KEWAJIBAN
BELAJAR MENGAJAR SECARA “SPESIFIK”
(KEKUATAN ILMU PENGETAHUAN)
Q.S AR-RAHMAN AYAT 33
Mareta
Diah Naina
NIM. (2117087)
Kelas
: D
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
TAHUN
2018
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah
puji syukur atas ke hadiratan Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini. Shalawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita nabi
Muhammad Saw. hingga akhir zaman.
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi. Makalah ini
menjelaskan tentang materi dan immateri ilmu pengetahuan, dalil kekuatan ilmu
pengetahuan, dan cara mengendalikan
serta memanfaatkan ilmu pengetahuan.
Makalah
ini tentunya tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu,
penulis dengan senang hati menerima saran dan kritik dari pembaca. Semoga
dengan makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca. Amiin
yaa rabbal’alamin.
Pekalongan,
21 September 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata ilmu secara bahasa berarti kejelasan. Oleh karena itu, segala
bentuk yang berasal dari akar kata tersebut selalu menunjuk kepada kejelasan.
Kata ilmu dengan berbagai bentuk dan derivasinya terulang 854 kali di dalam Al-Qur’an.
Kata tersebut biasanya digunakan untuk menunjukkan proses pencapaian
pengetahuan dan objek pengetahuan sekaligus. Ia berbeda dengan kata ‘arafa,
oleh karenanya Allah dalam menyampaikan pengetahuan-Nya tentang sesuatu
menggunakan kata ‘ilm, bukan ma’rifah.
Dalam pandangan Al-Qur’an ilmu adalah suatu keistimewaan yang
menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi
kekhalifahannya. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan anugerah yang sangat agung
dan rahasia ilahi yang paling besar dari sekian banyak rahasia Allah Swt. di
alam ini.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa materi dan immateri ilmu pengetahuan?
2.
Bagaimana dalil kekuatan ilmu pengetahuan?
3.
Bagaimana mengendalikan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui materi dan immateri ilmu pengetahuan.
2.
Untuk mengetahui dalil kekuatan ilmu pengetahuan.
3.
Untuk mengetahui cara mengendalikan dan memanfaatkan ilmu
pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sumber Daya: Materi (SDA) dan Immateri (SDM)
Objek ilmu itu ada dua, pertama adalah
alam materi dan yang kedua adalah alam non materi. Dalam hal ini kaum
sufi melalui ayat-ayat Al-Qur’an menggambarkan lima hierarkhi ilmu yang disebut
al-hadlarat al-ilahiyyah al-khams, yaitu alam materi, alam kejiwaan,
alam ruh, sifat-sifat illahiyah, dan wujud zat illahi. Sedangkan Menurut
pandangan ilmuwan, dalam mendapatkan ilmu pengetahuan ada tiga cara yang mereka
rekomendasikan yaitu pengamatan, percobaan, serta triel and error. Cara
ini juga disinggung oleh Al-Qur’an dimana manusia diperhatikan untuk berfikir
tentang alam raya, melakukan perjalanan dan sebagainya.[1]
Pada hakikatnya, ilmu adalah salah
satu sifat Allah, karena sifat itulah Dia disebut dengan ‘Alim (Yang Maha
Tahu). Dia adalah sumber utama ilmu. Segala pengetahuan yang diperoleh manusia
merupakan anugerah-Nya. Ilmu Allah tiada terbatas, manusia hanya memperoleh
sedikit saja daripada-Nya. Sedalam apapun pengetahuan manusia mengenai sesuatu,
ia tetap saja terbatas karena keterbatasan pikiran dan potensi yang ada dalam
jiwanya.
Ilmu pengetahuan yang dimiliki
manusia merupakan ilmu dan pengetahuan yang telah diajarkan-Nya. Tetapi, karena
keterbatasan manusia itu sendiri, maka pengetahuannya banyak bersifat nisbi dan
zanni. Hanya ilmu Tuhan yang bersifat mutlak.
Al-Qur’an menggambarkan ada dua cara
Tuhan mengajar manusia, yaitu pengajaran langsung yang disebut dengan wahyu
atau ilham dan pengajaran tidak langsung. Cara yang terakhir ini berarti, bahwa
Allah mengajar manusia melalui media yaitu fenomena alam yang Dia ciptakan.
Tuhan menciptakan alam dan segala isinya serta hukum yang berlaku padanya. Alam
ini sebagai makhluk Allah, menyimpan berbagai rahasia ilmu pengetahuan. Kemudian
manusia mempelajarinya sehingga menemukan sistem hukum alam tersebut yang
selanjutnya dapat digunakan bagi
kepentingan hidup manusia.[2]
B.
Dalil Kekuatan Ilmu Pengetahuan (Sulthan)
Q.S Ar-Rahman ayat 33
Artinya:
“Wahai sekalian jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi semua penjuru
langit dan bumi, lintasilah! Namun kamu tidaklah akan dapat melintasinya kalau
tidak dengan kekuasaan”.
Tafsirannya:
1.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia tidak akan dapat menembus
langit dan bumi tanpa sulthan atau teknologi. Kata sulthan ditafsirkan
sebagai kekuatan, namun juga dapat di tafsirkan sebagai teknologi yang
memungkinkan manusia untuk menembus langit dan bumi. Tanpa teknologi yang
memadai, manusia tidak akan dapat mencapai inti bumi yang terdiri atas cairan
yang sangat panas dan kemungkinan fenomena lain yang belum dapat diprediksi.
Tanpa teknologi yang memadai pula, manusia tidak akan mungkinan menempuh
perjalanan ribuan tahun cahaya untuk mencapai galaksi lain yang ada di alam
dunia ini.[3]
2.
Tafsir Al-Azhar: “Wahai
sekalian jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi semua penjuru langit dan
bumi, lintasilah!” artinya bahwa diantara Rahman-Nya Allah SWT. itu kepada kita
manusia dan jin ialah kebebasan yang diberikan kepada kita untuk melintasi alam
ini dengan sepenuh tenaga yang ada pada kita, dengan segenap akal dan budi
kita, karena mendalamnya pengetahuan. namun diakhir ayat Tuhan memberi ingat
bahwa kekuatanmu itu tetap terbatas; “Namun kamu tidaklah akan dapat
melintasinya kalau tidak dengan kekuasaan”.
Dalam suku kata pertama diberi kebebasan bagi manusia melintasi segala
penjuru bumi, baik untuk mengetahui rahasia yang terpendam di muka bumi ini,
ataupun hendak menuntut berbagai macam ilmu. Karena banyaklah rahasia dalam alam ini
tersembunyi, yang sudah tabiat daripada manusia itu sendiri ingin tahu. Namun
di suku kata kedua diberi ingat bahwa semuanya pekerjaan itu sangat bergantung
kepada kekuasaan, yang dalam ayat disebut Sulthan. Diberi ingat
bahwasanya kalau kekuasaan tidak ada, pekerjaan akan terlantas di tengah.
3.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan ialah: “Bahwa kamu tidaklah
akan sanggup lari daripada kehendak Allah SWT. dan takdirnya, bahwa takdir
itulah yang selalu mengelilingi kamu dan kamu tidak akan sanggup membebaskan
diri pada kehendaknya atas dirimu, kemana saja pun kamu pergi takdir itu
mengelilingi kam, demikianlah kamu selalu dalam kedudukan tertawan di dalamnya.
Malaikat berdiri rapat sampai tujuh lapis sekeliling kamu, sehingga tidaklah
kamu akan sanggup membebaskan diri daripadanya, kecuali dengan kekuasaan.
Artinya dengan kehendak Tuhan.[4]
4.
Tafsir Al-Maraghi: “Hai golongan manusia dan jin, jika kamu mampu
keluar dari penjuru langit dan bumi buat menghindari hukuman Allah SWT. dan
melarikan diri dari adzab-Nya, maka
lakukanlah.” Maksudnya bahwa kalian takkan mampu melakukan itu. Karena, Dia
meliputi kamu sehingga kamu takkan kuasa melepaskan diri daripada-Nya.
Kemanapun kamu pergi, maka kamu tetap terkepung.[5]
5.
Tafsir Al-Mishbah: Ayat tersebut menegaskan bahwa mereka tidak
dapat menghindar dari pertanggungjawaban serta akibat-akibatnya. Allah
menentang mereka dengan menyatakan: Hai kelompok jin dan manusia yang
durhaka, jika kamu sanggup menembus keluar menuju penjuru-penjuru langit dan
bumi guna menghindar dari pertanggungjawaban atau siksa yang menimpa kamu
itu, maka tembuslah keluar. Tetapi, sekali-kali kamu tidak dapat
menembusnya melainkan dengan kekuatan, sedangkan kamu tidak memiliki
kekuatan!
Didahulukannya penyebutan jin disini atas manusia
karena jin memiliki kemampuan lebih besar dari pada manusia dalam mengarungi
angkasa. Bahkan suatu ketika dalam kehidupan duniawi, mereka pernah memiliki
pengalaman, walau dalam bentuk terbatas (baca QS. Al-Jinn ayat 9).
QS. Ar-Rahman ayat 33 di atas merupakan
peringatan dan tantangan bagi mereka yang bermaksud menghindar dari tanggung
jawabnya di hari kemudian itu. Jika demikian, ayat ini tidak berbicara dalam
konteks kehidupan duniawi, apalagi menyangkut kemampuan manusia menembus
angkasa luar, tetapi semata-mata sebagai ancaman bagi yang hendak menghindar. Karena itu
perintah diatas tembuslah bukan perintah untuk dilaksanakan, tetapi
perintah menunjukkan ketidakmampuan memenuhinya.[6]
C.
Mengendalikkan dan Memanfaatkan Ilmu Pengetahuan
§ Mengendalikan ilmu pengetahuan
Jika ada orang yang telah di anugrahi ilmu oleh Tuhan, tetapi
ternyata mengingkari kebenaran, atau menutupinya atau menyalahgunakannya, maka
cahaya yang ada akan berubah menjadi kegelapan baginya sehingga ia
dikategorikan orang-orang yang sesat. Hal ini disebabkan karena anugrah ilmu
yang telah mereka terima bukan dijadikan sebagi pelita, tetapi justru dijadikan
sebagai alat untuk mengumbar nafsu yang mengendalikan pola pikir dan tata
kehidupannya.[7]
Ilmu yang mendatangkan efek negatif itu adalah ilmu yang bercampur
iri dan dengki, kesombongan, serta keserakahan. Agar ilmu hanya mendatangkan
manfaat kepada manusia, sistem belajar dan pembelajaran mestilah kosong dari
dengki, kesombongan, serta keserakahan.[8]
§ Memanfaatkan ilmu pengetahuan
Dengan ilmu pengetahuan, manusia dikukuhkan menjadi pembawa risalah
kekhalifahan di muka bumi, yang memiliki kewajiban untuk memakmurkan dan
mengembangkannya[9]
serta di dalam Al-Qur’an menganjurkan agar
manusia menggunakan akal pikirannya untuk mencapai hasil yang dicita-citakan.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu pengetahuan yang dimiliki
manusia merupakan ilmu dan pengetahuan yang telah diajarkan Allah Swt.. Objek
ilmu itu ada dua, pertama adalah alam materi dan yang kedua adalah
alam non materi. Dengan membaca Al-Qur’an
manusia memperoleh bermacam-macam pengetahuan secara normatif sedangkan
dengan membaca alam, manusia dapat memperoleh pengetahuan secara
empiris-historis.
Menurut pandangan ilmuwan, dalam
mendapatkan ilmu pengetahuan ada tiga cara yang mereka rekomendasikan yaitu pengamatan,
percobaan, serta triel and error. Pada hakikatnya, ilmu adalah salah satu
sifat Allah, karena sifat itulah Dia disebut dengan ‘Alim (Yang Maha Tahu). Allah
Swt. adalah sumber utama ilmu.
Jika kita dikaruniai sebuah ilmu
pengetahuan, maka kita harus bisa mengendalikan ilmu tersebut agar kita tidak
merugika orang lain, selain itu kita harus bisa memanfaatkan ilmu pengetahuan
untuk mencapai cita-cita yang kita inginkan dan bisa bermanfaat untuk diri
sendiri serta orang lain.
B.
Saran
Dalam penulisan makalah diatas tentu
saja masih terdapat banyak kekurangan, dari saya mohon maaf apabila materi yang
disampaikan masih belum sempurna karena sebagai manusia tempatnya salah dan
dosa, dan kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Untuk itu saya membutuhkan kritik
dan saran dari pembaca agar saya bisa lebih baik lagi kedepannya dalam menulis
makalah. Mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. 1989. Tafsir
Al-Maraghi: Juz XXVII. Semarang: PT. Karya Putra Semarang.
Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar: Juz
XXVII. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Munir, Ahmad. 2008. Tafsir
Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Qur’an Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Teras.
Sani, Ridwan Abdullah. 2015. Sains
Berbasis Al-Qur’an. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Shihab, M. Quraish. 2009. Tafsir
Al-Mishbah. Jakarta: Penerbit Lentera Hati.
Yusuf, Kadar M. 2015. Kontruksi ilmu dan Pendidikan. Jakarta:
Amzah.
Yusuf, Kadar M. 2013. Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Qur’an
Tentang Pendidikan. Jakarta: Amzah.
BIODATA
Nama :
Mareta Diah Naina
TTL :
Pekalongan, 18 Maret 2000
Alamat :
Dk. Kedawungrejo, Ds. Rowokembu, Rt. 09/ Rw. 04,
Kec.
Wonopringgo, Kab. Pekalongan
Fakultas/Jurusan :
FTIK/PAI
Status :
Mahasiswi IAIN Pekalongan
Riwayat Pendidikan :
-
SDN 01 Rowokembu
-
MTs. Syarif Hidayatullah
-
MAN 1 Pekalongan
LAMPIRAN
[1] Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Qur’an Tentang
Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2008) hlm. 84-85.
[2] Kadar M. Yusuf, Tafsir Tarbawi: Pesan-Pesan Al-Qur’an Tentang
Pendidikan, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 19-20.
[3] Ridwan Abdullah Sani, Sains Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2015), hlm. 251-252.
[4] Hamka, Tafsir
Al-Azhar: Juz XXVII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 197.
[5] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi: Juz XXVII,
(Semarang: PT. Karya Putra Semarang, Cetakan I 1989), hlm. 217.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit
Lentera Hati, 2009), hlm. 306-309.
[7] Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Qur’an Tentang
Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 99-100.
[8] Kadar M. Yusuf, Kontruksi ilmu dan Pendidikan, (Jakarta: AMZAH,
2015), hlm. 76.
[9] Ibid., hlm. 94.
[10] Ibid., hlm. 81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar