KEWAJIBAN
BELAJAR “SPESIFIK”
Perintah
Membaca Belajar Agama - QS. At-Taubah
Ayat 122
Saeful Arifudin (2021115061)
Kelas B
FAKULTAS TARBIYAH / PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Rasulullah SAW.
Penulis bersyukur kepada Allah SWT yang
telah memberikan hidayah serta taufiq-Nya kepada penulis sehingga makalah yang
berjudul Perintah Membaca Belajar Agama guna memenuhi tugas mata kuliah tafsir
tarbawi , telah terselesaikan.
Sehubungan dengan ditugasinya penulis
untuk mengulas materi mengenai Perintah Membaca Belajar Agama, yang sumbernya
berasal dari tafsir QS. AT-Taubah ayat 122.
Tidak lupa ucapan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu baik moriil maupun materiil, terutama untuk
orang tua, dosen, IAIN Pekalongan, serta teman-teman yang telah mendukung,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Uraian topik dalam makalah ini
disusun secara sederhana,praktis dan sistematis sesuai dengan apa yang telah
ditentukan. adapun untuk penelusuran yang lebih jauh dan mendalam pembaca dapat
mengadakan kajian pada buku buku rujukan, dan buku lain yang dianggap
berhubungan dengan pembahasan dalam makalah ini.
Kemudian kritik pembaca terhadap
kekurangan makalah ini sangat diharapkan. semuanya penulis terima sebagai bahan
perbaikan pembuatan makalah setelahnya. Akhirnya saran dari semua pihak akan
penulis terima dengan baik, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya, dan penulis pada khususnya.
Pekalongan, September 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam diturunkan sebagai
agama yang rahmatan lil alami. Untuk itu diutuslah Rasulullah untuk memperbaiki
manusia dengan perintah membaca dan belajar agama . dengan membaca mengantarkan manusia ke derajat yang lebih
tinggi yaitu menjadi orang yang mengetahui pengetahuan atau orang yang berilmu.
Perintah membaca adalah wahyu pertama Allah yang diberikan kepada Rosulullah
SAW sebagai awal kerosulannya hal tersebut menjadikan fator yang penting untuk
tercapainya belajar agama sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
.
Untuk itu peran perintah membaca dan belajar
agama adalah faktor yang utama dalam beradabnya manusia. Sebagai cara untuk
mengetahui apa yang telah dinashkan oleh Allah SWT yaitu perintah membaca Maka
dalam makalah ini akan membahas tentang Perintah Membaca Belajar Agama.
B.
Kewajiban Belajar “Spesifik” Perintah Membaca Belajar Agama
Surat
At-Taubah 9:122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ
لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya :
“Dan
Tidak (Boleh ) orang yang beriman itu turut semuanya. Tetapi alangkah baiknya
keluar dari tiap-tiap golongan itu, diantara mereka satu kelompok; supaya
mereka memperdalam pengertian tentang agama, dan supaya mereka memberi ancaman
kaum mereka apabila mereka kembali kepada kaum mereka itu, supaya mereka
berhati-hati”(QS. At-Taubah 9:122)[1]
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Perintah 'Membaca'
Wahyu yang
pertama kali turun kepadaa Nabi SAW. Adaalah Iqra’ atau bacalah, meskipun
beliau dalam kondisi Ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis). Mengapa
Iqra’ ? secara etimologis Iqra’ diambil dari akar kata qara’a yang menghimpun
sehingga tidak selalu harus diartikan membaca sebuah teks yang tertulis dengan
aksara tertentu. Selain bermakna menghimpun, kata qara’a juga memiliki
sekumpulan makna seperti menyampaikan, menelaah mendelami, menelitti,
mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tertulis maupun tidak.
Allah swt. berfirman :
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ
الَّذِي خَلَقَ. خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Artinya : “ bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah“.
Kata Iqra’ dalam surat al-Alaq’
diatas oleh banyak ahli tafsir diartikan “bacalah”, tetapi apa yang harus
dibaca ? dalam satu riwayat Nabi SAW setelah mengalami kesusahan karna
dirangkul dan diperintah membaca ioleh malaikat Jibril As. Beliaulantas bertanya
“ ma aqra’ ya Jibril ? namun pertanyaan tersebut tidak dijawab oleh malaikat
Jibril As karna Allah menghendaki agar beliau dan umatnya membaca apa saja,
selama membaca tersebut dillandasi Bismirabbikha (atas nama Allah), dalam arti
bermanfaat untuk kemaslahatan sosial.
Pengaitan ini merupakan syarat
sehingga menuntut dari si pembaca bukan saja sekedar melakukan bacaan dengan
ikhlas, tetapi juga antara lain mampu memilih bahan-bahan bacaan yang tidak
menghantarkannya kepada hal-hal yang bertentangan dengan nama Allah itu. Jka
begitu kata Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah, ciri-ciri
sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri baik
yang tertulis maupun tidak tertulis. Alhasil objek perintah Iqra’ mencakup segala
sesuatu yang dapat dijangkau.
B.
Tafsir Surat At-Taubah 9:122 Kewajiban Belajar “Spesifik” Perintah
Membaca Belajar Agama
1.
Tafsir Al-Azhar
“dan tidaklah (boleh) orang-orang yang
beriman itu turut semuanya” (pangkal ayat 122). Sebagai juga ayat-ayat 133 dan
120, disini sama bunyinya pangkal ayat. Yaitu orang beriman sejati tidaklah
semuanya turut bertempur berjihad dengan senjata ke medan perang “tetapi
alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, diantara mereka, satu
kelompok supaya mereka memperdalam pengertian tentang agama”.
Dengan susunan kalimat Falaula, yang
berarti diangkat naiknya, maka Tuhan telah menganjurkan pembagian tugas.
Seluruh orang yang beriman diwajibkan berjihad dan diwajibkan pergi berperang
menurut kesanggupan masing-masing, baik secara ringan ataupun secara berat.
Maka dengan ayat ini, Tuhan pun menuntun hendaklah jihad itu dibagi kepada
jihad bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang
agama. Jika yang bergi kemedan perang itu bertarung nyawa dengan musuh, maka
yang tinggal digaris beelakang memperdalam pengertian (fiqh) tentang agama,
sebab itu tidaklah pula kurang penting jihad yang mereka hadapi. Ilmu agama
wajib diperdalam. Dan tidak sumua orang akan sanggup mempelajari seluruh agama
itu secara ilmiah. Ada pahlawan dimedan perang , dengan pedang ditangan dan ada
pula pahlawan digaris belakang merenung kitab. Keduanya penting dan keduanya
isi-mengisi. Apa yang diberjuangkan digaris muka, kalau tidak ada dibelakang
yang mengisi rohani.
Suatu hal yang terkandung dalam surat ini
mesti kita perhatikann, yaitu alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan
itu, diantara mereka ada satu kelompok, supaya mereka memperdalam pengertian
tantang agama.
Di ayat 42 telah disebut, bahwa kalau
seruan peperangan (nafir) telah datang, hendaklah pergi berperang, biar ringan
atau berat, muda ataupun tua, bujang belum berumahtangga atau sudah berkeluarga
(lihat kembali pada juz’ 10 ketika menafsirkan ayat 42). Jika dilihat
sepintas lalu seakan-akan ada perlawanan
diantara ayat 42 tersebut dengan ayat 122 ini
dijelaskan bahwa tidaklah baik jika orang yang beriman itu turut
semuanya. Padahal tidaaklah kedua ayat ini bertentangan atau berlawanan dan
tidak pula terjadi Nasikhmansukh.Sebab di ayat 122 ini masih jelas
diterangan bawah golongan – golongan itu keluar apabila panggilan sudah datang.
Mereka semuanya datang kepada Rasulullah mendaftarkan dirinya,ringan maupun
berat,mudah maupun tua.Tetapi hendaklah dari golongan golongan yang banyak itu,
yang di waktu datang berbondong kepada Rasulullah,ada satu kelompok ( Thaifatun
),yang bersungguh sungguh memperdalam pengetahuan dalam hal agama.
Tegasnya adalah bahwa semua golongan itu
harus berhijab,turut berjuang. Tetapi Rasulullah kelak membagi tugas mereka masing
masing. Ada yang berhijab ke garis muka dan ada yang berhijab di garis
belakang.Sebab itu maka kelompok kecil yang memperdalam pengetahuannya tentang
agama itu adalah sebagian daripada jihad juga.[2]
2.
Tafsir Al-Maraghi
Menurut riwayat
Al-Kanabi dari Ibnu ‘Abbas, bahwa dia mengatakan, “Setelah Allah mengecam keras
terhadap orang-orang yang tidak menyertai Rasul dalam peperangan,maka tidak
seorang pundi antara kami yang tinggal untuk tidak menyertai bala tentara atau
utusan perang buat selama-lamanya. Hal itu benar-benar mereka lakukan, sehingga
tinggallah Rasulullah saw sendirian.Maka,turunlah wahyu:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ
Penjelasan
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً
Tidaklah patut bagi orang-orang Mu’min, dan juga tidak
dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang
keluar menuju medan perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardhu kifayah,
yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardhu
‘ain, yang wajib dilakukan setiap orang. Perang barulah menjadi wajib,
apabila Rasul sendiri keluar dan mengerahkan kaum Mu’min menuju medan perang.
Kewajiban Mendalami Agama
Dan Kesiapan Untuk Mengerjakannya
فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Mengapa
tidak segolongan saja, atau sekelompok kecil saja yang berangkat ke medan
tempur dari tiap-tiap golongan besar kaum Mu’min, seperti penduduk suatu negeri
atau suatu suku, dengan maksud supaya orang-orang Mu’min seluruhnya dapat
mendalami agama mereka. Yaitu, dengan cara orang yang tidak berangkat dan
tinggal di kota ( Madinah ), beusaha keras
untuk memahami agama, yang wahyu-Nya turun kepada Rasulullah SAW. Hari demi
hari, berupa ayat-ayat, maupun berupa hadits-hadits dari beliau SAW, yang
menerangkan ayat-ayat tersebut, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dengan
demikian , maka diketahuilah hukum beserta hikmatnya, dan menjadi jelas hal
yang masih mujmal dengan adanya perbuatan nabi tersebut disamping itu
orang yang mendalami agama memberi peringatan kepada kaumnya yang pergi perang
menghadapi musuh, apabila mereka telah kembali ke dalam kota.
Ayat
tersebut merupakan isyarat tentang wajibnya pendalaman agama dan berseddia
mengajarkanya ditempat-tempat pemukiman serta memahamkan orang-orang lain
kepada agama sebanyak yang dapat
memperbaiki keadaan mereka. Sehingga mereka tak bodoh lagi tentang hukum-hukum
agama secara umum yang wajib di ketahui oleh setiap mu’min.
Orang-orang
yang beruntun, dirinya memperoleh kesempatan untuk memperdalami agama dengan
maksud seperti ini mereka mendapat kedudukan yang tinggi disisi Allah, dan
tidak kalah tingginya dari kalangan pejuang yang mengorbankan harta dan jiwa
dalam meninggikan kalimat Allah, membela agama dan ajarannya, bahkan, mereka
boleh jadi lebih utama dar para pejuang pada selain situasi kita mempertahankan
agama menjadi wajib ‘ain bagi setiap orang.[3]
3.
Tafsir Al-Mishbah
Anjuran yang demikian gencar, pahala yang demikian
besar bagi yang berjihad serta kecaman yang sebelumnta tunjukan kepada yang
enggan, menjadikan kaum beriman berduyu-duyun dan dengan penuh semangat maju
kemedan juang. Ini tidak pada tempatnya, karna ada arena perjuangan lain yang
harus dipukul.
Sementara
ulama menyebut riwayat yang menyatakan bahwa ketika Rosulullah . tiba di
Madinah, beliau mengutus pasukan yang terdiri dari beberapa orang ke beberapa
daerah. Banyak sekali yang ingin terlibat dalam pasukan kecil itu, sehingga
jika diperturutkan, maka yang akan
tinggal di Madinah bersama Rosul kecuali beberapa gelintir orang. Nah, ayat ini
menuntut kaum muslimin untuk mebagi tugas dengan menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-orang mu’min
yang selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semuake
medan perang sehingga tidak tersisa lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang
lain. Jika memang tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi umum maka
mengapa tidak pergi dari setiap golongan, yakni kelompok besar di antara
mereka berupa orang dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam
pengtahuan tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat untuk
diri mereka dan untuk orang lain dan juga untuk memberi peringatan
kepada kaum mereka yang menjadi anggota pasukan yang ditugaskan Rasul SAW.
Ituapabilananti telah selesainya tugas, mereka, yakni anggota
pasukan itu telah kembali kepada mereka yang memperdalam pengetahuan
itu, suapaya mereka yang jauh dari Rasul SAW. Karna tugasnya dapat berhati-hati
dan menjaga dirinya mereka.[4]
4.
Tafsir Ibnu Katsir
Bekata ibnu
Abbas mengenai ayat ini “tidak sepatutnya orang-orang yang mukmin itu pergi
semuanya ke medan perang dan meniggalkan Rosulullah SAW. Seorang diri”.
Berkata Qatadah “ jika rosulullah SAW mengirimkan
pasukan maka hendaklah sebagian pergi ke medan perang sedangkan sebagian lagi
tinggal berama Rosulullah SAW untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan
mereka tantang agama, kemudian dengan pengetahuan yang mereka peroleh itu.
Hendaklah mereka kembali kepada kaumnya untuk memberi peringtan kepada mereka”.
Berkata
adh-Dhahhak “jika Rosulullah SAW mengajak berjihad (perang total) maka tidak
boleh tinggal dibelakang kecuali mereka yang beruzur akan tetapi jika
Rosulullah SAW menyuruh sebuah “ sariyah” (perng terbatas) maka hendaklah
segolongan pergi ke medan perang dan segolongan tinggal bersama Rosulullah
memperdalam pengetahuanya tentang agama untuk diajarkanya kepada kaumnya bila
kembali.
Menurut Ali
bin Abi Thalhah, bahwa pendapat ibnu
Abbas mengenal ayat ini, bahwasanya ayat ini bukan mengenahi jihad tetapi
mengenahi suatu peristiwa tatkala Rosulullah SAW berdoa mengituuk Mudhar
terjadilah kekeringan di tempat mereka sehingga terpaksa mereka
berbondong-bondong mengungsi dan tinggal di Madinah. Kedatangan mereka secara
besar-besaran itu merupakan bencana dan membawa keukaran bagi sahabat
Rosulullah penduduk Madinah sendiri, maka diturunkanlah oleh Allah ayat ini
memberi tahu Rosulnya bahwa mereka itu bukan orang-orang mukmin maka dikembalikan
mereka oleh Rasulullah ke kampung halaman mereka dan kepada ”kawan-kawan
sesuku” mereka dipertinggalkan untuk tidak berbuat serupa itu lagi.[5]
C.
Aplikasi Dalam Kehidupan
1.
Hendaklah ada salah satu kelompok pergi berjihad dan kelompok lain menetap
untuk memperdalam ilmu agama serta menjaga kaum wanita.
2.
Hendaklah seseorang harus menuntut ilmu karna fardh
‘ain.
3.
Setiap orang agar memberi peringatan kepada orang lain
untuk kebaikan.
4.
Saling memberikan kabar gembira kepada saudaranya
sbagai tanda pertolongan Allah SWT untuk mengagungkan-Nya.
5.
Berhati-hati dan menjaga diri untuk hal yang
bermanfaat.
6.
Menuntut ilmulah karna memiliki keutamaan dan martabat
yang mulia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bahwasanya berjihad dalam surat At-Taubah ayat 122 ada
dua yaitu berjihad di medan perang dan berjihad untuk memperdalam ilmu agama
dan mengjarkan kepada sesama muslim lainya. Berjihad pada jaman Rosulullah
terdapat berbagai pelajaran yang diambil oleh para sahabat dan kaum muslimin
karna suatu masalah apapun dapat diselesaikan langsung dengan menghadap ke
baginda Rosul SAW.
Berjihad untuk memperdalam ilmu tidak hanya
untuk memperkaya pengetahuan semata tetapi juga memperkaya iman seorang muslim,
pendalaman ilmu agama yang disampaikan Rosul SAW kepada sahabat dan muslim
lainya sebagai kewajiban seorang rosul, maka seseorang yang telah memperdalam
ilmu agama agar dapat mengajarkan ilmunya ke muslim lainya sebagai jalan untuk
mendatangkan manfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.
Daftar Pustaka
Al-Maraghiy, Ahmad
Musthafa. 1994 Terjemah Tafsir Al-Maraghiy Juz IX. Semarang: CV Toha Putra
Hamka. 2002.Tafsir
Al-Azhar Juz XI.Jakarta: Pustaka Panjimas
Salim Bahreisy,
dkk. 1994 Terjamah Singkat Tafsir Ibnu
Katsier Surabaya: Bina Ilmu
Shihab M.
Quraish, Tafsir Al-Mishbah. 2006 Tanggerang: Lentera Hati
QS.
At-Taubah 9 ; 122
Nama : Saeful
Arifudin
Tempat, Tgl Lahir :
Pemalang, 08 Desember 1995
Alamat :
Jln. Impres Raya Widodaren Rt. 33 Rw. 04
Kec.
Petarukan Kab. Pemalang
Riwayat Pendidikan:Lulus dari SDN 01 Widodaren, SMPN
06 Petarukan, MA Wahid Hasyim Petarukan dan sekarang masih melanjukan study S1
di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pekalongan.
[1]QS. At-Taubah 9;122
[2] Prof. Dr.
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz XI, (Jakarta: Pustaka Panjimas 2002) hlm.
86-87
[3]Ahmad Musthafa
Al-Maraghiy, Terjemah Tafsir Al-Maraghiy Juz IX, (Semarang: CV Toha Putra,
1994) hlm. 84-86
[4]M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Tanggerang: Lentera Hati 2006) hlm. 749-750
[5]Salim Bahreisy,
Said Bahreisy, Terjamah Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Surabaya: Bina Ilmu 1988)
hlm. 163
Tidak ada komentar:
Posting Komentar