PEMBELAJAR, GIZAQ, DAN USWAH
MAKALAH
Disusun
guna memenuhi tugas kelompok :
Matakuliah
: Strategi Belajar Mengajar
Dosen
Pengampu : Muhammad Hufron M.SI.
oleh
:
Ika Nova
Sulistyani ( 202 111 2044 )
M. Thohir
Fahmi ( 202 111 2063 )
Fauziah
Niswatin ( 202 111 2066 )
Evi Lisviana ( 202 111 2079 )
Kelas
C
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI )
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN )PEKALONGAN
( STAIN )PEKALONGAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang
berjudul “PEMBELAJAR, GIZAQ, DAN USWAH” ini dapat
diselesaikan dengan tepat waktu dan sebaik-baiknya. Salawat serta salam semoga
tetap tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. dan keluarganya.
Makalah
yang berjudul “PEMBELAJAR, GIZAQ,
DAN USWAH” ini membahas pengertian
pembelajar, gizaq, dan uswah secara jelas dan ringkas. Tujuan
pembuatan makalah ini adalah agar pembaca khususnya mahasiswa mampu memahami
pengertian pembelajar, gizag,
dan uswah. Makalah ini juga disusun untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Strategi Belajar Mengajar.
Kami mengucapkan
terimakasih kepada Bapak Muhammad Hufron, M.SI.
selaku dosen pengampu mata kuliah Strategi Belajar Mengajar kelas C, teman-teman
dan semua pihak yang telah mendukung penyusunan makalah ini. Harapan kami
sebagai penulis, semoga makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kalangan
umum, khususnya bagi civitas akademika STAIN Pekalongan terutama bagi audien
kelas C. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik
dari segi substansi, diksi, atau penyusunannya. Oleh sebab itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca sebagai bahan koreksi agar dalam pembuatan makalah ini ataupun
makalah selanjutnya bisa menjadi lebih sempurna.
Pekalongan, September 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
i
Daftar Isi
ii
BAB I. PENDAHULUAN
1
A.
Latar Belakang Masalah
1
B.
Rumusan
Masalah
1
C.
Metode
Pemecahan Masalah
2
D.
Sistematika
Penulisan
2
BAB II. PEMBAHASAN
3
A.
Pengertian Pembelajar
3
B.
Pengertian Gizaq
4
a)
Macam-macam gizaq
6
b)
Fungsi gizaq dalam pendidikan
7
C.
Pengertian
Uswah
7
a)
Landasan teori metode uswah
9
b)
Urgensi
uswah dalam pelaksanaan pendidikan
10
BAB III. PENUTUP
11
A.
Simpulan
11
B.
Saran-saran/Rekomendasi
11
Daftar Pustaka
12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Guru
merupakan profesi yang mulia. Dalam dunia pendidikan, guru seringkali dikatakan sebagai ujung tombak kemajuan
peradaban suatu bangsa yang dinamis. Hal itu dikarenakan, guru sebagai sosok
yang terjun langsung ke lapangan dan berhadapan langsung dengan peserta didik.
Guru yang baik disamping melakukan transfer of knowledge (pengajaran) juga
melakukan transfer of value (pendidikan) yang kemudian mengubah pola
pikir masyarakat menjadi lebih cerdas, bermoral dan berpengetahuan. Dua hal tersebut tentunya hanya dapat
dilakukan oleh guru yang memiliki kepribadian yang ideal didalam membentuk
karakter suatu bangsa. Adanya kasus di media massa mengenai guru yang kurang
bisa memberi teladan bagi peserta didiknya menjadi sebuah pertanyaan, apakah
guru sudah mengerti perannya dalam dunia pendidikan? Oleh sebab itu, perlu
adanya pemahaman mengenai peran guru sebagai teladan bagi peserta didik dan
perlunya guru menjaga kewibawaan serta sifat guru sebagai pembelajar terutama
didalam era modern seperti sekarang yang sangat dinamis agar permasalahan-permasalahan
tersebut bisa diatasi.
B.
Rumusan Masalah
Untuk
membatasi masalah yang dibahas dalam makalah ini, maka dibuatlah rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
Pengertian Pembelajar?
2.
Bagaimana
Pengertian, Macam-macam, dan Fungsi Gizaq?
3.
Bagaimana
Pengertian, Landasan teori, dan Urgensi Uswah?
C.
Metode Pemecahan Masalah
Teknik yang digunakan untuk pemecahan
masalah dalam makalah ini adalah studi kepustakaan atau studi pustaka. Studi
kepustakaan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan
menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis seperti buku, maupun dokumen
yang bersumber dari media elektronik atau website yang berkaitan dengan judul
pembahasan dalam makalah.
D.
Sistematika Penulisan
Untuk
menghindari kesimpangsiuran pembahasan, maka dibuatlah sistematika penulisan.
Bab I Pendahuluan, bagian ini berisi mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode penyelesaian
masalah, serta sistematika penulisan makalah.
Bab II Pembahasan, bagian ini membahas
tentang pengertian pembelajar, pengertian gizaq, serta pengertian uswah
beserta uraiannya masing-masing.
Bab III Penutup, berisi simpulan, saran/rekomendasi
dan kata penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pembelajar
Manusia pembelajar
adalah orang-orang yang menjadikan kegiatan belajar (proses mengubah tingkah
laku menuju kondisi yang lebih baik) sebagai bagian dari kehidupan dan
kebutuhan hidupnya. Manusia pembelajar belajar dari banyak hal, misalnya dari
pengalaman keberhasilan atau kegagalan orang lain, pengalaman diri sendiri yang
bersifat sukses atau yang bersifat gagal dari buku-buku, jurnal, majalah,
koran, hasil-hasil penelitian, hasil observasi, hingga yang bersifat spontan.
Lima pilar utama yang
mutlak ada untuk menjadi manusia pembelajar antara lain sebagai berikut :
1.
Rasa
ingin tahu. Ini merupakan awal seseorang
menjadi manusia berpengetahuan. Manusia yang memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi adalah pembelajar sejati.
2.
Optimisme. Inilah modal dasar bagi seseorang untuk tidak mudah menyerah
dengan aneka situasi. Adakalanya ketika orang pesimis tiba- tiba orang
menghentikan usaha atau perjuangannya ketika sesungguhnya keberhasilan itu
sudah amat dekat untuk dicapai.
3.
Keikhlasan. Orang orang yang ikhlas nyaris tidak mengenal lelah. Dia selal
bergairah dalam setiap keadaan. Banyak siasat, srategi atau akal baru yang
dihasilkannya ketika ia berpikir dan memutuskan untuk berbuat.
4.
Konsistensi. Begitu banyak orang yang bekerja dalam format “keras kerak, yang
tersiram air sedikit saja menjadi lembek”, “tergoda dengan hal baru lalu
meninggalkan keputusan yang telah dibuat dan telah dicoba dijalankan”, dan
sebagainya. Disinilah pentingnya sikap konsistensi.
5.
Pandangan
visioner. Pandangan jauh kedepan,
melebihi batas-batas pemikiran orang kebanyakan. Mereka yang termasuk kelompok
ini jarang sekali tergoda untuk melakukan apa saja untuk hasil yang instan,
mengejar target jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang.
Tugas utama tenaga pengembang
atau pembentuk peserta didik menjadi
manusia pembelajar adalah mendidik dan mengajar. Tugas-tugas pedagogis ini
dimuarakan pada pembentukan peserta didik sebagai manusia sejati, manusia yang
memiliki keseimbangan antara kecerdasan emosional, spiritual dan intelektual.
Tugas-tugas mengajar bermuarakan pada pembentukan diri peserta didik menjadi
orang yang cerdas dan berpengetahuan.[1]
B.
Pengertian Gizaq (Kewibawaan)
Kewibawaan
berasal dari kata wibawa yang berarti kekuasaan. Secara istilah, wibawa berarti
pembawaan untuk dapat menguasai dan memengaruhi dihormati orang lain melalui
sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik.
Menurut Abu Ahmadi, kewibawaan adalah suatu daya yang memengaruhi yang terdapat
pada seseorang sehingga orang lain yang berhadapan dengan dia secara sadar dan
sukarela menjadi tunduk dan patuh kepadanya, jadi sesorang yang memiliki
kewibawaan akan dipatuhi secara sadar, dengan tidak terpaksa, dengan tidak
merasa/ diharuskan dari luar, dengan penuh kesadaran, keinsyafan, tunduk,
patuh, dan menuruti semua yang dikehendaki oleh pemilik kewibawaan itu.
Kewibawaan juga disebut gezag, berasal berasal dari kata zeggen yang berarti berkata. Siapa yang
perkataanya mempunyai kekuatan mengikat terhadap orang lain, berarti dia
mempuyai kewibawaan. Kewibawaan tersebut ada pada orang dewasa, terutama pada
orang tua. Kewibawaan yang ada pada orangtua adalah natural dan orisinil, hal
ini disebabkan orang tua langsung
diperintahkan oleh Allah untuk mendidik anak-anaknya. Adapun kewibawaan orang
tua sebagai pendidik memiliki sifat sebagai berikut.
1) Kewibawaan
Pendidikan
Ini berarti bahwa kewibawaan orang tua
bertujuan memelihara keselamatan anak-anak agar mereka dapat hidup mandiri dan
sehat jasmani serta ruhaninya. Perbawa pendidikan ini berakhir jika anak sudah
dewasa.
2) Kewibawaan
Keluarga
Orang tua merupakan kepala suatu
keluarga. Tiap-tiap anggota keluarga harus patuh terhadap peraturan-peraturan
di keluarga yang sesuai denagn norma-norma di masyarakat dan norma agama.
Kewibawaan keluarga ini bertujuan pemeliharaan dan keselamatan keluarga.
Berbeda
dengan orang tua, kewibawaan guru berasal dari jabatannya sebagai seorang guru.
Kewibawaan guru memiliki dua sifat, yaitu :
1) Kewibawaan
Pendidikan
Guru sebagai pendidik telah
diserahi sebagian dari tugas orangtua untuk mendidik anak-anaknya. Kewibawaan
yang dimiliki oleh guru terbatas oleh banyaknya anak-anak yang diserahkan
kepadanya.
2) Kewibawaan
Memerintah
Dengan jabatannya sebagai seorang
pendidik, guru mempunyai kekeuasaan untuk memimpin anak-anak dalam proses
pendidikan.[2]
Seorang yang berstatus sebagai guru
tidak selamanya dapat menjaga wibawa dan citra sebagai guru di mata anak didik
dan masyarakat. Ternyata masih ada sebagian guru yang mencemarkan wibawa dan
citra guru. Di media massa (cetak maupun elektronik) sering diberitakan tentang
oknum-oknum guru yang melakukan suatu tindakan asusila, asosial dan amoral.
Perbuatan ini tidak sepatutnya dilakukan oleh guru. Lebih fatal lagi jika perbuatan
kriminal tersebut dilakukan terhadap anak didiknya sendiri.[3]
a)
Macam-macam Gizaq
Ditinjau
dari mana daya yang mempengaruhi yang ada pada seseorang ini ditimbulkan maka
kewibawaan dapat dibedakan menjadi berikut.
a. Kewibawaan
lahir
Kewibawaan lahir merupakan
kewibawaan yang timbul karena kesan-kesan lahir seseorang. Misalnya, benruk
tubuh yang tinggi besar, pakaian yang lengkap dan rapi, tulisan yang bagus,
suara lenting, dan lain-lain.
b. Kewibawaan
batin
Kewibawaan batin ini ditimbulkan
oleh :
1. Adanya
rasa cinta
Kewibawaan ini dapat dimiliki
seseorang apabila hidupnya penuh dengan kecintaan kepada orang lain.
2. Adanya
rasa demi kamu
Demi kanu adalah sikap yang
dilukiskan sebagai suatu tindakan, perintah atau anjuran bukan untuk
kepentingan orang yang memerintah, melainkan untuk kepentingan yang diperintah.
3. Adanya
kelebihan batin
Seorang guru yang menguasai bidang
studi yang menjadi tanggung jawabnya bia berlaku adil dan objektif dan
bijaksana. Sikap-sikap tersebut dapat menimbulkan kewibawaan pada dirinya.
4. Adanya
ketaatan kepada norma
Kewibawaan ini timbul karena
tingkah laku seorang guru selalu mematuhi norma-norma yang berlaku.
b)
Fungsi
gizaq dalam pendidikan
Ada dua sikap anak terhadap kewibawaan seorang guru, anatara lain
sebagai berikut :
a. Sikap
menurut atau mengikuti, yaitu mengakui kekuasaan orang lain yang lebih besar
karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau menurut yang sebenarnya.
b. Sikap
tunduk atau patuh, yaitu dengan sadar mengikuti kewibawaan, artinya mengakui
hak orang lain untuk memerintah dirinya, dan dirinya merasa terikat untuk
memenuhi perintah itu.
Pada sikap yang terakhir inilah tampak
fungsi kewibawaan dalam pendidikan, yaitu membawa peserta didik ke arah
pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan
mau menjalankannya juga. Dalam menggunakan kewibawaannya hendaknya guru :
a. Menggunakan
kewibawaan didasarkan atas perkembangan peserta didik.
b. Menerapkan
kewibawaannya didasari rasa kasing sayang kepada peserta didiknya.
c. Kewibawaan
digunakan untuk kepentingan peserta didik.
d. Kewibawaan
hendaknya digunakan dalam suasana pergaulan antara guru dan peserta didik yang
sehat.[4]
C.
Pengertian Uswah
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa “keteladanan” dasar katanya “teladan” mempunyai
arti “dicontoh”. Oleh karena itu “keteladanan” adalah hal-hal yang dapat ditiru
atau dicontoh. Dalam bahasa Arab
“keteladanan” diungkapkan dengan kata”uswah” dan”qudwah”. Kata “uswah”
terbentuk huruf-huruf : hamzah, as-sin dan al-waw. Secara etimologi
setiap kata bahasa Arab yang terbentuk dari ketiga huruf tersebut memiliki
persamaan yaitu “pengobatan dan perbaikan”.
Terkesan lebih luas pengertian yang diberikan
oleh Al-Ashfahany bahwa menurut beliau “al-uswah” dan “al-iswah”
sebagaimana kata “al-qudwah” dan “al-qidwah” berarti “suatu
keadaan ketika seorang manusia mengikuti manusia lain, apakah dalam kebaikan,
kejelekan, kejahatan atau kemurtadan. Senada dengan Al-Ashfahany, Ibn Zakaria
mendefinisikan bahwa kata “uswah” berarti “qudwah” yang artinya
ikutan, mengikuti, yang diikuti. Dengan demikian keteladanan adalah hal-hal
yang dapat ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain. Namun
keteladanan yang dimaksud di sini adalah keteladan yang dapat dijadikan sebagai
alat pendidikan Islam, yaitu keteladan yang baik.[5]
Setiap
tenaga didik (guru dan karyawan) di lembaga pendidikan harus memiliki tiga hal
yaitu competency, personality dan religiosity. Dengan ketiga hal
tersebut guru akan mampu menjadi model dan mampu mengembangkan keteladanan di
hadapan siswanya.[6]
Keteladanan yang dikembangkan di sekolah
adalah keteladanan secara total, tidak hanya dalam hal yang bersifat normatif
saja seperti ketekunan dalam beribadah, kerapian, kedisiplinan, kesopanan,
kepedulian, kasih sayang, tetapi juga hal-hal yang melekat pada tugas pokok
atau tugas utamanya.[7]
Membangun keteladanan tidak ubahnya
seperti membangun kultur (budaya), watak dan kepribadian. Pada awalnya terasa
sulit dan perlu perjuangan atau lebih tepatnya disebut jihad. Tetapi, setelah
terbentuk dan dirasakan manfaatnya, justru menjadi sebuah kebutuhan.[8]
Guru yang dapat diteladani hakikatnya
adalah guru anak didiknya sepanjang hayat mereka bahkan lebih dari itu, yaitu
sepanjang masa karena keteladanannya mereka teruskan kepada generasi sesudah
mereka dan seterusnya.
Keteladanan adalah kunci keberhasilan,
termasuk keberhasilan seorang guru dalam mendidik anak didiknya. Syair Arab
mengatakan, “Qawul ul-hal afshah min lisani ‘l-maqal (keteladanan lebih fasih
daripada perkatann)”. Dengan keteladanan guru, siswa akan menghormatinya,
memperhatikan pelajarannya. Inilah implementasi etika religius dalam proses
pembelajaran yang sungguh mampu menggerakkan pikiran, emosi dan nurani siswa
meraih keberhasilan. Implementasi etika religius itu harus dimulai dari yang
paling atas, yaitu kepala sekolah.[9]
a)
Landasan
teori metode uswah
Sebagai pendidikan yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah, metode keteladanan tentunya didasarkan kepada kedua sumber
tersebut. Dalam Al-Qur’an “keteladanan” diistilahkan dengan kata “uswah”,
kata ini diantaranya terdapat dalam Al-Qur’an (Q.S. al-ahzab [33]: 21).
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Artinya:
“Dan sesungguhnya pada diri
Rasulullah itu ada tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan (bertemu
dengan) Allah dan hari kemudian dan yang mengingat Allah sebanyak-banyaknya”.
(Q.S al-ahzab [33]: 21).
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa
Allah mengutus Nabi Muhammad SAW ke permukaan bumi ini adalah sebagai contoh
atau tauladan yang baik bagi umatnya. Beliau selalu terlebih dahulu mempraktekkan semua ajaran yang disampaikan
Allah sebelum menyampaikannya kepada umat, sehingga tidak ada celah bagi
orang-orang yang tidak senang untuk membantah dan menuduh bahwa Rasulullah
hanya pandai berbicara dan tidak pandai mengamalkan. [10]
Oleh karena itu Rasulullah merupakan
tauladan terbesar buat umat manusia di dalam sejarah manusia. Beliau adalah
seorang pendidik, seorang yang memberi petunjuk kepada manusia dengan tingkah
lakunya sendiri terlebih dulu sebelum dengan kata-kata yang baik.[11]
b)
Urgensi
Uswah dalam pelaksanaan pendidikan
Metode keteladanan sebagai suatu metode
digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan dengan membwa contoh
keteladanan yang baik kepada siswa agar mereka dapat berkembang baik fisik
maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan benar. Keteladanan memberikan
kontribusi yang sangat besar dalam pendidikan ibadah, akhlak, kesenian dll.
Sebagai seorang guru, seharusnya tidak
cukup hanya memberikan prinsip saja, karena yang lebih penting bagi siswa
adalah figur yang memberikan keteladanan dalam menerapkan prinsip tersebut.
Sehingga sebanyak apapun prinsip yang diberikan tanpa disertai contoh tauladan,
ia hanya akan menjadi kumpulan resep yang tidak bermakna.
Sungguh tercela seorang guru yang
mengajarkan suatu kebaikan kepada siswanya sedangkan ia sendiri tidak menerapkannya
sehari-hari.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari uraian diatas dapat diambil
simpulan sebagai berikut :
1.
Manusia
Pembelajar adalah orang-orang yang menjadikan kegiatan belajar (proses mengubah
tingkah laku menuju kondisi yang lebih baik) sebagai bagian dari kehidupan dan
kebutuhan hidupnya.
2.
Gizaq atau Kewibawaan mempunyai kekuatan
mengikat terhadap orang lain. Fungsinya membawa si anak ke arah
pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan
mau menjalankannya juga.
3.
Uswah
atau Keteladanan merupakan hal-hal yang dapat
ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain. Keteladan yang dapat
dijadikan sebagai alat pendidikan Islam, yaitu keteladan yang baik.
B.
Saran-saran/Rekomendasi
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca, terutama dari dosen mata kuliah ini, agar dalam pembuatan makalah selanjutnya
menjadi lebih baik. Atas kritik dan saran, penulis mengucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Armai.
2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi
Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers.
Barizi, Ahmad.
2013. Menjadi Guru Unggul. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Danim,
Sudarman. 2007. Menjadi Komunitas Pembelajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi
Edukatif. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Quthb,
Muhammad. 1993. Sistem Pendidkan Islam.
Bandung : PT. Al-Ma’arif.
Wiyani, Novan Ardy & Barnawi. 2012. Ilmu
Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz media.
Monggo kersane di resume rencang-rencang :)
BalasHapus