MAKALAH
“PENIPUAN DAN PEMALSUAN”
Disusun
guna memenuhi tugas:
Mata kuliah : Hadits
Tarbawi II
Dosen pengampu : Muhammad
Hufron, M.S.I
Disusun
oleh:
Siti Halimah Sobariyah
2021 111
304
KELAS E
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Keimanan dan ketaqwaan merupakan modal utama untuk mendatangkan keberkahan.
Apabila iman dan taqwa terangkai menjadi satu kesatuan dalam diri seorang
muslim, maka Allah akan membukakan pintu-pintu keberkahan-Nya kepada mereka.
Keberkahan juga dapat diraih dengan kejujuran, amanah, kebaikan, muamalah yang
baik, perkataan yang baik dan segala macam pintu-pintu kebaikan.
Allah tidak akan membukakan pintu keberkahan bagi orang yang menipu dan
berbuat kecurangan. Ketika seseorang tidak mendapatkan keberkahan dari Allah,
mereka akan kesusahan dan tidak dapat merasakan ketentraman dalam hidupnya.
Mereka justru akan diliputi dengan rasa kekhawatiran.
Oleh karena itu, dalam makalah ini saya akan mencoba menmbahas tentang
hilangnya keberkahan akibat penipuan dan pemalsuan, cobaan-cobaan yang
diberikan Allah kepada orang-orang yang berbuat maksiat, serta akibat dari
perbuatan maksiat tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
“PENIPUAN DAN
PEMALSUAN”
1. Hadits 54
A. Hadits
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ {الْبَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا} قَالَ هَمَّامٌ وَجَدْتُ فِي كِتَابِي {يَخْتَارُ
ثَلَاثَ مِرَارٍ فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا
وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا فَعَسَى أَنْ يَرْبَحَا رِبْحًا وَيُمْحَقَا بَرَكَةَ
بَيْعِهِمَا} (رواه البحار)
B. Terjemah
Dari Hakim bin
Hizam radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Dua orang yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk
melangsungkan atau membatalkan jual beli) selama keduanya belum berpisah".
Hammam berkata: "Aku dapatkan dalam catatanku (Beliau bersabda): "Dia
boleh memilih dengan kesempatan hingga tiga kali. Jika keduanya jujur dan
menampakkan cacat dagangannya maka keduanya diberkahi dalam jual belinya dan
bila menyembunyikan cacat dan berdusta maka mungkin keduanya akan mendapatkan
untung namun akan hilang keberkahan jual beli keduanya".
(HR. Bukhari)
C. Mufrodat
Arab
|
Terjemah
|
الْبَيِّعَانِ
|
Dua orang
|
خِيَارِ
|
jual beli
|
يَتَفَرَّقَا
|
Berpisah
|
صَدَقَا
|
Jujur
|
بُورِكَ
|
Cacat
|
كَذَبَا
|
Berdusta
|
كَتَمَا
|
Menyembunyikan
|
رِبْحًا
|
Untung
|
وَيُمْحَقَا
|
Hilang
|
بَرَكَة
|
Berkah
|
D. Biografi
a. Hakim bin Hizam
Nama
lengkap Hakim bin Hizam adalah Hakim bin Hizam bin Asad bin Abdul Ghazi,
ponakan Khadijah istri Rasulullah . Sebelum dan setelah kenabian, beliau ini adalah teman
akrab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, sewaktu kaum Quraisy memboikot
Rasulullah, beliau tidak termasuk, karena menghormati Nabi. Beliau baru masuk
Islam ketika penaklukan kota Mekah dan terkenal sebagai orang yang banyak jasa,
baik dan dermawan.
Hakim bin Hizam dibesarkan dalam keluarga keturunan bangsawan yang berakar
dalam dan terkenal kaya. Karena itu, tidak heran kalau dia menjadi orang
pandai, mulia, dan banyak berbakti. Dia diangkat menjadi kepala kaumnya dan
diserahi urusan rifadah (lembaga yang menangani orang-orang yang kehabisan
bekal ketika musim haji) di masa jahiliyah. Untuk itu dia banyak berkorban
harta pribadinya. Dia bijaksana dan bersahabat dekat dengan Rasulullah sebelum
beliau menjadi Nabi. Sekalipun Hakim bin Hizam kira-kira lima tahun lebih tua
dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, tetapi dia lebih senang, lebih ramah,
dan lebih suka berteman dan bergaul dengan beliau. Rasulullah mengimbanginya
pula dengan kasih sayang dan persahabatan yang lebih akrab.[1]
b. Imam Bukhari
Imam Bukhari lahir di Bukhara,
Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin
Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal
dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13
Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Sebenarnya masa kecil Imam
Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak
dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan
penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk
kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia
10 tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits
sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits,
hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan
julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu
Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.[2]
E. Keterangan Hadits
Hadits
ini menjelaskan tentang penjual dan pembeli berhak memilih (khiyar) selama keduanya belum
berpisah. Maksudnya, tentang khiyar majlis.
مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا (selama keduanya belum berpisah). Dalam riwayat yang dinukil dari
Atha’, dari Ibnu Abbas, dari Nabi SAW disebutkan “Selama dia belum meninggalkan pihak yang satunya. Apabila dia telah
meninggalkannya, maka tidak ada khiyar baginya”. Para ulama yang mengatakan “berpisah”
bahwa yang dimaksud adalah meninggalkan tempat transaksi. Lalu, apakah ada
batasan tertentu dalam perpisahan itu? Pendapat yang masyhur dan paling kuat
adalah bahwa hal itu diserahkan kepada kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا (apabila keduanya jujur
dan menjelaskan cacat). Maksudnya, penjual berlaku jujur dalam
mengabarkan keadaan barang kepada pembeli seraya menjelaskan cacatnya jika ada.
Sedangkan pembeli juga berlaku jujur dalam memberikan harga dan menjelaskan
cacatnya jika ada. Ada pula kemungkinan kata “jujur” dan “menjelaskan”
di sini memiliki satu makna. Adapun penyebutan keduanya secara bersamaan adalah
sebagai penekanan.
مُحِقَتْ بَرَكَلةُ
بَيْعِهِمَا (dihilangkan berkah jual beli keduanya). Ada kemungkinan
dipahami sebagaimana makna zhahirnya, yaitu dampak sikap yang tidak berterus
terang dan dusta pada transaksi tersebut menyebabkan dihilangkannya berkah,
meski orang yang jujur di antara keduanya tetap mendapatkan pahala dan yang
dusta mendapat dosa. Ada pula kemungkinan pihak yang
berdusta saja yang tidak mendapatkan keberkahan. Ibnu Abi Jamrah menguatkan
kemungkinan yang terakhir ini.[3]
F. Aspek Tarbawi
Dalam hadits ini terdapat keutamaan dan anjuran
bersikap jujur, serta celaan terhadap sikap dusta dan anjuran untuk
menghindarinya. Sesungguhnya dusta merupakan penyebab hilangnya keberkahan, dan
amalan akhirat itu dapat mendatangkan kebaikan di dunia maupun di akhirat.
Dari hadits ini dapat diperoleh nilai tarbawi sebagai berikut:
1.
Penjual dan pembeli memiliki hak untuk memilih membatalkan atau meneruskan jual beli (transaksi) sebelum keduanya meninggalkan atau berpisah dari
tempat transaksi tersebut (khiyar majlis).
2.
Penjual dan pembeli harus jujur dalam transaksi agar
transaksi tersebut diberkahi Allah.
3.
Larangan kepada
penjual dan pembeli untuk berkata bohong, atau menutup-nutupi kekurangan ataupun cacat yang ada pada barang yang diperjualbelikan.
4.
Khiyar majlis disyari’atkan agar kedua orang yang
melakukan transaksi selamat dari penyesalan.
5.
Perdagangan yang dilakukan dengan cara yang tidak
jujur dan mengandung unsur penipuan (gharar), tidak akan membawa berkah bagi si
penjual meskipun ia memperoleh keuntungan harta, namun harta tersebut tidak
akan berkah baginya.
2. Hadits 55
A. Hadits
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ:
قَال
: أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم. فَقَالَ”
يَا
مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ! خَمْسٌ
إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ.
لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى
يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ
تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا
وَلَمْ
يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ
الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
وَلَمْ
يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنْ السَّمَاءِ
وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا
وَلَمْ
يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ
وَمَا لَمْ
تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ
اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
B.
Terjemah
“Abdullah bin Umar berkata : Rasulullah
SAW menghadap kepada kami. Beliau bersabda : ”Wahai
sekalian kaum Muhajirin, ada lima hal yang jika kalian terjatuh ke dalamnya
–dan aku berlindung kepada Allah supaya kalian tidak menjumpainya-
1)
Tidaklah
nampak zina di suatu kaum, sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali
akan tersebar di tengah-tengah mereka tha’un (wabah) dan
penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya.
2)
Tidaklah
mereka mengurangi takaran dan timbangan kecuali akan ditimpa paceklik, susahnya
penghidupan dan kezaliman penguasa atas mereka.
3)
Tidaklah
mereka menahan zakat (tidak membayarnya) kecuali hujan dari langit akan ditahan
dari mereka (hujan tidak turun), dan sekiranya bukan karena hewan-hewan,
niscaya manusia tidak akan diberi hujan.
4)
Tidaklah
mereka melanggar perjanjian mereka dengan Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah
akan menjadikan musuh mereka (dari kalangan selain mereka; orang kafir)
berkuasa atas mereka, lalu musuh tersebut mengambil sebagian apa yang mereka
miliki.
5)
Dan selama
pemimpin-pemimpin mereka (kaum muslimin) tidak berhukum dengan Kitabullah
(al-Qur’an) dan mengambil yang terbaik dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah
(syariat Islam), melainkan Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka.”
(HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad shahih).[4]
C. Mufrodat
Arab
|
Terjemahan
|
الْفَاحِشَةُ
|
Perbuatan keji atau perzinaan
|
يُعْلِنُوا
|
Terang-terangan
|
الطَّاعُونُ
|
Wabah
|
يَنْقُصُوا
|
Mengurangi
|
الْمِكْيَالَ
|
Takaran
|
الْمِيزَانَ
|
Timbangan
|
السُّلْطَانِ
|
Kekuasaan
|
يَنْقُضُوا
|
Merusak
|
عَهْدَ
|
Perjanjian
|
يَتَخَيَّرُوا
|
Memilih hukum
|
بَأْسَهُمْ
|
Menimpakan kesusahan
|
D. Biografi
a. Abdullah bin Umar
Abdullah bin Umar bin Khattab atau sering disebut
Abdullah bin Umar atau Ibnu Umar saja (lahir 612 - wafat 693/696 atau 72/73 H) adalah seorang sahabat Nabi dan merupakan periwayat hadits yang terkenal. Ia adalah anak dari Umar bin Khattab, salah seorang sahabat utama Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin yang kedua.
Ibnu Umar masuk Islam bersama ayahnya saat ia masih
kecil, dan ikut hijrah ke Madinah bersama ayahnya. Pada usia 13 tahun ia ingin menyertai ayahnya dalam Perang Badar, namun Rasulullah menolaknya. Perang pertama yang diikutinya adalah Perang Khandaq. Ia ikut berperang bersama Ja'far bin Abu Thalib dalam Perang Mu'tah, dan turut pula dalam pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Setelah Nabi Muhammad
meninggal, ia ikut dalam Perang Yarmuk dan dalam penaklukan Mesir serta daerah lainnya di Afrika.
Ibnu Umar adalah seorang yang meriwayatkan hadist
terbanyak kedua setelah Abu Hurairah, yaitu sebanyak 2.630 hadits, karena ia selalu mengikuti kemana Rasulullah pergi. Bahkan Aisyah istri Rasulullah pernah memujinya dan berkata :"Tak seorang pun mengikuti jejak
langkah Rasulullah di tempat-tempat pemberhentiannya, seperti yang telah
dilakukan Ibnu Umar". Ia bersikap sangat berhati-hati dalam meriwayatkan
hadist Nabi. Demikian pula dalam mengeluarkan fatwa, ia senantiasa mengikuti
tradisi dan sunnah
Rasulullah, karenanya ia tidak mau melakukan ijtihad. Biasanya ia memberi fatwa pada musim haji, atau pada kesempatan lainnya. Di antara para Tabi'in, yang paling banyak meriwayatkan darinya ialah Salim dan hamba sahayanya,
Nafi'.[5]
b. Ibnu Majah
Nama
lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah Ar-Rabi’
Al-Qazwiniy, seorang hafizh terkenal, pengarang kitab As-Sunan. Beliau
dilahirkan pada tahun 209 H dan wafat pada bulan Ramadhan tahun 273 H.
Beliau dinisbatkan pada golongan Rabi’ah
dan bertempat tinggal di Qazwain, suatu kota di Irak bagian Persia yang sangat
terkenal banyak mengeluarkan banyak ulama. Beliau meriwayatkan hadits dari
beberapa ulama: Irak, Bashrah, Kufah, Baghdad, Makkah, Syam, Mesir dan Ray.
Beliau mengadakan lawatan ke kota-kota tersebut untuk mengumpulkan hadits.
Di antara para gurunya adalah
sahabat-sahabat Laits. Sedangkan hadits-hadits beliau diriwayatkan oleh
segolongan ulama, di antaranya adalah Abul-Hasan Al-Qaththan. Di antara hasil
karyanya selain As-Sunan, adalah sebuah kitab tafsir dan sebuah kitab sejarah.
Sedang kitab Sunan beliau adalah salah satu Sunan yang empat (yakni Sunan Abu
Dawud, Sunan At-Tirmidziy, Sunan An-Nasaiy, dan Sunan Ibnu Majah sendiri), dan
salah satu dari induk yang enam (yakni Sunan yang empat ditambah Shahih Al-Bukhariy
dan Shahih Muslim).[6]
E. Keterangan
Hadits
Musibah-musibah yang terjadi menimpa
umat ini, ada dua bentuk penyebab. Bisa merupakan hukuman atau penebus dosa.
Jika merupakan hukuman, maka itu hukuman atas maksiat. Jika merupakan penebus
dosa, maka sebagai penebus dosa terhadap pelaku maksiat. Ini menunjukkan, bahwa
maksiat menjadi peyebab musibah-musibah yang menimpa umat.
Oleh karena itu, maka orang yang
berakal, ia berhenti dari (berbuat maksiat). Orang yang berbahagia adalah orang
yang mengambil pelajaran. Dia mengambil pelajaran (musibah) yang menimpa orang
lain sebelum menimpa dirinya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas'ud
Radhiyallahu 'anhu
“Artinya : Orang yang berbahagia
adalah orang yang mengambil pelajaran dengan orang lain. Dan orang yang celaka
adalah orang yang mengambil pelajaran dengan dirinya”
Jadi, musibah-musibah itu diakibatkan
dari perbuatan-perbuatan maksiat. Hal ini disebutkan dalam banyak hadits, di
antaranya adalah hadits Abdullah bin Umar ini, yang di dalamnya ada lima sifat
atau perbuatan yang jika kalian terjatuh ke dalamnya, niscaya akan datang azab
dan siksaan dari sisi Allah di dunia disebabkan kelima perbuatan tersebut.
Kelima hal ini wajib bagi setiap orang untuk menjauhinya. Dan wajib bagi mereka
untuk mencermati dan merenungi hadits ini dan hadits-hadits yang lain dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, supaya mereka mengetahui penyakit-penyakit
yang ada di ummat ini.
Maka sebenarnya kesalahannya ada pada
diri diri kita sendiri, diri kaum Muslimin sendiri sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. Asy-Syuraa ayat 30.[7]
F. Aspek Tarbawi
Dari hadits ini dapat diperoleh nilai tarbawi
meliputi:
1. Kemaksiatan merupakan sebab di antara
sebab-sebab musibah, maka kita harus mengambil pelajaran dari apa yang terjadi
di sekitar kita.
2. Hendaknya kita menjaga diri kita dari
kemaksiatan, karena sungguh laknat Allah itu sangat pedih.
3. Allah akan
menimpakan ahzab yang pedih kepada orang yang melakukan kemaksiatan, seperti:
·
Kaum yang melakukan perbuatan zina maka akan ditimpa
musibah penyakit kolera dan penyakit yang tidak pernah ada pada orang-orang
terdahulu
·
Orang yang mengurangi takaran dan timbangan akan
mendapat siksa kemarau panjang, kesulitan bahan makanan dan penguasa yang
dzalim
·
Orang yang enggan membayar zakat maka mereka
terhalang mendapat hujan. Padahal hujan
adalah rizki dari Allah yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan
·
Orang yang mengingkari perjanjian dengan Allah dan
Rosul-Nya, maka Allah memberikan musuh kepada mereka dan mengambil apa
yang mereka miliki
·
Pemimpin yang tidak menghukumi dengan kitab Allah akan
diberikan kesusahan kepada mereka.
3. Hadits 56
A.
Hadits
حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ يَحْيَى
بْنِ سَعِيدٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ {مَا
ظَهَرَ الْغُلُولُ فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا أُلْقِيَ فِي قُلُوبِهِمْ الرُّعْبُ
وَلَا فَشَا الزِّنَا فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلَّا كَثُرَ فِيهِمْ الْمَوْتُ وَلَا
نَقَصَ قَوْمٌ الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا قُطِعَ عَنْهُمْ الرِّزْقُ وَلَا
حَكَمَ قَوْمٌ بِغَيْرِ الْحَقِّ إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الدَّمُ وَلَا خَتَرَ
قَوْمٌ بِالْعَهْدِ إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ الْعَدُوَّ} (رواه مالك فى
المواطأ. كتاب الجهاد. باب الأمر المجتمع عليه عندنا)
B.
Terjemah
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Yahya bin
Sa'id, sesungguhnya dia mendengar dari Abdullah bin Abbas yang mengatakan: suatu
kaum yang ketahuan berbuat curang atau khianat satu kali saja, maka hati mereka
akan selalu diliputi oleh rasa takut. Suatu kaum yang sudah terlanda oleh
perbuatan zina, maka pada mereka akan banyak kematian. Suatu kaum yang berani
mengurangi timbangan dan takaran, maka rizki akan diputuskan dari mereka. Suatu
kaum yang berani menghukumi sacara tidak benar, maka pada mereka akan banyak
terjadi pertumpahan darah. Dan suatu kaum yang berani mengkhianati suatu janji,
maka Allah akan membiarkan mereka dikuasai oleh musuh.[8]
C. Mufrodat
Arab
|
Terjemahan
|
مَا ظَهَرَ
|
Curang atau khianat
|
الرُّعْبُ
|
Ketakutan
|
فَشَا الزِّنَا
|
perzinaan itu tersebar
|
الْمِكْيَالَ
|
Takaran
|
وَالْمِيزَان
|
Timbangan
|
إِلَّا قُطِع
|
kecuali diputus
|
حَكَمَ
|
Hukum
|
الدَّمُ
|
Pembunuhan
|
خَتَرَ قَوْمٌ بِالْعَهْدِ
|
kaum mengkhianati janji
|
الْعَدُوَّ
|
Musuh
|
D. Biografi
a. Yahya bin Sa’id
Nama
sebenarnya adalah Abu Sa’id Yahya bin Sa’id bin Farukh at Tamimi al-Bashry
al-Qaththan, seorang ulama dari kalangan Tabi’it Tabi’in ia dilahirkan pada
tahun 127 H. Ia menerima hadits dari Yahya bin Sa’id al-Anshary, Ibnu Juraij,
Sa’id bin Arubah, ats Tsaury, Ibnu Uyainah, Malik, Syu’bah dan lain lainnya.
Diantara
murid murinya adalah Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madainy,
Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Mandie, Abu Ubaid al-Qasim bin Salam dan lain lainnya.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa ia ulama besar di bidang hadits, kuat
hafalannya, luas ilmunya serta dikenal dengan orang yang shalih. Hal ini diakui
kebanyakan ulama hadits. Beliau wafat
pada tahun 198 H.[9]
b. Abdullah bin Abbas
Abdullah
bin Abbas) adalah seorang Sahabat Nabi, dan merupakan anak dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman dari Rasulullah Muhammad SAW. Dikenal juga dengan nama lain yaitu Ibnu Abbas (619 - Thaif, 687/68H). Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat yang
berpengetahuan luas, dan banyak hadits sahih yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas, serta
beliau juga menurunkan seluruh Khalifah dari Bani Abbasiyah.[10]
c. Imam Malik
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah
Malik bin Anas bin Malik bin Anas bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin
Amr bin Al Harits Al Ashbahiy Al Humairiy. Nasabnya berakhir pada Ya’rib bin
Yasyjub bin Qahthan.
Imam Malik adalah salah seorang
pencetus madzhab yang ajaran-ajarannya dikodifikasikan dan dikenal di seluruh
negara Islam.
Imam Malik lahir di Madinah Al
Munawwarah pada tahun 95 H. Beliau hidup selama 84 tahun, wafat pada bulan
Rabi’ul awwal tahun 179 H dan dimakamkan di Baqie’.[11]
E. Keterangan Hadits
Pertama,
ghulul secara bahasa yaitu khianat atau kecurangan. perbuatan curang tersebut yang dilakukan
seseorang kepada orang banyak. Perbuatan ini terjadi saat sebagian sahabat
Rasul mengambil harta rampasan perang sebelum dibagi sehingga sebagian yang
lain mendapatkan bagian yang lebih sedikit. Perbuatan ghulul akan mengakibatkan
ketakutan dalam diri seseorang sebab setiap orang akan saling mencurigai.
Kedua,
perzinaan yang mengakibatkan kematian, sebab adanya perzinaan yang merebak di
masyarakat akan memperbanyak kemungkinan munculnya penyakit-penyakit berbahaya
seperti HIV atau AIDS yang terjadi pada zaman sekarang. Penyakit tersebut belum
ada obatnya, sehungga penderita penyakit tersebut dalam waktu singkat akan
meninggal.
Ketiga,
adanya pengurangan takaran menyebabkan diputusnya rizki mereka. Rizki tidak
hanya berupa materi, tetapi bisa berupa ketenangan hidup atau keberkahan hidup.
Seorang yang curang bisa saja mendapatkan rizki yang banyak tetapi tidak
mendapatkan keberkahan dalam rizki tersebut atau tidak memperoleh ketenangan
hidup.
Keempat,
adanya suatu kaum yang berhukum kepada selain hukum Allah maka akan
mengakibatkan banyak pembunuhan. Berhukum kepada selain hukum Allah berarti
melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak hawa nafsu. Sehingga terjadi kehidupan
yang jauh dari harmonis, keteraturan, dan ketenangan. Kehidupan seperti ini
menyebabkan banyak terjadi pembunuhan.
Kelima,
mengkhianati janji yang menyebabkan musuh bisa menguasai mereka. Orang yang
menghianati janji tidak akan dipercaya oleh orang lain. Sehingga hal ini akan
menjadi malapetaka bagi dirinya yang memudahkan musuh untuk menguasai mereka.
F. Aspek Tarbawi
Dalam hadis tersebut, Rasulullah menjelaskan tentang
adanya lima perbuatan buruk dalam masyarakat yang bila perbuatan itu menyebar
di masyarakat akan menyebabkan akibat yang buruk. Dari sini dapat diperoleh
nilai tarbawi, sebagai berikut:
1. Hendaknya kita
bertaqwa kepada Allah SWT dengan menjalankan perintah-Nya an menjauhi
larangan-Nya.
2. Hendaknya
menjauhi perbuatan tercela dan kemaksiatan agar terhindar dari azab Allah.
3. Hendaknya
menjauhi perbuatan curang atau khianat, zina, mengurangi timbangan dan takaran,
menghukumi secara tidak benar dan mengkhianati suatu janji agar kita tidak
terperosok dalam jurang kenistaan sebagaimana akibat yang telah disebutkan
dalam hadits ini.
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan hadits di atas terdapat beberapa pelajaran yang bisa di ambil, yaitu:
1.
Tata cara transaksi jual beli yang baik agar tidak merugikan salah satu pihak. Dalam hadits diatas
menganjurkan untuk melakukan khiyar majlis sebelum transaksi jual beli itu
berakhir. Sehingga transaksi jual beli itu menjadi berkah serta tidak ada unsur
penipuan serta unsur pemalsuan yang merugikan dan menghilangkan berkah.
2. Kemaksiatan merupakan sebab di antara
sebab-sebab musibah, maka kita harus mengambil pelajaran dari apa yang terjadi
di sekitar kita dengan menjauhi perbuatan maksiat.
3. Hendaknya kita menjaga diri kita dari
kemaksiatan, karena sungguh laknat Allah itu sangat pedih.
Dari ketiga hadist di atas, dapat di ambil garis besar bahwa Allah akan memberikan suatu hukuman bagi orang-orang yang
melakukan kecurangan dan
khianat, baik itu berdusta, mengurangi takaran dan timbangan maupun perbuatan
penipuan dan pemalsuan lainnya dengan menghilangkan berkah terhadap mereka yang
melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, sudah sepatutnya sebagai seorang
muslim kita harus bisa menjaga diri kita dari hal-hal tercela tersebut agar
kita senantiasa mendapat berkah dari Allah SWT dan meningkatkan ketaqwaan kita
kepada-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu
Hajar, Al Imam Al Hafizh. 2005. Fathul Baari jilid 12. Jakarta: Pustaka
Azzam.
Musthofa,
Adib Bisri, dkk. 1992. Muwaththa’ Al Imam Malik r.a. Semarang:
CV.Asy Syifa’.
Shonhaji,
Al-Ustadz H. Abdullah, dkk. 1992. Tarjamah Sunan Ibnu Majah jilid 1.
Semarang: CV. Asy Syifa’.
http://abihumaid.wordpress.com/2008/06/18/hakim-bin-huzam-wafat-54-h/
(diakses tanggal 17/02/2013)
http://angelicaardi97.blogspot.com/2012/09/tokoh-islam-penghipun-dan-penyusun.html (diakses tanggal 16/02/2013)
http://www.alsofwah.or.id/cetakhadits.php?id=278
(diakses tanggal 19/02/2013)
http://id.wikipedia.org/wiki/Abdullah_bin_Umar
(diakses tanggal 16/02/2013)
http://www.alsofwah.or.id/cetakhadits.php?id=278
(diakses tanggal 19/02/2013)
http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/07/yahya-bin-sa%E2%80%99id-qaththan-wafat-198-h/
(diakses tanggal 17/02/2013)
http://id.wikipedia.org/wiki/Abdullah_bin_Abbas
(diakses tanggal 17/02/2013)
[1] http://abihumaid.wordpress.com/2008/06/18/hakim-bin-huzam-wafat-54-h/
(diakses tanggal 17/02/2013)
[2] http://angelicaardi97.blogspot.com/2012/09/tokoh-islam-penghipun-dan-penyusun.html (diakses tanggal 16/02/2013)
[3] Al Imam Al Hafizh Ibnu
Hajar, Fathul Baari jilid 12, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005),
hlm.127-131
[6] Al-Ustadz H. Abdullah
Shonhaji, Tarjamah Sunan Ibnu Majah, (Semarang: Asy Syifa’, 1992),
hlm.xv
[8] KH. Adib Bisri
Musthofa,dkk, Muwaththa’ Al Imam Malik r.a., (Semarang: CV.Asy Syifa’,
1992), hlm.703
[9] http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/09/07/yahya-bin-sa%E2%80%99id-qaththan-wafat-198-h/ (diakses tanggal
17/02/2013)
[11] KH. Adib Bisri
Musthofa,dkk, Op.cit., hlm.vii
Assalamualaikum mbak hal ...
BalasHapussalah satu aspek tarbawi dari hadits diatas kan "hendaknya menjauhi perbuatan tercela dan kemaksiatan agar terhindar dari azab Allah" ... dan yang mengarahkan kita untuk berbuat buruk itu kan nafsu, mungkin bisa diberikan tipsnya agar kita lebih bisa mengendalikan nafsu, sehingga kita benar" bisa menjauhkan diri dari perbuatan buruk itu mbak??
terimakasih
wa'alaikum salam wr.wb.
Hapusterimaksasih atas pertanyaan mbak raharrrdyani...
menanggapi pertanyaan tersebut, memang benar bahwa nafsu dapat mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. nafsu dalam pertanyaan ini, mengutip pendapat al ghozali, termasuk nafsu la’ammaratu bissu’ (nafsu yang mengajak kepada keburukan), yakni ketika iman kalah dibandingkan dengan hawa nafsu, sehingga manusia tersebut lebih banyak berbuat yang buruk daripada yang baik.
untuk melawan nafsu ini antara lain dengan cara:
1. Banyak melakukan ibadah, terutama ibadah-ibadah sunnah (sholat dhuha, tahajud, baca Al Qur’an, dll). Sebab makanan hati yang bersihadalah ibadah.
2. Minta kepada Allah dengan sungguh-sungguh (berdoa) agar keinginan Anda semakin kuat untuk meninggalkan hal-hal yang buruk.
3. Meyakini imbalan besar yang akan Allah berikan kepada orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya. “Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu (memperturuti hawa nafsu)?." Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya” (QS. Ali ‘Imron yat 15).
Kuatkan keyakinan tersebut dengan banyak berzikir (mengingat Allah) dan beribadah kepadanya. Jangan hanya mengandalkan ibadah wajib saja untuk mengendalikan nafsu, tambah juga dengan ibadah sunnah, seperti shaum senin-kamis, sholat tahajjud, tilawah Al Qur’an, sholat dhuha, dan lain-lain.
4. Jaga panca indera kita dari pengaruh syahwat (nafsu). Jaga mata kita untuk tidak melihat hal-hal yang berbau maksiat, jaga pendengaran dari pembicaraan yang jorok, jaga mulut dari berkata-kata yang cabul, dan jaga tangan serta kaki kita untuk tidak menjamah atau melangkah ke hal-hal yang maksiat.
5. Jaga pikiran kita dengan selalu berpikir positif dan produktif yang akan didapat dari banyak membaca yang positif dan hindari juga lingkungan yang membangkitkan hawa nafsu kita.
demikian tips yang saya peroleh dari referensi yang saya baca, semoga dapat kita praktekan bersama-sama ya mbak raharrdyani...:)
inayah 2021 111 165
BalasHapusAssalamu'alaikum...
mw tanya, bagaiman hukum plagiat dan bahayanya dalam pandangan islam????????
terimakasih.
wa'alaikum salam wr.wb.
Hapusterimakasih atas partisipasi mbak naya...
plagiat dalam islam hukumnya dilarang oleh syari'at karena merupakan perbuatan tercela yang merugikan orang lain, terutama bagi yang di jiplak (objek plagiat). perbuatan tersebut termasuk sariqoh (pencurian ilmu), karena si pelaku (plagiator) telah berpura-pura menampakkan sesuatu yang tidak ia punyai. sehingga di dalamnya terkandung unsur penipuan.
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Para ulama mengatakan, “Di antara keberkahan ilmu ialah menisbatkan setiap perkataan kepada orang yang mengatakannya,” karena yang demikian itu lebih selemat dari pemalsuan sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam sabdanya:
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَىْ زُورٍ
“Orang yang (berpura-pura) berpenampilan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya bagaikan orang yang memakai dua pakaian palsu (kedustaan).”
bahayanya:
1. merugikan orang yang memiliki hak asli ( orang yang dijiplak karyanya), karena termasuk pelanggaran hak cipta.
2. merupakan penipuan (kedustaan), baik dalam dunia ilmu pendidikan maupun lainnya.
3. plagiat dapat menimbulkan matinya kreativitas orang untuk berfikir dan mengembangkan pemikiran atau gagasannya sendiri.
nanik dwi astutik
BalasHapus2021111052
asalamualaikum
masalah jual beli ,bagaimana apabila kita menagih hutang sampai tiga kali namun tidak diberi juga padahal sangat membuthkannya ? trimakasih
wa'alaikum salam wr.wb.
Hapusterimakasih atas partisipasi mbak nanik...
menanggapi pertanyaan tersebut, apabila kita menagih hutang sampai tiga kali tetapi orang yang kita tagih tersebut belum bisa membayar, sedangkan kita butuh uangnya maka sebaiknya kita mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan kita. karena bagaimanapun kita tidak bisa memaksa orang yang kita pinjami itu untuk membayar sedang kondisinya tidak memungkinkan. selain itu, kita juga lihat dahulu bagaimana kondisi orang yang kita hutangi, jika ia benar-benar tidak mampu maka tidak ada salahnya kita memberi toleransi waktu untuk melunasi hutangnya. namun jika orangnya mampu tetapi tidak mau melunasi hutangnya, maka kita ingatkan saja bahwa hutang itu jika tidak dilunasi di dunia maka ia harus melunasinya di akhirat.
wallahu a'lam bisshowab...:)
Assalamu'alaikum mbak siti halimah
BalasHapussaya mau bertanya, dalam hadits diatas menerangkan tentang penipuan dan pemalsuan, terus bagaimana dengan para pers itu, yang kerjanya kadang dengan membikin gosip ya.. bisa dikatakan penipuan, tapi tidak secara besar-besaran.. dalam kasus tersebut kenapa harus dengan cara membikin gosip, karena supaya dapat berita yang sesungguhnya, karena kadang para narasumber itu sangat pelit untuk memberikan informasi kepada wartawan, jadi dengan (dipancing) dengan gosip, mereka akan memberikan beritanya secara nyata.
bagaimana pendapat mbak siti halimah mengenai kejadian pekerjaan tersebut.
Terimakasih
wa'alaikum salam wr.wb.
Hapusterimakasih atas partisipasinya..
menanggapi pertanyaan mbak bibah, menurut saya para wartawan seharusnya tidak boleh berbuat demikian. karena membuat suatu pemberitaan yang tidak sesuai fakta atau bisa dikatakan penipuan sama halnya dengan fitnah. sedangkan meskipun berita yang dibuat itu benar tetapi berisi kejelekan orang lain maka itu termasuk ghibah.
dalam Islam hukum ghibah dan fitnah adalah haram, sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 12, dan hadits Rasulullah SAW:
Dari Abu Hurairoh, sesunguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kalian mengetahui apa ghibah itu?” Para shababat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau mengatakan, “Ghibah itu adalah bercerita tentang saudara kalian apa-apa yang tidak ia sukai.” Rasul bersabda, “Bagaimana menurut kalian kalau yang direcitakan itu benar-benar nyata apa adanya? Maka inilah yang disebut ghibah, dan apabila apa yang kalian ceritakan tidak nyata, maka berarti kalian telah membuat kedustaan (fitnah) kepadanya.”
jadi seharusnya wartawan tidak asal-asalan dalam membuat berita dan menghargai hak privasi narasumber apabila ia belum atau tidak mau memberikan informasi.
Terimakasih atas jawabannya
Hapusbukannya membuat berita asal-asalan ya...
TAPI semisal saja, yang mau kita wawancarai itu susah sekali untuk memberikan berita yang sesungguhnya, dan dengan cara "dipancing" dengan gosip pas melakukan wawancara., pasti orang tersebut langsung berkata yang sebenarnya, misal ni... ada perampokan dipom bensin kertijayan, kemudian sang wartawan mencari berita,langsung kepada sang polisi. sang wartawan itu bertanya, berapa kerugian yang ditaksir dalam perampokan ini, tapi polisi itu enggan memberikan jawabannya. kemudian wartawan itu langsung olah pikir, kemudian langsung mengatakan. "katanya kerugiannya itu sampai 200 juta ya pak" nha...dengan kalimat itu polisi langsung angkat bicara... "kata siapa, kerugiannya itu hanya mencapai 75 juta aja kok"
dengan memberi gosip itu sang polisi langsung memberikan berita yang sebenarnya :)
nha... apakah yang seperti itu juga tidak boleh....?
(demi mendapatkan satu berita untuk khalayak banyak)
terima kasih atas feedback mbak bibah...
Hapusmenurut saya, yang seperti itu namanya bukan gosip, tetapi yang dilakukan wartawan tersebut merupakan salah satu teknik wawancara untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya.
jadi menurut saya, yang seperti itu tidak apa-apa. karena demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan fakta agar berita yang diberitakan tersebut akurat dan terpercaya.
sekian mba,
kalau ada feedback lagi, sms aja ya mbak,
hehe
Nurul Inayatissaniyyah
BalasHapus2021 111 141
mengenai masalah jual beli, pada zaman sekarang yang semakin modern,untuk melakukan transaksi jual beli, kita dimudahkan dengan adanya sistem online shop atau jual beli online. tetapi semakin marak juga terjadi penipuan dan pemalsuan barang dengan modus ini yang sangat merugikan masyarakat. bagaimana pandangan anda mengenai jual beli dengan sistem online tersebut dilihat dari segi dampak positif dan negatifnya, apakah diperbolehkan dalam Islam? kemudian, adakah saran dari anda agar kita tidak menjadi korban penipuan dan pemalsuan seperti itu?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusHukum dasar bisnis online sama seperti akad jual beli dan akad as-salam. akad as-salam adalah seseorang memesan sesuatu yang belum ada dengan menyebutkan sifat-sifat tertentu dan pembayaran dilakukan di awal terjadinya akad. Dengan kata lain transaksi assalam merupakan bentuk transaksi dengan sistem pembayaran secara tunai/disegerakan tetapi penyerahan barang ditangguhkan. adapun dasar dibolehkan akad assalam ini adalah hadis Ibnu Abbas :
Hapus"Dari Ibnu Abbas dia berkata, 'Ketika Nabi saw tiba di Madinah, penduduk Madinah menjual buah-buahan dengan pembayaran di muka, sedangkan buah-buahan yang dijualnya dijanjikan mereka dalam tempo setahun atau dua tahun kemudian. Rasulullah saw bersabda, 'Siapa yang menjual kurma dengan akad assalam, hendaklah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu, dan jangka waktu tertentu."(H.R. Bukhari dan Muslim).bisnis online yang dibolehkan ialah bisnis dengan transaksi online yang berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam perdagangan menurut Islam, kecuali pada barang/jasa yang tidak boleh diperdagangkan menurut syariat Islam.
Saran agar terhindar dari penipuan saat jual beli online dari blog kamissore adalah:
1. Waspadai pedagang yang menjual barang dengan harga terlalu murah
2. Waspadai pedagang yang mendesak untuk segera mentransfer uang untuk pembayaran
3. Waspadai pedagang yang tidak berdomisili di daerah anda
4. Usahakan melakukan pembayaran secara Cash On Delivery (COD) atau Cash and Carry (CnC)
5. Bertransaksilah dengan penjual yang pernah bertransaksi dengan orang yang anda kenal
6. Cek toko Online atau Website
7. Amati penjual melalui Forum
8. Manfaatkan jasa pihak ketiga yang terpercaya
2021 111 352
BalasHapusapa yang akan anda lakukan jika melihat orang berbuat curang dalam melakukan transaksi jual beli? mengapa demikian
terimakasih partisipasinya..
Hapusmenanggapi pertanaan pak guru panji,
apabila saya melihat orang yang berbuat curang dalam transaksi jual beli, misalnya saja pedagang yang mengurangi takaran, maka saya akan menegurnya dengan mengingatkan bahwa transaksi tersebut tidak sah karena tidak sesuai dengan syari'at Islam dan kecurangan tersebut dapat menyebabkan hilangnya keberkahan bagi si pelaku kecurangan.
2021 111 127
BalasHapusassalamu'alaikum....
bagaimana menurut anda tentang jual beli yang sesuai dengan kaidah-kaidah islam??? sementara itu dalm realita skarang bnyak pdagang yang melakukan kecurangan/ penipuan. bgaimna tanggapan anda? dan bgaimana caranya agar kita tidak tertipu dalam suatu perdagangan???
terimakasih,,
wassalamu'alaikum......
wa'alaikum salam wr.wb.
Hapusmenanggapi pertanyaan mbak ilma, jual beli yang mengandung kecurangan atau penipuan itu dilarang dalam Islam, sebagaimana penjelasan dalam hadits di atas. memang benar, realitanya sekarang ini banyak pedagang yang tidak jujur seiring dengan ketatnya persaingan diantara para pedagang sehingga sebagian dari mereka ada yang menghalalkan segala cara agar dapat meraup keuntungan yang lebih, namun tidak semua pedagang berbuat demikian, kembali pada pribadi masing-masing pedagang. karena pada akhirnya pedagang yang tidak jujur tidak akan bertahan lama dan akan kehilangan berkahnya serta diputus rizkinya oleh Allah SWT.
cara untuk menghindari penipuan menurut saya, antara lain:
1. perhatikan barang yang akan dibeli, apakah sesuai dengan apa yang disebutkan pedagang atau tidak.
2. cek harga barang, apakah harganya wajar atau sama dengan di toko-toko lain.
3. jika perlu tanyakan dari mana asal barang yang akan dibeli.
4. dan yang terakhir, belilah barang pada toko langganan. insya Allah tidak akan tertipu. :)
2021 111 380
BalasHapusassalamu'alaikum...
ketika ada seorang pembeli yang sudah diberikan uang kembalian dan disuruh penjualnya untuk menghitung kembali, namun si pembeli tidak menghitungnya kembali pada saat itu. di lain hari pembeli tersebut kembali ke toko itu kemudian dia bilang kalau kembaliannya kurang..
bagaimana si penjual menanggapi si pembeli tersebut? dan apakah itu termasuk penipuan mengingat si pembeli tidak mau menghitungnya ketika transaksi berlangsung dan sudah menganggapnya pas.
Wa’alaikum salam wr.wb.
HapusMenanggapi pertanyaan mbak inafa, menurut saya itu tidak termasuk penipuan. Karena sebelumnya si pedagang sudah mengingatkan si pembeli untuk menghitung kembali kembaliannya, sehingga tidak ada niatan dari pedagang untuk menipu pembeli tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya kita menggunakan prinsip khiyar majlis sebagaimana disebutkan dalam hadits ke 54, untuk menghindari penyesalan atau kerugian dalam jual beli. Namun apabila si pedagang dan pembeli saling percaya bahwa tidak ada penipuan dari keduanya, maka sebaiknya si pedagang memberikan kembalian yang masih kurang, karena kembalian tersebut adalah hak pembeli.
Wallahu a’lam...:)
Dewi Lisetyawati
BalasHapus2021 111 139
dalam sistem jual beli sekarang ini, banyak sekali terjadi kasus penipuan ataupun pemalsuan. nah bagaimana cara kita agar tidak ikut-ikutan dalam kasus penipuan tersebut??mohon penjelasannya...
terima kasih
terima kasih atas partisipasi mbak dewi..
Hapusmenanggapi pertanyaan tersebut,
menurut saya agar kita tidak ikut-ikutan dalam kasus penipuan adalah dengan cara:
1. meningkatkan iman kita kepada Allah SWT. karena bila kita memiliki iman yang kuat maka iman tersebut dapat menjadi benteng diri kita agar tidak terjerumus dalam kemaksiatan dalam hal ini penipuan.
2. meyakini nahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui segala perbuatan umatnya. sehingga kita takut untuk berbuat maksiat dan lebih berhati-hati dalam bertindak.
3. menanamkan sikap jujur, baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain.
wallahu a'lam..:)
demikian mbak tips dari saya..
dessy nur laily
BalasHapus2021 111 140
Assalamu'alaikum..
di atas kan disebutkan bahwa :
Pemimpin yang tidak menghukumi dengan kitab Allah akan diberikan kesusahan kepada mereka.
nah.. bagaimana dengan sistem pemerintahan dinegara kita ?
yang belum menerapkan hukum bertdasarkan kitab Allah....
bagaimana pendapat pemakalah mengenai permasalahan ini ?
bagaimana solusinya ?
mohon penjelasannya..
terima kasih..
wa'alaikum salam wr.wb.
Hapusterimakasih atas partisipasi mbak dessy..
menanggapi pertanyaan tersebut,
hukum yang dipakai negara kita merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda. sedangkan hukum agama atau Syari'at Islam lebih banyak digunakan di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan. selain itu, juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan.
meski Indonesia adalah negara penganut Islam terbanyak, namun Indonesia belum secara menyeluruh menggunakan hukum Islam. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai etnik, suku dan agama yang berbeda-beda. jika hukum Islam di Indonesia diterapkan begitu saja, maka akan ada banyak penduduk Indonesia yang merasa dirampas haknya dalam kebebasan beragama. namun hal itu bukan berarti bahwa hukum yang ada di negara kita tidak sesuai dengan kitab Allah, karena hukum di Indonesia juga mendasarkan pada aspek keadilan dan kebenaran dimana hal tersebut juga terkandung di dalam Al-Quran (kitab Allah). oleh sebab itu, jangan sampai penerapan hukum Islam di Indonesia nantinya malah menjadikan negara kita yang sebagai negara kesatuan, terpecah belah dan rentan terhadap konflik antar agama. karena prinsip dari adanya hukum sendiri kan untuk menciptakan keteraturan dan ketentraman serta menghindari perselisihan.
sekian mbak, semoga bermanfaat..:)
Firda Amalia (2021 111 138)
BalasHapusAssalamu'alaikum...
didalam makalah ini ada yang ingin saya tanyakan yaitu menurut pemakalah apa saja kriteria keberkahan itu?
terimakasih..
wassalamu'alaikum...