DEFINISI DAN HUBUNGAN ANTARA HAK, KEWAJIBAN SERTA
KEADILAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas:
Mata Kuliah : Ilmu Akhlak
Dosen Pengampu : Ghufron Dimyati M.S.I
Disusun
Oleh :
Kelompok
5
1.
Kharirotun Na’im (2021114240)
2.
Wildia Eka Futikha (2021114241)
3.
Sofi Miftahul Fitri (2021114242)
4.
Kristopo (2021114243)
Kelas
E
JURUSAN TARBIYAH PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2014
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hak
1. Pengertian Hak
Hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara
etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau
menuntut sesuatu. Hak juga dapat berarti panggilan kepada kemauan orang lain
dengan perantaraan akalnya, perlawanan dengan kekuasaan atau kekuatan fisik
untuk mengakui wewenang yang ada pada pihak lain.[1]
Dalam pada itu Poedjawijatna mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan hak ialah semacam milik, kepunyaan, yang tidak hanya merupakan
benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran dan hasil pikiran itu.[2]
Jika seseorang misalnya mempunyai hak atas sebidang tanah, maka ia berwenang,
berkuasa untuk bertindak atau memanfaatkan terhadap miliknya itu, misalnya
menjual, memberikan kepada orang lain, mengolah dan sebagainya.
Selanjutnya jika seseorang misalnya mempunyai hak
mengarang, maka ia dapat berbuat semaunya terhadap hasil karangannya itu dengan
cara menjual, menyuruh cetak, menerbitkan dan seterusnya.
Hak dipengaruhi dua faktor penting, yaitu:
1. Faktor yang merupakan objek hakiki (dimiliki)
yang selanjutnya disebut hak objektif. Hak ini bersifat fisik dan nonfisik.
2. Faktor subjek (manusia), yaitu orang yang
berhak. Orang tersebut berwenang untuk memiliki dan bertindak menurut
sifat-sifatnya, yang selanjutnya disebut hak subjektif.[3]
Dalam kajian etika, tampaknya hak subjektiflah yang
mendapatkan perhatian, yaitu wewenang untuk memiliki dan bertindak. Disebut
wewenang bukan kekuatan. Berwenang tak dapat dilaksanakan karena ada kekuatan
lain yang menghalanginya. Dari segi objek dan hubungannya dengan etika, hak itu
secara garis besar dapat dibagi menjadi tujuh bagian, yaitu: hak hidup, hak
mendapatkan perlakuan hukum, hak mendapatkan keturunan (hak kawin), hak milik,
hak mendapatkan nama baik, hak kebebasan berpikir, hak mendapatkan kebenaran.[4]
Semua hak itu tidak dapat diganggu gugat, karena
merupakan hak asasi yang secara fitrah telah diberikan Tuhan kepada manusia.
Karena yang dapat mencabut hak-hak tersebut hanya Tuhan. Jika manusia dihukum,
atau disita harta bendanya, diadili, dan ditahan. Perampasan tersebut dapat
dibenarkan, jika yang bersangkutan melakukan pelangaran, ini tidak berarti
merampas hak orang lain. Hak adalah kepunyaan yang merupakan benda, tindakan,
pikiran dan hasil pikiran itu. [5]
Hak terbagi atas dua yaitu:
a. Hak kodrati, adalah hak manusia karena
kodratnya sebagai manusia
b. Hak derivatif, yaitu hak yang diperoleh
didalam konsielasi perjalanan hidup manusia itu
2. Macam-Macam Dan
Sumber Hak
Memang ada
bermacam-macam hak, tidak sama luas dan kuatnya. Dalam pada itu selalu ada dua
faktor yang menyertainya. Pertama faktor yang merupakan hal (obyek) yang
dihakki (dimiliki) yang selanjutnya disebut hak obyektif. Hak ini baik bersifat
fisik maupun non fisik. Kedua, faktor orang (subyek) yang berhak, yang
berwenang untuk bertindak menurut sifat-sifat itu, yang selanjutnya disebut hak
subyektif.
Hak asasi manusia itu dalam sejarah dan masyarakat sering
diperlakukan secara diskriminatif. Terhadap kelompok yang satu diberikan
kebebasan untuk menyatakan pikiran dan melakukan usahanya dibidang materi,
sedangkan pada kelompok yang lainnya dibatasi dan tidak diberikan peluang untuk
berusaha. Berkenaan dengan ini maka pada tahun 1948 perserikatan bangsa-bangsa
(PBB) mengeluarkan pernyataan kedua tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Declaration
of The Human Right). Dalam peryataan tersebut dikemukakan bahwa hak itu
berdasarkan atas kemanusiaan, dan kemanusiaan itu intinya bertumpu pada budi
pekerti. Pernyataan hak asasi ini dapat dikatakan merupakan kesadaran umat
manusia terhadap nilai kemanusiaannya. Dengan demikian adanya pernyataan
tersebut memiliki misi pelaksanaan ajaran moral dan akhlak. Dan disinilah letak
hubungan pembahasan masalah hak-hak manusia dengan akhlak.
3. Konsep Hak
Ada juga yang disebut konsep hak (hak asasi, hak alamiah)
yang juga diperoleh di dalam perjalanan hidup, perjuangan hidup manusia,
seperti misalnya hak asasi yang dimuat dalam Universal Declaration Of Human Right
dari PBB.
Hak yang dikonsepsikan ini secara implisit menunjukkan
bahwa di dalam perjuangan dan perjalanan hidup manusia ternyata hak manusia
tidak/belum mendapatkan kedudukan yang semestinya. Dengan kata lain banyak
pihak yang belum melaksanakan kewajiban hidupnya dengan baik.
Pada dasarnya hak dan kewajiban, tidak perlu dirumuskan
dalam suatu pernyataan yang bersifat politis. Kekuasaan moral adalah kekuasaan
yang menyentuh langsung hati nurani, dan tidak sekedar kulit luar semata-mata.
Ini merupakan akibat dari berkembangnya positivisme moral
yang tidak mengakui adanya hak-hak alami, hak asasi dari setiap manusia.
Dianggapnya yang menjadi sumber hak manusia berasal dari “sesuatu” diluar diri
manusia.
Dalam hal ini, yang disebut sumber hak oleh positivisme moral adalah
sebagai berikut:
a.
Negara
b.
Kontrak (Perjanjian)
c.
Kebebasan sama untuk semua
d.
Kebiasaan
B.
KEWAJIBAN
1. Pengertian
Kewajiban
Sebagai sisi lain dari hak, mempunyai 2
pengertian:
Ø Kewajiban Subjektif
Adalah keharusan secara etis dan moral untuk melakukan sesuatu dan atau
meninggalkannya.
Ø Kewajiban Objektif
Sesuatu yang harus dilakukan atau ditinggalkan
Kewajiban
membatasi hak, artinya tidak ada hak tanpa kewajiban, yang terjalin dalam hak
adalah subjek kewajiban, dan yang terjalin dalam kewajiban adalah subjek hak.
Wajib itu pada dasarnya ialah kebaikan yang dengan keharusan dibebankan kepada
kehendak kita yang merdeka untuk dilaksanakan.
Tuhan mempunyai hak terhadap makhluknya.
Sedangkan dengan makhluk hanya mempunyai kewajiban terhadap Tuhan, bukan hak.
Secara vertikal, makhluk mempunyai semata-mata kewajiban terhadap Tuhan. Pada
horizontal hak dan kewajiban itu dipertahankan sama. Di dalam ajaran Islam,
kewajiban ditempatkan sebagai salah satu hukum syara’, yaitu suatu perbuatan
yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan
mendapatkan siksa.[6]Dengan
kata lain bahwa kewajiban dalam agama berkaitan dengan pelaksanaan hak yang
diwajibkan oleh Allah. Melaksanakan shalat lima waktu, membayar zakat bagi
orang yang memiliki harta tertentu dan sampai batas nisab, dan berpuasa di
bulan Ramadhan misalnya adalah merupakan kewajiban.
2. Pelaksanaan
Kewajiban
Dalam
pelaksanaan kewajiban, terletak apa yang disebut Tanggung Jawab manusia.
Dipandang dari segi ini, tanggung jawab berarti sikap atau pendirian yang
menyebabkan manusia menetapkan bahwa dia hanya akan menggunakan kemerdekaannya
untuk melaksanakan perbuatan yang susila. Keharusan dari wajib adalah keharusan
“principium identitatis”, artinya: “Manusia itu harus berlaku sebagai manusia.
Jika tidak, dia pungkiri kemanusiaannya”.
Tanggung jawab
berarti mengerti perbuatannya. Dia berhadapan dengan perbuatannya, sebelum
berbuat, selama berbuat, dan sesudah berbuat. Dia mengalami diri sebagai subjek
yang berbuat dan mengalami perbuatannya sebagai objek yang dibuat.
Tanggung jawab
ialah kewajiban menanggung bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seorang adalah
sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Berani bertanggung jawab, berarti bahwa
seorang berani menentukan, berani memastikan bahwa perbuatan ini sesuai
dengan tuntutan kodrat manusia dan bahwa
hanya karena itulah perbuatan tadi dilakukan.
C. KEADILAN
Sejalan dengan
adanya hak dan kewajiban tersebut diatas, maka timbul pula keadilan.
Poedjawijatna mengatakan bahwa keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap
hak (yang sah).[7]Sedangkan
dalam literatur Islam, keadilan dapat diartikan istilah yang digunakan untuk
menunjukkan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara.
Dalam
mendapatkan hak dan keadilan, terkadang banyak menemui rintangan, apalagi dalam
suatu negara yang keadilan hanya ada dalam undang-undang dan tidak ada
diterapkan sebagaimana mestinya. Masalah keadilan terkadang juga banyak yang
belum mengetahui sesungguhnya, tetapi
ada juga yang sudah mengetahui dan enggan melaksanakan keadilan itu. Untuk
berbuat adil merupakan suatu perbuatan yang sulit, tetapi harus disadari bahwa
berbuat adil merupakan sunah dan wajib dilaksanakan bagi tiap-tiap umat
manusia.
Sehubungan dengan hal itu Allah Swt. Berfirman
dalam Al-qur’an surat Thoha 112 :
`tBur
ö@yJ÷èt
z`ÏB
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
uqèdur
ÑÆÏB÷sãB
xsù
ß$$ss
$YHø>àß
wur
$VJôÒyd
ÇÊÊËÈ
112. Dan Barangsiapa mengerjakan
amal-amal yang saleh dan ia dalam Keadaan beriman, Maka ia tidak khawatir akan
perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan
haknya.
Dari ayat di
atas Allah Swt. Dengan gamblang menjelaskan bahwa manusia yang beriman tidak
perlu khawatir diperlakukan tidak adil. Allah menjamin tetap menerima haknya
sepanjang menegakkan keadilan dan kebaikan. Jadi, tidak ada alasan bagi manusia
untuk tidak berbuat adil. Allah memerintahkan sesuatu pasti ada hikmah yang
dapat diambil, juga mendapatkan pahala karena melaksanakan apa yang
diperintahkan-Nya.
Keadilan
cakupan aspeknya sangat luas sehingga dalam segala hal harus dapat menempatkan
mana hak pribadi, hak negara, hak kelompok, hak tetangga, hak saudara, dan hak
orang lain dengan cara yang adil. Keadilan adalah sebagai suatu tindakan yang
didasarkan kepada norma-norma tertentu baik norma agama maupun norma hukum.
Keadilan dibedakan, sebagai berikut:
1.
Keadilan distributif, yaitu keadilan yang berhubungan
dengan distibusi jasa dan kemakmuran menurut kerja dan kemampuan.
2.
Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang berhubungan
persamaan yang diterima oleh
3.
Keadilan kodrat alam, yaitu keadilan yang bersumber
kepada kodrat alam.
4.
Keadilan konvensional, yaitu keadilan yang mengangkat
warga sebagai keadilan itu didekritkan melalui suatu kekuasaan.[8]
Prinsip-prinsip
keadilan yang telah dikemukakan di atas wajib diwujudkan dalam kehidupan
pribadi, keluarga, masyarakat, kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai warga
negara wajib menegakkan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat
karena perbuatan itu merupakan perbuatan terpuji dan merupakan tuntutan etika
yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Itu berarti keadilan
sangat didambakan oleh setiap orang. Artinya, setiap putusan yang adil harus
tidak berat sebelah, tidak memihak sesuai dengan sepatutnya, seadanya, sesuai
dengan pemberian atau perolehan yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai seorang
warga negara.[9]
Keadilan
hanyalah ucapan untuk menutupi kedholiman yang kian hari semakin merajalela.
Dr. Ahmad Amin menyebutkan beberapa faktor pendorong untuk dapat berlaku adil
adalah:
1)
Tidak berlaku berat sebelah
2)
Memperluas pandangan dan melihat soalnya dari beberapa
sudut
3)
Yang dijadikan sendi hukum ialah pendorongnya orang yang
melakukan perbuatan, bukan perbuatan lahir yang nampak.
Empat syarat-syarat minimum agar keadilan dapat terwujud,
yaitu:
a)
Adil itu sekaligus tengah dan kesebandingan
b)
Dalam sifatnya sebagai tengah-tengah, ia harus mempunyai
ujung dua dan diantara kedua ujung itu ia harus berada.
c)
Dalam sifatnya sebagai yang sebanding, kesebandingan itu
harus dinyatakan dalam dua bagian yang sebanding dari apa yang dibagi.
d)
Di dalam sifatnya sebagai yang adil, harus ada
orang-orang tertentu bahwa untuk siapa hal itu mesti adil.
Pernyataan
tersebut mengandung arti bahwa keadilan mesti harus dinikmati oleh setiap warga
negara tanpa kecuali. Baik itu sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan
antara hak dan kewajiban, menghormati hak-hak orang lain, suka memberi
pertolongan kepada orang lain. Perilaku menggunakan hak yang bukan miliknya
terlarang, yaitu bukan kepentingan diri sendiri. Salah satu dari realisasi
pasal 34 UUD 1945, yaitu adanya lembaga-lembaga yang berasaskan keadilan
sosial, seperti panti yatim piatu, panti jompo, dan yang setara dengan itu.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh dinas-dinas sosial dan lembaga swadaya
masyarakat, serta masyarakat luas agar tercipta keseimbangan dan kesetaraan
yang sesuai bagi masyarakat.
D. HUBUNGAN HAK, KEWAJIBAN
DAN KEADILAN DENGAN AKHLAK
Mengingat
hubungan hak, kewajiban dan keadilan demikian erat, maka dimana ada hak, maka
ada kewajiban, dan di mana ada kewajiban maka ada keadilan, yaitu menerapkan
dan melaksanakan hak sesuai dengan tempat, waktu dan kadarnya yang seimbang.
Demikian pentingnya masalah keadilan dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban
ini, Allah berfirman:
¨bÎ)
©!$#
ããBù't
ÉAôyèø9$$Î/
Ç`»|¡ômM}$#ur
Ç!$tGÎ)ur
Ï
4n1öà)ø9$#
4sS÷Ztur
Ç`tã
Ïä!$t±ósxÿø9$#
Ìx6YßJø9$#ur
ÄÓøöt7ø9$#ur
4
öNä3ÝàÏèt
öNà6¯=yès9
crã©.xs?
ÇÒÉÈ
90. Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.(QS.
An-nahl,16:90).
Ayat tersebut
menempatkan keadilan sejajar dengan berbuat kebajikan, memberi makan kepada
kaum kerabat, melarang dari berbuat yang keji dan munkar serta menjauhi
permusuhan. Ini menunjukkan bahwa masalah keadilan termasuk masalah yang
berhubungan dengan pelaksanaan hak sebagai suatu kewajiban moral.
Sebagaimana
dikemukakan diatas bahwa yang disebut akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja, mendarah daging, sebenarnya dan tulus ikhlas karena Allah.
Hubungan dengan hak dapat dilihat pada arti dari hak yaitu sebagai milik yang
dapat digunakan oleh seseorang tanpa ada yang dapat menghalanginya. Hak yang
demikian itu merupakan bagian dari akhlak, karena akhlak harus dilakukan oleh
seseorang sebagai haknya.
Akhlak yang
mendarah daging itu kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang yang
dengannya timbul kewajiban untuk melaksanakannya tanpa merasa berat. Sedangkan
keadilan sebagaimana telah diuraikan dalam teori pertengahan ternyata merupakan
induk akhlak. Dengan terlaksananya hak, kewajiban dan keadilan, maka dengan
sendirinya akan mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki. Di sinilah letak
hubungan fungsional antara hak, kewajiban dan keadilan dengan akhlak.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “DEFINISI DAN HUBUNGAN ANTARA HAK, KEWAJIBAN
SERTA KEADILAN”. Sholawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
sahabatnya, keluarganya, serta segala umatnya hingga yaumil akhir.
Makalah ini
disusun guna menambah wawasan pengetahuan mengenai sejarah tumbuhnya ilmu akhlak dalam Islam. Makalah ini disajikan sebagai materi dalam diskusi
mata kuliah Ilmu Akhlak STAIN
Pekalongan.
Penulis
menyadari bahwa kemampuan dalam
penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan
mencoba mengembangkan dari beberapa referensi mengenai sumber ajaran Islam yang
saling berkaitan. Apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan dan
kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasanya maka penulis dengan senang hati
menerima kritik dan saran dari pembaca. Kemudian kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Pekalongan, 10 Oktober
2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam perdebatan moral yang berlangsung dalam masyarakat
ini paham hak, kewajiban dan keadilan memegang peranan penting. Sering kali
kita dengar atau baca tentang hak,
kewajiban dan keadilan manusia dan penerapannya. Dalam diskusi tentang
abortus provocatus, yang dibeberapa negara dijalankan dengan hebatnya, hak si
ibu acap kali dipertentangkan dengan hak janin yang belum lahir.
Hak, kewajiban dan keadilan berkaitan erat dengan posisi
manusia terhadap negara dan dengan manusia sebagai subyek hukum. Tapi disamping
itu hak, kewajiban dan keadilan berhubungan erat dengan manusia sebagai makhluk
moral dan karena itu perlu dipelajari juga dalam etika umum.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dari hak?
2. Apa definisi dari kewajiban?
3. Apa yang dinamakan dengan keadilan?
4. Bagaimana hubungan antara hak, kewajiban serta
keadilan?
C.
METODE PEMECAHAN MASALAH
Metode pemecahan masalah yang dilakukan melalui kajian
pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapa referensi buku atau dari referensi
lainnya yang merujuk pada permasalahan yang dibahas. Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan menentukan
masalah yang akan dibahas dengan melakukan perumusan masalah, melakukan
langkah-langkah pengkajian, penentuan tujuan dan sasaran, perumusan jawaban
permasalahan dari beberapa sumber, dan penyintesisan serta pengorganisasian
jawaban.
D.
SISTEMATIKA PENULISAN MAKALAH
Makalah
ini ditulis dalam tiga bagian, meliputi :
Bab I, bagian pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, perumusan
masalah, metode pemecahan masalah, dan sistematika penulisan makalah; Bab
II, adalah pembahasan; Bab III bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-jauhari, Imam Khanafi. 2010. Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf. Pekalongan: STAIN Pekalongan
Press.
K. Bertens. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Jakarta.
Khalaf, Abdul Wahhab. 1985. Ilmu Usul Al-Fiqh. Mesir: Dar al-Ma’arif.
Poedjawijatna. 1982. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Bina
Aksara.
Nata, Abuddin. 1997. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hak merupakan wewenang
dan bukan kekuatan, maka ia merupakan tuntutan, dan terhadap orang lain
hak itu menimbulkan kewajiban, yaitu kewajiban menghormati terlaksananya
hak-hak orang lain. Dengan cara demikian orang lain pun berbuat yang sama pada dirinya, dan dengan demikian
akan terpeliharalah pelaksanaan hak asasi manusia.
Agar manusia mampu
melaksanakan kewajiban perlu adanya kebebasan manusia untuk memilih suatu cara
yang diperlukan, dengan segala rintangan dan tantangannya. Hak, kewajiban dan
keadilan hanya terdapat pada kehidupan manusia karena dengan adanya hak,
kewajiban dan keadilan didapat keseimbangan yang sesuai bagi manusia.
[2] Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah laku, (Jakarta: Bina Aksara,
1982), cet.IV, hlm.60.
[7] Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, (Jakarta: Bina Aksara,
1982) , cet.IV, hlm.63.
[8] Lihat: Aristoteles. The Ethics of Aristoteles, terjemahan. JAK.
Thomson, Buku kelima, Bab I-IV, hlm. 139-150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar