ADAB MEMBACA AL-QUR’AN
"BACALAH AL-QUR’AN DENGAN TARTIL DAN KHUSYU'"
( Q.S AL-MUZZAMMIL 79:1-6 )
Ika Rimaturrahmah
(2021114078)
Kelas : H
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PEKALONGAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada
Rasulullah saw.Di dalamnya diceritakan kejadian-kejadian masa lalu (lampau) dan
juga diceritakan hukum (peraturan-peraturan) di antaranya masa lalu, masa
sekarang, serta masa yang akan datang. Termasuk ibadah bagi orang yang
membacanya dan akan mendapat pahala. Membaca al-Qur’an dengan menggunakan ilmu
tajwid secara baik dan benar merupakan fardhu’ain, kalau terjadi kesalahan
dalam membaca al-Qur’an maka termasuk dosa. Untuk menghindari diri dari dosa tersebut,
kita dituntut untuk selalu belajar pada ahlinya.
Dalam membaca al-Qur’an tersebut juga ada adab atau sopan
santun yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh setiap orang yang hendak
membaca al-Qur’an. Diantara adab membaca al-Qur’an tersebut ialah membaca
al-Qur’an dengan tartil dan khusyuk. Membaca al-Qur’an dengan tartil maksudnya
membaca dengan baik dan benar. Benar dalam hal tajwidnya, panjang pendeknya
maupun makharijul hurufnya. Selain itu membaca al-Qur’an juga harus khusuk
yaitu merenungkan isi kandungan al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
tersebut perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk terfokusnya
kajian masalah ini.
Adapun rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
definisi dari Q.S. Al-Muzzammil ayat 1-6, tentang membaca Al-Qur’an dengan tartil dan khusuk ?
2.
Adakah
hadits atau ayat pendukung dari Q.S. Al-Muzzammil ayat 1-6 ?
3.
Bagaimana
teori pengembangan serta penafsiran dari Q.S. Al-Muzzammil ayat 1-6 ?
4.
Bagaimana
aplikasi dari Q.S. Al-Muzzammil ayat 1-6 tersebut dalam kehidupan sehari-hari ?
5.
Apa saja
aspek tarbawi
yang dapat kita ambil hikmahnya dari Q.S. Al-Muzzammil ayat 1-6 ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui definisi dari Q.S. Al-Muzzammil ayat 1-6, tentang membaca Al-Qur’an dengan tartil dan khusuk.
2.
Untuk mengetahui hadits atau ayat
pendukung dari Q.S. Al-Muzzammil ayat 1-6.
3.
Untuk mengetahui teori pengembangan
serta penafsiran dari Q.S. Al-Muzzammil ayat 1-6.
4.
Untuk mengetahui aplikasi
dari Q.S. Al-Muzzammil ayat 1-6 tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
5.
Untuk mengetahui aspek tarbawi yang
dapat kita ambil hikmahnya dari Q.S. Al-Muzzammil ayat 1-6.
D. Metode
Pemecahan Masalah
Metode
pemecahan masalah yang dilakukan melalui metode kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan
beberapa referensi buku yang
merujuk pada permasalahan yang dibahas. Pemecahan masalah dimulai dengan penentuan rumusan masalah, penentuan tujuan
dan sasaran, perumusan jawaban permasalahan, dari berbagai sumber, dan pengorganisasian
jawaban.
E. Sistematika
Penulisan
Makalah ini
ditulis dalam
bentuk tiga bab, meliputi :
1. Bab
I, terdiri dari latar
belakang, perumusan masalah, metode pemecahan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan masalah.
2. Bab
II, terdiri dari pembahasan.
3. Bab
III, penutup, terdiri dari simpulan dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Judul
Kata rattil
dan tartil terambil dari kata ratala yang antara lain berarti
serasi dan indah. Kamus-kamus bahasa merumuskan bahwa segala sesuatu yang baik
dan indah dinamai ratl, seperti gigi yang putih dan tersusun rapi,
demikian pula benteng yang kuat dan kukuh. Ucapan-ucapan yang disusun secara
rapi dan diucapkan dengan baik dan benar dilukiskan dengan kata-kata Tartil
al-Kalam. Tartil al-Qur’an adalah membacanya dengan perlahan-lahan sambil
memperjelas huruf-huruf, berhenti dan memulai (Ibtida’) sehingga pembaca dan
pendengarnya dapat memahami dan menghayati kandungan pesan-pesannya.[1]
Proses pembacaan
kitab suci al-Qur’an secara menyeluruh yang tidak hanya menekankan pentingnya
cara-cara pembacaan yang benar, sesuai kaidah-kaidah Tajwid (ilmu cara membaca
al-Qur’an dengan baik dan benar), tapi juga pentingnya penekanan pada aspek
pemahaman dan penerapannya yakni mempraktekkan apa-apa yang diperintahkan
al-Qur’an sebagai buku petunjuk. Al-Qur’an sebagai anugerah Allah SWT yang
teramat berharga harus kembali di baca, dipahami dan dipraktekkan agar manusia
tidak semakin jauh dari Allah SWT. Bila manusia modern terus mempercayai ilmu
pengetahuan sebagai sumber kebenaran, maka semakin bertambah derita dan
nestapanya.[2]
Diantara
manusia ada yang sekedar membaca al-Qur’an tanpa mau merenungi dan mengambil
pelajaran darinya. Orang seperti ini tidak bisa mengambil manfaat yang besar
dari bacaannya. Allah mencela orang yang hanya membaca al-Qur’an tanpa mau
memahaminya. Yakni menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslim ketika membaca
al-Qur’an harus menghadirkan hatinya untuk memahaminya sebatas kemampuannya. Bacaan
yang cepat dan mengkhatamkannya tidaklah cukup jika tidak dipahami dan tidak
membekas pada dirinya.[3]
B.
Hadits
atau Ayat Pendukung
Allah SWT mencela
orang yang hanya membaca al-Qur’an tanpa mau memahami maknanya. Allah SWT berfirman
dalam Q.S Al-Baqarah ayat 128 :
وَمِنْهُمْ أُمِّيُّوْنَ
لاَيَعْلَمُوْنَ الكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّوْنَ
Artinya : “Di antara mereka ada yang
buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab kecuali hanya sekedar dongengan bohong
belaka dan mereka hanya menduga-duga.”[4]
Firman Allah SWT Q.S Shaad ayat 29
yang berbunyi :
كِتَبٌ أَنْزَلْنَهُ إِلَيْكَ
مُبَرَكُ لِّيَدَّبَّرُوْا ءَايَتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَأُوْلُوْا الأَلْبَبِ
Artinya : “Ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya
mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai pikiran”.[5]
Firman Allah
SWT Q.S Al Isra’ ayat 109 ini menerangkan tentang membaca al-Qur’an dengan
khusyuk :
وَيَخِرُّونَ
لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
Artinya : “(Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis) diathafkan
seraya diberi tambahan sifat (dan mereka makin bertambah) berkat al-Qur’an
(kekhusyu’annya) merendahkan dirinya kepada Allah SWT.”
Rasulullah saw dalam sabda mengatakan
“Siapa saja yang membaca al-Qur’an sampai selesai (khatam) kurang dari 3 hari,
berarti dia tidak memahami. ( H.R Ahmad dan para penyusun kitab-kitab sunan )
hadits ini menerangkan bahwa kita harus membaca al-Qur’an dengan tartil.[6]
Sebuah hadits
yang dirawikan oleh Bukhari dari Anas bin Malik, ada ditanyakan kepada Anas
bagaimana cara Nabi saw membaca al-Qur’an. Lalu Anas memberikan keterangan
bahwa Nabi bila membaca al-Qur’an ialah dengan suara tenang, panjang, tidak tergesa-gesa,
terburu-buru. Anas membuat misal kalau Nabi membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim,
Bismillah beliau baca dengan panjang, Arrahman dengan panjang pula. Dan menurut
riwayat Ibnu Juraij yang diterima dari Ummi Salamah, istri Rasulullah, kalau
beliau membaca surat Al-Fatihah, tiap-tiap ayat itu beliau baca seayat demi
seayat dengan terpisah. Bismillahir-Rahmanir-Rahim. Beliau berhenti lalu beliau
baca Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, demikian pula seterusnya. Sebab itu
tidaklah beliau membacanya dengan tergesa-gesa bersambung-sambung tiada
perhentian (washal).[7]
C.
Teori
Pengembangan serta Penafsiran
Q.S Al-Muzzamil ayat 1-6 :
يَآاَيُّهَا
المُزَّمِّلُ
قُمِ
الَّيْلَ اِلاَّ قَلِيْلاً
نِصْفَهُآ
اَوِانْقُصْ مِنْهُ قَلِيْلاً
اَوْزِدْ
عَلَيْهِ وَرَتِّلِ القُرْآنَ تَرْتِيْلاً
اِنَّاسَنُلْقِيْ
عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيْلاً
اِنَّ
نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ اَشَدُّ وَطْأًوَّاَقْوَمُ قِيْلاً
Artinya :
1.
“Hai
orang yang berselimut (Muhammad).”
2.
“Bangunlah
(untuk mengerjakan shalat) di malam hari, yang hanya tinggal sedikit.”
3.
“Yaitu
seperduanya atau kurangilah sedikit dari seperdua itu.”
4.
“Atau
tambah dari itu dan bacalah al-Qur’an itu dengan bagus.”
5.
“Sesungguhnya
Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.”
6. “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih berat menyentuh
(jiwa) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.”
“Wahai orang yang berselimut.” (ayat
1). Ucapan wahyu Tuhan terhadap Rasul-Nya yang membayangkan rasa kasih-sayang
yang mendalam, baik karena sedang dia enak tidur dibangunkan atau berat
tanggung jawab yang dipikulkan ke atas dirinya.
“Bangunlah
di malam hari.” (pangkal ayat 2). Yaitu bangun buat mengerjakan sembahyang.
Perintah Tuhan buat mengerjakan sembahyang selalu disebut dengan “Qiyam” dalam
al-Qur’an. Sebab dengan menyebut bangunlah atau berdirilah sembahyang, atau
mendirikan sembahyang, jelas bahwa sembahyang itu didirikan dengan
sungguh-sungguh dan dengan penuh kesadaran. “Kecuali sedikit” (ujung ayat 2).
Yaitu tinggalkanlah malam itu buat istirahat agak sedikit, namun yang terbanyak
hendaklah untuk melakukan sembahyang.
“Seperduanya.”
(pangkal ayat 3). Artinya perdualah malam itu, yang seperdua gunakan untuk
mendirikan sembahyang dan yang seperduanya untuk istirahat. “Atau kurangilah
daripadanya sedikit.” (ujung ayat 3). Kalau dikurang dari seperdua, jadilah dia
dua pertiga untuk istirahat.[8]
Pada ayat 4 Allah
SWT menyuruh membaca al-Qur’an dengan tartil (baik dan jelas), yakni bacalah
al-Qur’an itu dengan tenang, perlahan-lahan dan jelas huruf-hurufnya, dimana
pendengarnya dapat mendengarkan dengan baik dan sekaligus merenungkan maknanya.
Dan tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama, bahwa membaca al-Qur’an
dengan tartil, yakni dengan bacaan yang bagus, jelas huruf-hurufnya, benar
makhrajnya adalah termasuk suatu yang sangat dituntut.[9]
“Atau
tambah daripadanya,” (pangkal ayat 4). Atau tambah dari seperdua malam, menjadi
lebih banyak sembahyangnya dari tidurnya. “Dan bacalah al-Qur’an dengan
perlahan-lahan.” (ujung ayat 4).
Selain
mengerjakan sembahyang malam itu, baik dua pertiga malam, atau separuh malam
ataupun sepertiga malam, dan itu terserah kepada kekuatan mengerjakannya,
hendaklah pula al-Qur’an yang telah diturunkan kepada engkau itu, selalu engkau
baca dengan perlahan-lahan. Jangan dibaca dengan tergesa-gesa. Biar sedikit
terbaca, asal isi kata-kata al-Qur’an itu masuk benar ke dalam hatimu dan
engkau fahamkan dengan mendalam.
Nabi
saw menyuruh kita membaca al-Qur’an dengan perasaan sedih, seakan-akan hendak
menangis, supaya dia lebih masuk ke dalam jiwa. Abu Musa al-Asy’ari ketika beliau
dengar bagus bacaan Qur’annya, beliau puji dan beliau berkata: “Suaramu laksana
bacaan Mazmur Nabi Daud.” Karena Nabi Daud terkenal keindahan suara beliau
ketika munajat kepada Allah dengan Mazmurnya yang terkenal.
Abdullah
bin Mas’ud, sahabat Rasulullah saw memberi ingat kalau membaca al-Qur’an dengan
tergesa-gesa, jangan terburu-buru, bahkan bacalah dengan perlahan, jangan
sebagai mendendangkan syair. Kalau bertemu dengan keajaibannya berhentilah
sejenak merenungkannya, dan gerakan hati untuk memperhatikannya.
Oleh sebab itu
bertalilah rupanya di antara kedua ibadah ini, yaitu sembahyang malam dengan
membaca al-Qur’an dengan tartil. Dan itu pun lebih dianjurkan lagi oleh Nabi
jika bulan Ramadhan, di samping mengerjakan shalatul lail (sembahyang malam,
tarawih) dianjurkan pula membaca al-Qur’an dengan tartil, supaya jiwa lebih
kuat dan hati bertambah dekat dengan Allah SWT, sehingga apa yang kita mohonkan
kepada Allah SWT akan mudah dikabulkan.
“Sesungguhnya Kami
hendak menurunkan kepada engakau perkataan yang berat.” (ayat 5).
Wahyu sungguh-sungguh
adalah perkataan yang berat. Berat bagi rohani dan berat bagi jasmani.
Kedatangan malaikat Jibril membawakan wahyu itu bukanlah perkara yang enteng,
bahkan memang berat.
“Sesungguhnya bangun
malam itu adalah lebih mantap.” (pangkal ayat 6). Karena di waktu malam
gangguan sangat berkurang. Malam adalah hening, keheningan malam berpengaruh
pula kepada keheningan fikiran. Di dalam suatu hadits Qudsi dijelaskan bahwa
pada sepertiga malam Tuhan turun ke langit dunia buat mendengarkan keluhan
hambaNya yang mengeluh, buat menerima taubat orang yang taubat dan permohonan
maghfirat (ampunan) hambaNya yang memohonkan ampun. Maksudnya ialah bahwa
hubungan kita dengan langit pada waktu malam adalah sangat dekat. Orang ahli
ilmu alam menyebut bahwa udara ini dipenuhi oleh ether, maka ether di
waktu malam itu memperdekat hubungan. Memperdekat hati, “Dan bacaan lebih
berkesan.” (ujung ayat 6). Baik bacaan sedang sembahyang ataupun membaca
al-Qur’an dengan perlahan-lahan di malam hari, dengan tidak mengganggu orang
lain yang sedang tidur.[10]
Inti sari kandungan ayat
1-6 : Pada awal surah al-Jinn (surah yang lalu), demikian pula pada akhirnya
dikemukakan keagungan al-Qur’an, antara dengan sambutan jin terhadap kitab suci
itu dan juga pemeliharaan Allah SWT, atas wahyu yang dicampakkan-Nya kepada
para rasul. Nah, melalui awal surah ini Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk
menyiapkan diri menghadapi turunnya wahyu yang berat. Allah SWT berfirman : Hai
al-Muzzamil, yakni Nabi Muhammad saw yang sedang berselimut[1]. Kurangilah
tidurmu dan bangkitlah secara sempurna untuk shalat dan bermunajat dan lebih
mendekatkan diri kepada Allah di malam hari, yakni kecuali sedikit dari waktu
malam itu untuk engkau gunakan tidur[2]. Bangkitlah untuk shalat atau merenung
dan beribadah selama seperdua malam atau kurangilah dari seperdua itu sedikit,
hingga mencapai sepertiganya atau lebihkan dari seperdua itu hingga mencapai
dua pertiga malam[3]. Dan bacalah al-Qur’an dengan perlahan-lahan dengan bacaan
yang baik dan benar[4]. Itu karena, menurut ayat 5 : “Sesungguhnya Kami melalui
malaikat Jibril as, dalam waktu singkat ini akan mencampakkan atasmu, wahai
Nabi Muhammad perkataan yang berat, yakni tugas atau firman-firman Allah SWT
berupa al-Qur’an yang berat engkau pikul [5]. Perintah bangkit di malam hari
itu karena: Sesungguhnya bangkit di waktu malam lebih berat kesulitannya dan
lebih mantap bagi kalbu, dibandingkan dengan di siang hari, dan bacaan diwaktu
itu lebih berkesan serta lebih mudah untuk dipahami dan dihayati[6].[11]
D. Aplikasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Hendaklah membaca al-Qur’an dalam keadaan khusyuk,
tafakur, dan tadabbur (merenungkan isi kandungan al-Qur’an), hendaklah hati
pembaca al-Qur’an memperhatikan dan berbekas (apa yang dibacanya itu hati kita
memperhatikan bacaan itu dan ada bekasnya atau berbekas pada hati kita) dan
pembaca harus menjauhkan diri serta meninggalkan ucapan atau perkataan yang
selain al-Qur’an (dilarang berbicara bilamana orang lain sedang membaca
al-Qur’an), disunnahkan membaca al-Qur’an itu disertai dengan menangis bilamana
ada ayat yang menyangkut ayat azab (siksaan), apabila tidak bisa, maka usahakan
bisa menangis, hendaklah menghiasi bacaan al-Qur’an itu dengan suara yang merdu
(bagus), apabila tidak bisa dengan suara yang merdu, maka hendaklah tetap
menjaga bacaan itu sesuai dengan ilmu tajwid. Artinya harus tetap menjaga panjang pendeknya bacaan, ikhfa’,
idghom, idzhar, dan lain-lainnya. Hendaklah menjaga sopan santun ketika membaca
al-Qur’an, maka jangan sambil tertawa, jangan pula bermuka masam, dan janganlah
memandang atau memperhatikan kepada masalah lain (selain al-Qur’an yang sedang
dibaca), tetapi merenungkan isinya dan mengingat pesan-pesannya.[12]
Kita harus
membaca al-Qur’an dengan tuma’ninah dan tadabbur (memperhatikan isinya) dan
membacanya secara terus-menerus, yaitu pembaca tarqiq bila bacaan itu termasuk
bacaan yang harus dibaca tarqiq dan dibaca tebal (tafkhim) bilamana
bacaan itu termasuk bacaan tafkhim. Juga dibaca pendek apabila bacaan
itu harus dibaca pendek, yang dibaca panjang dipanjangkan, yang dibaca jelas (idzhar)
maka harus dibaca jelas, yang dibaca dengung maka harus dibaca dengung, yang
dibaca samar (ikhfa’) harus disamarkan. Dan, huruf yang dibaca harus
sesuai dengan tempat keluarnya (makharijul huruf) dan janganlah
mencampuradukkan antara yang satu dengan yang lainnya (misalnya, bacaan idzhar
harus dibaca idzhar, jangan dibaca ikhfa’ dan lainnya). Dari
keterangan diatas, memberikan pengertian bahwa dalam membaca al-Qur’an tidak
bisa terlepas dari ilmu tajwid, karena keterangan tadi telah dibukukan dalam
ilmu tajwid. Oleh karena itu, membaca al-Qur’an tanpa mengetahui ilmu tajwid
maka bacaan tersebut sulit untuk disebut bacaan yang benar, bahkan termasuk
bacaan yang salah dan bacaan yang salah akan berakibat dosa. Sementara,
perbuatan dosa harus ditinggalkan bila ingin membaca al-Qur’an supaya tidak
berdosa dan mendapat pahala.[13]
E. Aspek Tarbawi
1. Untuk suksesnya tugas-tugas yang berat,
diperlukan persiapan
serius dan berat, khususnya kesiapan mental, yaitu dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. Mengabdi di waktu malam hendaknya tidak
sepenuh malam yang dimulai dari tenggelamnya matahari hingga terbitnya fajar,
karena badan pun memiliki hak untuk tidur dan beristirahat.
3. Waktu yang terbaik untuk bangun malam
adalah sepertiga malam terakhir menjelang shubuh.
4. Shalat, membaca al-Qur’an, dan aneka ibadah
lainnya adalah kegiatan-kegiatan yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan di
waktu malam.
5. Membaca al-Qur’an hendaknya dengan
perlahan-lahan sambil memperjelas huruf-huruf, berhenti dan memulai (Ibtida’)
sehingga pembaca dan pendengarnya dapat memahami dan menghayati kandungan
pesan-pesannya.
6. Wahyu-wahyu al-Qur’an diterima oleh Nabi
saw demikian cepat lagi berat, sebagaimana dipahami dari kata mencampakkan dan
berdasar penjelasan beberapa hadits Nabi saw.[14]
7.
Malam dengan keheningannya dapat membantu untuk
lahirnya kekhusyu’an dan penghayatan.[15]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata rattil dan tartil
terambil dari kata ratala yang antara lain berarti serasi dan indah. Kamus-kamus
bahasa merumuskan bahwa segala sesuatu yang baik dan indah dinamai ratl,
seperti gigi yang putih dan tersusun rapi, demikian pula benteng yang kuat dan
kukuh. Ucapan-ucapan yang disusun secara rapi dan diucapkan dengan baik dan
benar dilukiskan dengan kata-kata Tartil al-Kalam. Tartil al-Qur’an adalah membacanya dengan perlahan-lahan sambil
memperjelas huruf-huruf, berhenti dan memulai (Ibtida’) sehingga pembaca dan
pendengarnya dapat memahami dan menghayati kandungan pesan-pesannya.
Membaca al-Qur’an dengan khusyu’ artinya merenungkan isi kandungan al-Qur’an, menjauhkan diri serta meninggalkan ucapan atau perkataan
yang selain al-Qur’an, menangis bilamana ada ayat yang menyangkut ayat azab (siksaan), memperhatikan dan berbekas (apa yang dibacanya itu hati
kita memperhatikan bacaan itu dan ada bekasnya atau berbekas pada hati kita).
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu kritik, saran, dan masukan yang sifatnya membangun
sangatlah kami harapkan untuk baiknya makalah ini ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fauzan,
Syaikh Sholih bin Fauzan. 2006. Bimbingan Meraih Kemuliaan Ramadhan. Solo
: Al-Qowam.
Belajar
Membaca, Adab Membaca
al-Qur’an, diakses dari http://belajarmembacaalqur’an.com/adab-membaca-al-qur’an/ pada
27 maret 2016 pukul 14:30.
Hamka.
2004. Tafsir Al Azhar Jus XXIX. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Hamidy,
Mu’ammal. 1985. Tafsir Ayat Ahkam
Ash-shabuni. Surabaya : Bina Ilmu.
Shihab,
M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta : Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2012. Al-Lubab Makna, Tujuan, dan Pelajaran
dari Surah-Surah Al-Qur’an. Tangerang : Lentera Hati.
Sulaiman,
Tasirun. 2011. Al-Qur’an : Inspirasi Perubahan. Jakarta : Dian Rakyat.
Surasman,
Otong. 2002. Metode Insani Kunci Praktis Membaca Al-Qur’an Baik dan Benar.
Jakarta : Gema Insani Press.
PROFIL PENULIS
Nama :
Ika Rimaturrahmah
Tempat, tanggal lahir :
6 Januari 1997
Alamat : Jl. Letjend
R soeprapto, Rt 02 Rw 03 Denasri Wetan Batang
Riwayat Pendidikan :
- SD N Denasri Wetan 02 Batang
- SMP N 06 Batang
- SMA N 02 Batang
[2] Tasirun
Sulaiman, Al-Qur’an : Inspirasi Perubahan (Jakarta : Dian Rakyat, 2011),
hlm. 141-143.
[3] Syaikh Sholih
bin Fauzan Al-Fauzan, Bimbingan Meraih Kemuliaan Ramadhan (Solo :
Al-Qowam, 2006), hlm 125-126.
[5] Otong
Surasman, Metode Insani Kunci Praktis Membaca Al-Qur’an Baik dan Benar (
Jakarta : Gema Insani Press, 2002), hlm. 21-23.
[6] Belajar Membaca, Adab Membaca al-Qur’an,
diakses dari http://belajarmembacaalqur’an.com/adab-membaca-al-qur’an/ pada 27 maret 2016 pukul 14:30.
[11] M. Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, dan
Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an (Tangerang : Lentera Hati, 2012), hlm.
433-434.
[14] Op Cit., M. Quraish Shihab, hlm. 434.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar