PENDIDIKAN ILMIAH INTELEKTUAL
“JANGAN MENGIKUT TANPA DASAR ILMU”
(QS. AL-ISRA’ (17) : 36)
KELAS C
FAKULTAS TARBIYAH & ILMU KEGURUAN/ PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kehadirat Tuhan yang maha kuasa atas segala limpahan rahmat, taufik dan inayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PENDIDIKAN ILMIAH INTELEKTUAL” (Jangan Mengikut Tanpa Dasar Ilmu) QS. Al-Isra’ ayat 36 ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi para pembaca dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir tarbawi II.
Harapan saya semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, makalah ini masih banyak kekurangan karena pengalaman penulis yang terbatas. Oleh karena itu penulis mengarapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, penulis sampaikan terimakasih kepada Bpk. Muhammad Hufron, M.S.I. selaku Dosen Pengampu mata kuliah Tafsir tarbawi II, kepada orang tua tercinta yang selalu mendo’akan, serta teman-teman yang sangat penulis sayangi serta banggakan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan semoga Allah swt senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin..
Pekalongan, 14 April 2017
Nela Mas’adah
(2021115194)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu
masalah besar umat manusia, baik dilingkup keluarga maupun masyarakat ialah
menghukumi suatu hal secara gegabah, berprasangka secara subjektif, dan gampang
mempercayai suatu hal tanpa landasan dalil yang kuat dan pengetahuan yang
obyektif. Betapa sering kita melakukan tudingan tanpa bukti dan hanya
berlandaskan kecurigaan dan prasangka buruk. Tentu saja obyektifitas apa yang
kita lihat lebih berharga dari apa yang kita dengar. Namun begitu, hal itu pun
memerlukan analisa mendalam dan bukan
sekedar melihat secara lahiriah sepintas.
Sayangnya,
hingga kini masih banyak orang-orang yang melakukan tindakan licik semacam
tadi. Orang-orang yang lalai dan kurang waspada pun kerap menjadi korban
konspirasi mereka. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dan sigap dalam
menyikapi beragam isu dan informasi. Dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 36 ini
kita diingatkan bahwa apa yang kita dengar dan lihat belum tentu menghasilkan
ilmu yang benar. Namun jika kita yakin bahwa apa yang kita dengar dan lihat
dapat dipertanggungjawabkan, maka kita pun harus bertindak sesuai dengan apa
yang kita ketahui dan yakini. Sejatinya manusia tidak hanya bertanggungjawab
atas apa yang ia lihat dan dengar, tetapi juga terhadap segala hal yang
terlintas di benak dan hatinya. Sebab meski kita tidak mengucapkannya secara
lisan, namun betapa sering kita berprasangka buruk dalam hati dan pikiran
terhadap orang lain sehingga turut mempengaruhi perilaku dan tindakan kita.
Padahal hal itu hanya sekedar sangkaan tanpa dalil dan bukti.
B.
Nash dan Terjemahan QS. Al-Isra’ (17): 36
وَلَا
تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ
كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسْئُُٔوْلٗا
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan
hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
C.
Arti Penting untuk Dikaji
Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 36 ini menerangkan tentang larangan
untuk mengikuti persoalan apapun yang tidak diketahui tanpa dasar ilmu. Sebab
pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai pertanggngjawabannya oleh Allah
kelak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
Menurut Quraish Shihab, kata ilmu dalam berbagai bentuk terdapat
845 kali dalam al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam proses pencapaian tujuan. Ilmu
dari segi bahasa berarti kejelasan. Jadi ilmu pengetahuan adalah pengetahuan
yang jelas tentang sesuatu. Perintah al-Qur’an untuk mencari ilmu dapat
dipahami dari beberapa aspek, diantaranya al-Qur’an menyuruh manusia untuk
menggunakan akalnya dan juga untuk meneliti alam semesta.
Cara memperoleh ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui
pendengaran, penglihatan dan melalui akal. Dengan menggunakan potensi yang
diberikan Allah tersebut manusia dapat menemukan, mendapatkan dan memahami
berbagai ilmu pengetahuan. Di samping itu ada
pula pengetahuan yang dapat diperoleh melalui hidayah dari Allah,
seperti firasat, intuisi dan semacamnya dapat diraih dengan penyucian hati (tazkiyatun
nafs), karena hidayah Allah tidak akan sampai kepada manusia, jika kesucian
hatinya belum tercapai.
Melalui cara diatas, berkembanglah ilmu keislaman dari masa ke
masa. Al-Qur’an sebagai kumpulan wahyu merupakan sumber pengetahuan utama dalam
Islam yang dapat digali sepanjang masa, ditambah lagi dengan hadis-hadis Nabi
yang didalamnya terdapat prinsip-prinsip dasar berbagai cabang ilmu
pengetahuan.
Adapun fungsi
ilmu pengetahuan secara umum adalah untuk berubudiyah kepada Allah, untuk dapat
membedakan yang hak dan yang bathil, sebagai modal untuk mencapai kebenaran dan
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.[1]
Al-Qur’an sangat mengedepankan kebenaran intelektual, yakni kebenaran yang
didasarkan atas pendengaran, penglihatan dan hati atau akal secara integral.
Maka untuk mendapatkan kebenaran intelektual ini diperlukan pendidikan
intelektual.[2]
B.
Tafsir
1.
Tafsir al-Mishbah
Tuntunan diatas
merupakan tuntunan universal. Nurani manusia, dimana dan kapan pun pasti
menilainya baik dan menilai lawannya merupakan sesuatu yang buruk, enggan
diterima oleh siapa pun. Karena itu dengan menggunakan bentuk tunggal agar
mencakup setiap orang sebagaimana nilai-nilai diatas diakui oleh nurani setiap
orang, ayat ini memerintahkan: Lakukan apa yang telah Allah perintahkan diatas
dan hindari apa yang tidak sejalan dengannya dan janganlah engkau mengikuti
apa-apa yang tiada bagimu pengetahuan tentangnya. Jangan berucap tentang
apa yang tidak kau ketahui, jangan mengaku tahu apa yang engkau taj tahu atau
mengaku mendengar apa yang engkau tidak dengar. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, yang merupakanalat-alat pengetahuan semua itu yakni
alat-alat itu masing-masing tentangnya akan ditanyaitentang
bagaimana pemiliknya akan dituntut mempertanggungjawabkan bagaimana ia
menggunakannya.
Dari satu sisi
tuntunan ayat ini mencegah sekian banyak keburukan, seperti tuduhan, sangka
buruk, kebohongan dan kesaksian palsu. Di sisi lain ia memberi tuntunan untuk
menggunakan pendengaran, penglihatan dan hati sebagai alat-alat untuk meraih
pengetahuan.
Sayyid Quthub
berkomentar bahwa ayat ini dengan kalimat-kalimatnya yang sedemikian singkat telah
menegakkan suatu sistem yang sempurna bagi hati dan akal, mencakup metode
ilmiah yang baru saja dikenal oleh umat manusia, bahkan ayat ini menambah
sesuatu yang berkaitan dengan hati manusia dan pengawasan Allah swt. tambahan
dan penekanan ini merupakan keistimewaan Islam dibanding dengan metode-metode
penggunaan nalar yang dikenal selama ini dan yang sangat gersang itu.
Kehati-hatian
dan upaya pembuktian terhadap semua berita, semua fenomena, semua
gerak,-sebelum memutuskan- itulah ajakan al-Qur’an, serta metode yang sangat
teliti dari ajaran Islam. apabila akal dan hati telah konsisten menerapkan
metode ini, maka tidak akan ada lagi tempat bagi waham dan khurafat dalam
akidah, tidak ada juga wadah bagi dugaan atau perkiraan dalam bidang ketetapan
hukum dan interaksi., tidak juga hipotesa atau perkiraan yang rapuh dalam
bidang penelitian, eksperimen dan ilmu pengetahuan. Amanah ‘ilmiyah yang
didengungkan di abad modern ini, tidak lain kecuali sebagian dari Amanah
aqliyah dan qalbiyah yang dikumandangkan tanggung jawabnya oleh al-Qur’an
yang menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab terhadap kerja pendengaran,
penglihatan dan hatinya, dan bertanggung jawab kepada Allah yang
menganugerahkan pendengaran, mata dan hati. Ayat ini menegaskan bahwa manusia pun
akan dituntut mempertanggungjawabkan kerja al-fuad/hatinya. Para ulama
menggarisbawahi bahwa apa-apa yang tersirat dalam hati, bermacam-macam dan
bertingkat-tingkat. Ada yang dinamai (ها جس) hajis yaitu sesuatu yang terlintas
dalam pikiran secara spontan dan berakhir seketika. Selanjutnya (خا طر) khathir, yakni yang terlintas sejenak
kemudian terhenti; tingkat ketiga adalah apa yang dinamai (حديث نفس) hadits nafs, yakni bisikan-bisikan
hati yang dari saat ke saat muncul dan bergejolak. Peringkat yang lebih tinggi
adalah (همّ)
hamm, yaitu kehendak melakukan sesuatu sambil memikirkan cara-cara
pencapaiannya, dan yang terakhir sebelum melangkah mwujudkan kegiatan adalah (عزم) ‘azm, yakni kebulatan tekad setelah rampungnya seluruh
proses hamm dan dimulainya langkah awal bagi pelaksanaan. Yang dituntut
kelak adalah ‘azm itu, sedang semua yang ada dalam hati dan belum
mencapai tingkat ‘azm ditoleransi oleh Allah swt.[3]
2.
Tafsir al-Maraghi
(وَلَا
تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ)
Dan janganlah kamu bersikap mengeluarkan perkataan atau perbuatan
yang kamu tidak tahu.
Kata-kata ini merupakan undang-undang yang mencakup banyak
persoalan kehidupan. Dan oleh karenanya, mengenai kata-kata ini para penafsir
mengeluarkan beberapa pendapat:
a.
Ibnu Abbas mengatakan: janganlah kamu menjadi saksi kecuali atas
sesuatu yang diketahui oleh kedua matamu, didengar oleh kedua telingamu dan
dipahami oleh hatinmu.
b.
Qatadah mengatakan pula: janganlah kamu mengatakan “Saya telah
mendengar,” padahal kamu belum pernah mendengar, atau “Saya telah melihat,”
padahal kamu tak pernah melihat, atau “Saya telah mengetahui,” padahal kamu
belum tahu.
c.
Dan ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud ialah melarang
berkata-kata tanpa ilmu, tapi hanya persangkaan dan waham belaka. Kecuali ada
dalil yang membolehkan pengamalannya, yakni manakala tidak ada satu dalil dalam
al-Qur’an maupun al-Hadis.
d.
Tapi ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah melarang
orang-orang musyrik dari kepercayaan-kepercayaan mereka yang didasar pada
taqlid kepada nenek moyang dan hanya mengikuti hawa nafsu belaka.
Kemudian Allah SWT, menyebutkan pula, apa alasan dari larangan
tersebut, seraya firman-Nya:
(إِنَّ
ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسْئُُٔوْلٗا)
Sesungguhnya Allah pasti
menanyakan pendengaran, penglihatan dan hati tentang apa yang dilakukan oleh
pemiliknya, sebagaimana Allah Ta’ala firmankan:“Pada hari (ketika) lidah,
tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu
mereka kerjakan.” (An-Nur: 24).[4]
3.
Tafsir Ibnu Katsir
“Dan janganlah
kamu mengikuti,” yakni janganlah kamu mengatakan “apa yang kamu tidak
mengetahui pengetahuan tentangnya”. maksudnya, janganlah kamu mengatakan, “Aku
telah melihat,” padahal kamu tidak melihat, “Aku mendengar,” padahal kamu tidak
mendengar, dan “Aku tahu.” Padahal kamu tidak tahu, karena Allah Ta’ala akan
menanyakan hal itu kepadamu. Firman Allah, “Semua itu,” yakni hal-hal yang
berkenaan dengan pendengaran, penglihatan, dan hati “akan diminta pertanggungjawabannya”.
Yakni seorang hamba akan ditanya mengenai hal itu pada hari kiamat, ditanya
tentang dirinya dan perbuatannya.[5]
C.
Impementasi dalam Kehidupan
Ayat ini termasuk sendi budi pekerti muslim yang hedak menegakkan
pribadinya. Kita dilarang Allah “menurut” saja, maksudnya tidak menyelidiki
sebab dan musababnya. Orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain
akan membuat orang tersebut tidak mempergunakan pertimbangan dirinya. Dalam
hidup beragama sangat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan dan hati
sebagai alat pertimbangan. Sebab terkadang dicampuradukkan antara amalan yang
sunnah dan bid’ah. Bahkan kerapkali kejadian perkara yang sunnah tertimbun dan
yang bid’ah muncul dan lebih masyhur. Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu.[6]
D.
Aspek Tarbawi
1.
Perlunya kehati-hatian dalam menggunakan potensi manusia, terutama
mata, telinga dan hati/pikiran dalam konteks meraih ilmu. Ia harus digunakan
semaksimal mungkin di samping kewajiban menunaikan amanah ilmiah.[7]
2.
Senantiasa mengembangkan diri kita dengan menuntut ilmu, agar
memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.
3.
Seseorang tidak boleh mengikuti apa yang tidak diketahuinya.
4.
Apa saja yang dilakukan oleh pendengaran, penglihatan dan hati kita
akan dimintai pertanggungjawaban kelak
di akhirat.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dalam Islam,
mengikuti sesuatu, persoalan atau seseorang tanpa dasar ilmu itu tidak diperbolehkan. Sebab, apa pun
yang kita lihat dengan mata, yang kita dengar dengan telinga serta yang kita
sangka dalam hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah
kelak di akhirat. Al-Qur’an sangat mengedepankan kebenaran intelektual, yakni
kebenaran yang didasarkan atas pendengaran, penglihatan dan hati atau akal
secara integral. Maka untuk mendapatkan kebenaran intelektual ini diperlukan
pendidikan intelektual. Bentuk dari pendidikan intelektual itu ialah menjadi
insan yang berlimu. Ilmu pengetahuan sendiri merupakan pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Adapun cara memperoleh ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui pendengaran,
penglihatan dan melalui akal, dapat pula melalui hidayah dari Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi Juz XV. Semarang:
PT. Karya Toha Putra.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 1999.
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.Jakarta: Gema Insani Press.
Hamka. 1984. Tafsir Al-AzharJuz XV. Jakarta: Pustaka
Panjimas.
Ramayulis & Samsul Nizar. 2009.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:
Kalam Mulia.
Shuhab, M. Quraish. 2012. Al-Lubab, Makna, Tujuan dan Pelajaran
dari Surah- surah al-Qur’an. Tangerang:
Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2004. Tafsir Al-Mishbah Volume 7. Jakarta:
Lentera Hati.
PROFIL PENULIS
Nama :
Nela Mas’adah (2021115194)
TTL : Pekalongan, 27
Februari 1997
Alamat : Karanganyar Gang 03 RT 02 RW 01 KecamatanTirto Kabupaten Pekalongan
Motto
Hidup : “Tidak ada yang bisa dicapai tanpa usaha”
Riwayat
Pendidikan : - TK Muslimat NU Karanganyar -
MIS Karanganyar 01
-
MTs
S Hidayatul Athfal
-
MAS
Simbangkulon
-
Sekarang masih menempuh pendidikan S1 IAIN
Pekalongan jurusan Pendidikan Agama Islam, fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.
[1] Ramayulis
& Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia,
2009)., hlm. 75-79
[2]http://abufathirabbani.blogspot.co.id/2012/05/pendidikan intelektual.html diakses pada Jumat, 14 April 2017 pukul 19.00 WIB
[3] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2004)., hlm.
464-466
[4] Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz XV, (Semarang: PT. Karya Toha Putra,
1993)., hlm. 84-86
[5] Muhammad Nasib
ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press,
1999)., hlm. 59
[6] Hamka, Tafsir
Al-AzharJuz XV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984)., hlm. 66
[7] M. Quraish
Shihab, Al-Lubab, Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-surah al-Qur’an, (Tangerang:
Lentera Hati, 2012)., hlm. 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar