MAKALAH
RUMAH SEBAGAI MADRASAH
DAN
MEMANFAATKAN TENAGA PENGAJAR PROFESIONAL
Disusun guna
memenuhi tugas semester genap
Mata Kuliah : Hadits
Tarbawi 2
Dosen
Pengampu : Muhammad Ghufron, M.S.I
Nama :
Anisa Amalia Zikrina
NIM :
2021111050
Kelas : B
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2013
PENDAHULUAN
Dalam pandangan Islam dikenal bahwa
kaum ibu adalah bagaikan madrasah. Jika madrasahnya baik, maka muridnya akan
menjadi baik. Agar anak-anak mereka menjadi baik, maka seorang ibu
justru harus memberikan sendiri pendidikan di rumah secara baik. Pendidikan
bagi anak-anaknya tidak boleh diserahkan kepada pembantu. Karena dapat mempengaruhi karakter kepribadian
seorang anak.
Kemudian
layaknya seorang pendidik atau pengajar, orang tua dalam sudah sepatutnya
memberikan kasih saying yag lebih kepada anaknya, membimbingnya, bahkan jangan sampai melukainya. Sebab, anak
adalah anugerah terindah, investasi masa depan yang
penuh makna.
Dalam makalah
hadits tarbawi ini akan dibahas mengenai rumah sebagai madrasah, dan
memanfaatkan tenaga pengajar profesional.
PEMBAHASAN
A.
Rumah sebagai Madrasah
1.
Materi Hadits
عثمان بن الأرقم أنه كان يقول : أنا
ابن سبع الإسلام أسلم أبي سابع سبعة و كانت داره على الصفا و هي الدار التي كان
النبي صلى الله عليه و سلم يكون فيها في الإسلام و فيها
دعا الناس إلى الإسلام
2. Terjemah Hadits
“Ustman bin Arqam berkata: saya masuk Islam usia tujuh
tahun, ayah saya orang yang ke tujuh masuk Islam. Rumahnya di tanah safa dan
rumah itu pernah di tempati oleh Nabi Muhammad SAW untuk berdakwah dan berdo’a
kepada manusia untuk masuk Islam. (HR. Al- Hakim)”
3. Mufrodat
Masuk islam usia 7 tahun ابن سبع الإسلام :
Orang yang ke tujuh masuk Islam أسلم أبي سابع سبعة :
Rumah : داره
Doa:
دعا
4. Biografi Perawi
Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam
Adalah seorang pengusaha yang berpengaruh dari suku Makhzum dari kota Mekkah. Dalam sejarah Islam, dia orang ketujuh dari As-Sabiqun al-Awwalun. Rumahnya berlokasi di bukit Safa, di tempat inilah para pengikut Muhammad
belajar tentang Islam. Sebelumnya rumah al-Arqam ini disebut Dar al-Arqam
(rumah Al-Arqam) dan setelah dia memeluk Islam akhirnya disebut Dar al-Islam
(Rumah Islam). Dari rumah inilah madrasah pertama kali ada. Al-Arqam juga ikut hijrah bersama dengan Nabi Muhammad ke Madinah.[2]
Al-Hakim
Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi (321 H/933
M - 405 H/1014 M) atau terkenal dengan sebutan Al-Hakim saja, adalah salah
seorang imam di antara ulama-ulama hadits dan seorang penyusun kitab yang terkemuka di zamannya. Namanya
lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin
Handawaihi bin Nu'aim al-Dhabbi al-Thahmani al-Naisaburi, juga terkenal
dengan sebutan gelarnya Ibnu al-Baiyi. Ia dilahirkan di Naisabur pada pagi
Jumat, bertepatan dengan 3 Rabiul Awal pada tahun 321 H. Ia pernah dilantik
sebagai hakim di Naisabur pada tahun 359 H, sehingga dikenal dengan nama
"al-Hakim". Ia wafat juga di Naisabur pada tahun 405 H.[3]
Ketika masih kanak-kanak, al-Hakim mendapat pendidikan agama, untuk
pertama kalinya dari ayah dan pamannya sendiri, sebagai lazimnya seorang ayah
dan anggota keluarga lainnya di kalangan komunitas muslim. Pada usia 9 tahun
al-Hakim mulai belajar hadits dan memasuki 13 tahun, tepatya 337 H, ia mulai
belajar hadits secara khusus kepada Abu Khatim ibn Hibban. Ketika al-Hakim
berusia 20 tahun, tepatnya tahun 341 H, ia melakukan perjalanan ilmiah ke luar
negeri, seperti Irak dan Hijaz. Merasa belum puas dengan perjalanan yang
pertama, ia pergi lagi ke tempat tersebut pada tahun 368 H, keika berumur 47
tahun. Perjalanan ilmiah seperti iitu merupakan tradisi di kalangan ahli
Hadits, karena mereka menganggap bahwa ahli hadits yang hanya mengandalkan
riwayat dari ulama kampong halamannya tidakberbobot dan kutang ilmiah. [4]
5. Keterangan Hadits
Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa Ustman bin Abi Arqam telah
masuk islam pada usia 7 tahun, ayahnya terlebih dahulu masuk islam dan termasuk
golongan assabiqunal awwalun (orang yang mula-mula masuk islam), merupakan orang yang ke tujuh dari jumlah
orang tujuh tersebut. Rumahnya terletak di daerah Safa, dan di rumah tersebut
Rasulullah pernah menempati di dalamnya untuk berdakwah atau mengajak manusia
untuk masuk Islam dan di rumah itu banyak orang yang masuk Islam. Rumah milik
Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam ini merupakan Madrasah pertama sepanjang sejarah Islam, tempat ilmu pengetahuan
dan amal saleh diajarkan secara terpadu oleh sang guru pertama, yaitu Muhammad
Rasulullah Saw. Beliau sendiri
yang mengajar dan mengawasi proses pendidikan disana. . Akhirnya rumah Al-Arqam
yang sebelumnya disebut Dar al-Arqam (rumah Al-Arqam),
setelah dia memeluk Islam disebut dengan Dar al-Islam (Rumah Islam).
6. Aspek
Tarbawi
Pendidikan anak diawali dari rumah. Nyatanya, rumah adalah sebuah
madrasah pertama bagi anak-anak. Rumah adalah tempat anak mendapatkan
pengajaran dari orang tuanya sebelum ia terjun ke dunia pendidikan. Seperti dalam hadits ini “ Setiap anak
dilahirkan dengan membawa (dalam keadaan) fitrah. Kedua orang tuanya yang
menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi". Telah jelas bahwa apabila di dalam rumah
itu terdiri dari orang tua yang selalu mengajarkan kebaikan kepada
anak-anaknya, selalu dihiasi dengan nuansa islami akan tercipta keluarga yang
harmonis.
Oleh karena itu peran orang tua dalam mendidik anak sangatlah
berpengaruh terhadap perkembangan anaknya, sebab orang tua merupakan figur yang
menjadi teladan bagi anak-anak, secara tidak langsung mereka belajar dari
perilaku kedua orang tuanya. Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar
memaki. Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah. Jika anak
dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan
dengan olok-olok, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan,
ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar
menghargai. Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan.
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam
kehidupan.
Kesuksesan dan kebahagiaan keluarga sangat
ditentukan oleh peran seorang ibu. Jika ibu adalah seorang wanita yang
baik, akan baiklah kondisi keluarga. Sebaliknya, apabila ibu adalah wanita yang
bersikap buruk, hancurlah keluarga. Seorang ibu, yang misalnya gagal melakukan
perannya sebagai pendidik, akan beresiko sangat luas. Pendidikan keluarga yang gagal, hingga mengakibatkan seseorang
tidak memiliki karakter atau kepribadian yang diharapkan, maka akan merugikan
bahkan merusak, tidak saja keluarga yang bersangkutan, tetapi juga bangsa
secara keseluruhan. Oleh karena itu, pendidikan keluarga dipandang sebagai
sangat strategis dan utama. Sedangkan lembaga pendidikan formal, perannya dianggap
sebagai penyempurna.
B. Memanfaatkan
Tenaga Pengajar Profesional
1. Materi Hadits
مِنْ الْأَسْرَى كَانَ نَاسٌ ابْنِ عَبَّاسٍ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ : قَال قَالَ َ دَاوُدُ بْنُ عَاصِمٍ عَلِيُّ حَدَّثَنَا
أَوْلَادَ فِدَاءَهُمْ أَنْ يُعَلِّمُوا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُمْ فِدَاءٌ فَجَعَلَ لَمْ يَكُنْ يَوْمَ بَدْرٍ
قَالَ ضَرَبَنِي مُعَلِّمِي قَالَ يَبْكِي إِلَى أَبِيهِ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ الْأَنْصَارِ الْكِتَابَةَ قَالَ فَجَاءَ يَوْمًا غُلَامٌ
الْخَبِيثُ يَطْلُبُ بِذَحْلِ بَدْرٍ وَاللَّهِ لَا تَأْتِيهِ أَبَدًا
2. Terjemah Hadits
“Telah menceritakan kepada kami Ali bin 'Ashim berkata; Dawud berkata telah menceritakan kepada kami Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata; "ada seorang tawanan pada perang Badar tidak bisa menebus dirinya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjadikan tebusan mereka untuk mengajarkan kepada anak-anak Anshar menulis." Ia berkata; Pada hari itu datang seorang anak menangis kepada bapaknya, maka bapaknya bertanya; "Apa yang terjadi padamu?" Ia menjawab; pengajarku memukulku." Sang bapak berkata; "Si buruk itu. Ia telah menuntut (balas) dengan bekas perang Badar. Demi Allah jangan lagi engkau mendatanginya."
3. Mufrodat
Tawanan pada perang Badar :يَوْمَ بَدْرٍ مِنْ الْأَسْ
Tidak bisa menebus dirinya :لَهُمْ فِدَاءٌ لَمْ يَكُنْ
Mengajarkan : يُعَلِّمُوا
Menulis : الْكِتَابَةَ
Seorang anak menangis kepada
bapaknya : أَبِيهِ
إِلَى يَبْكِي
Pengajarku memukulku :
ضربني معلمي
Menuntut
balas : يَطْلُبُ الْخَبِيثُ
4. Biografi Perawi
Nama: Ahmad bin Muhamad bin Hanbal
bin Hilal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin 'Auf bin Qasithi bin Marin bin Syaiban bin Dzuhl bin
Tsa'labah bin Uqbah bin Sha'ab bin Ali
bin Bakar bin Wail.
Kuniyah: Abu Abdillah
Nasab beliau: Bapak dan ibu beliau
adalah orang arab, keduanya anak Syaiban bin Dzuhl bin Tsa'labah, seorang arab asli. Bahkan nasab
beliau bertemu dengan Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam di Nazar.
Imam
Ahmad dilahirkan di kota Baghdad. Ada yang
berpendapat bahwa di Marwa, kemudian di bawa ke Baghdad ketika beliau
masih dalam penyusuan. Hari lahir beliau
pada tanggal dua puluh Rabi'ul awwal tahun
164 hijriah.
Ayah
Imam Ahmad dan kakeknya meninggal ketika beliau
lahir, sehingga semenjak kecil ia hanya mendapatkan pengawasan dan kasih
sayang ibunya saja. Jadi, beliau tidak
hanya sama dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam masalah nasab saja, akan tetapi beliau juga sama dengan
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
masalah yatim.
Permulaan imam Ahmad dalam rangka menuntut ilmu pada tahun 179 hijriah, pada saat itu beliau berusia empat belas tahu, beliau menuturkan tentang dirinya; ' ketika aku masih anak-anak, aku modar-mandir menghadiri sekolah menulis, kemudian aku bolak-balik datang keperpustakaan  ketika aku berumur empat belas tahun.
Permulaan imam Ahmad dalam rangka menuntut ilmu pada tahun 179 hijriah, pada saat itu beliau berusia empat belas tahu, beliau menuturkan tentang dirinya; ' ketika aku masih anak-anak, aku modar-mandir menghadiri sekolah menulis, kemudian aku bolak-balik datang keperpustakaan  ketika aku berumur empat belas tahun.
Beliau
mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban
dunia Islam, yang penuh dengan beragam
jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari', ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya
menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu
bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus
menuntut ilmu dengan penuh semangat yang
tinggi dan tidak mudah putus asa.
Semenjak
kecil imam Ahmad memulai untuk belajar, banyak
sekali guru-guru beliau, diantaranya; Husyaim bin Basyir, imam Ahmad
berguru kepadanya selama lima tahun di
kota Baghdad, Sufyan bin Uyainah,
Ibrahim bin Sa'ad, Yahya bin Sa'id , Ismail bin 'Ulaiyah, Al Imam Asy Syafi'I, Al Qadli Abu Yusuf , Ali bin Hasyim
bin al Barid, Mu'tamar bin Sulaiman
Waki' bin Al Jarrah, 'Amru bin Muhamad bin Ukh asy Syura, dan masih
banyak lagi.
Diantara
hasil karya Imam Ahmad adalah sebagai berikut : Al Musnad, Al 'Ilal, An
Nasikh wa al Mansukh, Az Zuhd, Al
Asyribah, Al Iman, Al Fadla`il, Al Fara`idl, Al Manasik, Tha'atu ar Rasul, Al
Muqaddam wa al mu`akhkhar, Jawwabaatu al qur`an, Haditsu Syu'bah, Nafyu at
tasybih, Al Imamah, Kitabu al fitan, Kitabu fadla`ili ahli al bait, Musnad ahli al bait, Al asmaa`
wa al kunaa, Kitabu at tarikh. Ada lagi beberapa hasil karya beliau yang di
kumpulkan oleh Abu Bakar al Khallal,
diantaranya; Kitabu al 'illal, Kitabu al 'ilmi, dan Kitabu as sunnah.
Pada
permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi'ul
Awwal tahun 241, beliau menghadap kea rabbnya menjemput ajalnya di Baghdad.
b. Ali bin 'Ashim
Nama Lengkap : Ali bin 'Ashim bin
Shuhaib
·
Kalangan
: Tabi'ut Tabi'in kalangan biasa
·
Kuniyah
: Abu Al Hasan
·
Negeri
semasa hidup : Hait
·
Wafat
: 201 H
5. Keterangan Hadits
Dari hadits
diatas dapat diperoleh keterangan bahwa pada saat perang badar yang dimenangkan
oleh kaum muslim atas kaum Quraiys, Rasulullah menangkap beberapa musuh dan
dijadikan tawanan. Akan tetapi beberapa tawanan tersebut tidak mempunyai
tebusan untuk jaminan kebebasan dirinya. Maka dari itu, Rasulullah mengganti
tebusannya dengan jalan lain, yaitu menyuruh para tawanan itu mengajarkan
menulis anak-anak dari kaum Anshor, yang saat itu masih banyak yang belum bisa
baca tulis. Setelah kegiatan belajar mengajar berlangsung beberapa hari, pada
suatu saat ada seorang anak yang mendatangi ayahnya dalam keadaan menangis.
Setelah ditanya, ternyata anak tersebut telah dipukul gurunya yang tidak lain
adalah tawanan Rasul. Maka mulai saat itu sang Ayah melarang anaknya untuk
tidak datang kepada guru tadi selama-lamanya.
Dengan
demikian, jelas secara tersirat kita bisa mengetahui bahwa tawanan tadi
kemungkinan besar menaruh dendam pada rasul karena telah dijadikan tawanan dan
malah disuruh untuk mengajari kaum Anshor menulis. Secara otomatis, mereka juga
menyimpan dendam pada kaum tersebut dan meluapkan dendamnya pada anak-anak kaum
itu. Berarti, tawanan tadi sudah berlaku menyimpang dan tidak bersikap
professional dalam mengajar anak-anak kaum anshor. Seharusnya, tawanan yang
menjadi guru itu harus bisa membedakan mana masalah pribadi yaitu kemarahan dan
dendam akibat kalah dalam perang badar dan posisinya sewaktu ia menjadi guru.
6. Aspek Tarbawi
Dalam hal ini guru sebagai professional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan
kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat
sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan
guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak.
Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi
arahan dan dorongan kepada anak didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian
dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta
anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
Sikap
professional seorang pendidik jika dikaitkan dengan sosok Rasulullah sebagai
pendidik ideal dapat dilihat dari, profil Rasulullah sebagai murabbi,
muallim,dan muaddib.
a.
Rasulullah
sebagai murabbi.
Dalam
konsep murabbi sebagai pendidik, ia berusaha untuk mencontoh sifat-sifat
Tuhan, sehingga akan muncul sifat-sifat yang baik pada diri seorang pendidik.
Disamping mengaplikasikan sikap-sikap terpuji tersebut, ia juga berkewajiban
mengajarkan sifat-sifat terpuji tersebut kepada peserta didiknya. Apabila
ditelaah dalam hadits Rasullah konsep murabbi sebagai pendidik adalah :
Pendidik
mempunya wewenang penuh dalam mengemban amanatnya, perlunya usaha pengembangan
profesionalisme pendidik agar tugasnya dapat dijalankan secara optimal,
pendidik semestinya memahami aspek psikologis seorang anak, pendidik adalah
orang yang berkewajiban mengembangkan potensi anak. [6]
b.
Rasulullah
sebagai muallim
Konsep
muallim sebagai pendidik berimplikasi terhadap konsep pendidik dalam
pendididkan islam, sebagai berikut :
1)
Pendidik
memiliki kedudukan yang paling utama diantara sekalian manusia.
2)
Muallim sebagai pendidik bertugas untuk : mencerahkan kehidupan umat dari
kejahiliyyahan, mengajarkan dan mengamalkan ilmunya kepada umat, meluruskan
pemimpin bila salah dan memberikan masukan dalam mengelola pemerintahan.
3)
Muallim sebagai pendidik memiliki sifat-sifat sebagai berikut : ikhlas
dalam mengajarkan ilmunya, tidak pemarah,tidak memukul peserta didik, dan
menunaikan amanahnya secara sempurna.[7]
c.
Rasulullah
sebagai muaddib
Secara
terminologi muaddib adalah seorang pendidik yang bertugas untuk menciptakan
suasana belajar yang dapat menggerakkan peserta didik untuk berperilaku atau
beradab sesuai dengan norma-norma, tata susila dan sopan santun yang berlaku
dalam masyarakat.[8]
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
hadits diatas tentang rumah sebagai madrasah, bahwa kesuksesan dan kebahagiaan keluarga sangat
ditentukan oleh peran seorang ibu. Jika ibu adalah seorang wanita yang
baik, akan baiklah kondisi keluarga. Sebaliknya, apabila ibu adalah wanita yang
bersikap buruk, hancurlah keluarga. Seorang ibu, yang misalnya gagal melakukan
perannya sebagai pendidik, akan beresiko sangat luas. Pendidikan keluarga yang
gagal, hingga mengakibatkan seseorang tidak memiliki karakter atau kepribadian
yang diharapkan, maka akan merugikan bahkan merusak, tidak saja keluarga yang
bersangkutan, tetapi juga bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu, pendidikan keluarga dipandang sebagai sangat
strategis dan utama. Sedangkan lembaga pendidikan formal, perannya dianggap
sebagai penyempurna.
Sedangkan
menurut hadits tentang memanfaatkan tenaga pengajar profesional, bahwa guru sebagai professional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan
kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat
sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan
guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak.
Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi
arahan dan dorongan kepada anak didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian
dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta
anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Mustadrak ‘Ala Shohihaini, juz 2
Abdurrahman, M. Pergeseran Pemikiran Hadits. Jakarta:
Paramadina. 2000
Nizar, H. Samsul dan Dr. Zaenal Efendi Hasibuan, M.A , Hadits
Tarbawi, Jakarta: Kalam Mulia, 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Abdillah_al-Arqam_bin_Abi_al-Arqam
http://125.164.221.44/hadisonline/hadis9/biografi_open.php?imam=ahmad
[1] Kitab
Mustadrak ‘Ala Shohihaini, hlm. 221
[2]
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Abdillah_al-Arqam_bin_Abi_al-Arqam
[3]
http://id.wikipedia.org/wiki/Hakim_al-Naisaburi
[4] Dr. M.
Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits, Jakarta: Paramadina, 2000, hlm.30-32
[5]
http://125.164.221.44/hadisonline/hadis9/biografi_open.php?imam=ahmad
[6] Prof. Dr. H.
Samsul Nizar, M.A dan Dr. Zaenal Efendi Hasibuan, M.A , Hadits Tarbawi,
Jakarta: Kalam Mulia, 2011, hlm. 116-117
mbak Anisa saya mau tanya nih... menurut anda kriteria pengajar yang seperti apa agar tergolong profesional........
BalasHapusterima kasih mas ikrom atas pertanyaannya,
Hapusmenurut saya kriteria pengajar agar tergolong profesional yaitu seperti yang telah dicontohkan sebagaimana Rasulullah diatas, yang mana Rasulullah merupakan sebaik2 pengajar.
seperti yang disampaikan oleh Ibnu Sina, bahwa pengajar itu HARUS cerdas, karena tugas pengajar sendiri yaitu untuk menularkan ilmunya kepada anak2 didiknya, kalau pengajarnya kurang mnguasai materi, otomatis anak didiknya akan kebingungan.
begitu kurang lebihnya jawaban dari saya mas ikrom.. :)
apa cuma cerdas saja? saya rasa kalau cuma cerdas masih kurang...
Hapusya memang tidak hanya cerdas saja mas,,, saya kan sudah jawab, seperti yang telah saya tuliskan pada makalah saya diatas. oleh sebab itu, saya sarankan agar mas ikrom membaca kembali isi makalah saya. terima kasih...... :)
HapusDewi Agus Tini
BalasHapus2021111075
assalamualaikum,,
saya ingin bertanya, rumah seperti apakah yang dapat dijadikan madrasah seperti yang dijlskan dlm makalah diatas bagi anak-anak jalanan?
sementara mereka tidak memiliki rumah,,
terimaksih..
Waalaikumsalam wr. wb.
Hapusterima kasih mabk Dewi,, pertanyaan yang bagus..
sebenarnya tidak ada kriteria khusus mengenai rumah yang dapat dijadikan madrasah, karena semua rumahpun dapat dijadikan madrasah, selama di dalam rumah tersebut masih terdapat orang-orang yang setidaknya bisa memberikan pendidikan terhadap anggota keluarga yang lainnya, terlebih orang tua yang diwajibkan untuk mendidik anaknya atau mengajarkan kebaikan kepada anak-anaknya. nah, terkait dengan anak jalanan yang nota bene mereka tidak mempunyai tempat tinggal (rumah), mereka hidup dimana saja, di jalanan dan tempat-tempat umum seperti terminal, stasiun, pasar, taman dan sebagainya, kelompok ini biasanya membangun sub struktur untuk mempertahankan hidupnya mereka saling berhubungan erat dan saling menolong satu sama lain. Jadi, seperti sebuah keluarga pada umumnya, hanya saja tidak sekandung. nah, dari situlah mereka belajar, belajar untuk mempertahankan diri, belajar memaknai hidup dan sebagainya. Kehadiran anak jalanan yang semakin meningkat seharusnya menjadi sebuah refleksi pemerintah untuk mencari jalan keluar bagi mereka, agar mereka dapat mendapatkan pendidikan yang layak.
kurang lebihnya seperti itu Mbak Dewi.. :)
Nama: Khasan Fauzi
BalasHapusNIM: 2021111067
Assalamualaikum.....
Mba' Anisa, pasti anda kan sudah tahu bahwa pada zaman sekarang, seorang guru harus dituntut minimal sudah S1, dan untuk mendapat tunjangan harus sudah sertifikasi/PLPG( Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). bagaimana menurut pendapat anda menyikapi hal tersebut!
thanks!:-)
Wa'alaikumsalam mas Khasan,,
Hapuskalau menurut saya, pada zaman sekarang ini seorang guru dituntut min. S1, itu semua dalam rangka untuk meningkatkan kualitas dan pengetahuan mereka, lah dengan begitu diharapkan akan mencetak anak2 didik yang berkompeten, makanya itu guru sekarang diharapkan menyandang S1. Serta S1 itu merupakan syarat untuk sertifikasi. Sedangkan imbas dari sertifikasi adalah agar guru dapat hidup lebih sejahtera, katanya guru yang telah bersertifikasi akan mendapat tunjangan yang nilainya sama dengan gaji pokok. Tujuan sertifikasi trsbt jangan hanya utk mensejahterakan guru saja, akan tetapi guru tsb diharapkan benar2 profesional dalam mengajarnya. Namun, pada skarang ini blum tentu yang sdh bersertifikasi bnr2 profesional dalam mengajarnya, krn bisa saja itu dari beli sertfkat tok, dlsb. krn tergiur akan tambahan gajinya.
mungkin seperti itu kurang lebihnya jawaban dari saya mas Khasan..:)
Nursalim
BalasHapus2021111217
saya mengutip makalah mba Nisa ''pendidikan keluarga dipandang sebagai sangat strategis dan utama. Sedangkan lembaga pendidikan formal, perannya dianggap sebagai penyempurna'', permasalahannya keluarga yang mengemban peran strategis belum tentu menyiapkan anak dengan baik, lalu lembaga formal yang tugasnya sebgai penyempurna harus memulai dari dasar lagi, langkah apa yang semestinya di terapkan dalam lembaga formal dalam hal ini mba?,,
trmkasih
saya coba jawab ya mas Nur Salim..
Hapusmenurut saya, kalau hanya peran lembaga formal (sekolah) saja dalam mendidik anak, apalagi memulai dari dasar itu tidak akan pernah berjalan dengan baik, krn orang tua dan sekolah merupakan dua unsur yang saling berkaitan dan memiliki keterkaitan yang kuat satu sama lain. Perlu saya tekankan lagi. bahwa pendidikan anak dimulai dari pendidikan orang tua di rumah dan orang tua yang mempunyai tanggung jawab utama terhadap masa depan anak-anak mereka, sekolah hanya merupakan lembaga yang membantu proses tersebut. Sehingga peran aktif dari orang tua sangat diperlukan bagi keberhasilan anak-anak di sekolah. Sepengetahuan saya, peran lembaga formal/ dalam hal ini guru itu ya membentuk kebiasaan belajar yang baik, membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar,dan sejenisnya. Jadi kalau untuk memulai dari dasar lagi tidak bisa mas.....
mungkin itu saja yang dapat saya jawab, terima kasih.. :)
khashinah amalia
BalasHapus2021 111 074
assalam...
ketika rumah menjadi madrasah bagi keluarga kita sendiri terutama bagi anak-anak kita. namun bagaimana menjadikan rumah sebagai madrasah ketika didalam rumah tersebut salah seorang dari orang tua berbeda agama?
wa'alaikumslam mbk Khashinah..
Hapuskalau menurut saya, ,mengenai pilihan anak dalam beragama dalam pasangan beda agama itu bervariasi, kebanyakan mengikuti pola interaksi agama yang dikembangkan orang tua. Misalnya ada kesepakatan tertentu tentang agama anak, apakah anak mengikuti salah satu agama orang tua, atau dibagi, atau dibebaskan; maka anak akan cenderung mengikuti pola itu. contohnya saja apabila ibu islam, dan bapaknya kristen, keduanya itu mengadakn ksepktan, apkh anak ikut agma ibu/bapak, namun kalo masih anak itu kan blm bs dikatakan bernalar pkirannya, nah nanti kalau sudah besar/dewasa dibri hak untuk memilih agama yang sesuai dengan keyakinan hatinya.
seperti itu mbak yang bs saya jawab.. :)
terimakasih atas jawabannya,
Hapusnamun menurut saya apakah nantinya tidak rancu kalupun pendidikan anak harus terpisah seperti itu? anak yang satu ikut ayah, dan yang satunya lagi ikut ibunya dalam hal ajaran agama yang masih dalam satu rumah?
memang untuk awalnya masih rancu mbk.. tetapi biasanya salah satu dari orang tua, entah ibu atau bapak itu ada yang kuat sekali mempengaruhi agama untuk anaknya, sehingga anak lebih cenderung pada yang kuat pengaruhnya. nanti pas saat dewasa atau baligh anak bisa mengerti mana yang baik dan mana yang harus ditinggalkan.
Hapusterima kasih. :)
ERNI MUN HOLIFAH
BalasHapus2021 111 064
ASSALAM
bagaimana cara menghadapi keaadaan zaman sekarang yang kebanyakan kedua orang tuanya berkarir,terus kita tau sendiri orang tuanya sibuk,agar orang tua itu tetap bisa mendidik anak itu dengan baik didalam rumah supaya anak itu tidak mudah terjerumus pada pergaulan bebas,jelaskan
wa'alaikumsalam mbk erni..
Hapusmenurut pengamatan disekitar saya, saya ambil contoh keluarga kakak saya, mrk berdua sama2 sibuk. nha dalam mendidik anaknya, kalau saat mrk kerja anaknya itu dititipkan sama simbahnya, yang kbetulan simbahnya tidak terlalu sibuk, nanti setelah pulang kerja, gantian mrk (orang tua anak) yang mengasuhnya. jadi kalaupun orang tua tidak sepenuhnya bs mendidik anak, stdaknya simbah atau saudaranya bs menggantikannya, jadi karakter anak itu tidak jauh berbeda dengan orang tuanya dan tidak terjerumus pergaulan bebas.
namun, apabila di dalam keluarga tsb tdk ada saudara yg bs dipasrahkan/dititipkan, orang tua bisa menyewa jasa asuh anak, tapi tidak boleh sepenuhnya dipasrahkan pada pengasuh anak tsb,orang tua wajib meluangkan waktunya untuk anak.
begitu mbk jwaban dari saya,, :)
Nailis Suraya
BalasHapus2021 111 068
Assalam....
mbk annisa saya mau tanya, bagaimana pendapat anda tentang guru yang niatnya dalam mendidik adalah sebagai profesi,,terus bagaimana cara agar seorang guru itu tidak memiliki niat yang seperti itu?
terima kasih
Wa'alaikumsalam Mbk Nailis..
HapusGuru memang sebagai profesi, namun disamping itu bahwa pendidik tidak hanya sekedar profesi, harus diniatkan untuk ibadah (mengamalkan ilmunya). menurut Al Ghazali bahwa profesi keguruan merupakan profesi yang paling mulia dan paling agung dibanding dengan profesi yg lain. Dengan profesinya itu, seorang guru menjadi perantara antara manusia(murid) dan penciptanya.
cara agar tdk memiliki niat seperti itu, guru harus diniatkan dengan ikhlas, tentunya anda sdh paham kan mengenai konsep ikhlas disini seperti yng telah kita pelajari.
kurang lebihnya seperti itu mbk Nailis... :)
istiqomah
BalasHapus2021111115
assalam,,,
mb saya mau tanya, didalam hadis dikatakan bahwa rumah sebagai madrasah. ada salah satu keluarga tetpi orang tuanya itu tidak mementingkan kebutuhan anaknya padhl anak itu masih butuh bimbngan orang tuanya, sblum ia menikah.. apakah yang seperti itu bisa dikatakan bahwa rumah sebagai madrasah dalam keluarga? tlng jelaskan serta beri solusinya??
terima kasih mbk atas pertanyaannya.
HapusApabila seorang ayah tidak lagi peduli terhadap tanggung jawabnya untuk mengarahkan dan mendidik serta mengawasi anak-anaknya, dan dikarenakan faktor tertentu, si ibu kurang menunaikan kewajibannya dalam mendidik si anak maka tidak diragukan lagi si anak akan tumbuh seperti anak yatim yang tidak memiliki orang tua, ia hidup bagai sampah masyarakat, bahkan suatu saat akan menjadi penyebab terjadinya kerusakan dan kejahatan di tengah-tengah umat.Seperti pepatah "wujudihi ka'adamihi".
Sesungguhnya kepedulian kedua orang tua tidak hanya terbatas memberikan pengajaran kepada mereka. Akan tetapi, mereka harus dibimbing dan dibantu dalam mempraktekkan bagaimana cara berbakti kepada kedua orang tuanya, tentu dengan cara dan perlakuan terbaik. Akan tetapi, jika orang tua tidak peduli akan pendidikan akhlak mereka maka si anak akan menjadi duri bagi kedua orang tuanya, karena berbakti kepada kedua orang tua merupakan sifat yang tidak akan muncul begitu saja tanpa melalui pengajaran. Jadi, rumah yang seharusnya menjadi madrasah bagi anak tidak berfungsi lagi. Solusinya ya orang tua harus sadar akan pentingnya memberikan pengajaran bagi anaknya dan anak sebaiknya diarahkan ke tempat pendidikan agama, contoh pesantren.
begitu mbak Isti.. :)
Muhammad syafi'i
BalasHapus2021111065
bila mana terjadi ketika rumah kita sudah menjadi madrasah namun untuk orang2 lain, atau anak2 tetangga, sementara anak2 kita sendiri tidak dipedulikan atau bahkan anak2 kita tidak mau ikut??
kalau menurut saya percuma saja mas, kita memperhatikan pendidikan anak2 orang lain,namun anak sendiri tidak dipedulikan. kita setidaknya bisa memulai dari anak sendiri, kalau mendidik anak sendiri saja tidak mampu bagaimana mau mendidik anak2 orang lain???
Hapusmenyambung dari pertanyaan mas Syafi'i, banyak hal yang nyata tetapi kita tidak bisa mencermati hal tersebut, kenyataan bahwasannya banyak kyai, 'alim, 'ulama yang bisa mendidik orang lain, sedangkan keluarganya sendiri dibiarkan secara bahsa jwanya (dijor klowor) bahkan ada yang anaknya kyai yang menjadi ga karu-karuan hidupnya. itu bagaimana menurut pemakalh yang terhormat?
Hapusterima kasih Mas Fihan atas sambungan pertanyaannya...
Hapustidk smua anak kyai, alim, ulama yang anaknya seperti mas Fihan katakan, ada juga anak kyai yang bisa tumbuh menjadi anak baik, bahkan mewarisi ayahnya. ya memang ada beberapa anak kyai yng perilakunya menyimpang, mungkin kalo menurut saya seorang anak kok bs mjd nakal,dlsb itu biasanya kurang mendapatkan perhatian dari pihak keluarganya.sedangkan orang tuanya sibuk dakwah kesana kesini, sampai2 lupa dg keluarganya. jadi, maaf bukannya saya memojokkan para kyai,dll. menurut saya mereka belum bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya atau belum bisa berlaku adil.
tapi tidak semua kyai, dll seperti itu mas....
seperti itu mas jwbn dari saya..:)
Ida Syarifah R.
BalasHapus2021110015
Peran orang tua dalam mendidik anak sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan anaknya, sebab orang tua merupakan figur yang menjadi teladan bagi anak-anak, secara tidak langsung mereka belajar dari perilaku kedua orang tuanya. Dilihat dari kenyataan sekarang, orang tua sibuk dgn karirnya. Bahkan terkadang tidak ada waktu untuk anaknya,, Tidak jarang orang tua mencari pengasuh anak, bahkan si anak lebih akrab dengan pengasuhnya. Bagaimana pendapat anda menghadi zaman yang modern ini, yang cenderung anak2 menjadi bandel??
terima kasih mbk Ida atas pertanyaannya..
Hapuskalo menurut saya, zaman mdern seperti skrng ini, menuntut orang tua untuk tidak berdiam diri saja dirumah, yang semula wajib mencari nafkah adalah seorang ayah, namun para ibu sudah banyak yang berkarir, sehingga anaknya tidak ada yang memantau secara maksimal. dengan keadaan seperti itu memaksa mereka untk menyewa pengasuh yg kebanykan anak cenderung bandel, seperti yang mbk katakan. nah, kalau sudah seperti itu, salah siapa? orang tua tidak seharusnya memasrahkan anak sepenuhnya kepada pengasuh, namun setidaknya dari 24jam dalam sehari mereka harus meluangkan waktunya untuk bersama anaknya. biasanya anak bandel itu kan karena faktor kurang kasih sayang dari orang tuanya, merasa kurang diperhatikan, dlsb.sehingga membuat anak "sekarepe dewe".
Yang perlu diingat bahwa anak tidak hanya memerlukan materi tapi juga perhatian dan kasih sayang orang tua.
Menjadi orang tua yang bijak dalam mendidik anak tidaklah sulit dan tidaklah mudah, tergantung orang tuanya maukah menjadi orang tua yang bijak dan sukses mendidik anak menjadi anak yang berbakti.. :)
Nurhadi Hidayat
BalasHapus2021110038
bagaimana menurut pemakalah jika orang tua sudah tidak peduli lagi dengan pendidikan anaknya?
maaf mas pertanyaan anda hampir mirip dengan pertanyaan mbk istiqomah,, sudah saya jawab diatas.
Hapusterima kasih... :)