“GEZAG” (WIBAWA)
Arizqi Mulyawan
2023116046
Kelas A
JURUSAN PGMI FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN (IAIN PEKALONGAN)
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah
SWT. Atas izin-Nya makalah yang berjudul “Gezag” ini dapat diselesaikan.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW.,
sahabatnya, keluarganya, dan umatnya hingga akhir zaman.
Makalah
ini dibuat untuk dibaca dan diaplikasikan terhadap profesi guru terutama dalam
kewibawaan guru supaya guru sendiri dapat mengetahui bahwa pentingya kewibawaan
seorang pendidik dalam proses pendidikan.
Penyusun
sudah berusaha menyusun makalah ini selengkap mungkin. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada panitia pelatihan yang telah memberi tenaga maupun waktunya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Penulis juga menerima saran dan
kritik dari pembaca guna peneyempurnaan makalah mendatang. Semoga makalah ini
dapat memberi manfaat bagi pembaca Amin yaa rabbal aalamin.
Pekalongan,
7 September 2017
Arizqi
Mulyawan
PENDAHULUAN
Tema :
Keterampilan Dasar Mengajar
Sub Tema :
Gezag
Mengapa Penting Dikaji? Karena gezag atau
kewibawaan harus melekat pada diri setiap pendidik, karena sesungguhnya
pendidikan tanpa adanya kewibawaan pada diri si pendidik akan gagal atau bisa
dikatan tidak berhasil dengan baik. Kewibawaan atau gezag bertujuan untuk
menciptakan atau membawa anak menjadi pribadi yang mempunyai atau mengenal
norma – norma dan nilai hidup agar bisa menyesuaikan norma – norma dan nilai
hidup didalam hidupnya.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gezag
Gezag berasal dari kata zeggen yang berarti “berkata”. Siapa yang perkataannya mempunyai
kekuatan mengikat terhadap orang lain, berarti mempunyai kewibawaan atau gezag terhadap orang lain.
Gezag atau kewibawaan itu ada pada orang dewasa,
terutama pada orang tua. Dapat kita katakan bahwa kewibawaan yang ada pada
orang tua (ayah dan ibu) itu adalah asli. Orang tua dengan langsung mendapat
tugas dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya, suatu hak yang tidak dapat
dicabut karena terikat oleh kewajiban. Hak dan kewajiban yang ada pada orang
tua itu keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.[1]
B. Kepribadian Guru yang Berwibawa
Untuk menjadi guru, seseorang harus memilki kepribadian yang kuat dan
terpuji. Kepribadian yang harus ada pada diri guru adalah kepribadian yang
mantap dan stabil, dewasa, arif dan berwibawa. Kepribadian yang mantap dan
stabil memiliki indikator esensial, yaitu: bertindak sesuai dengan norma hukum
dan norma sosial, bangga sebagai guru, dan memiliki konsistensi dalam bertindak
dan berperilaku. Kepribadian yang dewasa memiliki indikator esensial, yaitu:
menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memilki etos kerja
sebagai guru. Kepribadian yang arif memiliki indikator esensial, yaitu:
menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan siswa, sekolah, dan masyarakat
serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak. Kepribadian yang
berwibawa memiliki indikator esensial, yaitu: memiliki perlaku yang berpengaruh
positif terhadap proses dan hasil belajar siswa, perilaku yang disegani dan
berakhlak mulia yang bertindak sesuai dengan norma agama (iman dan takwa,
jujur, ikhlas, suka menolong), dan perilaku yang diteladani siswa.[2]
Berkenaan dengan wibawa; guru harus memiliki kelebihan dalam merealisasikan
nilai spiritual, emosional, moral, sosial dan intelektual dalam pribadinya,
serta memiliki kelebihan dalam pemahaman ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
sesuai dengan bidang yang dikembangkan.[3] Seorang
guru harus berwibawa. Dengan adanya kewibawaan proses belajar mengajar akan
dapat terlaksana dengan baik, siswa mematuhi apa yang ditugaskan oleh guru.[4]
Kewibawaan guru atau pendidik lainnya, yang karena jabatan, juga memiliki
dua sifat:
1. Kewibawaan pendidikan
Sama halnya dengan kewibawaan pendidikan yang ada pada
orang tua, guru atau pendidik karena jabatan atau berkenaan dengan jabatannya
sebagai pendidik, telah diserahi sebagian dari tugas orang tua untuk mendidik
anak-anak. Selain itu, guru atau pendidik karena jabatan menerima kewibawaannya
sebagian lagi dari pemerintah yang mengangkat mereka. Kewibawaan pendidikan
yang ada pada guru ini terbatas oleh banyaknya anak-anak diserahkan kepadanya,
dan setiap tahun berganti murid.
2. Kewibawaan memerintah
Selain memiliki kewibawaan pendidikan, guru atau pendidik
karena jabatan juga mempunyai kewibawaan memerintah. Mereka telah diberi
kekuasaan (gezag) oleh pemerintah atau instansi yang mengangkat mereka.
Kekuasaan tersebut meliputi pimpinan kelas; di sanalah anak-anak telah
diserahkan kepadanya. Bagi kepala sekolah kewibawaan ini lebih luas, meliputi
pimpinan sekolahnya.
Kewibawaan harus dimiliki oleh guru, sebab dengan kewibawaan proses
belajar-mengajar akan terlaksana dengan baik, berdisiplin, dan tertib. Dengan
demikian kewibawaan bukan taat dan patuh pada peraturan yang berlaku sesuai
dengan apa yang dijelaskan oleh guru (Cece Wijaya dan Tabrani Rusyan, 1992).[5]
C.
Unsur-unsur yang Menentukan Kewibawaan
Aspek lain dari kepribadian guru yang
juga penting untuk diperhatikan adalah aspek kewibawaan. Kewibawaan yang
melekat dalam diri guru akan memudahkan bagi guru untuk menjalankan tugasnya.
Guru yang tidak memiliki kewibawaan, walaupun dari sisi pegetahuan lebih
mumpuni, tidak akan dihargai dan dihormati oleh para siswanya. Kewibawaan
bukanlah untuk menakut-nakuti para siswa. Kewibawaan adalah manifestasi lain
dari kepribadian guru. Kewibawaan sejati
tidak diperoleh dengan penyalahgunaan kekuasaan dengan ancaman, tetapi dari
kematangan pribadi, keluasan ilmu, moralitas, dan manifestasi perilaku
sehari-harinya. Kewibawaan yang diperoleh dengan jalan penggunaan kekuasaan
yang ada, misalnya dengan menghukum,
killer, atau suka mengancam menjadikan kewibawaan semacam itu tidak akan
bertahan lama. Sangat mungkin ketika jauh dari pengawasan guru tersebut, para
siswa mencemooh, mengekspresikan kebenciannya, dan sebagainya.
Secara umum,
kewibawaan dapat diartikan sebagai kualitas “daya pribadi” pada diri seorang
individu yang sedemikian rupa sehingga membuat pihak lain tertarik, bersikap
memercayai, menghormati, dan menghargai secara intrinsik (sadar, ikhlas),
sehingga secara instrinsik pula akan mengikutinya. Kewibawaan seorang guru
dipengaruhi oleh beragam faktor, baik internal atau eksternal, formal atau
informal, material maupun nonmaterial, tampak atau tidak tampak, semu atau
asli. Dari sisi sifat kewibawaan bersifat relatif dan situasional. Dengan
demikian, ada seorang guru yang sangat berwibawa pada suatu kondisi tertentu,
tetapi kewibawaann tersebut bisa hilang karena berbagai faktor.
Secara umum,
sebagaimana dijelaskan oleh Mohamad Surya (2006), ada empat unsur yang ikut
menentukan kewibawaan seseorang, termasuk guru. Pertama, keunggulan. Kewibawaan seseorang banyak ditentukan oleh
keunggulan tertentu yang ada dalam dirinya. Keunggulan itu berupa kelebihan
yang dimiliki dalam berbagai hal, tergantung kepada situasi kewibawaannya.
Dalam bidang akademik kewibawaan akan banyak ditentukan oleh keunggulan
penguasaan akademik tertentu. Keunggulan yang berkaitan dengan kewibawaan guru
mencakup keunggulan dalam kompetensi yang dituntut oleh jabatan profesi guru.
Seorang guru akan diakui kewibawaannya karena memiliki kompetensi sebagai
sumber keunggulannya yang mencakup kompetensi profesional, personal, sosial,
fisik, moral, dan spiritual. Keunggulan atau kelebihan ini dapat diperoleh oleh
seorang guru melalui pendidikan formal dan informal, pengalaman, dan pembinaan
yang diperoleh, baik di dalam maupun di luar pelaksanaan tugasnya.
Kedua, rasa
percaya diri. Rasa percaya diri akan banyak memengaruhi penampilan diri
seseorang dan kewibawaannya. Dengan kepercayaan diri yang kuat, seseorang akan
tampil lebih menyakinkan dengan wibawa yang mantap sehingga dapat memengaruhi
orang lain. Rasa percaya diri lebih banyak menggambarkan kualitas kepribadian
seseorang yang bersumber pada konsep dirinya. Banyak faktor yang berkaitan
dengan rasa percaya diri ini, antara lain kesiapan fisik dan mental dalam
menghadapi berbagai situasi, kualitas keyakinan, sikap mental, kemampuan
berkomunikasi, kualitas kompetensi sosial, pengalaman, penguasaan kemampuan,
dan kualitas intelektual.
Ketiga, ketepatan
dalam pengambilan keputusan. Bentuk dan mutu keputusan akan banyak menentukan
kewibawaan. Makin tepat seorang guru mengambil keputusan, terutama dalam
situasi kritis dan mendesak, makin besar kemungkinan untuk mendapat pengakuan
terhadap kewibawaannya. Sebaliknya, kekurangtepatan dalam mengambil keputusan
merupakan faktor penentu terhadap unjuk diri dan untuk kerja seseorang,
khususnya guru, dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Dengan demikian,
ketepatan pengambilan keputusan merupakan salah satu tuntutan profesional dalam
mewujudkan keefektifan kinerja. Kewibawaan
guru akan meningkat melalui kemampuan pengambilan keputusan secara tepat,
seperti keputusan dalam memilih materi ajar, memilih dan menggunakan metode,
peniliaian, atau motivasi.
Keempat, tanggung
jawab atas keputusan yang telah diambil. Setiap keputusan yang telah diambil
akan menimbulkan berbagai konsekuensi, baik positif maupun negatif. Guru harus
bertanggung jawab atas keputusan yang telah diambilnya. Menghindari tanggung
jawab akan mengurangi terhadap kewibawaan.
Keempat unsur
tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan akan bermuara pada penampilan
seseorang dalam melaksanaan tugas dan fungsinya. Kekurangseimbangan dari
keempat faktor tersebut akan memengaruhi kualitas kewibawaan. Kewibawaan yang
sejati, bukan kewibawaan yang semu, akan mampu menjamin efektivitas proses
interaksi pembelajaran, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
Salah satu bentuk
menjaga kewibawaan adalah dengan memberi keteladanan. Tidak akan ada wibawa
tanpa adanya bentuk keteladanan. Ungkapan dari tokoh pendidikan nasional, Ki
Hadjar Dewantoro, Ing Ngarso Sung
Tuladha, adalah kata-kata hikmah yang sangat relevan dalam usaha penegakan
disiplin.
Ajaran agama Islam
telah memberikan contoh yang sangat baik dalam aspek ini. Dengan keas al-Qur’an
memperingatkan agar kita jangan sampai menganjurkan sesuatu, namun kita tidak
menjalankannya.
“Wahai
sekalian orang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuat yang kamu sendiri tidak
menjalankannya? Sungguh besar dosanya di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
sesuatu yang kamu sendiri tidak menjalankannya”(QS 2: 115).
Ada sebuah contoh
nyata yang layak untuk dijadikan bahan perenungan bersama. Penulis pernah
memiliki seorang guru yang sebenarnya sangat disiplin. Bahkan saking
disiplinnya, dan diikuti dengan watak killer,
sampai menimbulkan antipati dikalangan para siswa. Rasanya sebagian besar,
atau bahkan semua siswa dalam kelas kurang menyukai beliau. Mengikuti pelajaran
beliau bukan dilandasi oleh rasa suka, tetapi karena terpaksa. Rasa-rasanya
mengikuti pelajaran guru yang satu ini menjadikan kami seolah berada dalam
tahanan. Suatu ketika, beliau menderita sakit yang cukup parah. Bukannya prihatin, teman-teman justru
bersorak kegirangan. Apalagi kemudian datang guru baru mengganti.
Sikap semacam ini
memang bukan cermin yang baik, tetapi dalam konteks pelajar yang penuh dengan
ketertekanan, sikap tersebut dapat dipahami. Aspek yang ingin penulis tekankan
dari kisah ini adalah keharusan bagi guru untuk memiliki sikap dan kepribadian
yang baik. Sikap semacam ini akan menumbuhkan rasa suka para siswanya untuk
mengikuti pembelajaran. Pembelajaran tidak akan mampu mencapai hasil maksimal
manakala para siswanya membenci terhadap gurunya.[6]
D.
Fungsi Kewibawaan dalam Pendidikan
Sekarang akan kita
bicarakan fungsi-fungsi kewibawaan dalam pendidikan. Jadi, kita akan bicarakan perbawa pendidikan. Artinya, perbawa
yang dipergunakan sampai pada waktu si anak menjadi dewasa, dan sesudah dewasa,
gezag itu dihentikan.
Pendidikan itu
terdapat dalam pergaulan antara orang dewasa dan anak-anak. Sebagai pergaulan
antara orang dewasa sesamanya, orang menerima dn bertanggung jawab sendiri
terhadap pengaruh-pengaruh pergaulan itu.
Demikian pula
pergaulan antara anak-anak dan anak-anak biarpun sering seorang anak menguasai
dan dituruti oleh anak-anak lainnya, tetapi kekuasaan atau gezag yang terdapat pada anak itu tidak bersifat gezag pendidikan karena kekuasaan itu
tidak tertuju pada tujuan pendidikan.
Tidak setiap macam
tunduk atau menurut terhadap orang lain (seperti menurut kepada
perintah-perintah anak-anak lain) dapat dikatakan “tunduk terhadap wibawa
pendidikan”. Bagaimana sikap anak terhadap kewibawaan pendidik? Dalam hal ini
Langeveld menjelaskan:
1.
Sikap menurut atau mengikut (volgen), yaitu mengakui kekuasaan orang lain yang lebih
besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau menurut yang sebenarnya.
2.
Sikap tunduk atau patuh (gehoorzamen), yaitu dengan sadar mengikuti kewibawaan,
artinya mengakui hak orang lain untuk memerintah dirinya, dan dirinya merasa
terikat untuk memenuhi perintah itu.
Dalam hal yang
terakhir inilah tampak fungsi wibawa pendidikan, yaitu membawa si anak ke arah
pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan
mau menjalankannya juga.
Bentuk yang paling
sederhana dalam hubungan kewibawaan barulah timbul bila si anak dapat mengerti
bahasa untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang apa yang diperbolehkan dan apa
yang tidak diperbolehkan oleh pendidik. Oleh karena itu, pentinglah bagi si
orang tua untuk mengucapkan maksudnya dengan tegas dan terang, dengan kata-kata
yang sesuai dengan pengertian si anak, apa sebenarnya yang dikehendaki dan
diharapkan dari si anak itu. Jika si orang tua tidak mempergunakan bahasa yang
demikian, karena malu atau tidak berani memerintah, hal yang demikian akan
mengakibatkan si anak tidak akan belajar patuh atau tunduk dalam arti kata sebenarnya,
dan kelak tidak dapat mengakui wibawa di atas dirinya.
E.
Pengggunaan Kewibawaan pada Pendidikan
Tentu saja yang
dimaksud disini ialah kewibawaan pendidikan, yaitu menolong dan memimpin si
anak ke arah kedewasaannya. Bahwa kurang lebih umur tiga tahun pada anak
terdapat permulaan pembentukan kepribadian (pembentukan “Aku”), terdapat suatu
kemungkinan untuk menurut karena anak itu sendiri yang menghendakinya. Tentu saja
hal ini tidak segera ada dalam bentuknya yang sempurna. Itu harus dicapai pada
masa dewasa, jadi harus mengalami perkembangan. Oleh karena itu, penggunaan
kewibawaan pada pendidikan harus berdasarkan faktor-faktor berikut.
1.
Dalam menggunakan kewibawaannya itu hendaklah didasarkan
atas perkembangan anak itu sendiri sebagai pribadi. Pendidik hendaklah mengabdi
kepada pertumbuhan anak yang belum selesai perkembangnya. Dengan kebikjasanaan
pendidik, hendaklah anak dibawa ke arah kesangggupan memakai tenaganya dan
pembawaanya yang tepat. Jadi, wibawa pendidikan itu bukan bertugas memerintah
melainkan mengamati serta memperhatikan dan menyesuaikannya pada perkembangan
dan kepribadian masing-masing anak.
2.
Pendidik hendaklah memberi kesempatan kepada anak untuk
bertindak atas inisiatif sendiri. Kesempatan atau keluasaan itu hendaknya makin
lama makin diperluas, sesuai dengan perkembangan dan bertambahnya umur anak.
Anak harus diberi kesempatan cukup untu melatih diri bersikap patuh, karena si
anak dapat bersikap tidak patuh. Jadi, dengan wibawa itu hendaklah pendidik
berangsur-angsur mengundurkan diri sehingga akhirnya tidak diperlukan lagi.
Mendidik anak berarti mendidik untuk dapat berdiri sendiri.
3.
Pendidik hendaknya menjalakan kewajibannya itu atas dasar
cinta kepada si anak. Ini berarti bermaksud hendak berbuat sesuatu untuk
kepentingan si anak. Jadi, bukannya memerintah atau melarang untuk
kepentingannya sendiri. Cinta itu perlu bagi pekerjaan mendidik. Sebab, dari
cinta atau kasih sayang itulah timbul kesanggupan selalu bersedia berkorban
untuk sang anak, selalu memperlihatkan kebahagiaan anak yang sejati.
Jelaslah kiranya
bahwa perbawa dalam pendidikan itu hendaklah jangan hanya didasarkan atas
larangan-larangan atau perintah-perintah yang diberikan pada waktu itu saja,
tetapi hendaknya pendidik bersedia memberi waktu pada si anak, sesuai dengan
perkembangan umurnya, untuk dapat memilih apakah perbuatan-perbuatannya
melanggar atau tidak terhadap kehendak atau keinginan pendidik. Wibawa pendidik
hendaklah berangsur-angsur berkurang dan akhirnya selesai bila telah tercapai
tingkat kedewasaan; yang berarti telah dapat mengakui kewibawaan atas dirinya
sendiri dan dapat melaksanakan apa yang telah dipercayakan kepada dirinya, dan
pula mengakui kewibawaan orang lain yang lebih tinggi.[7]
PENUTUP
A. Daftar Pustaka
Darmadi,
Hamid. 2010. Kemampuan Dasar Mengajar
(Ladasan dan Konsep Implementasi). Bandung: ALFABETA, CV
Mulyasa,
E. 2006. Menjadi Guru Profesional
Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Naim, Ngainum. 2013. Menjadi Guru Inspiratif
Memperdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Purwanto,
M. Ngalim. 2000. , Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Suyanto
dan Asep Jihad. 2013. Menjadi Guru
Profesional Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global. Jakarta:
esensi Erlangga Group
B.
Biodata penulis
Nama :
Arizqi Mulyawan
Tempat/ Tanggal Lahir :
Pekalongan, 9 Mei 1998
Alamat :
Jalan Darma Bhakti Gg. 5 No. 133 RT 04 RW 11
Kelurahan Medono Kecamatan Pekalongan Barat Kota Pekalongan 51111
Riwayat Pendidikan :
1. TK Masyitoh 10 Lulus tahun 2004
2. MSI 14 Medono Lulus tahun 2010
3. SMP Negeri 13 Pekalongan Lulus tahun 2013
4. SMA Negeri 4 Pekalongan Lulus tahun 2016
5. IAIN Pekalongan masih berlangsung
C.
Cover
[1] M.
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis
dan Praktis (cet. Ke-13; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 48-49
[2] Suyanto
dan Asep Jihad, Menjadi Guru Profesional
Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global (Jakarta: esensi Erlangga Group, 2013), hlm.
39
[3] E.
Mulyasa, Menjadi Guru Profesional
Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (cet. Ke-6; Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 37
[4] Hamid
Darmadi, Kemampuan Dasar Mengajar
(Ladasan dan Konsep Implementasi) (cet. Ke-2; Bandung: ALFABETA, CV.,
2010), hlm.
[5] Ngainun
Naim, Menjadi Guru Inspiratif
Memperdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa (Cet. Ke-5; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 44
[7] M.
Ngalim Purwanto, op. Cit., hlm. 50-53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar