SUBYEK “MAJAZI” PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN
( Khidir Guru Nabi Musa )
Q.S. Al-Kahfi : 66
Farid Rahman Hakim (202
111 5208)
Kelas A
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PEKALONGAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
latar
belakang
Manusia diciptakan oleh
Allah SWT tidak lain adalah untuk menyembah Kepada-Nya sekaligus sebagai
khalifah di muka bumi ini. Oleh karena itu, manusia diciptakan lebih sempurna
daripada makhluk lainnya dengan dibekali akal, pikiran, dan hati.
Tugasnya sebagai khalifah adalah melestarikan dan memanfaatkan segala apa yang ada di muka bumi ini untuk kemakmuran umat manusia. Oleh karena itu, manusia memerlukan ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Islam menuntut ilmu itu sangat diwajibkan kepada pemeluknya.
Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari adanya pendidikan. Pendidikan itu tidak akan terjadi apabila tidak ada komponen-komponen yang sangat berkaitan dengan pendidikan tersebut, di antaranya adalah pendidik (subyek pendidikan), anak didik (obyek pendidikan), materi pendidikan, media pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, yang akan saya bahas dalam makalah ini adalah tentang subyek pendidikan yang diilhami dari cerita Nabi Musa as dengan al-Khidir.
Tugasnya sebagai khalifah adalah melestarikan dan memanfaatkan segala apa yang ada di muka bumi ini untuk kemakmuran umat manusia. Oleh karena itu, manusia memerlukan ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Islam menuntut ilmu itu sangat diwajibkan kepada pemeluknya.
Ilmu pengetahuan dapat diperoleh dari adanya pendidikan. Pendidikan itu tidak akan terjadi apabila tidak ada komponen-komponen yang sangat berkaitan dengan pendidikan tersebut, di antaranya adalah pendidik (subyek pendidikan), anak didik (obyek pendidikan), materi pendidikan, media pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, yang akan saya bahas dalam makalah ini adalah tentang subyek pendidikan yang diilhami dari cerita Nabi Musa as dengan al-Khidir.
B.Judul
Subyek majasi pendidikan dalam islam”khidir Guru Nabi Musa”
C.Nash
قَالَ
لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
Artinya :
bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar
diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Teori
Secara khusus ayat 66 sampai ayat 70 tidak ada
sebab turunnya, tetapi hanya berupa riwayat yang didalamnya terdapat kisah
pertemuan Nabi Musa as. dengan Bani Israil sebelum Allah swt. mempertemukan
Nabi Musa as. Dengan Nabi Khidir as.
Sebuah riwayat sebagaimana yang dikutip oleh
Wahbah Zuhaili (1991: 317 – 318) dalam kitabnya al-tafsiir al- Munir fil
‘aqidah wa syari’ah wal manhaj diterima dari Ubay bin Ka’ab ra. yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa pada suatu hari Nabi Musa as.
berkhutbah dihadapan kaum Bani Israil. seusai menyampaikan khutbahnya,
datanglah seorang laki-laki bertanya: “Siapakah diantara manusia ini yang
paling berilmu ?”. Jawab Musa “Aku”. Lalu Musa ditegur oleh Allah karena tidak
memulangkan jawaban kepada Allah, sebab hanya Allah yang Maha berilmu. Kemudian
Allah memberi wahyu kepada Musa bahwa ada orang yang lebih pandai dari dia,
yaitu seorang laki-laki yang kini berada dikawasan pertemuan dua laut.
Mendengar wahyu tersebut, tergeraklah hati Musa a.s. untuk menuntut ilmu dan
hikmat dari orang yang di sebut oleh Allah, bahwa dia adalah seorang hamba-Nya
yang lebih pandai dari Nabi Musa as. yaitu Nabi Khidir as. Nabi Musa bertanya
kepada Allah: “Ya Rabbi bagaimanakah cara agar saya dapat menjumpai orang
tersebut ?”. Allah menjawab dengan firmannya: “bawalah seekor ikan dan taruhlah
pada sebuah kantong sebagai suatu benda. Bila ikan itu hilang maka engkau akan
menjumpainya disana”. Setelah mendengar keterangan tersebut, Nabi Musa segera
menemui seorang pemuda untuk dijadikan teman dalam perjalanan tersebut dan
menyuruhnya agar menyediakan seekor ikan sebagaimana telah diperintahkan oleh
Allah swt. kepadanya.
Menurut riwayat diatas maka dari sinilah
dimulainya perjalanan Nabi Musa as. untuk menuntut ilmu dan hikmat dari orang
yang di sebut oleh Allah swt., bahwa dia adalah seorang hamba-Nya yang lebih
pandai dari Nabi Musa as. yaitu Nabi Khidir as.[1]
B.Tafsir
1.Tafsir jalaluddin
قَالَ لَهُ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰ أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا
عُلِّمْتَ رُشْدًا
(Musa berkata
kepada khidir “bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu
yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”)yakni ilmu yang dapat membimbingku,dan menurut suatu qiraat dibaca
rasyadan.Nabi Musa meminta hal tersebut kepada khidir karena menambah ilmu
adalah suatu hal yang dianjurkan[2]
2.Tafsir Al-misbah
Dalam
pertemuan kedua tokoh itu musa berkata kepadanya,yakni kepada hamba Allah yang
memperoleh lmu khusus itu,”bolehkah aku mengikutimu secara bersungguh-sungguh
supaya engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari apa, yakni ilmu-ilmu yang
telah diajarkan Allah kepadamu untuk menjadi petunjuk bagiku menuju kebenaran?
Dia menjawab,”sesungguhnya engkau hai Musa sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku.yakni peristiwa-peristiwa yang engkau akan alami bersamaku,akan
membuatmu tidak sabar. Dan yakni padahal bagaimana engkau akan sabar atas
sesuatu,yang engkau belum jangkau secara menyeluruh hakikat beritanya ?”engkau
tidak memiliki pengetahuan batiniah yang cukup tentang apa yang akan engkau
lihat dan alamin bersamaku itu.[3]
Kata (أَتَّبِعُكَ )attabi’uka asalnya adalah (اتبعك) atba’uka dari kata ()tabi’a ,yakni mengikuti. Penambahan huruf
(...)ta’ pada kata attabi’uka mengandung makna kesungguhan dalam
upaya mengikuti itu. Memang demikianlah seharusnya seorang pelajar,harus
bertekad untuk bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian ,bahkan tenaganya,
terhadap apa yang akan dipelajarinya.
Ucapan Nabi Musa
a.s ini sungguh sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk dapat diajar tetapi
permintaannya diajukan dalam bentuk pertanyaan,”bolehkah aku mengikutimu”?selanjutnya
beliau menamai pengajaran yang diharapkannya itu sebagai ikutan,yakni beliau
menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Beliau juga
menggarisbawahi kegunaan pengajaran itu untuk dirinya secara pribadi, yakni
untuk menjadi petunjuk baginya. Disisi lain beliau mengisyaratkan keluasan ilmu
hamba yang saleh itu sehingga Nabi Musa a.s hanya mengharap kiranya dia
mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya.dalam konteks
itu,Nabi Musa a.s tidak menyatakan “apa yang engkau ketahui wahai hamba Allah
“,karena beliau sepenuhnya sadar bahwa ilmu pastilah bersumber dari satu
sumber, yakni dari Allah yang Maha mengetahui memang Nabi Musa a.s dalam
ucapannya itu tidak menyebut nama Allah sebagai sumber pengajaran, karena hal
tersebut telah merupakan aksioma bagi manusia beriman. Disisi lain, disini kita
menemukan hamba yang saleh itu juga penuh dengan tata krama. Beliau tidak
langsung menolak permintaan Nabi Musa a.s, tetapi menyampaikan penilaiannya
bahwa Nabi agung itu tidak akan bersabar mengikutinya sambil menyampaikan
alasan yang sungguh logis dan tidak menyinggung perasaan tentang sebab
ketidaksabaran itu. [4]
3.Tafsir
al-qurtubhi
Firman
Allah “ musa berkata kepada khidir ,bolehkah aku mengikutimu?”.” Ini adalah
pertanyaan /permintaan yang lembut dan halus namun mengandung arti yang sangat
dalam lagi dalam beretika luhur.maknanya : apakah engkau rela dan tidak
keberatan. Ungkapan ini sebagaimana redaksi yang terdapat didalam hadits :
هل
تستطيع انتريني كيف كان رسول الله عليه وسلم يتوضا ؟
“apa engkau bisa menunjukkan kepadaku bagaimana Rasulullah
berwudhu ?” dan menurut sebagian penakwilan,demikian juga makna firman Allah
هَلْ
يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَنْ يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ
“sanggupkah
Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami ?”(Q.S.Al-maidah :112)
sebagaiman yang telah dipaparkan dadalam surat Al-maidah
Ayat ini menunjukkan bahwa
murid mengikuti guru walaupun tingkatnya terpaut jauh,dan dalam kasus
belajarnya Musa kepada khidir tidak ada hal yang menunjukkan bahwa khidir lebih
mulia dari pada Musa,karena adakalanya orang yang lebih mulia tidak mengetahui
hal yang diketahui oleh orang yang tidak lebih mulia, sebab kemuliaan itu
adalah bagi yang dimuliakan Allah.karena itu walaupun khidir seorang wali,namun
Musa lebih mulia dari padanya karena musa seorang Nabi,sebab Nabi lebih Mulia
dari pada wali dan kalaupun khidir seorang nabi,maka musa musa tetap lebih
mulia daripadanya karena kerasulannya.wallahu a’lam.
Kata رشدا “yang benar “adalah
maf’ul (objek) kedua dari kata kerja alaamani (mengajari aku) :قال ”berkata “ maksutnya khidir,”sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku “yakni,sesungguhnya
kamu,wahai Musa,tidak akan sanggup bersabar melihat apa yang (aku perbuat)
berdasarkan ilmuku.karena realitas-realitas yang merupakan ilmumu itu tidak
mencakupnya. Bagaimana kamu bisa bersabar terhadap kesalahan yang kamu lihat
sementara kamu tidak mengetahui segi hikmah didalamnya dan tidak pula cara yang
tepat.itulah maknanya firmannya “dan bagaimana kamu dapat sabar atas
sesuatu,yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”sebab
para nabi tidak membenarkan kemungkaran,dan mereka tidak boleh
membenarkannya.maksutnya,kamu tidak akan tahan untuk berdiam diri berdasarkan
kebiasaan dan hukummu.[5]
C.Aspek dalam
kehidupan
Dalam kehidupan sehari-hari hal yang
bisa diambil dari kisah khidir sebagai guru Nabi Musa a.s adalah bahwa dalam
berguru mencari ilmu hendaknya bersikap ramah terhadap guru dan sifat rasa
hormat dan ketaatan kepada guru,karena sebagai mana yang kita ketahui guru lah
yang telah berjasa besar karena beliaulah yang telah memberikan banyak ilmu
kepada muridnya.Dan dalam keduanya tidak boleh memiliki sifat kesombongan atas
ilmu yang dimiliki karena jangan sampai ilmu yang tinggi bisa membuat kita
menjadi sombong,
D.Aspek tarbawi
1.
seorang guru hendaknya ramah dan menghormati kepada seorang guru.
2.
jangan selalu berniat berburuk sangka terlebih dahulu terhadap apa
yang disampaikan oleh guru.
3.
Jangan selalu merasa dirinya yang mulia,karena yang berhak memiliki
kemuliaan yang agung hanyalah Allah SWT.
4.
Bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu
Bab III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dapat
kita ketahui banyak sekali hikmah yang kita dapat pelajari dari cerita khidir
sebagai guru Nabi Musa a.s,dimana Nabi Musa sebagai murid khidir untuk belajar
kepada gurunya,dengan ketaatan dan keramahan Nabi Musa bersungguh-sungguh dalam
belajar,begitupun sebaliknya khidir sebagai guru tidak merasa sedikitpun
mempunyai sifat yang sombong karena kedudukan sebagai guru Nabi Musa.
Demikian
pemaparan tentang tafsir surat Al-kahfi : 66 semoga bisa ambil hikmah dan
pelajaran untuk kehidupan yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qurtubi,imam.2008.tafsir al-qurtubhi.jakarta:pustaka
azam
Jalaluddin al-mahali,imam.2010.tafsir
jalalain jilid II.bandung:sinar baru algensindo
https://serpihanilmu88.wordpress.com/2015/05/26/tafsir-tarbawi-subyek-pendidikan-tafsir-surat-al-kahfi-66/diakses
pada tanggal 26 oktober 2016 pukul 21:50
Shihab,quraisy.2005.tafsir al-misbah.jakarta :lentera hati
BIOGRAFI
PENULIS
NAMA :Farid
Rahman Hakim.tempat tanggal lahir saya pekalongan,14 maret 1998. Saya anak dari
nomor empat dari lima bersaudara. Alamat JL.K.H.Hasyim Asyari setono kota
pekalongan.pendidikan saya SDI Islam Setono 01, kemudian SMP Muhammadiyah
pekalongan dan SMK Muhammadiyah pekalongan sampai sekarang sedang berproses di
perguruan tinggi IAIN Pekalongan mengambil S1 prodi PAI /TARBIYAH.
[1]https://serpihanilmu88.wordpress.com/2015/05/26/tafsir-tarbawi-subyek-pendidikan-tafsir-surat-al-kahfi-66/diakses
pada tanggal 26 oktober 2016 pukul 21:50
[2] Imam jalaluddin al-mahalli,tafsir jalalain jilid II(Bandung :
sinar baru algensindo,2010)
[3] Quraishshihab,Tafsir Al Misbah,(jakarta : lentera
Hati,2005),hlm.97
[4] Ibid.hlm.98
[5]Syaikh imam al qurtubi, Tafsir Al-qurtubhi(jakarta :pustaka
azzam:2008)hlm.46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar