ETIKA PENGAJAR
Mata Kuliah: Hadits Tarbawi II
Disusun oleh :
Nofi
Ariyani 2021213017
KELAS L
JURUSAN
TARBIYAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.,
yang berkat Rahmat dan Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Etika Pengajar” dengan baik. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi dan Rasulullah SAW yang telah menjadi teladan dalam
mengajak, membimbing, dan membangun umat manusia pada jalan keselamatan dan
kabahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Di antara motivasi yang
menyebabkan diselesaikannya makalah ini adalah agar proses perkuliahan dapat
berjalan secara efektif dan efisien dan dapat mencapai tujuan pembelajaran.
Tentunya, makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu
yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama maupun di akhirat kelakpertolongan dari Allah akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan.
Seperti halnya pepatah “Tiada gading yang tak
retak” maka kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena kesempurnaan itu semata hanyalah milik ALLAH SWT. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun, dan kami berharap semoga makalah
ini berguna serta bermanfaat bagi kami dan para pembaca umumnya.
Pekalongan, 26 Februari 2015
Nofi
Ariyani
A.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, seorang pengajar
harus memiliki sifat kepribadian yang positif. Bagaimanapun alasannya seorang
pengajar harus memiliki sifat kelebihan
pada anak didiknya. Karena dia bertugas mendidik dan mengajar anak-anak didik,
serta mengantarkannya menuju keberhasilan tujuan yang dicita-citakan yakni
memiliki kepribadian yang bertaqwa kepada Allah SWT. Sulit rasanya seorang
pengajar mampu membawa anak didiknya menuju keberhasilan tujuan pendidikan
tersebut, jika seorang guru atau seorang pengajar telah terlebih dahulu
memiliki sifat-sifat kepribadian (etika sebagai pengajar) tersebut.
Seorang pengajar di samping keberadaannya sebagai
figur contoh (figur centered) di hadapan anak didik, dia juga harus mampu mewarnai
dan mengubah kondisi anak didik dari kondisi yang negatif menjadi yang positif
jadi keadan yang kurang baik menjadi lebih baik. Guru atau pengajar terhadap
anak didik bagaikan orang tua terhadap anak-anaknya. Sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah yang artinya “sesungguhnya aku menempati posisi orang
tuamu. Aku mengajarmu.” Pengertian bagaikan
orang tua adalah mengajar, membimbing, dan mendidik anak-anak seperti yang
pada umumnya dilakukan oleh orang tua.
Seorang pengajar (guru disekolah)
perlu menyadari bahwa ia melaksanakan tugas yang diamanahkan oleh Allah dan
orang tua peserta didik. Mendidik anak harus didasarkan pada rasa kasih sayang.
Oleh sebab itu, pengajar (guru) harus memperlakukan peserta didiknya bagaikan
anaknya sendiri. Ia harus berusaha dengan ikhlas agar peserta didik dapat
mengembangkan potensinya secar maksimal. Sebagai seorang pengajar tidak boleh
merasa benci kepada peserta didik karena sifat-sifat yang tidak disenanginya.
Berdasarkan latar belakang
permasalahan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan sebuah
pembahasan hadits tentang pendidikan yang berjudul “Etika Pengajar”. dalam
makalah ini akan dibahas tentang hadits pendidikan yaitu etika pengajar. Berikut
pembahasannya.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
a.
Etika
Etika
ditinjau dari segi bahasa berasal dari bahasa Yunani, ethos berarti adat kebiasaan. Etika dipandang sebagai sarana
orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan fundamental mengenai
“bagaimana saya harus dan bertindak” (Ya’kub, 1996:2). Selain itu, sering
diartikan sebagai sifat, watak atau perilaku, bahkan ada juga yang mengartikan Mores (bentuk tunggalnya: mos), sehingga etikasering juga disebut
sebagai moral. Dalam bahasa Arab, etika identik dengan akhlak, dan pada sisi
lain etika disebut sebagai ilmu akhlak (Zubair, 1987: 13)
Secara
etimologis, dalam kamus Bahasa Indonsia (1990: 237) kata etika diartikan
sebagai: (1) ilmu tentang kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak; (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat. Dengan demikian, semakin tampak keterkaitan antara
beberapa istilah yang sering dipergunakan untuk menunjuk pada suatu perbuatan,
istilah-istilah itu yakni etika itu sendiri, moral, dan akhlak.[1]
b.
Pengajar
Secara
umum, pengajar adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mengajar dan mendidik. Sementara secara khusus,
pengajar dalam perspektif pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh
potensinya, baik potensi afiktif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu pengajar dalam konteks ini bukan
hanya terbatas pada orang yang bertugas disekolah tetapi semua orang yang
terlibat dalam proses pendidikan anak sejak dalam kandungan hingga dewasa,
bahkan sampai meninggal dunia.[2]
2. Teori Pendukung
a.
Etika Sorang Pengajar
1)
Ikhlas
Ikhlas
adalah meniatkan sesuatu yang dilakukan ataupun ditinggalkan karena Allah SWT.
Jika tidak diniatkan karena Allah, maka amalan itu tidak dianggap ikhlas dan
tertolak, serta tidak akan mendapatkan pahala. Begiru halnya dengan mengajar.
Mengajar merupakan suatu ibadah yang sangat bernilai di sisi Allah Swt. Orang yang
mengajarkan ilmunya kepada orang lain akan mendapatkan pahala yang besar.
Namun, itu akan terjadi jika dalam mengajar dilandasi dengan rasa ikhlas.
Salah satu tugas Nabi Muhammad SAW.adalah
menyampaikan wahyu yang diterima dari Allah Swt. Begitu juga seorang guru,
salah satu tugasnya yang paling penting adalah menyampaikan ilmu kepada anak
didiknya. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, meltih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, dasar dan
pendidikan menengah. Semua tugas tersebut, baik Nabi Muhammad ataupun guru,
menjadi bermakna dan dapat memberikan efek ketenangan jiwa bila dilakukan
dengan ikhlas. Ikhlas akan bermuara pada keridhaan Allah Swt.
Dengan demikian bahwa seorang guru
(pengajar) baru dapat disebut professional bila ia mempunyai sifat yang baik,
yang tercermin dari ikhlasnya sepanjang waktu. Lalu ia mentransfer segala ilmu,
baik ilmu pengetahuan maupun teknologi, dengan dasar ikhlas hanya mengharap
ridha Allah Swt.
2)
Displin
Sifat
berikutnya yang harus diteladani oleh para guru (pengajar) adalah disiplin.
Nabi Muhammad Saw. terkenal sebagai sosok yang sangat disiplin. Sejarah
mencatat bahwa disiplin tinggi telah membuat beliau memperoleh kesuksesandalam
perjuangannya, meskipun mendapatkan ujian dan rintangan yang sedemikian berat.
Nah, sifat disiplin yang tinggi dari sosok Nabi Muhammad inilah yang patut
diteladani oleh seorang guru profesional.
Jika
kita perhatikan kondisi sekarang, sangat banyak guru yang tidak disiplin.
Bahkan saking banyaknya pegawai negeri sipil (PNS), termasuk didalamnya guru,
yang tidak disiplin, pemerintahan sampai mengadakan Gerakan Disiplin Nasional
(GDN). Bagi seorang guru, salah satu yang menjadi topik kajian adalah disiplin
mengajar guru.
Islam
mengajarkan kepada umatnya agar hidup disiplin dengan bekerja keras,
bersungguh-sungguh, jujur, hidup teratur, dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya
agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Disiplin merupakan pangkal
dari keberhasilan.
Guru
sebagai pendidik dan pengajar hendaknya memiliki perilaku disiplin, baik
disiplin mengenai waktu mengajar maupun dalam melakukan pekerjaan yang lain.
Sebab mengajar memerlukan aktivitas yang teratur dari seorang guru. Tegaknya
disiplin sekolah secara konsisten merupakan faktor pertama dan utama yang dapa
menunjang berlangsungnya proses belajar yang baik. Baik atau buruknya
lingkunngan sekolah sebenarnya sangat ditentukan oleh kedisiplinan dan tata
tertib yang dilaksanakan secara konsisten, terutama oleh guru.
Adapun
indikator disiplin menurut Singgih D. Gunarsa, sebagaiman dikutip dalam suaranuraniguru.wordpress.com,
adalah sebagai berikut:
1.
Jujur
Jujur
merupakan salah satu sifat Nabi Muhammad Saw. yang perlu kita teladani. Seorang
guru harus memiliki sifat jujur dalam mengajar. Jujur berarti tulus ikhlas
dalam menjalankan tugas sebagai guru, sesuai dengan peraturan, tidak pamrih,
dan sejalan dengan norma-norma yang berlaku. Sifat jujur sudah seharusnya
dimiliki oleh guru, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, di
rumah dan di masyarakat.
Selain
itu, sifat jujur harus diterapkan dalam pembelajaran. Artinya, sesuatu yang
disampaikan kepada siswa selalu diamalkan dalam kehidupan seorang guru. Selain
itu guru juga harus jujur dalam menyampaikan ilmu. Artinya, ia harus mengatakan
yang benar itu benar, dan yang salah itu salah. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa kejujuran bagi seorang guru mutlak dibutuhkan. Apabila sifat jujur sudah
dimiliki oleh guru, berarti ia memiliki sikap disiplin yang tinggi dalam
melaksanakan tugas sebagai seorang pengajar dan pendidik.
2.
Tepat Waktu
Sikap
selalu hadir setiap waktu adalah suatu tanda kedisiplinan guru dalam mengajar.
Disiplin waktu bagi guru dalam mengajar merupakan hal yang sangat berpengaruh
terhadap prestasi siswa dalam belajar. Seorang guru harus menjadi suru teladan
bagi setiap siswanya. Dengan demikian, seorang guru dituntut disiplin dalam hal
waktu mengajar agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan baik.
3.
Tegas
Setiap
guru hendaknya memiliki sikap tegas. Sebab, dengan memiliki sikap ini, setiap
siswa akan patuh dan taat untuk dapat belajar dengan baik. Guru yang tegas akan
mendorong siswa pada perbuatan yang baik, dan menegur siswa apabila melakukan
hal-hal yang melanggar aturan.
4.
Tanggung Jawab
Seorang
guru harus yakin bahwa pada hakikatnya, mengajar atau mendidik adalah amanat
yang sangat suci dan mulia, yang diberikan oleh Allah Swt. Dengan demikian,
seorang guru benar-benar menyadari dan menjalankan amanat tersebut dengan penuh
rasa tanggung jawab. Setelah timbulnya rasa tanggung jawab pada diri seorang
guru, maka akan tumbuh pula rasa disiplin akan haknya, yaitu menjalankan tugas.
Adapun
tugas dan tanggung jawab seorang guru adalah mengajar dan mendidik. Dengan
demikian, guru bertanggung jawab terhadap keberhasilan proses belajar mengajar.
Apabila proses belajar mengajar dapat dicapai dengan baik, maka guru dapat
dikatakan bertanggung jawab. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa seorang guru
hendaknya menanamkan rasa tanggung jawab terhadap tugasnya yang dibebankan
kepadanya, yaitu mendidik, mengajar dan melatih.
3)
Mampu Mengontrol Emosi
Mampu
mengontrol emosi merupakan bagian dari sifat fathanah (cerdas) yang dimiliki
oleh Nabi Muhammad Saw. Sebagai seorang nabi dan rasul, beliau tidak hanya
dibekali kecerdasan intelektual, tetapi juga emosional. Berkat kecerdasan
emosional (mampu mengontrol emosi) ini, beliau mengalami banyak kesuksesan
dalam perjuangannya menegakkan panji-panji Islam.
Nah,
seorang guru seharusnya memiliki sifat (fathanah) ini, yakni mampu mengontrol
emosi. Kecerdasan emosi bagi seorang guru sangat urgen, karena tugas guru
adalah mendidik dan mengajar. Dalam menjalankan tugas itu, maka kecerdasan
emosional seorang guru dapat menjadi solusi dalam memecahkan berbagai persoalan
yang di hadapi, baik persoalan yang datang akibat dari ulah siswa maupun faktor
lain. Adapun yang jelas, sebagai seorang pengajar (guru), kita senantiasa
dihadapkan pada situasi yang menuntut mampu mengontrol emosi.
Dalam
melaksanakan peran sebagai pendidik, pengajar, dan pelatih, kerap kali guru
menghadapi berbagai persoalan dalam mengatasi situasi belajar yang susah
diarahkan dan perilaku para siswa yang sulit dikendalikan. Kondisi ini bisa
diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan dan pengalaman guru dalam menyikapi
situasi belajar tersebut, dan kurangnya pemahaman terhadap psikologis siswa.
Dalam
menghadapi situasi belajar yang sulit dikendalikan, seorang guru harus memiliki
kesadaran emosional yang baik, yang merupakan konsep diri positif seorang guru.
Konsep diri positif ini sangat penting, karena tidak akan mungkin guru dapat
mengendalikan emosional para siswa dan situasi belajar dengan baik apabila ia
tidak bisa mengendalikan emosi diri sendiri.
Pengendalian
emosi dapat dilakukan apabila seorang guru menerapkan konsep diri yang positif
pada diri sendiri. Konsep diri positif ini merupakan konsep diri yang selalu
berorientasi pada pemikiran positif, mencari peluang dalam setiap kesulitan,
dan mencari jawaban dari setiap persoalan.
Terdapat
beberapa faktor yang mendukung pribadi seorang guru yang memiliki konsep diri
positif untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif. Diantaranya adalah
sebagai berikut:
1.
Luwes dalam pembelajaran.
2.
Empati dan peka terhadap segala kebutuhn siswa.
3.
Mampu mengajar sesuai dengan selera siswa.
4.
Sudi dan mampu memberikan peneguhan (reinforcement).
5.
Sudi dan mampu memberikan kemudahan, kehangatan, dan
tidak kaku dalam proses pembelajaran.
6.
Mau menyesuaikan emosi, percaya diri, dan riang
dalam proses pembelajaran.
Dengan memiliki konsep
diri positif, guru akan mudah menguasai situasi belajar para siswa, dan
mengarahkan mereka untuk mengikutipembelajaran secara tertib dengan penyampaian
mendidik dan pengendalian emosi yang baik. Namun, yang menjadi masalah, hanya
segelintirguru yang dapat melakukanya (mampu mengontrol emosi).
4)
Pengampun dan pemaaf
Sifat
lain yang patut diteladani oleh seorang guru dari sosok Nabi Muhammad Saw.
Adalah pemaaf atau pengampun. Bagi seorang guru, sifat pemaaf sangat penting,
sebab sifat ini sangat menentukan kesuksesan belajar mengajar di kelas. Selain
itu, sifat pemaaf seorang guru juga murupakansalah satu karakter guru
profesional. Dengan memilikisifat pemaaf, maka proses pembelajaran pun akan
berjalan dengan menyenangkan. Oleh karena itulah, seorang guru patut meneladani
sifat pengampun dan pemaaf.
Perlu
kita ketahui bahwa menjadi guru menyenangkan harus memiliki sifat pemaaf. Siswa
merupakan sosok manusia yang belum dewasa.mereka acap kali membuat guru tersinggung,
marah, dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja sangat manusiawi. Sebagai orang
yang telah dewasa atau didewasakan, guru hendaknya memiliki sikap pemaaf.
Sebab, segala yang dilakukan oleh siswa pada hakikatnya adalah suatu proses
pembelajaran. mereka dapat diarahkan menjadi manusia yang lebih baik dan
berguna.
Guru
tidak boleh berputus asa apabila menghadapi perilaku siswa yang mengecewakan.
Semua kesalahan siswa dapat menjadi media pembelajaran yang sangat bermanfaat
bagi pertumbuhan kepribadian mereka.Di sini, guru dituntut berpikir positif
sehingga tidak ada satu pun perilaku buruk siswa yang menjadi keburukan.
Sebaliknya, di tangan guru, perilaku buruk siswa ini menjadi media pembelajaran
untuk perbaikan ke depan.
Sifat
pemaaf merupakan sifat yang universal. Semua agama menuntut supaya manusia
bersifat demikian. Sifat pemaaf menunjukkan martabat yang tinggi serta nilai
kemanusiaan yang hebat dan mulia. Semua guru harus memiliki sifat pemaaf supaya
senantiasa dipandang mulia oleh siswa. Lebih dari itu, kita dipandang mulia
oleh masyarakat sekeliling. Akhirnya, guru yang pemaaf patut dijadikan
“pahlawan tanpa tanda jasa”, dan ia pun patut “digugu dan ditiru”.
5)
Tawadhu’
Nabi
Muhammad Saw memiliki sifat tawadhu’ yang luar biasa. sikap tawadhu’ beliau
didasari oleh keimanan dan kebesaran Allah Swt. Beliau selalu merasa malu
terhadap-Nya, mengagungkan-Nya sesuai kadar. Beliau selalu tunduk terhadap
perintah dan seruan Allah Swt.
Dalam
konteks mengajar, sifat tawadhu’ dapat menghancurkan batas yang menghalangi antara
seorang guru dengan murid. Sifat sombong dapat menyebabkan para murid menjauhi
guru. Mereka akan menolak menerima ilmu darinya. Jika seorang murid dekat
dengan gurunya, maka ia akan mampu menyerap ilmu dengan baik. Nah, sifat
tawadhu’lah yang dapat mewujudkan kedekatan tersebut.[3]
Perintah
tawadhu’ bukan hanya pada seorang guru, murid pun terlebih harus tawadhu’
terhadap gurunya atau terhadap sesamanya. Hanya disini karena tema pembahasan
kode etik guru atau pengajar, pembahasannya lebih cenderung kepada guru.
Abdullah Nashih Ulwan mengatakan, bahwa hendaknya seorang murid tawadhu’
(rendah hati) terhadap gurunya bagaikan seorang pasien terhadap dokter ahli. Ia
harus mengikuri arahnya, mencari ridha nya dan mengetahui bahwa tawadhu’
terhadapnya adalah merupakan budi pekerti yang baik.
Alangkah
indahnya jika guru dan murid sama-sama tawadhu’ saling menghargai dan saling
mencintai satu sama lain. Hubungan antara guru murid bukan sekadar hubungan
lahir saja akan tetapi hubungan lahir dan batin, hubungan cinta karena Allah.[4]
6)
Rahmat (Kasih Sayang)
Adapun
yang tak kalah pentingnya dari seorang guru adalah sifat kasih sayang. Seorang
guru harus menyayangi anak didiknya seperti menyayangi anak kandungnya sendiri.
Seorang guru harus memperlakukan anak didiknya dengan baik dan penuh cinta.
Jika
ada murid yang lambat berpikir (meski dijelaskan berulang-ulang tetap tidak
mengerti), maka guru janganlah memarahinya atau membentak dan mengucapkan
kata-kata kotor, seperti bodoh, dungu, tolol dan semacamnya. Tapi, ayomilah
anak tersebut. Didiklah ia dengan telaten. Dekati ia dengan penuh perasaan
sayang. Dengan demikian, anak akan merasa nyaman dalam belajar. Dan, sifat
kasih sayang seperti itu adalah mutlak harus dimiliki seorang guru.
7)
Sabar
Sabar
adalah sifat Nabi Muhammad Saw. yang juga patut kita teladani. Menjadi guru
yang sabar memang sangat susah, sebab kita senantiasa menghadapi banyak siswa
dengan latar belakang dan karakter yang berbeda. Tak jarang, beberapa siswa
justru memancing kemarahan.
Kesabaran
adalah alat yang paling baik bagi kesuksesan seorang guru. Amarah adalah
perasaan dalam jiwa. Amarah menyebabkan hilangnya kontrol diri dan lemah dalam
melihat kebenaran. Kekuatan seorang guru tersembunyi pada bagaiman ia mampu
mengendalikan amarahnya ketika terjadi
sesuatu yang membuatnya marah, dan bagaimana ia mampu menguasai akal sehatnya.
Rasulullah
Saw bersabda,”bukanlah orang hebat itu adalah yang hebat dalam pertempuran.
Tetapi orang hebat adalah orang yang bisa menahan diri ketika sedang marah.”(HR.
Muslim)
Selama
menyebarkan ajaran Islam, Rasulullah Saw mengalami berbagai kesulitan. Para
pendusta dan musyrikin dari kaumnya sendiri menghina beliau, bahkan menyebut
beliau sebagai penyihir atau orang gila. Sedangkan kaum yang lain ingin
membunuh beliau, bahkan bersekongkol membuat rencana pembunuhan. Meskipun
demikian, beliau tetap tidak berhenti berupaya mengajarkan al-Quran kepada
semua masyarakat dari berbagai latar belakang dan budaya. Beliau telah
mengajarkan moralitas dan perilaku yang benar. Nabi Muhammad Saw menunjukkan
sifat kesabaran dalam kondisi tersebut, memohon kepada Allah dan meminta
pertolongan-Nya dalam segala keadaan. Dan beliau mendorong orang-orang yang
beriman untuk sabar dan patuh terhadap perintah-Nya.[5]
3. Materi Hadis
عَنْ
عُبَا دَةَ بْنِ الصَّا مِتِ قَالَ عَلَمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ
الْقُرْأَنَ وَالْكِتَابَةَ فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا فَقُلْتُ
لَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيْلِ اللهِ فَسَعَأَلْتُ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهَا فَقَالَ إِنْ سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ
بِهَا طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا
(أخر جه ابن ماجة)
“Dari Ubadah bin Shamit berkata: Aku telah
mengajar orang-orang yang membaca al-Quran. Seseorang di antara mereka
memberiku hadiah sebuah busur panah (bukan harta) jadi dapat aku gunakan memanah
di jalan Allah. Aku mendatangi Rasulullah Saw dan menanyakan hal ini. Aku
datang dan bertanya: Wahai Rasulullah Saw seorang telah menghadiahkan aku
sebuah busur panah dari orang-orang yang telah aku ajarkan membaca al-Quran, ia
bukan harta (yang mahal) dan dapat aku gunakan memanah di jalan Allah. Nabi
bersabda: “jika engkau senang di kalungi dengan kalung api neraka maka
terimalah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
ü
Penjelasan (Syarah Hadis)
Hadis
di atas menjelaskan larangan menerima hadiah atau gaji dalam pengajaran. Ubadah
bin Shamit seorang sahabat sebagai guru al-Quran dan tulis menulis di
al-Shuffah (tempat penampungan sahabat Muhajirin yang miskin di Masjid Nabawi).
Ketika salah seorang muridnya memberi hadiah sebuah busur panah, ia melapor
kepada Nabi dan bertanya tentang hal tersebut. Pertanyaannya: Aku mendapat
hadiah sebuuah busur panah dari murid yang saya ajar di al-Shuffah, hadiahnya
sederhana tidak mahal dan akan aku gunakan memanah di jalan Allah. Nabi
melarang dan menjawab dengan ancamannya yakni dikalungi api neraka, maksudnya
masuk ke neraka.
Hadis
tersebut dapat dipahami mereka sebagai sukarelawan dari awal niatnya mencari
pahala bukan mencari pekerjaan, maka dilarang oleh Rasulullah Saw. kedua,
kondisi Ahl al-Shuffah orang miskin hidupnya makan sedekah dari kaum Muslimin,
seharusnya memang dibantu bukan dipungut biaya.[6]
4. Refleksi dalam Kehidupan
Seorang guru akan pastinya akan
senantiasa berdiri dikhalayak ramai, hadapan para guru lain, murid-murid dan
juga ibu bapak murid itu sendiri. Dalam proses mengajar dan memahami murid,
guru hendaklah menggunakan kata-kata yang sesuai dan mudah dipahami oleh
mereka. Selain itu, guru juga perlu mengetahui tahap pemikiran anak-anak murid
mereka agar ucapan yang disampaikan boleh diterima dan dapat diaplikasikan
kelak, serta menggunakan laras bahasa yang tepat.
Terdapat berbagai etika sosial
dan protokol dalam proses menjadi guru yang cemerlang. Ia termasukkah semasa
proses pengucapan awam ataupun semasa proses pengajaran dan pembelajaran,
kesantunan bahasa dalam menyampaikan isi dan kemahiran mendengar secara
efektif. Selain itu, guru juga hendaklah tidak boleh melupakan tertib di meja
makan, terutamanya semasa majlis-majlis formal dan rasmi, dan juga etika
pemakaian, di mana guru hendaklah mengikut tertib dan pakaian yang betul
mengikut tema majlis.
Guru juga hendaklah mempunyai kemahiran pengurusan dan perubahan diri.
Seperti contoh, guru boleh menyesuaikan diri dan mengadaptasi diri dalam budaya
masyarakat yang baru apabila dihantar untuk mengajar ke tempat yang baru kelak.
Guru juga boleh melakukan perubahan pada diri sendiri jika berhadapan dengan
masalah yang baru, dan senantiasa mencari jalan penyelesaian dengan pikiran
yang positif dan rasional.
Namun begitu, apa yang penting, guru dapat
menunjukkan kepekaan mereka terhadap segala aktivitas yang berlaku di
sekitar mereka, dan memberikan tidak balas yang
rasional. Juga, menunjukkan kemahiran yang baik dan tinggi dalam bidang
pengurusan hubungan dengan masyarakat sekolah dan luar, juga kepada semua pihak
yang berkaitan seperti komuniti pendidikan yang ada di Malaysia, sama ada
peringkat rendah, menengah, mahupun peringkat tinggi. Selain itu, komitmen yang
penting semasa menjalankan tugas sebagai seorang guru, ataupun tugas-tugas lain
seperti juru latih, guru
bertugas, atau guru disiplin hendaklah ditunjukkan dengan baik dan cemerlang
agar dapat melaksanakan peranan tersebut dengan ikhlas.[7]
5. Aspek Tarbawi
Ø
Perintah untuk seorang pendidik bersifat ikhlas
dalam mengajarkan ilmunya.
Ø
Islam mengajarkan kepada umatnya agar hidup disiplin
dengan bekerja keras, bersungguh-sungguh, jujur, hidup teratur, dan memperoleh
waktu sebaik-baiknya agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Ø
Perintah bersifat tawadhu’ (rendah hati)dalam ilmu,
terutama ketika tidak mengetahui suatu ilmu katakanlah apa adanya “Aku tidak
tahu” dan “Allah lebih tahu”.
Ø
Larangan memungut bayaran dari murid yang miskin
untuk penggajian atau upah guru yang mengajar al-Quran
Ø
Larangan menerima gaji bagi pengajar yang dari awal
berniat menjadi sukarelawan atau pengajaran fardhu ‘ain.
C.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas, dapat disimpulkan bahwa etika
ditinjau dari segi bahasa berasal dari bahasa Yunani, ethos berarti adat kebiasaan. Etika dipandang sebagai sarana
orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan fundamental mengenai
“bagaimana saya harus dan bertindak” (Ya’kub, 1996:2). Sementara, pengajar dalam perspektif pendidikan Islam adalah
orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik dengan
mengupayakan perkembangan seluruh potensinya, baik potensi afiktif, kognitif,
maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Beberapa etika sebagai
seorang pengajar yang dikemukakan dalam makalah ini adalah pengajar haru
memiliki sifat yang ikhlas dalam mengajar;disiplin; mampu mengontrol emosi;
pengampun dan pemaaf; tawadhu’; kasih sayang; serta sabar.
Dengan
demikian, komitmen yang penting semasa menjalankan tugas
sebagai seorang guru, ataupun tugas-tugas lain seperti juru latih, guru bertugas, atau guru disiplin hendaklah
ditunjukkan dengan baik dan cemerlang agar dapat melaksanakan peranan tersebut
dengan ikhlas.
DAFTAR PUSTAKA
AS, Enjang ., Hajir Tajiri. 2009. Etika
Dakwah: Panduan Para Juru Dakwah. Padjadjaran: Widya Padjadjaran.
Khon, Abdul Majid.
2012. HADIS TARBAWI: Hadis-hadis Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Putra, Setiatava
Rizema. 2014. Prinsip Mengajar Berdasar Sifat-sifat Nabi. Jogjakarta:
DIVA Press.
Umar, Bukhari. 2014. Hadits
Tarbawi: pendidikan dalam Perspektif Hadis. Jakarta: Amzah.
http:// mcana71. blogspot.
com/2010/05/refleksi-bina-insan-guru
TENTANG
PENULIS
NOFI ARIYANI, dengan nama
panggilan adalah Nofi, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada tanggal 13 November 1993. Pendidikan
dasar di SDN Bligorejo 01, kemudian pada tahun 2006 dilanjutkan di Mts Syahid
Doro, dan pada tahun 2009 dilanjutkan di MAN 02 Pekalongan.
Pada tahun 2013 melanjutkan studi di program S.1 STAIN
Pekalongan dengan mengambil program studi Pendidikan Agama Islam sampai dengan
sekarang baru semester empat (4).
[1] Enjang AS dan Hajir Tajiri, Etika Dakwah: Panduan Para Juru Dakwah
(Suatu Pendekatan Teoritik dan Aplikatif, (:Widya Padjadjaran, 2009), hlm.2
[2] Bukhari Umar, HADIS TARBAWI :Pendidikan dalam Perspektif Hadis,(Jakarta:
Amzah, 2014), hlm. 68.
[3]Sitiatava Rizema Putra, Prinsip Mengajar Berdasar Sifat-Sifat Nabi
(Jogjakarta: DIVA Press, 2014), hlm. 92-134.
[4] Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi: Hadis-hadis Pendidikan (Jakarta:
Kencana, 2012), hlm.88-89.
[5] Sitiatava Rizema Putra, op. cit,., h. 148-151.
[6] Abdul Majid Khon, op. cit, h. 203-204
Tidak ada komentar:
Posting Komentar