dan (sekolah) menengah, pendidikan tinggi dan adult
education.
Munculnya aliran rekontruksionisme ini didorong oleh adanya suatu
tuntunan yang menghendaki agar sekolah berperan mengambil bagian dalam
membangun masyarakat masa depan. Rekontruksionisme adalah suatu aliran dalam
filsafat pendidikan yang berusaha mencari kesepakatan tetang tujuan utama yang
dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam tata susunan baru seluruh
lingkungannya, dengan kata lain rekontruksionisme ingin merombak tata susunan
lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru melalui
lembaga dan proses pendidikan.