MAKALAH
Peradaban Islam
Dinasti-Dinasti Lain di Dunia Islam I
Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah : Sejarah
Peradaban Islam (SPI)
Dosen Pengampu : Ghufron
Dimyati, M.S.I
Disusun Oleh:
1.
Suci Kharismaya Putri (2021113167)
2.
Sri Wijiati (2021113175)
3.
Ulfa Faza (2021113176)
KELAS: F
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekuasaan
Islam, dari tahun ke tahun mengalami banuak perkembangan. Dimulai saat Nabi
masih hidup hinnga wafat yang kemudian kepemimpinan dipegang oleh para sahabat
Nabi yang biasa kita kenal dengan julukan Khulafa urrasyidin. Mereka ialah Abu
Bakar as-Shidiq, Umar bin Khatab, Ustman bin Affan, dan yang terakhir ialah Ali
bin Abi Tholib. Pada masa Ali bin Abi
tholib ini lah mulai banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan. Dan terjadi
pula perang antara Ali bin Abi Tholoib dengan Aisyah yang biasa kita sebut
dengan perang Jamal. Dan perang siffin antara Ali bin Abi Tholib dengan
Muawiyah bin Abu Sufyan yang menyebabkan munculnya sekte-sekte dalam Islam,
seperti Syi’ah dan Khawarijj.
Perang siffin
tersebut diakhiri dengan Tahkim yang akhirnya kekuasaan jatuh ke tangan
Muawiyyah bin Abi Sufyan dan mendirikan Dinasti Umayyah. Setelah berapa puluh
tahun lamanya Dinasti Umayyah berdiri, akhirnya berhasil di tumbangkan oleh
seseorang yang bernama Abu Abbas As-Safa yang kemudian mendirikan Dinasti
Abbasiyah.
Namun, dalam
perjalanannya banyak kaum yang tidak suka dengan sistem Dinasti Abbasiyah yang
akhirnya mereka membentuk dinasti-dinasti kecil sendiri.
Di makalah
inilah akan di bahas beberapa dinasti kecil yang melepaskan diri dari Dinasti
Abbasiyah, seperti dinasti idrisiyah, Aghlabiyah, Samaniyah, Safariyah, Tulun,
Hamdaniyah, dan Fatimiyah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Idrisyah?
2.
Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Aghlabiyah?
3.
Bagaimana peradaban pada masa DinastiSamaniyah?
4.
Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Safariyah?
5.
Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Tulun?
6.
Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Hamdaniyah?
7.
Bagaimana peradaban pada masa Dinasti Fatimiya?
BAB II
PERADABAN ISLAM
DINASTI-DINASTI LAIN DI DUNIA ISLAM I
A. Dinasti Idrisiyah (789-926 M)
Dinasti ini
didirikan oleh seorang penganut Syi’ah, Idris bin Abdullah pada tahun 172 H/789
M. Muhammad bin Idris merupakan seorang keturunan Nabi Muhammad SAW, yaitu cucu
dari Hasan, putra Ali bin Abi Thalib. Dinasti ini merupakan Dinasti Syi’ah
pertama yang berusaha memasukkan Syi’ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang
sangat halus.
Ada dua alasan
mengapa Dinasti ini muncul dan menjadi dinasti yang kokoh dan kuat, pertama yaitu
karena adanya dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar dan diterima sebagai pemimpin mereka oleh para
tokoh Barbar Zenata di Maroko Utara (Afrika Utara) karena prestise keturunan
Ali, namanya dinisbahkan dengan Fez sebagai pusat pemerintahannya. Yang kedua,
letak geografis yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada
di Baghdad sehingga sulit untuk ditaklukannya.
Pada masa
kekhalifahan Bani Abbasiyah dipimpin Harun Ar-Rasyid (menggantikan Al-Hadi),
dia merasa posisinya terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut, maka
Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan
memeranginya. Namun hal itu dibatalkan karena faktor geografis yang berjauhan.
Harun Ar-Rasyid menggunakan cara lain yang disarankan oleh Yahya Barmaki, yaitu
dengan mengirim seorang mata-mata beranama Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura
menentang Daulah Abbasiyah sehingga mampu membunuh Idris dengan meracuninya.[1]
Idris bin Idris
bin Abdullah (Idris II) datang menggantikan ayahnya sebagai amir (177 H/793 M).[2]
Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar,
imigran-imigran Arab yang berasal dari Spanyol dan Tripolitania dibawah satu
kekuasaan politik, mampu membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan,
kota suci, tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi dari
Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib), pada tahun 1959 di kota ini telah
didirikan sebuah masjid Fathima dan Universitas Qairawan.[3]
Setelah Idris
II wafat, kepemimpinannya digantikan oleh Muhammad al-Mundatsir (213 H/828 M).
Pada masa ini wilayah kekuasaan Idris terpecah secara politis karena
dibagi-bagikan kepada saudara amir sendiri. Kekuatan pemerintah berada di
kota-kota, bukan desa-desa. Akibat keteledoran strategi ini dan sepeninggalnya
Muhammad, pemerintahan semakin rapuh karena digantikan para amir berikutnya. Adanya
serangan dari Barbar, pada abad ke 10 mendapat serangan dari Dinasti Fatimiyah
yang berhasil menduduki Fes (309 H/921 M). Gempuran paling akhir yaitu dari
bani Umayyah-Cordova yang berambisi memperluas wilayahnya ke Afrika Utara,
sebagai wilayah baru Dinasti Fatimiyah. Sejarah kehancuran total Dinasti
Idrisiyah ditandai dengan diboyongnya keluarga terakhir Idris ke Cardova.
Masa kekuasaan
Idrisiyah dengan kurun waktu yang cukup lama dibandingkan dengan dinasti-dinasti
lain namun tidak banyak mencatat keunggulan. Walaupun demikian bukan berarti
tidak mempunyai andil terhadap Islam. Dalam aspek dakwah Idrisiyah telah
membawa Islam dan meyakinkan penduduk Maroko dan sekitarnya. Melalui dinasti ini
suku barbar dapat membangun pemerintahan sendiri.[4]
B.
Dinasti Aghlabiyah (800-909 M)
Pusat
pemerintahan Dinasti Aghlabiyah terletak di Qairawan, Tunisia. Wilayah kekuasaan
Dinasti Aghlabiyah meliputi Tunisia dan Afrika Utara.[5]
Dinasti ini didirikan di Aljazairiyah dan Sisilia oleh Ibrahim bin Aghlab,
seorang yang dikenal mahir di bidang administrasi. Dengan kemahirannya
tersebut, ia mampu mengatur roda pemerintahan dengan baik. Secara periodik,
Dinasti Aghlabiyah dikuasai oleh beberapa penguasanya, yaitu:
·
Ibrahim bin Aghlab (800-811 M)
·
Abdullah I (811-816 M)
·
Ziyadatullah bin Ibrahim (816-837 M)
·
Abu Iqal bin Ibrahim (838-841 M)
·
Abu Al-Abbas Muhammad (841-856 M)
·
Abu Ibrahim Ahmad (856-863 M)
·
Ziyadatullah II bin Ahmad (863-864 M)
·
Abu Al-Ghranik Muhammad II bin Ahmad (864-874 M)
·
Ibrahim II bin Ahmad (874-902 M)
·
Abu Al-Abbas Abdullah II (902-903 M)
·
Abu Mudhar Ziyadatullah III (903-909 M)
Dinasti
Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah konflik berkepanjangan
antara Asia dan Eropa. Sebuah armada bajak laut yang dipimpin Ziadatullah I
dikerahkan untuk mengggoyahkan pesisir Italia, Perancis, Cosica dan Sardina.
pada tahun 827 M, Ziadatullah mengirim sebuah ekspedisi untuk merebut Sisilia
dari Bizantium dan berhasil dikuasai pada tahun 902 M. Kontribusi terpenting
ekspedisi tersebut adalah menyebarnya peradaban Islam hinggga Eropa. Bahkan Renaisans
di Italia terjadi karena transmisi ilmu pengetahuan melalui pulau ini.
Prestasi
Dinasti ini, di bidang arsitektur terutama dalam pembangunan masjid. Pada masa
Ziadatullah dan disempurnakan Ibrahim II
berdirilah masjid Qairawan. Menara masjidnya merupakan warisan dari bentuk
bangunan Umayah, bangunan tertua di Afrika.
Abad ke-9, posisi
Dinasti Aghlabiyah di Ifrikiyah mengalami kemunduran, dengan masuknya propaganda
Syi’ah yang dilancarkan oleh Abdullah Al-Syi’ah atas isyarat Ubaidilah Al-Mahdi
telah menanamkan pengaruh kuat kepada orang-orang Barbar suku Ketama.
Pada tahun 909,
kekuatan militer Barbar berhasil menggulingkan kekuasaan Aghlabi terakhir,
Ziyadatullah III dan diusir ke Mesir. Sejak itu Ifrikiyah dikuasai orang-orang
Syi’ah dan membentuk Dinasti Fatimiyah. Faktor mundurnya Aghlabiyah, hilangnya
hakikat kedaulatan dan ikatan solidaritas sosial makin luntur serta adanya
kesenjangan sosial antar penguasa Aghlab.[6]
C.
Dinasti Samaniyah (875-1004 M)
Awal mula
berdirinya dinasti ini yaitu pengangkatan empat orang cucu Saman oleh Khalifah
Al-Ma’mum menjadi gubernur di daerah Samarkand, Pirghana, Shash, dan Harat yang
berada di bawah pemerintahaan Thahiriyah saat itu. Selain mempunyai hasrat
untuk menguasai menguasai wilayah tersebut, mereka juga mendapat simpati warga Persia,
Iran. Simpati tersebut menyebar ke seluruh negeri Iran, termasuk Sijistan,
Karman, Jurjan, Ar-Ray, dan Tabanistan serta daerah Transoxiana di Khurasan.
Berdirinya dinasti
ini didorong pula oleh kecenderungan masyarakat Iran yang ingin memerdekakan diri
dari Baghdad yang dipelopori oleh Nasr Ibn Ahmad (cucu tertua keturunan
Samaniyah, bangsawan Balk Zoroasterian dan di cetuskan di Transoxiana).
Kemajuan dinasti ini cukup membanggakan, baik di bidang ilmu pengetahuan,
filsafat dan politik yang dipelopori oleh Ibnu Sina. Dan mampu meningkatkan
taraf hidup dan perekonomian masyarakat karena adanya hubungan baik antara
kepala daerah dan pemerintah pusat yaitu Dinasti Bani Abbas.
Setelah bangsa
Persi (Iran) mencapai puncak yang gemilang, semangat fanatik kesukuan cukup
tinggi, sehingga ketika banyak imigran Turki yang menduduki posisi di
pemerintahan di copot karena faktor
kesukuan. Akibat ulahnya, Dinasti Samaniyah mengalami kehancuran karena
mendapat penyerangan dari bangsa Turki. Dengan keruntuhannya, tumbuh dinasti
kecil baru, yaitu Dinasti Al-Ghaznawi di India dan Turki.[7]
D.
Dinasti Safariyah ( 253 H/867 M- 900
H/1495 M)
Dinasti
safariyah merupakan sebuah dinasti islam yang paling lama berkuasa di dunia
islam.wilayah kekuasaan Dinaati Safariyah meliputi kawasan Sijistan, Iran.
Dinasti ini lebih singkat dibandingkan dengan Dinasti Thahiriyah. Dinasti ini
hanya bertahan 21 tahun. Pendiri dinasti ini adalah Ya’ qub bin Lais As-Saffar,
seorang pemimpin kelompok khawarij di Provinsi sistan (Iran). Dinasti Safariyah
di bawah kepemimpinan Amr bin Lais berhasil melebarkan wilayah kekuasaannya ke
Afghanistan Timur.
Ya’qub mendapat
simpati dari pemerintahan Sijistan pada waktu itu karena dinilai memiliki
kesopanan dan keberanian. Oleh karena itu Ya’qub ditunjuk umtuk memimpin
pasukan memerangi pembangkang terhadap Daulah Abbasiyah di bagian timur
khususnya di Sijistan. Dan berhasil mengalahkan para pembangkang dalam waktu
relatif singkat. Akhirnya ia berjalan sendiri tanpa menghiraukan perintah Baghdad
setelah ia menjabat, Amir di Khurasan. Selanjutnya, menguasai kota Harat dan
Busang. Setelah berhasil mengusir tentara Thahiriyah, akhirnya ia menjadi
pemimpin di daerah itu.
Ya’qub menjadi
pemimpin dinastinya kurang lebih 11 tahun. Setelah ia meninggal pada tahun 878,
kepemimpinannya diserahkan kepada saudaranya, Amr ibn Al Laits. Sikap Amr ini tidak
keras seperti saudaranya Ya’qub, bahkan sebelum ia diangkat menggatikan Ya’qub,
ia telah mengirimkan surat kepada pemerintahan Baghdad yang intinya akan
mengikuti semua petunjuk yang diberikan Baghdad pada daerahnya. Dengan
demikian, pengangkatan Amr pun mendapat sokongan dari Baghdad
Pada saat Khalifah
baghdad di pegang oleh Al-Mu’tadid Baghdad tetap mengakui kekuasaan Amr,
sekalipun mendapat perlawanan dari kalangan istana. Pembesar istana menahan
Amr, kemudian memberikan kekuasaannya kepada cucunya, Thahir ibn muhammad ibn
Amr, setelah itu diberikan kepada saudaranya Al- Laits, pada saat inilah
terjadi perebutan kekuasaan, khalaf meninggal dunia, berakhir pula kekuasaan
Dinasti Safariyah di Sijistan.[8]
E.
Dinasti Tulun ( 254 H/ 868 M- 292 H/
905 M )
Dinasti ini merupakan dinasti yang kecil pertama di Mesir pada
pemerintahan Abbasiyah, yang memperoleh hak otonom dari Baghdad. Wilayah
kekuasaan Dinasti Tulun meliputi Mesir dan Suriah. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad ibn Tulun,
putra seorang turki yang diutus oleh gubernur Transoxania ( Uzbekistan )
Ahmad ibn
tulun, dikenal dengan sosok kegagahannya dan keberaniannya, dia juga seseorang
yang dermawan hafidz, ahli di bidang sastra, syariat, dan militer.
Setelah Ibn
Thulun ( 270 H./ 884 M.) kepemimpinan mesir diteruskan oleh para wali-wali lain
: Khumaraih ( 270 H./884 M.), Jaisy ( 282 H./896 M.), Harun ( 283 H./ 896 M. )
dan Syaiban ( 292 H./ 905 M.)
Di bawah
kekuasaan Khumarawaih, dinasti tulun semakin berjaya. Khalifah baru, al Mu’
tadid memberinya kekuasaan meliputi Mesir, suriah sampai dengan gunung Taurus
dan Mesapotamia kecuali Mosul. Pada akhir pemerintahan khumarawaih sendiri dan
ketidakmampuannya mengendalikan administrasi dan tentara. Tahun 282 H./896 M.
dia meninggal dunia kemudian digantikan oleh putranya, Jaisy selama satu tahun,
kemudian harun saudaranya selama sembilan tahun ( 283-292 H./ 896-905 M.) Pada tahun 292 H./905 M. meletus
pemberontakan di Mesir sehingga menewaskan Harun. Pemerintahan berikutnya
dipegang oleh pamannya, Syaiban yang hanya memerintah beberapa bulan
saja.akibat ketidakmampuan wali terakhir tulun untuk mengendalikan sekte-sekte
Qaramithi yang berpusat di gurun syria membuat Khalifah mengirimkan tentara
untuk menaklukkan Syria dan kemudian merebut Tuluni.
Dinasti tulun
yang memerintah sampai 38 tahun berakhir setelah dikalahkan oleh pasukan
Dinasti Abbasiyah dan setelah khalifah syaiban bin tulun terbunuh.
Dinasti Tulun
mencatat berbagai prestasi, antara lain sebagai berikut.
a.
Mendirikan bangunan-bangunan Megah, seperti Rumah sakit Fustat,
Masjid ibn Tulun di Kairo dan istana khalifah yang kemudian hari menjadi
peninggalan sejarah Islam yang sangat bernilai.
b.
Memperbaiki nilometer (alat pengukur air) di Pulau Raufah (dekat Kairo),
yang pertama kali di bangun pada tahun 103 H/ 716 M Pada masa pemerintahan Bani
Umayyah. Dengan berfungsinya kembali alat ini, irigasi mesir mejadi lancar dan
pada gilirannya sangat membantu dalam meningkatkan hasil produksi pertanian
rakyat Mesir.
c.
Berhasil membawa Mesir pada kemajuan, sehingga Mesir menjadi pusat
Kebudayaan Islam yang dikunjungi para ilmuwan dan sekuruh pelosok dunia islam.[9]
F.
Dinasti Hamdaniyah (905-1004 M)
Pada waktu
dinasti Ikhsidi berkuasa di sebelah Utara Mesir muncul pula dinasti lain
sebagai saingannya, Dinasti Hamdani. Nama dinasti ini dinisbahkan kepada
pendirinya, Hamdan ibn Hamdun, seorang yang berasal dari Arab Taghlib.
Dinasti pada
perkembangan nantinya dibagi menjadi dua cabang, Mosul dan Aleppo. Cabang Mosul
dengan para wali Abu al-Hajja Abdullah (293 H/905 M), Nashir al-Daulah al-Hasan
(317 H/929 M), Uddud al-Daulah Abu Taghlib (358 H/969 M), Ibrahim serta
al-Husain (379-389 H/ 981-991 M) . Sedangkan untuk cabang Aleppo dengan wali
Saif al-Daaulah ’Ali (333 H/945 M), Sa’d
al-Daulah Syarif I (356 H/967 M), Sa’id al-Daulah Sa’id (381 H/991 M), ‘Ali II
(392 H/1002 M), dan Syarif II (394 H/1004 M).[10]
Dinasti Hamdaniyah
di Mosul maupun di Aleppo berakhir ketika para pemimpinya meninggal.[11]
Pada umumnya mereka (penerus) saling berebut kekuasaan antara keluarga sendiri.
Inilah yang menyebabkan mereka kehilangan kekuatan dari dalam, dan akhirnya
Dinasti Hamdani jatuh di tangan dinasti Fatimi.
Dinasti Hamdani
terkenal sebagai pelindung sastra Arab, terutama karena Saif al-Daulah banyak
memotivasi kepada seorang penyair besar, al-Muntanabbi. Sejumlah ilmuan besar
lahir di sana seperti al-Farabi, al-Isfahani dan Abu al-Firus. Dan satu hal
lagi yang perlu dicatat, bahwa dinasti Hamdani ini merupakan benteng kekuatan
dari serangan Romawi terhadap daerah kekuasaan Islam.[12]
G.
Dinasti Fatimiyah (909 M-1171 M)
Dinasti
Fiatimiyah didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi, cucu Ismail bin Ja’far
al-Shidiq. Dinasti ini tergolong ke dalam pengikut Syi’ah Ismailiyah.
Ismailiyah adalah salah satu sekte Syi’ah yang mempercayai bahwa Ismail
merupakan imam ketujuh, setelah Ja’far al-Shidiq. Sedang sekte lain mempercayai
bahwa imam ketujuh ialah Musa Al-Kazim.
Nama dinasti
ini dinisbahkan kepada puteri Rasulullah, Fatimah Al-Zahra’, istri Ali bin Abi
Tholib. Pusat pemerintahan semula berada di Tunisia dengan ibukota Qairuwan
(909-971 M), kemudian dipindahkan di Kairo, Mesir (972-1171 M). Dinasti ini
merupakan dinasti Syi’ah Ismailiyah yang pertama lahir, diiringi lahirnya
Dinasti Buwaih (932 M) di Baghdad, dan belakangan kerajaan Safawi (1501 M) di
Persia.
Meskipun
kelahirannya menjadi pesaing Dinasti Bani Abbas di Baghdad maupun Dinasti Bani
Umayah di Spanyol, namun Dinasti Fatimiyah membuktikan prestasinya yang luar
biasa kepada sejarah Islam dunia di masa klasik. Hal ini juga menunjukan bahwa
pusat peradaban Islam klasik, bukan hanya Baghdad, Spanyol, dan Samarkand,
tetapi juga Mesir di bawah kepemimpinan Syi’ah.[13]
Dinasti ini
mengalami puncak kejayaan pada masa pimpinan Al-Aziz. Kebudayaan Islam
berkembang pesat pada masa Dinasti Fatimiyah, yang ditandai dengan berdirinya
masjid Al-Azhar yang sekarang terkenal dengan Universitas Al-Azhar, Bab
Al-Futuh (Benteng Futuh), dan Masjid Al-Ahmar di Cairo, Mesir.[14]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dinasti
Idrisiyah didirikan oleh Idris bin Abdullah pada tahun 172 H/789 M, yang
mempunyai pusat pemerintahan di kota Fez. Dalam aspek dakwah Idrisiyah telah
membawa Islam dan meyakinkan penduduk Maroko dan sekitarnya.
Dinasti
Aglabiyah didirikan di Aljazairiyah dan Sisilia oleh Ibrahim bin Aghlab.
Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah konflik
berkepanjangan antara Asia dan Eropa. Pada tahun 909, kekuatan militer Barbar
berhasil menggulingkan kekuasaan Aghlabi terakhir, Ziyadatullah III dan diusir
ke Mesir. Sejak itu Ifrikiyah dikuasai orang-orang Syi’ah dan membentuk Dinasti
Fatimiyah.
Dinasti
Samaniyah berdirididorong pula oleh kecenderungan masyarakat Iran yang ingin
memerdekakan diridari Baghdad yang dipelopori oleh Nasr Ibn Ahmad (cucu tertua
keturunan Samaniyah, bangsawan Balk Zoroasterian dan di cetuskan di Transoxiana).
Kemajuan dinasti ini cukup membanggakan, baik di bidang ilmu pengetahuan,
filsafat dan politik yang dipelopori oleh Ibnu Sina.
Dinasti
Safariyah didirikan oleh Ya’ qub bun Lais As- Saffar. Dinasti tulun didirikan
oleh Ahmad ibn Tulun. Dinasti tulun yang memerintah sampai 38 tahun berakhir
setelah dikalahkan oleh pasukan Dinasti Abbasiyah dan setelah khalifah syaiban
bin tulun terbunuh.
Dinasti
Hamdaniyah didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun yang berkembang di dua cabang yakni
Mosul dan Aleppo. Dinasti Fatimiyah didrikan oleh Ubaidillah al-Mahdi. Dinasti
ini mengalami puncak kejayaan pada masa pimpinan Al-Aziz. Salah satu
peninggalannya adalah Universitas Al-Azhar, di Cairo, Mesir
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Samsul
Munir.2010. Sejarah Peradaban Islam ,Jakarta: AMZAH
Nurhakim, Moh. 2004.Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM
Press
Supriyadi, Dedi.2008.
Sejarah Peradaban Islam ,Bandung: CV Pustaka Setia
[1] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008),
hlm. 156-157.
[2] Moh. Nurhakim,
Sejarah dan Peradaban Islam (Malang: UMM [Press, 2004), hlm. 78.
[3] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam , hlm. 158.
[4] Moh. Nurhakim,
Sejarah dan Peradaban Islam, hlm.
78-79.
[5] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 275.
[8] Samsul Munir
Amin, sejarah peradaban islam, hlm. 276.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar