“Memperluas Tema Kajian di Masjid”
Mata Kuliah : Hadits Tarbawi II
Disusun oleh :
Tri Irfanita
NIM: (2021113240)
Kelas:
F
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Alhamdulillahirobbil ‘alamin segala puji bagi
Allah SWT yang senantiasa memberikan kenikmatan
Islam, Iman, dan Ikhsan serta nikmat kesehatan dan kesempatan. Sholawat serta
salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW.
Pendidikan merupakan hal
yang penting dalam kehidupan. Bahkan dalam Al-Qur’an pun telah dijelaskan agar
manusia terus-menerus belajar. Pendidikan tidak hanya didapat di lembaga formal
namun juga dilembaga non formal.
Salah satu pendidikan non formal ialah Masjid.
Yang mana dalam makalah ini akan dibahas mengenai memperluas tema kajian di
Masjid.
Masjid merupakan tempat ibadah, selain itu juga mengandung makna puncak ketundukan seorang
hamba dihadapan Allah. Disamping itu masjid juga digunakan sebagai tempat untuk
bermusyawarah oleh kaum muslimin untuk membicarakan berbagai kajian islami.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tema adalah sesuatu yang telah diuraikan atau sesuatu yang telah
ditempatka. Kata “tema” berasal dari Yunani tethenai yang berarti
menempatkan atau meletakan.[1]
Menurut Kamus Bahasa Indonesia,
tema adalah pokok pikiran, dasar cerita, yang dipercakapkan dipakai sebagai
dasar pengarang. Sedangkan Kata
”kajian” berasal dari kata “kaji” yang
berarti (1) “pelajaran”; (2) penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari
pengertian kata dasar yang demikian, kata ”kajian” menjadi berarti ”proses,
cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan (pelajaran yang mendalam); penelaahan.[2]
Dalam
bahasa indonesia, masjid diartikan rumah tempat bersembahyang bagi orang Islam.
Didalam al-Qur’an,kosa kata masjid disebut sebanyak delapan belas kali dan
dihubungkan dengan berbagai hal dan kegiatan. Diantaranya ada kosakata masjid
yang dihubungkan dengan masjid yang pertama kali dibangun oleh Nabi Muhammad di
Madinah dan sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka meninggikan
kalimat dan syair Islam (Qs.at-Taubah (9): 18). Derdasarkan informasi yang
terdapat di dalam al-Qur’an ini, tampak babhwa masjid terkait dengan berbagai
kegiatan yang berhubungan dengan meninggikan kalimat Allah, berbagai kegiatan
yang bermanfaat, dan lain sebagainya.[3]
Jadi,
memperluas tema kajian di masjid dapat disimpulkan bahwa suatu pokok pikiran
untuk menelaah permasalah-permasalah baik permasalahan duniawi ataupun akhirat.
B. Teori Pendukung
Ketika Rasulullah SAW di kota
Mekkah, lembaga pendidikan dipusatkan pada rumah sahabat dan kuttab
(tempat belajar), setelah Rasulullah dan para sahabat hijrat agenda
pertama yang dilakukan Nabi adalah membengun masjid. Masjid yang pertama
didirikan ialah Mesjid Quba, yang tempatnya diluar kota Madinah, tepatnya di
Mirdad. Dengan demikian, pusat pendidikan yang pada awalnya berpusat di Daar
al-Arqam ibn Abi al-Arqam, dan rumah Nabi sendiri dipindahkan ke masjid.
Muhammad Munir Mursi,
sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar, mengatakan bahwa fungsi masjid pada era
awal, bukan hanya sebagai tempat ibadah, akan tetapi masjid juga berfungsi
sebagai pusat berbagai kegiatan kaum Muslimin, seperti kegiatan politik,
sosial, kebudayaan, peradaban dan keagamaan. Masjid juga memiliki fungsi
sebagai rumah tempat ibadah melaksanakan shalat, tempat papan informasi yang
berkaitan dengan kemaslahatan umum, misalnya informasi jadwal persiapan perang.[4]
Masjid laksana kampus, setiap
hari orang berduyun-duyun untuk melaksanakan berbagai kegiatan, ibadah dan
belajar langsung kepada Nabi SAW. Ketika Nabi SAW tidak ada dimasjid,
pembelajaran diwakilkan kepada sahabat lainnya.
Ketika duduk, beliau
dikelilingi para sahabat dari segala sisi, dikitari dalam bentuk bundaran (halaqat)
laksana bintang-bintang mengelilingi bulan sabit di malam purnama. Al-Bukhari
dalam Shahihnya, menulis bab duduk bersama secara halaqat di
masjid, maksudnya diperbolehkan duduk secara halaqat untuk mempelajari
ilmu, membaca al-Qur’an, zikir dan sebagainya. Walaupun duduk bersama membentuk
lingkaran, harus memposisikan sebagian orang membelakangi kiblat. Berkumpulnya
murid membentuk lingkaran terhadap guru yang mengajarinya (halaqat)
adalah indikasi rasa suka, kesempurnaan rasa rindu, dan besarnya semangat
terhadap apa yang disampaikan oleh guru, disamping indikasi konsentrasi dan
keseriusan.
Imam al-Yusi, sebagaimana
dikutip oleh al-Malik, bahwa pengajaran dalam bentuk tadris, asal
mulanya adalah apa yang dilakukan oleh Nabi SAW pada majlis-majlisnya bersama
para sahabat didalam menjelaskan hukum-hukum, hikmah-hikmah, berbagai realitas
kontekstual, menafsirkan ayat-ayat al-Qu’an, menuturkan fadhilah-fadhilah serta
keistimewaan ayat al-Qur’an, dan sebagainya. Dalam majlis-majlis itu mereka
berkumpul di samping beliau.
Selanjutnya, materi pelajaran
yang diajarkan dimasjid adalah masalah-masalah keagamaan, peringatan kepada
manusia tentang hari akhir, dengan menggunakan pendekatan cerita, hikmah dan mau’izat
(nasehat). Terdapat juga materi tentang ilmu-ilmu agama, berupa pelajaran
al-Qur’an, tafsir dan hadits.[5]
C. Memperluas Tema Kajian di Masjid
Berikut
hadits tentang memperluas tema kajian di masjid:
عَنْ جَابِر بن
سَمُرة قَال : { جَالَسْتُ النَّبِي صلى الله عليه وسلم أَكْثَرَ مِنْ ِمائَة مَرَّة فِي الْمَسَجِدِ يَجْلِسُ
أَصْحَابُهُ يَتَنَاشَدُوْنَ الشِّعْرَ وَ رُبَّمَا تَذَاكَرُوْا أَمْرَ
الْجَاهِلِيَّة فَيَبْتَسِمُ النَّبِيُ صَلى الله عليه وسلم مَعَهُمْ } (وراه الترمذي فى الجامع, كتاب الأدب عن رسول
الله, باب ما جاءفي إنشاد الشعر(
Terjemahan:
“Dari sahabat Jabir bin Samurah beliau berkata
“suatu ketika aku duduk bersama Nabi Muhammad SAW di dalam masjid lebih dari
seratus kali dan bersamanya dengan para sahabatnya mereka telah melantunkan
sebuah syair – syair dan terkadang para sahabat selalu mengingat permasalahan –
permasalahannya kaum jahiliyah kemudian nabi tersenyum kecil bersama para
sahabatnya. (Hadits
diriwayatkan dari Imam Tirmidzi)”.[6]
Keterangan hadits:
Al-Tirmizi mengatakan, “Hadits ini Hasan Shahih” hadits ini menyatakan,
bahwa para sahabat pernah memperkatakan syair di dalam masjid di hadapan
Rasulluhah SAW sendiri.
Karena hadits-hadits yang berhubungan dengan urusan bersyair didalam masjid
berlawanan, maka diantara mujahidin terjadi perbedaan pendapat. Ibnu Arabi
mengatakan, “Tidak mengapa bersyair didalam Masjid, sekiranya syair-syair
tersebut mengandung pujian kepada Allah.
Kita
diperbolehkan bercakap-cakap dalam urusan keduniaan dan semua obrolan sehingga
menimbulkan tawa bersama, asal masih dalam lingkungan mubah, mengingat hadits
yang diberikan oleh Jabir ibn Samurah, bahwa Nabi tetap duduk didalam masjid
sesudah shalat subuh sebelum terbit matahari. Apabila matahari telah terbit,
beliau baru bangun dari tempat shaatnya. Sahabat sering mengobrol membicarakan
keduniaan, urusan jahiliyah, mereka tertawa-tawa dan Nabi SAW pun tersenyum.
Kita sengaja mempergunakan masjid untuk duduk berkumpul membicarakan keduniaan,
tidak dibenarkan.[7]
D. Refleksi Hadits dalam Kehidupan
Masjid dalam sejarah Islam sebenarnya
merupakan madrasah pertama setelah Dar al-Arqam bin al-Arqam. Didalam masjid
itulah terkumpul berbagai macam persoalan pokok kaum muslimin sejak mulai
masalah politik, agama, kebudayaan hingga kemasyarakatan. Dimasjid itulah
bertemu segala jenis ilmu pengetahuan yang bermacam ragamnya dimana para
pelajar mendiskusikan dan mengkaji ilmu-ilmu tersebut bersama-sama dengan
guru-guru besar mereka yang terkenal pada zamannya. Juga di dalam masjid
terkumpul para ahli hukum dan pemimpin pemerintahan Islam untuk membahas tentang kewajiban mereka
terhadap negara dan bangsanya.[8]
Hal ini menunjukan bahwa betapa pentingnya masjid dalam kehidupan kaum
muslimin, yakni bahwa masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah ritual
saja, melainkan juga sebagai pusat segala aktifitas masyarakat Islam, baik
dalam keagamaan maupun keduniawian. [9]
Secara ringkas belajar dimasjid memperlihatkan
kepada kita keistimewaan-keistimewaan dan prinsip-prinsip yang penting dalam
pendidikan Islam, yaitu demokrasi, kesederhanaan,kesempatan yang sama, bebas
untuk mencapai tujuan, mempunyai hubungan dan keharmonisan diantar kepentingan
hidup dunia dan akhirat. Jadi masjid bukanlah saja tempat ibadah, tetapi ia
juga tempat memperbaiki urusan-urusan dinia dan akhirat manusia.[10]
E. Aspek Tarbawi
Dari hadits diatas kita dapat mengambil
pelajaran sebagai berikut:
1. Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat
ibadah saja, melainkan juga sebagai tempat belajar dan bermusyawarah mengenai
permasalahan-permasalahan keduniawian dan keagamaan.
2. Seorang pendidik dapat menentukan tema, agar
pembahasannya tidak melebar dari kajian yang akan dipelajari peserta didik.
3. Menghormati Syair-syair Allah dan masjid
merupakan bentuk rasa kecintaan kita terhadap Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
Masjid bukanlah semata-mata
sebagai suatu simbol kemegahan dan keberadaan umat islam tidak memberi pengaruh
kepada lingkungan kehidupan kaum muslimin, tetapi masjid merupakan persoalan
yang menyangkut kehidupan umat islam. Selain dijadikan sebagai tempat
berkumpulnya kaum muslimin untuk melakukan sholat berjamaah dan ibadah lainnya
sekaligus sebagai sarana untuk komunikasi antar jamaah, masjid juga digunakan
sebagai tempat untuk memperluas kajian kaum muslimin.
Dengan demikian
masjid juga berperan dalam pembentukan masyarakat sehingga dapat terwujud suatu
generasi muslim yang cerdas, berilmu, bermoral, serta berakhlakul karimah.
DAFTAR PUSTAKA
Amahzun,
Muhammad. 2006. Manhaj Dakwah Rasulullah SAW, Jakarta: Qisthi Press.
Ash-Shiddieqy,
Muhammad Hasbi. 2011. Koleksi
Hadits-Hadits Hukum I, Semarang: PT Pustaka Riski.
Fahmi,
Asma Hasan.1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan
Bintang.
Karyanto,
Umum Budi. 2009. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Pekalongan:
STAIN PRESS,
Nata,
Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nizar,
Samsul., Hasibuan, Zaenal Efendi. 2011. Hadis Tarbawi, Jakarta: Kalam
Mulia.
Santoso,
Ananda, 1999. Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia, Surabaya: Pustaka Dua.
Tentang Penulis
Nama :
Tri Irfanita
TTL :
Pekalongan, 03 Januari 1995
Alamat :
kec.Karangdadap, ds.Kalilembu
Jurusan :
Tarbiyah
[1] Umum Budi Karyanto, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Pekalongan:
STAIN PRESS, 2009), hlm. 70.
192-193.
[4] Samsul Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan, Hadis Tarbawi, (Jakarta:
Kalam Mulia, 2011), hlm. 29-30.
[6] Muhammad
Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi
Hadits-Hadits Hukum I, (Semarang:
PT. Pustaka Riski
Putra, 2011), hlm. 527.
[10] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), hlm.37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar