KEWAJIBAN
BELAJAR SECARA GLOBAL
“BELAJAR
ILMU-ILMU KEALAMAN DAN HUMANIORA"
QS. AL-GHASYIYAH AYAT 17-20”
Nana Ayu Muliawati
2021115034
Kelas : D
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2016
KATA PENGANTAR
Dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maha Suci Allah SWT. Segala
puji bagi-Nya. Rasa syukur tidak lupa kami panjatkan kepada-Nya yang telah
memberi rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dapat terselesaikannya makalah ini.
Sholawat serta Salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, teladan utama
bagi manusia.
Makalah tentang “KEWAJIBAN BELAJAR
SECARA GLOBAL (BELAJAR ILMU-ILMU KEALAMAN DAN HUMANIORA DALAM QUR’AN SURAH
AL-GHASYIYAH AYAT 17-20)” ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Tafsir Tarbawi I.
Dalam
kesempatan ini saya pribadi banyak mendapat bimbingan, masukan, dan bantuan
dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses
pembuatan makalah ini. Sehubungan dengan ini saya mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Allah
SWT
2.
Bapak
Muhammad Hufron, M.S.I
3.
Semua
teman, sahabat dan berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung
terselesaikannya makalah ini.
Saya menyadari
sepenuhnya, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi
bahasa, analisis materi kajian ataupun cara penulisannya. Maka dari itu saya
sangat mengharap kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya kepada Allah
SWT juga saya memohon ampunan sekiranya dalam tulisan ini terdapat
kekeliruan-kekeliruan yang tidak disengaja. Saya berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua,terutama para pembaca makalah ini. Semoga lewat
makalah ini kita semua dapat berpikir secara baik dan benar yang bisa menghasilkan
suatu kesimpulan yang tepat. Aamiin.
Pekalongan,19
September 2016
Penyusun
Nana Ayu
Muliawati
(2021115034)
(2021115034)
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Belajar mengenai ilmu-ilmu kealaman dirasa sangatlah penting dalam
kehidupan ini, supaya kita selalu memperhatikan alam yang ada di sekeliling
kita. Tujuan kita memperhatikan alam yakni agar kita selalu bersyukur dan
mengetahui tanda-tanda kebesaran serta kekuasaan Allah SWT.
Dalam makalah ini akan membahas mengenai surah Al-Ghasyiyah ayat
17-20, yang mana di dalam ayat tersebut terdapat makna tersirat yang harus
dimengerti dan dipelajari oleh kita semua. Di dalam makalah ini juga akan
membahas berbagai tafsir dari ayat tersebut, bagaimana aplikasi dalam kehidupan
sehari-hari, serta aspek tarbawi atau nilai-nilai pendidikan yang ada pada ayat
tersebut.
Di dalam surah Al-Ghasyiyah ayat 17-20 tersebut, Allah mengemukakan dalil tentang keberadaan,
kekuasaan dan keesaan-Nya dengan
menyaksikan tanda-tanda kekuasaan-Nya seperti unta, langit, gunung-gunung, dan
bumi yang Allah hamparkan sebagai tempat tinggal kita.
Pemilihan unta, langit, gunung-gunung, dan bumi
sebagai contoh, mengingat bahwa semua ciptaan ini selalu dilihat oleh
orang-orang Arab. Karena itu, sudah selayaknya semua itu disebutkan dalam satu
rangkaian.
Jika kita bisa berpikir dan merenungkan hal tersebut,
maka kita akan menyadari bahwa semua itu tidak akan mungkin terwujud tanpa
adanya Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Dan bahwa Dia Yang Maha Kuasa atas
penciptaan semua itu, lalu Allah memeliharanya dan mengaturnya dalam suatu
tatanan yang dibangun-Nya dengan sangat indah dan rapih. Maha Besar Allah atas
segala kuasa dan ciptaan-Nya.
B.
Judul
“BELAJAR ILMU-ILMU KEALAMAN DAN HUMANIORA DALAM QUR’AN SURAH
AL-GHASYIYAH AYAT 17-20”
C.
Nash
أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ
17. Maka apakah
mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan?
وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ
18. Dan langit,
bagaimana ia ditinggikan.
وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ
19. Dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan.
وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
20. Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan
D.
Arti Penting Dikaji
Perbincangan
sejak permulaan surat ini bertujuan menegaskan tentang berbagai urusan akhirat,
serta apa saja yang berkaitan dengan manusia pada hari kiamat. Tentunya
terdapat orang-orang yang menyangkal mengenai ayat-ayat tersebut. Tetapi ada
pula yang mengakui kebenarannya namun tetap dalam keadaan lalai, tidak melihat
ke masa depan, tempat tujuan akhir yang akan mereka datangi. Maka Allah SWT,
ingin menegakkan hujjah-Nya terhadap mereka, serta memperingatkan mereka dengan
cara menarik perhatian mereka, agar bersedia mengamati kuasa-Nya yang nyata
diantara mereka, terutama yang berkaitan dengan ciptaan-Nya yang dapat mereka
saksikan setiap saat. Maka dirasa sangat penting mengkaji masalah tafsir dari
surah Al-Ghasyiyah ayat 17-20 ini, yang mana terdapat makna tersirat dari
turunnya ayat tersebut.
Di dalam surah Al-Ghasyiyah ayat 17-20 tersebut, Allah mengemukakan dalil keberadaan, kekuasaan dan keesaannya dengan yang mereka saksikan
tanda-tanda kekuasaannya seperti unta yang mereka manfaatkan untuk mengangkut
barang-barang dan mereka manfaatkan pula daging, bulu serta air susunya, langit
yang tinggi, gunung yang kokoh, dan bumi yang mereka jadikan sebagai tempat
tinggal. Dengan demikian mereka bisa mengambil dalil dari semua itu atas
kekuasaan Allah terhadap adanya hari kebangkitan dan benarnya akidah tauhid.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
1.
Pengertian Belajar
Belajar merupakan istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan
manusia sehari-hari. Cukup banyak definisi mengenai belajar yang telah
dikemukakan oleh para ahli. Misalnya Skinner, memberikan definisi belajar “Learning
is a process of progressive behaviour adaptation”. Dari definisi tersebut
dapat dipahami bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang
bersifat progresif. Ini berarti bahwa sebagai akibat dari belajar yakni adanya
sifat progresif ke arah yang lebih sempurna atau lebih baik dari sebelumnya.[1]
2.
Pengertian dan keutamaan Ilmu
Ilmu adalah perantara dan sarana untuk bertakwa. Dengan takwa
inilah manusia menerima kedudukan terhormat disisi Allah, dan keuntungan abadi.
Maka belajarlah, sebab ilmu adalah penghias bagi pemiliknya.[2]
Keutamaan ilmu sangat banyak sebagaimana telah dijelaskan di dalam
Al-Qur’an, As-Sunnah dan ucapan para salafush shalih rahimahumullah. Yang
dimaksud ilmu disini yakni wahyu, ilmu yang dapat mebersihkan hati, menjadikan
zuhud terhadap dunia dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.[3]
3.
Pengertian Ilmu Humaniora
Secara singkat, ilmu humaniora merupakan ilmu untuk memanusiakan manusia.
Humaniora merupakan studi yang memusatkan perhatiannya pada kehidupan manusia,
menekankan unsur kreativitas, kebaharuan, orisinalitas, keunikan, Humaniora
berusaha mencari makna dan nilai, sehingga bersifat normatif. Dalam
bidang humaniora rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang
suatu objek atas dasar dalil-dalil aka, tetapi juga hal-hal yang bersifat
imajinatif.[4]
B.
Tafsir dari Al-Qur’an Surah Al-Ghasyiyah Ayat 17-20
Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk
memperhatikan makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang menunjukaan kekuasaan,
keagungan, keberadaan, dan keesaan-Nya,
Dia berfirman :
(أَفَلا
يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ/ Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta
bagaimana dia diciptakan).
Bagaimana mungkin orang-orang musyrik mengingkari dan
memandang mustahil adanya kebangkitan, padahal
mereka menyaksikan unta yang merupakan ternak yang akrab dengan mereka
dan makhluk yang paling besar di lingkungan mereka. Bagaimana Allah
menciptakannya seperti ini, tubuhnya besar, sangat kuat, sifat-sifatnya luar
biasa. Jadi unta adalah makhluk yang mengagumkan.
Namun sekalipun demikian ia mau membawa beban yang
berat, tunduk pada anak kecil, dimakan dagingnya,bulunya dimanfaatkan, air
susunya diminum, tahan lapar dan haus. Allah memulai peringatan dengan
menyebutkan unta karena pada umumnya bintang ternak orang-orang Arab adalah
unta. Juga manfaat unta lebih banyak dari manfaat binatang lain; dagingnya bisa
dimakan, air susunya bisa diminum, bisa ditunggangi dan membawa angkutan, dapat
menempuh jarak yang jauh, tahan lapar dan haus, banyak angkutan yang dibawanya.
Jadi unta adalah harta kekayaan orang Arab terbesar.
(وَإِلَى
السَّماءِ كَيْفَ رُفِعَتْ / Dan langit, bagaimana ia ditinggikan).
Yakni apakah mereka tidak menyaksikan langit bagi ia
ditinggikan tanpa tiang? Hal ini seperti firman Allah :
أَفَلَمْ يَنْظُرُوا إِلَى السَّماءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ
بَنَيْناها وَزَيَّنَّاها وَما لَها مِنْ فُرُوجٍ
Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada
di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu
tidak mempunyai retak-retak sedikit pun? (QS. Qaaf : 6)
(وَإِلَى
الْجِبالِ كَيْفَ نُصِبَتْ / Dan gunung-gunung bagaimana
ia ditegakkan).
Yakni gunung ditancapkan tegak dan tinggi di atas
bumi. Ia kokoh agar bumi dengan penghuninya tidak goncang. Memperhatikan gunung
dapat membangkitkan rasa kagum. Keberadaan dan rangkaian gunung dapat
dimanfaatkan orang-orang yang berjalan di daratan dan tanah yang kosong. Dan
yang lebih mengagumkan lagi adalah banyak sumber-sumber air keluar dari gunung.
Di dalam gunung banyak manfaat dan barang tambang yang banyak, batu-batu besar,
dan batu pualam yang beraneka ragam yang mengagumkan.
(وَإِلَى
الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ / Dan bumi bagaimana ia
dihamparkan).
Yakni bagaimana bumi dihamparkan dan dibentangkan,
agar penghuninya merasa tenteram dan dapat mengambil manfaat kandungan dan
hasil-hasilnya seperti barang tambang, tanaman, dan pohon-pohonan yang beraneka
ragam yang semuanya dapat menopang kehidupan. Datarnya bumi itu dari sisi yang melihat dan yang
menempatinya, tidak berarti bumi tidak bulat, bahwa begitu besarnya bumi
sehingga setiap bagiannya seperti datar.
Makhluk-makhluk ini disebutkan, bukan yang lain karena
semua ini adalah sesuatu yang paling dekat pada manusia yang melihatnya. Mereka
melihat untanya pagi dan petang, mereka melihat langit yang menaunginya, mereka
melihat gunung yang mengelilinginya, dan mereka melihat bumi yang mengangkatnya.[5]
1.
Tafsir Al-Mishbah
“Maka,
apakah mereka tidak memerhatikan kepada unta bagaimana ia diciptakan? Dan
langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan
bumi bagaimana ia dihamparkan?”
Setelah menguraikan ganjaran yang
akan diperoleh pada hari Kemudian oleh orang-orang yang taat, dan sebelumnya
telah menguraikan balasan para pendurhaka, kaum musyrikin masih tetap
bersikeras menolak keniscayaan Hari Kiamat. Sering kali alasan penolakan mereka
adalah keraguan mereka terhadap kuasa Allah swt, dan ilmu-Nya untuk menghimpun
dan menghidupkan kembali tulang-belulang yang telah lapuk dan terseak
kemana-mana. Untuk menampik dalih itu, Allah mengajak mereka yang meragukan
kuasa-Nya untuk memerhatikan alam raya. Allah berfirman: Maka, apakah mereka
tidak memerhatikan bukti kuasa Allah
yang terbentang di alam raya ini, antara lain kepada unta yang menjadi
kendaraan dan bahan pangan mereka bagaimana ia diciptakan oleh Allah
dengan sangat mengagumkan? Dan apakah mereka tidak merenungkan tentang langit
yang demikian luas dan yang selalu mereka saksikan bagaimana ia ditinggikan tanpa
ada cagak yang menopangnya? Dan juga gunung-gunung yang demikian
tegar dan yang biasa mereka daki bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi
tempat kediaman mereka dan yang tercipta bulat bagaimana ia dihamparkan?[6].
Dalam Tafsir al-Muntakhab,
yang disusun oleh satu tim yang terdiri dari beberapa pakar Mesir, ayat-ayat di
atas dikomentari antara lain sebagai berikut: Penciptaan unta yang sungguh
sangat luar biasa menunjukkan kekuasaan Allah dan merupakan sesuatu yang perlu
kita renungkan. [7]
Setiap kali dilakukan penelitian pada hewan ini oleh para ahli,
selalu ditemukan kebenaran perintah Allah agar kita memerhatikan ciptaan-Nya
yang mengandung keistimewaan luar biasa itu. Demikian Tafsir al-Muntakhab.[8]
Ayat di atas menyebut langit setelah
menyebut unta, lalu setelah langit menyebut gunung, dan sesudahnya bumi. Uraian
menyangkut ayat-ayat di atas yakni di daerah Timur Tengah sepanjang mata
memandang adalah padang pasir yang luas. Batas akhir pandangan mata adalah
langit berwarna abu-abu dan biru dalam bentuk bagaikan tenda kemah yang sedang
tertancap di bumi. Saat melihat ke kiri kanan jalan, yang dapat dilihat adalah
gunung-gunung atau tepatnya bukit-bukit terbentang mengelilingi “kemah” besar
itu. Gunung-gunung tersebut bagaikan pasak yang ditanam agar “kemah” tidak
diterbangkan angin.
Dahulu, kendaraan yang banyak digunakan oleh masyarakat Arab adalah
unta. Ayat di atas mengajak mereka berpikir dan merenung. Tentu saja, yang
pertama terlintas dalam benak mereka adalah yang terdekat kepada diri mereka,
yaitu unta yang mereka tunggangi. Setelah itu, tidak ada lagi yang tampak
dengan jelas kecuali langit yang terbentang dan meninggi.
Karena itu, setelah menuntun untuk memperhatikan unta, mereka
diajak memerhatikan langit, dan dari sana mereka menemukan gunung yang
merupakan pasak bumi ini agar tidak oleng (baca QS. An-Nahl [16]: 15).
Selanjutnya, bumi yang terhampar memudahkan kehidupan manusia.
Demikian susunan penyebutan ayat-ayat di atas sangat serasi dengan
situasi yang dialami oleh masyarakat yang ditemui al-Qu’an pertama kali.
Sungguh amat serasi firman-firman Allah itu.[9]
2.
Tafsir Al-Azhar
Setelah kita dibawa mengingat keadaan hari akhirat yang pasti akan
kita tampuh itu, baik siksaan neraka yang mengerikan, atau nikmat surga karena
amal, kita dibawa kembali kadalam hidup yang kita hadapi sekarang. Oleh karena
yang mendapat seruan ilahi pertama adalah bangsa Arab, mereka disuruh
memperhatikan alam yang ada di sekeliling mereka. Yang paling dekat dari hidup
mereka waktu itu ialah unta. Maka datanglah ayat “Apakah mereka tidak memendang
kepada unta, bagaimana dia telah dijadikan. “ (ayat 17).
Unta adalah binatang yang paling
dekat dengan orang Arab dari zaman ke zaman, sejak tanah itu didiami manusia.
Itulah binatang serba guna. Binatang pengangkut dalam perjalanan yang jauh.
Binatang yang juga dijadikan makanan mereka. Bulunya pun dapat dicukur untuk
dijadikan benag pakaian. Dagingnya bisa dimakan, susunya bisa diperah dan
diminum.
Badan binatang itu besar,
kekuatannya luar biasa dan tahan menempuh panas terik dipadang pasir yang luas.
Tahan lapar dan tahan haus. Dan sangat patuh kapada manusia, kadang-kadang
mereka berjalan berkafilah dari Selatan ke Utara, dari Yaman menuju Syam.
Diwaktu malam yang jadi pedoman ialah bintang dilangit. Karena langit disuasana
padang pasir itu jarang sekali diliputi awan diwaktu malam. Maka jaranglah
mereka tersesat manuju negeri tang jauh dibawah naungan bintang-bintang itu.
Lalu datanglah ayat selanjutnya ;
“Dan kepada langit, bagaimana dia
telah diangkatkan.” (ayat 18).
Dalam perjalanan malam, mereka (orang Arab) mengendarai unta selalu
dinaungi langit yangmana bintang dijadikan sebagai cahaya petunjuk jalan bagi
mereka. Untuk itu turunlah ayat 18 yana dimaksudkan agar mereka memperhatikan
langit, memperhatikan kekuasaan Allah.
Kemudian
turun ayat selanjutnya;
“Dan kepada gunung-gunung,
bagaimana dia telah dipancangkan.” (ayat 19).
Dalam perjalanan kafilah dilakukan
malam hari dan dilanjutkan ketika pagi hari, sebelum terik panas. Biasanya
mereka berlindung di kaki gunung-gunung batu yang terkadang memiliki gua-gua
untuk tempat berlindung mereka. Maka turunlah ayat 19, yang dimaksudkan agar
mereka memperhatikan kembali bagaimana gunung itu berdiri kokoh dijadikan pasak
dari bumi ini. Alangkah hebat dan dahsyatnya muka bumi ini disapu angin jika
tidak ada gunung yang dijadikan sebagai pasak atau pancang penyangga bumi ini.
Selanjutnya
turunlah ayat selanjutnya;
“Dan kepada bumi, bagaimana dia
telah dihamparkan.”(ayat 20).
Dalam perjalanan itu mereka lakukan
di muka bumi, beratap langit, berpasak gunung, berkendaraan dan alat
penganngkut barang-barang mereka adalah unta. Ssemunya terjadi di muka bumi.
Maka sebagai renungan terakhir mereka disuruh memandang pula bagaimana Allah
menghamparkan bumi ini untuk tempat hidup kita.
Disuruh memandang atau merenungkan,
bukan semata-mata melihat dengan mata, melainkan membawa apa yang terlihat oleh
mata ke dalam alam pikiran dan dipikirkan, itulah yang disebut memandang.
Zamakhasyi dalam tafsirnya
berpendapat bahwa arti ayat-ayat menyuruh memandang ini, supaya mereka
menyaksikan demikian besar qudrat iradat khaliq pencipta alam ini, yang mana
manusia hanya tinggal memakainya saja. Jika kita sudah bisa memandang dan
merenungkannya, niscaya kita tidak akan lagi mengingkari kekuasaan Allah untuk
membangkitkan kembali manusia pada hari kiamat nanti.[10]
3.
Tafsir Juz’Amma
Perbincangan sejak permulaan surat ini bertujuan menegaskan tentang
berbagai urusan akhirat, serta apa saja yang berkaitan dengan manusia pada hari
kiamat. Tentunya terdapat orang-orang yang menyangkal mengenai ayat-ayat
tersebut. Tetapi ada pula yang mengakui kebenarannya namun tetap dala keadaan
lalai, tidak melihat ke masa depan, tempat tujuan akhir yang akan mereka
datangi. Maka Allah SWT, ingin menegakkan hujjah-Nya terhadap mereka, serta
memperingatkan mereka dengan cara menarik perhatian mereka, agar bersedia
mengamati kuasa-Nya yang nyata diantara mereka, terutama yang berkaitan dengan
ciptaan-Nya yang dapat mereka saksikan setiap saat.
Di dalam ayat 17, Allah SWT mengkhususkan unta sebagai objek
pengamatan, mengingat bahwa ia adalah hewan paling utama dan paling berguna di
kalangan bangsa Arab ketika itu. Dan memang sesungguhnya unta adalah hewan yang
mengagumkan. Meski memiliki bentuk tubuh serta kekuatan yang amat besar, ia
sangat patuh, bahkan kepada seorang yang lemah atau anak kecil sekalipun. Memiliki
watak sabar menghadapi beratnya perjalanan, haus dan lapar.
Di dalam ayat 18, yang di maksud dengan ‘ditinggikan’ adalah
pengaturan benda-benda yang berada di atas kepala kita, seperti matahari, bulan
dan bintang-bintang, masing-masing dalam garis peredaraannya, tidak pernah
menyimpang dan tidak pernah pula rusak tatanannya.
Di dalam ayat 19, untuk menjadi tanda bagi para musafir dan tempat
berlindung dari kejaran orang-orang zalim.
Di dalam ayat 20, yakni dengan meratakan permukaannya dan menjadikannya
mudah dimanfaatkan oleh manusia, untuk bermukim di atasnya ataupun berjalan di
segala penjurunya.
Pemilihan unta, langit, gunung-gunung, dan bumi
sebagai contoh, mengingat bahwa semua ciptaan ini selalu dilihat oleh
orang-orang Arab. Karena itu, sudah selayaknya semua itu disebutkan dalam satu
rangkaian agar mudah mengamatinya. Kita akan menyadari bahwa semua itu tidak
akan mungkin terwujud tanpa adanya Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Dan bahwa
Dia Yang Maha Kuasa atas penciptaan semua itu, lalu Allah memeliharanya dan
mengaturnya dalam suatu tatanan yang dibangun-Nya.
Dan sebagaimana Allah SWT telah menciptakan semua itu,
sedangkan manusia tidak mengetahui cara penciptaannya, dan yang mereka ketahui
hanyalah apa yang dapat mereka saksikan di hadapan mereka sebagaimana mereka
menyaksikan segala ciptaan Allah SWT.[11]
C.
Aplikasi dalam Kehidupan
1.
Selalu berusaha dan berjuang menuntu ilmu.
2.
Membaca, memahami dan mengamalkan kandungan Al-Qur’an.
3.
Membiasakan diri untuk selalu memperhatikan dan menjaga alam
disekitar kita.
4.
Terbiasa memperhatikan dan merenungkan makhluk ciptaan Allah yang
menunjukkan kekuasan-Nya.
D.
Aspek Tarbawi
1.
Peringatan Allah kepada manusia tentang ciptaan, kekuasaan-Nya
dan bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu setelah mereka mengingkari dan
mendustakan hari kebangkitan. Peringatan Allah tersebut berbentuk penciptaan
unta, penciptaan langit dan ditinggikannya dari bumi tanpa tiang, penciptaan
gunung yang kokoh yang menancap ke dalam bumi agar bumi itu tidak goyang, dan
penciptaan bumi dengan dibentangkan dan dihamparkan bagi penghuninya agar
mereka hidup dengan aman dan tenteram.
2.
Memperhatikan dan merenungkan makhluk ciptaan Allah yang menunjukaan
kekuasaan, keagungan, keberadaan, dan keesaan-Nya.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Sebagai makhluk Allah yang berakal sudah seharusnya kita selalu
mengamati dan merenungkan hal-hal yang ada disekiitar kita, semua tentang
ciptaan Allah SWT.
Melalui kita mengamati makhluk ciptaan-Nya maka kita akan menemukan
bukti tanda-tanda kekuasaan, kebesaran Allah SWT. Melalui makhluk ciptaan-Nya
pulalah Allah memberikan peringatan secara tidak langsung kepada kita tentang
ciptaan, kekuasaan-Nya, bahwa Dia adalah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Maha Benar Allah atas segala firman
DAFTAR
PUSTAKA
Shihab, M.
Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah : pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an.
Jakarta : Lentera Hati.
Hamka. 2006. Tafsir
Al-Azhar. Jakarta : PT PUSTAKA PANJIMAS.
Walgito, Bimo.
2010. Pegantar Psikologi Umum. Yogyakarta : PENERBIT ANDI.
Abduh, Muhammad. 1999. Tafsir
Juz’Amma. Bandung : PENERBIT MIZAN.
Az-Zarnuji,
Asy-Syeikh. 2009. Terjemahan Ta’lim Muta’alim. Surabaya : Mutiara Ilmu.
Juwariyah. 2010.
Hadis Tarbawi. Yogyakarta : PT Teras.
Hadrami,
Abdullah.2015. Mata Air Inspirasi. Yogyakarta : Pro-U Media.
https://olimpiadehumaniora3.wordpress.com/about/. Diakses pada hari Sabtu, 17 September 2016. Jam 14.39 WIB.
http://abufathirabbani.blogspot.co.id/2012/05/materi-pendidikan.html, diakses pada hari Sabtu, 17 September 2016, jam 15.42 WIB.
PROFIL
DIRI
Nama : Nana Ayu Muliawati
TTL : Pemalang, 23 Desember 1997
Alamat : Perum Bumi Wira Baru 1, RT.06
RW.08, Pekuncen, Wiradesa, Kab.Pekalongan
Gol.Darah : B
Motto Hidup : Always say “YES, I CAN!” lan ojo lali sambi
dimesemi.
Riwayat Pendidikan :
-TK : TK Pertiwi, Petarukan, Kab.Pemalang
-SD : SD N 02 Mayangan
-SMP : SMP 1 WIRADESA
-SMA : SMA 1 WIRADESA
-Sedang proses menyelesaikan pendidikan S1 di IAIN Pekalongan, Fakultas Tarbiyah, Prodi Pendidikan Agama Islam.
Riwayat Pendidikan :
-TK : TK Pertiwi, Petarukan, Kab.Pemalang
-SD : SD N 02 Mayangan
-SMP : SMP 1 WIRADESA
-SMA : SMA 1 WIRADESA
-Sedang proses menyelesaikan pendidikan S1 di IAIN Pekalongan, Fakultas Tarbiyah, Prodi Pendidikan Agama Islam.
[1] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta : PENERBIT
ANDI, 2010), hlm.184
[2] Asy-Syeikh az-Zarnuji, Terjemahan Ta’lim Muta’alim (Surabaya :
Mutiara Ilmu, 2009),hlm.7
[3] Abdullah Hadrami, Mata Air Inspirasi (Yogyakarta : Pro-U Media,
2015), hlm.17
[4] https://olimpiadehumaniora3.wordpress.com/about/,
diakses pada hari Sabtu, 17 September 2016. Jam 14.39 WIB.
[5] http://abufathirabbani.blogspot.co.id/2012/05/materi-pendidikan.html,
diakses pada hari Sabtu, 17 September 2016, jam 15.42 WIB.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.274
[7] Ibid, hlm.275
[8] Ibid, hlm.275-276
[9] Ibid, hlm.276-277
[10] Hamka,Tafsir Al-Azhar (Jakarta: PT PUSTAKA PANJIMAS, 2006),
hlm.135-137
[11] Muhammad‘Abduh, Tafsir Juz’Amma (Bandung : PENERBIT MIZAN,
1999), hlm.147-149
Tidak ada komentar:
Posting Komentar