PERADABAN MASA
TIGA DINASTI BESAR
Oleh:
Khimayatus Solikhah (2021113062)
Ainur Riski (2021114009)
Lailatul Muizziyah (2021114156)
Faridatunnisa’ (2021114237)
Kelas: H
JURUSAN
TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, makalah
yang berjudul “Peradaban Masa Tiga
Dinasti Besar” ini dapat diselesaikan. Sholawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini
membahas tentang Peradaban Islam pada masa Turki Usmani, Peradaban Islam pada masa Dinasti Safawiyah, dan Peradaban Islam pada masa Dinasti Mughol. Dalam makalah ini membahas pula tentang
sejarah berdirinya atau asal-usul masa tiga dinasti tersebut, serta kemajuan
dan kemunduran dari tiga dinasti tersebut.
Penulis telah
berupaya menyajikan makalah ini dengan sebaik-baiknya, meskipun tidak
komprehensif. Di samping itu apabila dalam makalah ini didapati kekurangan dan
kesalahan, baik dalam pengetikan maupun isinya, maka penulis dengan senang hati
menerima saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna penyempurnaan
penulisan berikutnya. Akhirnya, semoga makalah yang sederhana ini bisa menambah
khasanah keilmuan dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Pekalongan, 14
Oktober 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................................................i
Daftar
Isi...............................................................................................................................................ii
BAB I
Pendahuluan..............................................................................................................................1
A.
Latar
Belakang Masalah...........................................................................................................1
B.
Rumusan
Masalah....................................................................................................................1
C.
Metode
Pemecahan Masalah....................................................................................................2
D.
Sistematika
Penulisan Makalah................................................................................................2
BAB II Pembahasan.............................................................................................................................3
A.
Peradaban Islam pada Masa Turki Usmani (1288-1924 M)....................................................3
B.
Peradaban Islam pada Masa Dinasti Safawiyah (1501-1736 M).............................................9
C.
Peradaban Islam pada Masa Dinasti Mughol (1526-1857 M)................................................15
BAB III Penutup.................................................................................................................................20
A.
Kesimpulan.............................................................................................................................20
Daftar Pustaka
Profil Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada masa khilafah tinggi (khususnya masa dinasti Abbasiyah),
peradaban Islam telah mencapai zaman keemasan. Dinasti Bani Abbas bukan saja
menjadi adikuasa di bidang politik dan ekonomi tetapi juga merupakan pusat ilmu
pengetahuan dan kebudayaan dunia. Namun demikian, pasca serbuan bangsa Mongol
di bawah panglima Hulagu Khan, maka Baghdad sebagai pusat kekuasaan politik dan
ilmu pengetahuan hancur. Hal ini menandai jatuhnya daulah Bani Abbasiyah. Akan
tetapi hancurnya khilafah Abbasiyah tidak berarti hancurnya kekuatan politik di
bidang Islam. Etika politik kebangsaan yang dibangun para pendahulu Bani
Abbasiyah menjadi referensi bagi kalangan politisi dan umat Islam sesudahnya.[1]
Pasca Abasiyah memang tidak lagi kekuasaan adikuasa di dunia Islam,
kecuali tersisa sultan-sultan yang menguasai daerah tertentu seperti di Irak
dan Irak Barat (dinasti Buwaihi), Iran Timur (dinasti Samaniyah), Afghanistan
(dinasti Ghazwaniyah), Mesir (dinasti Fatimiyah), di Andalusia (dinasti
Muwahiddun) dan sebagainya. Dinasti-sinasti kecil pasca Abbasiyah ini tidak
memiliki umur panjang di samping wilayah kekuasaan hanya propinsial.[2]
Pada abad ke-16 M kondisi politik Islam berkembang kembali setelah
terbentuknya tiga kerajaan besar; kerajaan Safawi di Persia, kerajaan Mughal di
India, dan kerajaan Ustmani di Turki. Periode yang dalam sejarah peradaban
Islam sering disebut Era Dinasti Mesin Serbuk (Powder Gun Empires) ini
merupakan periode dimana peradaban Islam pasang kembali setelah surut beberapa
lama.[3]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
munculnya atau sejarah berdirinya dinasti atau kerajaan Turki Usmani, kerajaan Safawiyah,
dan kerajaan Mughol (Mongol) ?
2.
Bagaimana
Penalukkan kota Konstantinopel yang dilakukan oleh dinasti atau kerajaan Turki
Usmani?
3.
Apa
saja kemajuan yang dihasilkan atau diperoleh dari masa pemerintahan kerajaan
Turki Usmani, Safawiyah, dan Mughol?
4.
Mengaapa
kerajaan Turki Usmani, kerajaan Mughol, dan kerajaan Turki Safawiyah mengalami
kemunduran dalam masa pemerintahaannya?
5.
Apa
saja faktor yang menyebabkan tiga dinasti atau kerajaan tersebut mengalami
kemunduran dalam masa pemerintahannya?
C.
Metode Pemecahan Masalah
Metode
pemecahan masalah yang dilakukan melalui studi metode kajian pustaka, yaitu
dengan menggunakan beberapa referensi buku dan observasi. Langkah-langkah
pemecahan masalahnya dimulai dengan menentukan masalah yang akan dibahas dengan
melakukan perumusan masalah, melakukan langkah-langkah pengkajian masalah,
penentuan tujuan dan sasaran, dan perumusan jawaban permasalahan dari berbagai
sumber.
D.
Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini
ditulis dalam tiga bagian, meliputi : Bab I, bagian pendahuluan yang terdiri
dari latar belakang masalah, perumusan masalah, metode pemecahan masalah, dan
sistematika penulisan, Bab II, bagian pembahasan, dan Bab III, bagian penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Peradaban Islam pada Masa Turki Usmani (1288-1924 M)
I.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Turki Usmani
Pendiri
kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghus yang mendiami daerah Mongol
dan daerah utara negeri Cina.Dalam jangka waktu kira-kira tiga abad, mereka
pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak.Mereka masuk Islam sekitar abad
kesembilan atau kesepuluh, ketika mereka menetap di Asia Tengah.
Tahun
1300 M, bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin
terbunuh.Kerajaan Saljuk Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam beberapa
kerajaan kecil.Usmani kemudian menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas
daerah yang didudukinya.Sejak itulah Kerajaan Usmani dinyatakan berdiri.
Penguasa
pertama adalah Usman yang disebut juga dengan Usman I. Setelah Usman I
mengumumkan dirinya sebagai Padisyah Al-Usman (Raja besar keluarga Usman) tahun
699 H (1300 M) setapak demi setapak wilayah kerajaan dapat diperluasnya.Ia
menyerang daerah perbatasan Bizantium dan menaklukan kota Broessa tahun 1317 M,
kemudian tahun 1326 M dijadikan sebagai ibukota kerajaan Turki Usmani.
Pada
masa pemerintahan Orkhan (1326-1359 M) Turki Usmani dapat menaklukkan Azumia
(1327), Tasasyani (1330 M), Uskandar (1328 M), Ankara (1354 M), Gallipoli (1356
M). daerah ini adalah bagian bumi Eropa yang pertama kali diduduki Kerajaan
Usmani.
Turki
Usmani mencapai kegemilangannya pada saat kerajaan ini dapat menaklukkan pusat
peradaban dan pusat agama Nasrani di Bizantium, yaitu Konstantinopel.Sultan
Muhammad II yang dikenal dengan Sultan Muhammad Al-Fatih (1451-1484 M) dapat
mengalahkan Bizantium dan menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453 M.
Dengan
terbukanya kota Konstantinopel sebagai benteng pertahanan terkuat Kerajaan
Bizantium, lebih memudahkan arus ekspansi Turki Usmani ke benua Eropa. Dan
wilayah Eropa bagian timur semakin terancam oleh Turki Usmani karena ekspansi
Turki Usmani juga dilakukan ke wilayah ini, bahkan sampai ke pintu gerbang kota
Wina, Austria.
Kemajuan
dan perkembangan ekspansi kerajaan Turki Usmani yang demikian luas dan
berlangsung dengan cepat itu diikuti pula oleh kemajuan dalam berbagai bidang
kehidupan, termasuk dalam aspek peradabannya.
II.
Penaklukan Konstantinopel
Konstantinopel
adalah ibu kota Bizantium dan merupakan pusat agama Kristen. Ibu kota Bizantium
itu akhirnya dapat ditaklukkan oleh
pasukan Islam di bawah Turki Usmani pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II
yang bergelar Al-Fatih, artinya sang penakluk. Telah berkali-kali
pasukan kaum muslimin sejak masa Dinasti Umayyah berusaha menaklukkan
Konstantinopel, tetapi selalu gagal karena kokohnya benteng-benteng di kota tua
itu. Baru pada tahun 1453 kota itu dapat ditundukkan.
Sultan
mempersiapkan penaklukan terhadap kota Konstantinopel dengan penuh keseriusan.
Dipelajari penyebab kegagalan dalam penaklukan-penaklukan sebelumnya.Sultan
tidak mau lagi kalah sebagaimana para pendahulunya.Ia terlebih dahulu
membereskan wilayah-wilayah yang membangkang di Asia Kecil. Datanglah
kesempatan yang dinanti-nanti, yakni ketika Kaisar Konstantin IX mengancam
Sultan untuk membayar pajak yang tinggi kepada pihaknya, dan jika tidak tunduk
pada perintah tersebut maka akan diganggu kedudukannya dengan menundukkan
Orkhan, salah seorang cucu Sulaiman, sebagai Sultan. Ancaman tersebut dihadapi
dengan kebulatan tekad, yakni dengan membuat benteng-benteng di sekeliling
Konstantinopel.Sultan berkilah bahwa benteng-benteng itu dibangun untuk
melindungi dan mengawasi rakyatnya yang lalu lalang ke Eropa melalui wilayah
Bosporus itu.
Konstantinopel
akhirnya dapat dikepung dari segala penjuru oleh pasukan Sultan Muhammad II
yang berjumlah kira-kira 250.000 di bawah pimpinan Sultan sendiri. Kaisar
Bizantium meminta bantuan kepada Paus di Roma dan raja-raja Kristen di Eropa,
tetapi tanpa hasil, bahkan ia dicemooh oleh rakyatnya sendiri karena
merendahkan martabatnya. Raja-raja Eropa juga tidak ingin membantunya karena
mereka masih dalam perselisihan yang belum terselesaikan.Hanya pasukan Vinicia
yang ingin membantu karena memiliki kepentingan dagang di wilayah Usmani.Tentara
Vinicia itu merintangi kapal-kapal Usmani dengan merentangkan rantai besar di
selat Busporus. Sultan tidak kehilangan akal, dinaikkanlah kapal-kapal itu di daratan dengan menggunakan balok-balok
kayu untuk landasannya, dan berhasil memindahkannya ke sisi barat kota. Maka
terperanjatlah pasukan Bizantium dengan strategi Sultan yang telah mengepung
kota selama 53 hari. Dalam masa itu meriam-meriam Turki dimuntahkan ke arah
kota dan menghancurkan benteng-benteng dan dinding-dindingnya sehingga menyerahlah
Konstantinopel pada tanggal 28 Mei 1453.
Dengan jatuhnya
Konstantinopel, pengaruhnya sangat besar bagi Turki Usmani. Konstantinopel
adalah kota pusat kerajaan Bizantium yang menyimpan banyak ilmu pengetahuan dan
menjadi pusat agama Kristen Ortodoks. Kesemuanya itu diwariskan kepada Usmani.
Dari segi letak kota itu sangat strategis karena menghubungkan dua benua secara
langsung, Eropa dan Asia. Penaklukan kota itu memudahkan mobilitas pasukan dari
Anatolia ke Eropa.[4]
III.
Peradaban Islam di Turki
Sejak masa Usman bin Artaghol (1299-1326 M), yang dianggap pembina
pertama Kerajaan Turki Usmani ini dengan nama imperium Ottonom timbullah
kemajuan dalam berbagai bidang agama Islam. Turki membawa pengaruh cukup baik
dalam bidang ekspansi agama Islam ke Eropa. Kemajuan dan perkembangan ekspansi
kerajaan Usmani yang demikian luas dan berlangsung dengan cepat itu diikuti
pula oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Yang
terpenting di antaranya adalah sebagai berikut:
a)
Bidang
kemiliteran dan pemerintahan
Para pemimipin
kerajaan Usmani pada masa-masa pertama adalah orang-orang yang kuat, sehingga
kerajaan dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Meskipun demikian,
kemajuan kerajaan Usmani mencapai masa keemasannya itu bukan semata-mata karena
keunggulan politik para pemimpinnya. Masih banyak faktor lain yang mendukung
keberhasilan ekspansi itu. Yang terpenting di antaranya adalah keberanian,
keterampilan, ketangguhan dan kekuatan militernya yang sanggup bertempur kapan
dan di mana saja.
Kekuatan
militer kerajaan ini mulai diorganisasi dengan baik dan teratur ketika terjadi
kontak senjata dengan Eropa. Pengorganisasian yang baik, taktik dan stategi
tempur militer Usmani berlangsung dengan baik. Pembaruan dalam tubuh organisasi
militer oleh Orkhan sangat berarti bagi pembaruan militer Turki. Bangsa-bangsa
non-Turki dimasukkan sebagai anggota, bahkan anak-anak kristen yang masih kecil
diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit.
Program ini
ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut
pasukan Jennissari atau Inkisyariah. Pasukan inilah yang dapat mengubah negara
Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang amat
besar dalam penaklukkan negeri-negeri non-Muslim. Di samping Jennisari ada lagi
prajurit dari tentara kaum feodal yang dikirim kepada pemerintah pusat. Pasukan
ini disebut tentara atau kelompok militer Thaujiah. Angkatan laut pun dibenahi
karena ia memiliki peranan yang besar dalam perjalanan ekspansi Turki Usmani.
Pada abad ke-16 angkatan laut Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya.
Kekuatan militer Turki Usmani yang tangguh itu dengan cepat menguasai wilayah
yang sangat luas, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa.
Keberhasilan
ekspansi tersebut dibarengi pula dengan terciptanya jaringan pemerintahan yang
teratur. Dalam mengelola pemerintahan yang luas sultan-sultan Turki Usmani
senantiasa bertindak tegas. Untuk mengatur urusan pemerintahan negara di masa
Sultan Sulaiman I disusun sebuah kitab Undang-Undang (qanun). Kitab tersebut
diberi nama Multaqa Al-Abhur yang menjadi pegangan hukum bagi kerajaan Turki
Usmani sampai datangnya reformasi pada abad ke-19. Karena jasa Sultan Sulaiman
I yang amat berharga tersebut diujung namanya ditambah gelar Sultan Sulaiman
Al-Qanuni.[5]
Di masa
pemerintahan Turki Usmani seorang Sultan dibantu oleh dewan kerajaan yang
secara hierarki terdiri dari perdana menteri yang disebut Shadr Al-‘Adham,
gubernur yang disebut pasya sebagain kepala daerah tingkat I, bupati yang
disebut Al-Sanaziq atau Al-Alawiyyah di daerah tingkat II, sekretaris dan
bendaharawan negara, dewan militer dan dewan ulama atau mufti, serta kepala
mahkamah (hakim). Semua itu untuk membantu Sultan dalam melaksanakan
pemerintahan dan pengawasan negara yang sangat luas, sehingga mengharuskan
adanya pembagian-pembagian distrik kepada beberapa propinsi untuk membantu
memudahan administrasi pemerintahan.[6]
Kemajuan dalam
bidang kemiliterandan pemerintahan ini membawa Dinasti Turki Usmani mampu
membawa Turki Usmani menjadi sebuah negara yang cukup disegani pada masa
kejayaannya.
b)
Bidang
ilmu pengetahuan dan Budaya
Kebudayaan
Turki Usmani merupakan perpaduan bermacam-macam kebudyaan, diantaranya adalah
kebudayaan Persia, Bizantium dan Arab. Dari kebudayaan Persia, mereka banyak
mengambil ajaran-ajaran tentang etika dan tata krama dalam istana raja-raja.
Organisasi pemerintahan dan kemiliteran banyak mereka serap dari Bizantium.
Sedangkan ajaran-ajaran tentang prinsip-prinsip ekonomi, sosial dan
kemasyarakatan, keilmuan dan huruf mereka terima dari bangsa Arab.
Orang-orang
Turki Usmani banyak berkiprah dalam pengembangan seni arsitektur Islam berupa
bangunan-bangunan masjid yang indah. Pada masa Sulaiman di kota-kota besar dan
kota-kota lainnya banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung, makam,
jembatan, saluran air, vila dan pemandian umum. Disebutkan bahwa 235 buah dari
bangunan itu dibangun di bawah koordinator Sinan, seorang arsitek asal
Anatolia.
c)
Bidang
keagamaan
Agama dalam
tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar dalam lapangan sosial dan politik.
Mayarakat digolongkan berdasarkan agama dan kerajaan sendiri sangat terikat
dengan syariat sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Karena itu,
ulama mempunyai tempat tersendiri dan berperan besar dalam kerajaan dan
masyarakat.
Pada masa Turki
Usmani tarekat juga mengalami kemajuan. Tarekat yang paling berkembang ialah
tarekat bektasyi dan tarekat maulawi. Kedua tarekat ini banyak dianut oleh
kalangan sipil dan militer. Tarekat bektasyi mempunyai pengaruh yang amat
dominan di kalangan tentara Jenissari, sehingga mereka sering disebut tentara
bektasyi. Sementara tarekat maulawi mendapat dukungan dari para penguasa dalam
mengimbangi Jenissari Bektasyi.
Kajian mengenai
ilmu-ilmu keagamaan Islam seperti fiqih, ilmu kalam, tafsir, dan hadis boleh
dikatakan tidak mengalami perkembangan yang berarti. Para penguasa lebih
cenderung untuk menegakkan satu paham (mazhab) keagamaan dan menekan mazhab
lainnya.[7]
IV.
Kemunduran Islam di Turki
Setelah Sultan
Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M),
Kerajaan Turki Usmani memulai memasuki fase kemunduran. Akan tetapi,
sebagai sebuah kerajaan yang sangat
besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman
Al-Qanuni diganti oleh Sultan Salim II (1566-1573 M). Di masa pemerintahannya
terjadi pertempuran antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut
Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia,
angkatan laut Sri Paus dan sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don
Juan dari Spanyol.[8]
Pada masa
pemerintahan Salim II, pasukan laut Usmani menderita kekalahan dari serangan
pasukan gebungan armada Spanyol, Bandulia, armada Sri Paus dan sebagian armada
pendeta Malta yang dipimpin oleh Don Juan dari Spanyol. Pada tahun 1663 pasukan
Usmani menderita kekalahan dalam penyerbuan Hungaria. Demikian juga pada tahun
1676 Turki Usmani kalah lagi dalam pertempuran di Mohakez, Hungaria. Turki
Usmani dipaksa menandatangani perjanjian Karlowitz pada tahun 1699 yang berisi
pernyataan penyerahan seluruh wilayah Hungaria, sebagian besar Slovenia, dan
Croasia kepada Hapsburg, dan penyerahan Hermeniet, Padolia, Ukraenia, Morea dan
sebagian Dalmatia kepada penguasa Venetia. Pada tahun 1770 pasukan Rusia
mengalahkan armada Usmani di sepanjang pantai Asia kecil, namun kemenangan
Rusia ini dapat direbut kembali oleh Sultan Musthafa III. Pada tahun 1774
penguasa Usmani, Abdul Hamid, terpaksa menandatangi sebuah perjanjian dengan
Rusia yang berisi pengakuan kemerdekaan atas Crimea, dan penyerahan
benteng-benteng pertahanan di laut hitam kepada Rusia serta pemberian izin bagi
armada Rusia melintasi selat antara laut hitam dan laut putih.[9]
Sementara itu
wilayah-wilayah kekuasaan Usmani di timur mulai menyadari kemunduran Usmani.
Sebagian wilayah ini mulai melancarkan pemberontakan dalam rangka untuk
melepaskan diri dari kekuasaan Usmani. Di Mesir Yennisary bersekutu dengan
Mamalik melancarkan pemberontakan. Dan sejak tahun 1772 Mamalik berhasil
menguasai Mesir hingga datangnya Napoleon pada tahun 1789. Di Syria dan Libanon
juga terjadi pemberontakan yang digerakkan oleh pimpinan Druz, Fahruddin. Ia
berabung dengan gerakan Kurdi dan Janbulat. Namun usaha Fahruddin ini menemui
kegagalan. Di Arabia timbullah gerakan pemurnian oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab,
seorang pimpinan dataran tinggi Najd, Arabia Tengah. Gerakan ini bergabung
dengan kekuatan Ibn Sa’ud dan berhasil memperluas wilayah kekuasaan di sekitar
Jazirah Arabia pada abad ke delapan belas.
Banyak sekali
faktor yang turut menyokong kemunduran Trki. Di antaranya adalah sebagaimana
tersebut berikut ini.
Pertama,luasnya wilayah kekuasaan Usmani. Tampaknya penguasa Turki hanya
menuruti ambisi penaklukan, sementara penataan sistem dan tata pemerintahan
terabaikan. Ketika Imperium Usmani sedang dalam kemerosotan, wilayah-wilayah
perbatasanyang jauh dari pusat mudah direbut oleh pihak musuh atau berusaha
melepaskan diri.
Kedua,pemberontakan Yennisary. Pada masa belakangan Yennisary tidak lagi
menerapkan prinsip seleksi dan prestasi, namun keberadaannya telah didominasi oleh
keturunan dan golongan tertentu. Tokoh-tokoh Yennisary terlibat perselisihan
dengan pihak penguasa sehingga terjadi beberapa kali pemberontakan pada tahun
1525, 1632, 1727, dan 1826 M.
Ketiga, penguasa yang tidak cakap. Generasi penguasa Usmani sesudah
Sulaiman Al-Qanuni cenderung lemah semangat perjuangannya. Mereka terlibat
pembunuhan demi ambisi jabatan. Kehidupan istana yang penuh kemewahan, musik
dan sederetan perempuan penghibur serta minuman keras melalaikan mereka dari
tugas dan tanggung jawab sebagai khalifah dan melemahkan semangat perjuangan.
Keempat,merosotnya perekonomian negara akibat sejumlah peperangan, di mana
sebagian peperangan tersebut pihak Turki mengalami kekalahan. Terlepasnya
wilayah-wilayah kekuasaan Usmani juga menimbulkan kemerosotan pendapatan
negara. Sementara biaya militer dan biaya perang menguras cadangan perekonomian
negara. Kemerosotan perekonomian menimbulkan dampak langsung terhadap
menurunnya pertahanan muliter Usmani.
Kelima, stagnasi bidang ilmu dan teknologi. Kemajuan militer Turki Usmani
yang tidak di imbangi dengan ilmu dan teknologi. Sementara itu pihak Eropa
berhasil mengembangkan teknologi persenjataan. Maka ketika terjadi kontak
senjata, pihak Usmani berkali-kali menderita kekalahan.
Keenam,tumbuhnya gerakan nasionalisme. Kekuasaan Turki atas sejumlah
wilayah yang didudukinya bermula dari gerakan penyerbuan dan penaklukan.
Sekalipun penguasa Turki telah berbuat sebaik
mungkin terhadap masyarakat yang dikuasainya, namun kehadiran penguasa
Usmani tetap saja dipandang sebagai pihak asing.[10]
B.
Peradaban Islam pada Masa Dinasti Safawiyah (1501-1736 M)
I.
Asal-Usul Dinasti Safawiyah
Dinasti
Safawiyah di Persia berkuasa antara tahun 1502-1722 M. Dinsati Safawiyah
merupakan kerajaan islam di Persia yang cukup besar. Awalnya kerajaan Safawi
berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di
Azerbaijan. Tarekat ini di beri nama tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama
pendirinya, yaitu Shafi Ad-Din (1252-1334), dan nama Safawi itu terus
dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus
dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan
Safawi.[11]
Shafi Ad-Din
berasal dari keturunan orang yang berada dan memilih sufi sebagai jalan
hidupnya. Shafi Ad-Din merupakan keturuna dari Imam Syiah yang keenam, Musa
Al-Kazhim. Gurunya bernama Syaikh Tajuddin Ibrahim Zahidi (1216-1301 M) yang
dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Dikarenakan prestasi dan ketekunannya
dalam kehidupan tasawuf, Shafi Ad-Din diambil menantu oleh gurunya tersebut.
Shafi Ad-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan
sekaligus mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat
teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan
memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut
“ahli-ahli bid’ah”. Tarekat yang dipimpin Shafi Ad-Din ini semakin penting
terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni
yang bersifat lokal menjadi gerakan kenamaan yang besar pengaruhnya di Persia,
Syiria, dan Anatolia. Di negeri-negeri di luar Ardabil, Shafi Ad-Din
menempatkan seorang wakil untuk memimpin murid-muridnya. Wakil tersebut di beri
gelar khalifah. Kerajaan ini mengatakan Syi’ahsebagai Madzhab negara.
Fanatisme
pengikut tarekat Safawiyah yang menentang golongan selain Syi’ah mendorong
gerakan ini memasuki gerkan politik. Kecenderungan terhadap politik terwujud
pada masa kepemimpinan Imam Junaid (1447-1460 M) di mana sang imam menambahkan
gerakan politik selain gerakan keagamaan. Hal ini menimbulkan konflik antara
tarekat Safawiyahdengan penguasa Kara Koyunlu. Salah satu cabang bangsa Turki
yang berkuasa di wilayah ini. Sang imam berhasil diusir oleh pihak penguasa
ynag di asingkan. Selanjutnya sang imam bersekutu dengan Uzun Hasan, seorang
pimpinan Ak-Koyunlu. Persekutuan Imam Junaid dengan Uzun Hasansemakin kuat
dengan pernikahannya dengan saudara perempuan Uzun Hasan. Imam Junaid tidak
berhasil meraih supremasi politik di wilayah ini, lantaran upayanya merebut
kota Ardabil dan Sircassia mengalami kegagalan.
Sepeninggal
Imam Junaid, pimpinan tarekat Safawiyah di gantikan oleh anaknya yang bernama
Haidar. Haidar mengawini putri Uzun Hasan dan melahirkan anak yang bernama
Isma’il. Sang anak inilah yang kelak berhasil mendirikan Kerajaan Safawiyah di
Persia.[12]
Atas
persekutuan dengan Ak-Koyunlu, Haidar berhasil mengalahkan kekuatan
Ak-Koyunlu dalam pertempuran yang
terjadi pada tahun 1476 M. Kemenangan ini membuat nama Safawiyah semakin besar,
dan hal ini tidak dikehendaki oleh Ak-Koyunlu. Persekutuan antara Safawiyah
dengan Ak-Koyunlu berakhir oleh sikap Ak-Koyunlu memberikan bantuan kepada Sirwan ketika terjadi
pertempuran antara pasukan Haidar dengan pasukan Sirwan. Pasukan Safawiyah
mengalami kehancuran, dan Haidar sendiri turut terbunuh dalam pertempuran ini.
Kekuatan
Safawiyah bangkit kembali dalam kepemimpinan Isma’il, ia selama lima tahun
mempersiapkan kekuatan dengan membentuk pasukan Qizilbash (pasukan baret merah)
yang bermarkas di Gilan.pada tahun 1501 pasukan Qizilbash berhasil mengalahkan
Ak-Koyunlu dalam peperangan di dekat Nakhchivan dan berhasil menaklukan Tibriz,
pusat kekuasaan Ak-Koyunlu. Di kota ini Isma’il memproklamirkan berdirinya
kerajaan Safawiyah dan menobatkan diri sebagai raja pertamanya.
Masa kekuasaan
Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Secara politik ia mampu
mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri ynag menganggu stabilitas negara dan
berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain
pada masa raja-raja sebelumnya. [13]
Usaha-usaha
yang di lakukan Abbas I berhasil membuat kerajaan Safawi menjadi kuat. Setelah
itu Abbas I mulai memusatkan perhatiannya ke luar dengan berusaha merebut
kembali wilayah-wilayah kekuasaannya ynag hilang. Pada tahun 1598 M ia
menyerang dan menaklukan Herat. Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw
dan Balk. Setelah kekuasaan terbina dengan
baik, ia juga berusaha mendapatkan kembali wilayah kekuasaannya dan
Turki Utsmani.
Rasa permusuhan
antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam.
Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah kekuasaan kerajaan Utsmani.
Pada tahun 1602 M, di saat Turki utsmani berada di bawah Sultan Muhammad III,
pasukan Abbas I menyerang dan berhasil
merebut Tabriz, Sirwan dan Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhcivan,
Erivan, Ganja, dan Tiflis dapat dikuasai tahan 1605-1606 M.
Selama periode
Safawiyah di Persia ini (1502-1722 M) persaingan untuk mendapatkan kekuasaan
antara Turki dan Persia menjadi kenyataan. Namun demikian, Isma’il menjumpai
saingan kepala batu yaitu Sultan Salim I dari Turki. Peperangan ini, seperti
para sejarawanmenduga, bisa berasal dari kebencian Salim dan pengejaran
terhadap seluruh umat muslimdi Syi’ahdi daerah kekuasaannya. Fanatisme Sultan
Salim memaksanya untuk membunuh 40.000 orang yang didakwa telah mengingkari
ajaran-ajaran Sunni. Pembunuhan ini digambarkan oleh seorang ahli sejarah dari
Persia sebagai tindakan yang paling dahsyat atau kejam, walaupun dijalankan
dengan atas nama agama.
Sekalipun
demikian pemberontakan terus menerus yang terjadi di negeri besar Nadhir
memaksanya untuk mengakui Sultan Utsmani sebagai seorang khalifah. Pada tahun
1747 M, Nadhir di bunuh dan di gantikan oleh keponakannya, Ali Kuli. Di masa
pemerintahannya negara besar Persia mulai mundur dan dengan demikian
orang-orang Turki Utsmani menikmati masa perdamaian di dunia timur seperti
halnya di Eropa.[14]
II.
Kemajuan Peradaban Dinasti Safawiyah
Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di
bidang politik. Di bidang yang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak
kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu antara lain adalah sebagai berikut:
a)
Bidang
Ekonomi
Stabilitas
politik Kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan
perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan
pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini
maka salah satu jalur dagang laut antara Timur dan Barat yang biasa
diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Persia sepenuhnya menjadi milik
kerajaan Safawi.
Di samping
bidang perdagangan kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian
terutama di daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent).
b)
Bidang
Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah
Islam bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa
mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
pada masa kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
Beberapa tokoh
ilmuwan yang terkenal antara lain, yaitu: Baha Al-Din Al-Syaerazi generalis
ilmu pengetahuan, Sadar Al-Din Al-Syaerazi filosof dan Muhammad Baqir Ibn
Muhammad Damad filosof ahli sejarah, teolog dan seorang yang pernah mengadakan
observasi mengenai kehidupan lebah. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains,
Safawiyah lebih maju dari kerajaan lainnya pada masa yang sama.[15]
c)
Bidang
Arsitektur
Penguasa
kerajaan Safawi telah berhasil menciptakan Isfahan ibu kota kerajaan menjadi
kota yang sangat indah. Di kota Isfahan ini berdiri bangunan-bangunan besar
dengan arsitektur bernilai tinggi dan indah, seperti: masjid, rumah sakit,
sekolah, jembatan, raksasa di atas Zende Rud dan istana Chihil Sutun.
Disebutkan dalam kota Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademik, 1802
penginapan, dan 273 pemandian umum.
Dalam bidang
kesenian kemajuan tampak begitu kentara dalam gaya arsitektur
bangunan-bangunannya, seperti: Masjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan
Masjid Syaikh Lutfillah yang dibangun tahun 1603 M.
d)
Bidang
Kesenian
Kerajaan Safawi
mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam bidang seni, antara lain: dalam
bidang kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode,
tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tahmasp
I. Raja Ismail I pada tahun 1522 M membawa seorang pelukis Timur bernama Bizhad
ke Tabriz.
e)
Bidang
Tarekat
Cikal bakal
kerajaan Safawi adalah gerakan sufistik yaitu gerakan tarekat. Oleh karena itu,
kemajuan di bidang tarekat pun cukup maju. Bahkan gerakan tarekat pada masa ini
tidak hanya berpikir dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik
dan pemerintahan.
Dinasti
Safawiyah tidak setaraf dengan kemajuan yang pernah dicapai Islam pada masa
klasik, tetapi kerajaan ini telah memberikan sumbangan kontribusi yang cukup
besar dalam bidang peradaban melalui kemajuan-kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan, ekonomi, arsitektur, kesenian, dan tarekat.[16]
III.
Keruntuhan Dinasti Safawiyah
Sepeninggal Abbas I kerajaan safawi lemah sehingga tidak mampu
mempertahankan masa kejayaan safawi. Safi Mirza adalah cucu dan sekaligus
pengganti Abbas I. Sejak masa ini, beberapa wilayah safawiyah terlepas oleh penguasa
lain, misalnya kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah Afghanistan) lepas dari
kekuasaan kerajaan safawi, diduduki oleh
oleh keraan Mughal ketika itu dipimpin oleh Sultan Syah Jehan. Kemudian Ervan,
Tibriz, dan Baghdad disebut oleh pasukan Utsman antara tahun 1635-1637 M.
Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras sehingga ia
jatuh sakit dan meninggal. Meskipun deimikian, Abbas II memiliki semangat
perjuangan untuk kerajaan Safawiyah dengan bantuan wazir-wazirnya. Ia merebut
embali wikayah Qandahar dari kekuasaan Syah Jihan, namun upaya seperti ini
tidak diteruskan oleh para penggantinya. Sulaiman seorang penguasa yang lemah,
ia bertindak kejam para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya rakyat bersikap
masa bodoh terhadap masa pemerintah, digantioleh Syah Husein yang alim, ia
memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan
pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan
golongan Sunni Afghanistan, sehingga gerakan ini mengakhiri pemerintahan Safawi
di wilayah ini. Benih pemberontakan ini telah ada semasa Sulaiman dan berubah
semakin kritis pada masa Husein.[17]
Apabila dianalisis, terdapat beberapa faktor penyebab kemunduran
dan kehancuran kerajaan Safawiyah ini. Faktor-fator tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Adanya Figur Pemimpin yang Kurang cakap
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa kemajuan paling gemilang
di kerajaan Safawiyah adalah masa Syah Abbas I, tetapi sayang sekali
kemajuan tersebut tidak diikuti dengan penyiapan generasi penggantinya yang
handal. Syah Abbas I kurang memperhatikan pembinaan penggati dirinya. Kondisi ini pemimpin setelah dirinya menjadi
pemimpin-pemimpin yang lemah. Sehingga ketika terjadi goncangan yang melanda
kerajaan Safawiyah para pemimpin ini tidak mampu mengatasi dan menghalau dan
menyesaikannya.[18]
2.
Konflik Politik yang Panjang
Sebagai sebuah
pemerintahan Syiah yang dibangun sejak zaman Syah Ismail I berkuasa dan
kemudian menjadikan Syiah sebagai mazhab resmi negaranya, kerajaan Safawiyah
memiliki rival politik yang kuat dan sekaligus sewaktu-waktu mengancam
pemeritahannya yaitu kekuasaan Turki Usmani yang bermadzhab Sunni. Meskipun
konflik ini pernah terhenti sejenak tatkala Syah Abbas I berkuasa dengan jalan
menjalin hubungan diplomasi dengannya, tetapi ternyata konflik tersebut muncul
kembali tatkala pemerintahan dikendalikan oleh pengganti-penggantinya. Ini yang
semakin lama semakin ikut memperpurik stabilitas politik negada Safawiyah.
3.
Melemahnya Kekuatan Militer
Pada zaman Syah Abbas I berkuasa, dia membentuk pasukan Ghulam.
Awalnya pasukan ini cukup bagus, tetapi lambat laun pasukan ini tidak memiliki
semangat dan militansi yang tangguh, sementara pasukan Qizilbash yang
baru dimunculkan kembali tidaklah setangguh Qizilbash pra Abbas I. Ini berakibat
fatal karena kerajaan Safawiyah tidak memiliki pertahanan kuat untuk menahan
kemampuan pasukan lawan-lawannya yang membawanya kepada kemunduran dan
kemajuannya.
4.
Krisis Moral Penguasa
Para wanita piaraan atau harem disebut-sebut sebagai salah satu
penyebab kejatuhan politik dunia Islam. Agaknya terdapat penguasa yang terlibat
dalam kasus harem.[19]
Sepertinya persoalan harem tersebut terjadi juga pada masa kerajaan Safawiyah
ini, utamanya pada kepemimpinan Sulaiman. Di samping dikenal sebagai pecandu
berat narkotika, ternyata dia bersibuk ria dalam kehidupan bersama para
haramnya. Bahkan di dalam literatur sejarah juga disebutkan bahwa selama tujuh
tahun Sulaiman tidak pernah sedetikpun menyempatkan dirinya mengurus
pemerintahan. Ini tentu menjadi faktor yang melemahkan stabilitas pemerintahan
ini.
5.
Konflik Keagamaan
Konfilik keagamaan di kerajaan Safawiyah tampak di era kepemimpinan
Husain. Husain itu sebenarnya dia adalah pemimpin yang lemah lembut dan berbaik
hati. Namun karena dia terlalu memberikan kebebasan berlebihan kepada ulama
syiah, membuat mereka dapat mengendalikan Husain. Para ulama syiahnya kepada
rakyat yang sebelumnya telah diberikan kebebasan dan toleransi, utamanya pada
masa Abbas I. Karena pemaksaan inilah, agaknya yang menjadi salah satu motivasi
rakyat Qandahar, salah satu wilayah kerajaan Safawiyah yang mayoritas Suni,
mengkonsolidasikan kekuatannya yang di bawah komando amir Qandahar, Mir
Mahmud Khan. Pada tanggal 8 Maret 1722 , Mir Mahmud Khan akhirnya mampu
menggulingkan pemerintah Husain.[20]
C.
Peradaban Islam pada Masa Dinasti Mughol (1526-1857 M)
I.
Asal Usul Dinasti Mughol (Mongol)
Bangsa mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia yang
membentang daria asia tengah sampai ke Siberia utara, Tibet selatan, dan
Manchuria barat, serta Turkistan timur. Nenek moyang mereka bernama alanja
khan, yang mempunyai dua putra kembar, tartar dan mongol. Kedua putra ini
melahirkan dua suku bangsa besar, yakni mongol dan tartar. Mongol mempunyai
anak bernama ilkhan, yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa m0ngol
dikemudian hari.
Agama bangsa mongol semula adalah syamanisme, yang meskipun mereka
mengakui adanya yang maha kuasa, tetapi mereka tidak beribadah kepada-Nya,
melainkan menyembah kepada arwah, terutama roh jahat yang karena mampu
mendatangkan bencana, mereka jinakkan
dengan sajian-sajian, disamping itu mereka dengan sangat memuliakan arwah nenek
moyang yang dianggap masih berkuasa mengatur hidup keturunannya.
Pemimpin atau khan bangsa mongol yang pertama diketahui dalam
sejarah adalah yesugey (w. 1175). Ia adalah ayah jenghiz (Chinggiz atau
Chingis). Jenghiz aslinya bernama temujin, seorang pandai besi yang mencuat
namanya karena perselisihan yang di menangkannya melawan orang khan atau
togril, seorang kepala suku kereyt.
Jenghiz sebenarnya adalah gelar bagi temujin yang diberikan kepadanya oleh
sidang kepala-kepala suku mongol yang mengangkatnya sebagai pemimpin tertinggi
bangsa itu pada tahun 1206, atau juga disebut jenghiz khan, ketika ia berumur
44 tahun.
Jenghiz khan dan bangsa yang di pimpinnya meluaskan wilayah ke
Tibet dan cina, tahun 1213 M, serta dapat menaklukan Beijing tahun 1215 M. ia
menundukkan Turkistan tahun 1218 M yang berbatasan dengan wilayah islam terjadi
karena ada peristiwa utrar, 1218 M, yaitu ketika gubernur khawarizm membunuh
para utusan jenghiz yang disertai pula oleh para saudagar muslim. Peristiwa
tersebut menyebabkan mongol menyerbu wilayah islam, dan dapat menaklukan
transoxania yang merupakan wilayah khawarizm, tahun 1219-1220, padahal
sebelumnya mereka itu justru hidup berdampingan secara damai satu sama lain.
Kemudian mereka masuk Bukhara, samarkhan, khurasan, quswain,
hamadzan dan sampai ke perbatasan irak. Di Bukhara, ibu kota khawarizm, mereka
kembali mendapat perlawanan dari sultan alauddin, tetapi kali ini mereka
dengan mudah dapat mengalahkan pasukan
khawarizm. sultan alauddin tewas dalam pertempuran di mazindaran. Ia digantikan
putranya, jalaluddin yang kemudian melarikan diri ke india karena terdesak
dalam pertempuran di dekat attock tahun 1224 M. dari sana pasukan mongol terus
ke Azerbaijan. “ di setiap daerah yang dilaluinya, pembunuhan besar-besaran
terjadi. Bangunan-bangunan indah dihancurkan sehingga tidak berbentuk lagi,
demikian juga isi bangunan yang sangat bernilai sejarah, sekolah-sekolah, masjid-masjid
dan gedung-gedung lainnya dibakar.
Wilayah kekuasaan jenghiz khan yang luas itu dibagi untuk empat
orang putranya sebelum ia meninggal dunia tahun 624 H/1227 M.
Pertama, Juchi anaknya
yang sulung mendapatkan wilayah Siberia bagian barat dan stepa qipchaq yang
membentang hingga ke rusia selatan, didalamnya terdapat khawarizm. Namun ia
meninggal sebelum wafat ayahnya, jenghiz dan wilayah warisannya itu diberikan
kepada anak juchi yang bernama batu dan orda. Batu mendirikan horde (kelompok)
biru di rusia selatan sebagai pilar dasar berkembangnya horde keemasan (Golden
Horde), sedangkan orda mendirikan horde putih di Siberia barat, kedua kelompok
itu bergabung pada abad ke empat belas yang kemudian muncul sebagai kekhanan
(kepemimpinan) yang berbagai macam ragamnya di rusia, Siberia, da Turkistan,
termasuk di crimea, astrakahan, qazan, qosimov, tiumen, Bukhara dan khiva,
syaibaniyah atau ozbeg, salah satu cabang keturunan juchi berkuasa di khawarizm
dan transoxania pada abad kelimabelas dan keenambelas.
Kedua, chagatay
mendapat wilayah yang membentang ke timur, sejak dari transoxania hingga
Turkistan timur atau Turkistan china. Cabang barat dari keturunan chagatay yang
bermukim di transoxania segera masuk ke dalam lingkungan pengaruh islam, namun
akhirnya dikalahkan oleh kekuasaan timur lenk. Sedangkan cabang timur dari
keturunan chagatay berkembang di semirechye, llli, ti’en syan di tarim. Mereka
lebih tahan terhadap pengaruh islam, tetapi akhirnya mereka ikut membantu
menyebarkan islam di wilayah Turkistan cina dan bertahan di sana hingga abad ke
tujuh belas.
Ketiga, ogotay,
adalah putra jenghiz khan yang terpilih oleh dewan pimpinan mongol untuk
menggantikan ayahnya sebagai khan agung yang mempunyai wilayah di pamirs dan
ti’en syan, mereka berperang melawan anak keturunan chagatay dan qubilay khan,
hingga ia meninggal dunia tahun 1301.
Keempat, Tuluy si
bungsu mendapat bagian wilayah Mongolia sendiri. Anak-anaknya, yakni mongke dan
qubilay menggantikan ogedey sebagai khan agung. Mongke bertahan di Mongolia
yang beribukota di qaraqarum, sedangkan qubilay khan menaklukan cina dan
berkuasa disana yang dikenal sebagai yuan dinasti yang memerintah hingga abad
keempat belas, yang kemudian digantikan oleh dinasti ming. Mereka memeluk agama
budha yang berpusat di Beijing, dan mereka akhirnya bertikai melawan
saudara-saudaranya dari khan-khan mongol yang beragama islam di asia barat dan
rusia. Adalah hulagu khan, saudara mongke khan, dan qubilay khan, yang
menyerang wilayah-wilayah islam sampai ke Baghdad.[21]
II.
Kemajuan Dinasti Mughol
Kemajuan yang di capai pada masa Dinasti Mughol ini antara lain
adalah sebagai berikut:
a)
Bidang
Administrasi
Untuk pelayanan masyarakat dikelola oleh suatu badan yang bernama
Mansabdari. Dilihat dari sini terlihat sistem administrasi pemerintahan Mughol
sudah relatif tertata, ini tentu menjadi bagus untuk perjalanan sebuah
pemerintahan yang maju.
b)
Bidang
Ekonomi dan Dunia Intelektual
Kerajaan Mughol berhasil mengembangkan program pertanian,
pertambangan dan perdagangan, sehingga sumber keuangan negara lebih banyak
tertumpu pada sektor pertanian. Sementara dalam dunia intelektual, bidang
pendidikan dan ilmu penegetahuan juga mendapatkan masa-masa kecermelangannya.
Studi-studi di bidang yang dianggap keilmuan non agama, seperti: logika, filsafat,
geometri, geografi, sejarah, politik dna matematika digalakkan. Pada zaman
pemerintahan Mughol dipimpin oleh Syah Jahan dan Aurangzeb, mereka membangun
sekolah-sekolah tinggi, di samping juga pusat pengajaran di Lueknow. Kualitas
pendidikan madrasah Lueknow diakui oleh madrasah yang muncul pada
periode-periode selanjutnya yaitu Madrasah Deoband.
c)
Bidang
Keagamaan
Secara umum para penguasa (sultan) Mughol beraliran mazhab Sunni,
bahkan sebagian dari mereka terkenal ortodoksinya. Dalam bidang keagamaan ini
terutama zaman Jahangir, muncul seorang mujaddid terkemuka yaitu Syekh Ahmad
Sirhindi ia mempraktekkan tarekat Naqsabandiyah. Meskipun sebagian penguasa
cenderung terhadap ortodoksi Sunni, saat itu juga muncul pemikiran sintesa
dalam agama.[22]
d)
Bidang
Karya Seni dan Arsitektur
No
|
Nama
|
Bidang
|
Masa
|
1
|
Gedung
Fatehur Sikri
|
Arsitektur
|
Akbar
|
2
|
Istana
Agra
|
Seni Lukis
|
Akbar
|
3
|
Aga Reza
|
Seni Lukis
|
Jahangir
|
4
|
Gedung Din
Enah
|
Arsitektur
|
Humayun
|
5
|
Masjid
Agung Delhi
|
Arsitektur
|
Syah Jehan
|
6
|
Taj Mahal
|
Arsitektur
|
Syah Jehan
|
7
|
Masjid
Agung di Sabhal
|
Arsitektur
|
Babur[23]
|
III.
Kemunduran Dinasti Mughol
Setelah mengalami masa-masa kemajuan pada masa Akbar dan tiga raja
penggantinya, selama satu setengah abad. Kerajaan ini lambat laun mengalami
kemunduran, kemunduran masa pemerintahan ini ± abad ke- 18 M., ditandai dengan
kekuasaan politiknya mulai merosot terjadinya suksesi kerajaan, terjadinya
sejumlah pemberontakan kelompok sparatis Hindu. Bersamaan dengan itu, raja-raja
pengganti Auranzeb yang tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah
dibina oleh sultan-sultan sebelemunya.
Adapun hal-hal yang menyebabkan kemunduran kerajaan Mughal, antara
lain karena kekuasaan politiknya mulai
merosot, suksesi kepemimpinan diangkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan
sparatis Hindu di India Tengah, Sikh di belahan utara dan Islam di bagian timur
semakin lama semakin mengancam. Sementara itu para pedagang Inggris yang untuk
pertama kali diizinkan oleh Jihangir menanmkan modal di India, dengan didukung
oleh kekuatang bersenjata semakin kuat mengusai wilayah pantai.[24]
Ada bebrapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu
mundur pada satu setengah abad terakhir dan membawa kepada kehancuran pada
tahun 1858 M. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain:
1.
Terjadinya
stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di
wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim
Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan darat, bahkan mereka kurang terampil dalam
mengoperasikan persenjataan buatan Mughal sendiri.
2.
Kemerosotan
moral dan hidup mewah di kalangan elite politik yang mengakibatkan pemborosan
dalam penggunaan uang negara.
3.
Pendekatan
Aurangzeb yang terlampau kasar dalam melaksanakan ide-ide puritan dan
kecenderungan asketismenya, sehingga konflik antar agama sangat disukai oleh
sultan-sultan sesudahnya.
4.
Semua
pewaris tahta kerajaan pada paro terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang
kepemimpinan.[25]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan makalah di atas dapat kita ambil kesimpulan sebagai
berikut ini :
1.
Ketiga Kerajaan Besar
tersebut yaitu Usmani di Turki, Safawi di Persia, dan Mongol di India merupakan
tiga kerajaan besar yang mengalami kemajuan terutama dalam bidang politik.
Dan itu terjadi kembali setelah kholifah Abbasiyah di Baghdad runtuh.
2.
Ketiga kerajaan di atas
berdiri sendiri dan membentuk model pemerintahan berbeda-beda.
3.
Ketiga kerajaan besar
di atas juga mengalami kemajuan dan kemunduran. Kemajuan kemajuan tersebut
terjadi baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan maupun dalam
seni atau keindahan/ arsitektur. Sedangkan kemunduran tersebut dapat
diakibatkan berbagai macam hal seperti:
a.
Konflik Intern dalam
kerajaan itu sendiri.
b.
Pemberontakan dan
terjadinya stagnansi dalam lapangan ilmu dan teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, K. 2003. Sejarah
Islam dari Awal Hingga Runtuhnya Dinasti Usmani (Tarikh Pramodern). Cetakan
ke-4. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Amin, Samsul
Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
Bakri, Syamsul.
2011. Peta Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Fajar Media Press.
Fu’adi, Imam.
2012. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyyah II. Yogyakarta: Teras.
Mufradi, Ali.
2002. Kerajaan Usmani, Ensiclopedia tematis 2.
Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve.
Syukur, Fatah.
2012. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT PUSTAKA RIZKI PUTRA.
Yatim, Badri.
2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
PROFIL PEMAKALAH
Nama : Khimayatus Solikhah
NIM : 2021113062
Tempat, Tanggal Lahir :
Pekalongan, 17 Februari 1995
Alamat : Ds. Kranji Kec. Kedungwuni Kab. Pekalongan
Pendidikan : MI Walisongo Kranji 01
SMP Islam Walisongo
Pondok Pesantren Modern Selamat Kendal
Nama : Ainur Riski
NIM : 2021114009
Tempat,
Tanggal Lahir :
Pekalongan, 4 Desember 1995
Alamat : Jln. Urip Sumoharjo No. 223 Pekalongan
Pendidikan : MI Islam Pringlangu 03
MTs. Futuhiyyah 2 Mranggen
MAS Simbang Kulon
Nama : Lailatul Muizziyah
NIM : 20211141
Tempat,
Tanggal Lahir :
Pekalongan, 11 Desember 1996
Alamat : Banyurip Ageng Gg. 04/101
Pendidikan : MI Islam 1 Banyurip Ageng
MTs. Isthifaiyah Nahdhiyah Banyurip
Ageng
SMA Islam Pekalongan
Nama : Faridatunnisa’
NIM : 2021114237
Tempat,
Tanggal Lahir :
Pekalongan, 31 Maret 1996
Alamat : Ds. Petukangan No. 16 Kec. Wiradesa Kab.
Pekalongan
Pendidikan : MI Muhammadiyah Delegtukang
MTs. Muhammadiyah Pekajangan
SMA Muhammadiyah 2 Pekalongan
[1] Syamsul Bakri,
Peta Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Fajar Media Press, 2011), hlm.
131
[2] Ibid.
[3] Fatah Syukur, Sejarah
Peradaban Islam ( Semarang: PT PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2012), hlm. 145
[4] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 194-200
[5]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 133.
[6]Imam Fuadi, Sejarah
Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 183.
[8] Ibid., hlm.
205
[9] K. Ali, Op.
Cit., hlm, 559
[10] Ibid.,
hlm, 562
[11] Ibid.,
hlm. 187
[12]. K. Ali, Sejarah
Islam dan Awal Hingga Runtuhnya Dinasti Utsmani (Tarikh Pramodern), (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada), hlm. 519
[13]. Samsul Munir
Amin, Op. Cit., hlm. 189
[14] Ibid., hlm.
190
[15]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 143.
[16]Samsul Munir, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 191.
[17] Fatah Syukur, Op.
Cit., hlm. 146
[18] Imam Fuadi, Sejarah
Peradaban Islam: Dirasah Islamiyyah II (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 236
[19] Ibid.,
hlm. 237
[20]Imam Fuadi, Op.
Cit., hlm. 238
[21] Samsul Munir
Amin, Op. Cit., 212-215
[22] Imam Fuadi,
Op.cit., hlm. 253
[23] Ali Mufradi, Kerajaan Usmani, Ensiclopedia tematis 2,
(Jakarta:PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm.298
[24] Fatah Syukur, Op.
Cit., hlm. 158
[25] Ibid.,
hlm. 150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar