METODE
PENDIDIKAN “UMUM”
“ METODE DAKWAH" QS AN-NAHL 125
Umul Latifah 2021115299
Kelas D
Jurusan Tarbiyah
Pendidikan Agama Islam
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
Umul Latifah 2021115299
Kelas D
Jurusan Tarbiyah
Pendidikan Agama Islam
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PEKALONGAN
KATA PENGANTAR
بسم الله
الرحمن الرحيم
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan
makalah Tafsir Tarbawi I tentang Metode Dakwah. dalam Qur’an Surah An-Nahl ayat
125 ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga saya
berterima kasih kepada Bapak Muhammad Hufron, M.S.I selaku Dosen mata kuliah
Tafsir Tarbawi I yang telah memberikan tugas ini kepada saya. Saya berharap
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita
tentang Metode Dakwah. dalam Qur’an Surah An-Nahl ayat 125. Saya juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan
makalah yang akan saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini
dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah
disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan .
Pekalongan,
17 november 2016
Penulis
Umul Latifah
NIM. 2021115299
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metode merupakan hal yang sangat penting dalam proses belajar
mengajar di lembaga pendidikan. Apabila proses pendidikan tidak menggunakan
metode yang tepat maka akan sulit untuk mendapatkan tujuan pembelajaran yang
diharapkan. Kendala penggunaan metode yang tepat dalam mengajar banyak
dipengaruhi oleh beberapa faktor ; keterampilan guru belum memadai, kurangnya
sarana dan prasarana, kondisi lingkungan pendidikan dan kebijakan lembaga
pendidikan yang belum menguntungkan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang
variatif.
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam di dalamnya memuat berbagai
informasi tentang seluruh kehidupan yang berkaitan dengan manusia. Karena
memang Al-Qur’an diturunkan untuk umat manusia, sebagai sumber pedoman, sumber
inspirasi dan sumber ilmu pengatahuan. Salah satunya adalah hal yang berkaitan
dengan pendidikan.
B. Judul
“
Metode Pendidikan “Umum” Metode Dakwah ”
C. Nash
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ
عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [النحل: 125]
D.
Arti
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”
E.
Arti Penting untuk Dikaji
Ayat ini menerangkan bahwa
melaksanakan perintah tuhan melakukan dakwah dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan membantah keburukan dengan cara
yang baik pula, mengajak
siapapun agar mengikuti prinsip-prinsip ajaran Nabi Muhammad, seluruh, yakni
melanjutkan usaha untuk menyeru semua yang sanggup seru kepada jalan yang ditunjukan
Tuhan, yakni ajaran Islam dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah
mereka, yakni siapapun yang menolak atau meragukan ajaran Islam dengan cara
yang terbaik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
1.
Pengertian Metode dan
Dakwah
Secara etimologi, metode berasal dari bahasa yunani metodos
yang artinya cara atau jalan. jadi, metode dakwah adalah jalan atau cara
untuk mencapai tujuan dakwah yang dilaksanakan secara efektif dan efesien.
Dalam rangka dakwah islamiyyah agar masyarakat dapat
menerima dakwah dengan lapang dada, tulus, ikhlas maka penyampaian dakwah harus
melihat situasi dan kondisi masyarakat objek dakwah. kalau tidak, maka dakwah
tidak dapat berhasil dan tidak tepat guna. Disini diperlukan metode yang
efektif dan efesien untuk diterapkan dalam tugas dakwah.[1]
2.
Asbabun Nuzul
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab
an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa
ayat ini turun setelah Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang
syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah. Al-Qurthubi
menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada
Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan
pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang
menjadi sebab turunnya ayat tersebut.
Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk
sasaran dakwah siapa saja, Muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus
sesuai dengan sabab an- nuzul-nya (andaikata ada sabab an-nuzul-nya).
Sebab, ungkapan yang ada memberikan pengertian umum.Ini
berdasarkan kaidah ushul:
أَنَّ
الْعِبْرَةَ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ
Artinya:
“Yang menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan
kekhususan sebab.
Setelah kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan
siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya. Ini adalah uslub (gaya
pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm).
Dari segi siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku
umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga
berlaku untuk umat Islam.
3.
Analisa
dan Opini
Pada awalnya ayat ini berkaitan
dengan dakwah Rasulullah SAW. Kalimat yang digunakan adalah fiil amr “ud’u”
(asal kata dari da’a-yad’u-da’watan) yang artinya mengajak, menyeru, memanggil.
Dalam kajian ilmu dakwah maka ada prinsip-prinsip dalam menggunakan metode
dakwah yang meliputi hikmah, maudhoh hasanah, mujadalah. Metode ini menyebar
menjadi prinsip dari berbagai system, berbagai metode termasuk komunikasi juga
pendidikan. Seluruh dakwah, komunikasi dan pendidikan biasanya merujuk dan
bersumber pada ayat ini sebagai prinsip dasar sehingga terkenal menjadi sebuah
“metode”.
Secara etimologi metode berasal dari bahasa Greeka, yaitu “Metha” artinya melalui atau melewati dan “Hodos” artinya jalan atau cara.Dalam kajian keislaman metode berarti juga “Thoriqoh”, yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Dengan demikian metode mengajar dapat diartikan sebagai cara yang digunakan oleh guru dalam membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses pembelajaran.
Secara etimologi metode berasal dari bahasa Greeka, yaitu “Metha” artinya melalui atau melewati dan “Hodos” artinya jalan atau cara.Dalam kajian keislaman metode berarti juga “Thoriqoh”, yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Dengan demikian metode mengajar dapat diartikan sebagai cara yang digunakan oleh guru dalam membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses pembelajaran.
Dalam surat An-Nahl (lebah) ayat 125
ini, terdapat tiga prinsip dalam implementasi metode penyampaian (dakwah,
pembelajaran, pengajaran, komunikasi dan sebagainya) yaitu
a)
Al-Hikmah
Dalam bahasa Arab Al-hikmah artinya
ilmu, keadilan, falsafah, kebijaksanaan, dan uraian yang benar. Al-hikmah
berarti mengajak kepada jalan Allah dengan cara keadilan dan kebijaksanaan,
selalu mempertimbangkan berbagai faktor dalam proses belajar mengajar, baik
faktor subjek, obyek, sarana, media dan lingkungan pengajaran. Pertimbangan
pemilihan metode dengan memperhatikan audiens atau peserta didik diperlukan
kearifan agar tujuan pembelajaran tercapai dengan maksimal.
b)
Mauidzah
Hasanah
Maudzah hasanah terdiri dari dua
kata “al-Maudzah dan Hasanah”. Al-mauidzah dalam tinjauan etimologi berarti
“pitutur, wejangan, pengajaran, pendidikan, sedangkan hasanah berarti baik.
Bila dua kata ini digabungkan bermakna pengajaran yang baik. Ibnu Katsir
menafsiri Al-mauidzah hasanah sebagai pemberian peringatan kepada manusia,
mencegah dan menjauhi larangan sehingga dengan proses ini mereka akan mengingat
kepada Allah.
Dengan melalui prinsip maudzoh
hasanah dapat memberikan pendidikan yang menyentuh, meresap dalam kalbu. Ada
banyak pertimbangan (multi approach) agar penyampaian materi bisa diterima oleh
peserta didik diantaranya : a).Pendekatan Relegius, yang menekankan bahwa
manusia adalah makhluk relegius dengan bakat-bakat keagamaan. Metode pendidikan
Islam harus merujuk pada sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, b).
Dasar Biologis, pertumbuhan jasmani memegang peranan yang sangat penting dalam
proses pendidikan, c).Dasar Psikologis, metode pendidikan Islam bisa effektif
dan efesien bila didasarkan pada perkembangan psikis meliputi motivasi, emosi,
minat, sikap, keinginan, kesediaan, bakat-bakat dan kecakapan akal intelektual,
d). Dasar Sosiologis, pendekatan social interaksi antar siswa, guru dengan
siswa sehingga memberikan dampak positif bagi keduanya.
c)
Mujadalah
Kata mujadalah berasal dari kata
“jadala” yang makna awalnya percekcokan dan perdebatan. Mujadalah dalam konteks
dakwah dan pendidikan diartikan dengan dialog atau diskusi sebagai kata
“ameliorative” berbantah-bantahan. Mujadalah berarti menggunakan metode diskusi
ilmiyah yang baik dengan cara lemah lembut serta diiringi dengan wajah penuh
persahabatan sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah SWT.Hal senada juga
disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirmya bahwa mujadalah ini adalah cara
penyampaian melalui diskusi dengan wajah yang baik kalimat lemah lembut dalam
berbicara. Metode penyampaian ini dicontohkan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun
ketika berdialog-diskusi dan berbantahan dengan Fir’aun.
Sedangkan hasil akhirnya
dikembalikan kepada Allah SWT. Sebab hanya Allahlah yang mengetahui orang
tersebut mendapat petunjuk atau tidak.
Metode diskusi yaitu cara
penyampaian bahan pelajaran dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
membicarakan, menganalisa guna mengumpulkan pendapat, membuat kesimpulan atau
menyusun berbagai alternative pemecahan masalah. Dalam kajian metode mengajar
disebut metode “hiwar” (dialog). Diskusi memberikan peluang sebesar-besarnya
kepada para siswa untuk mengeksplor pengetahuan yang dimilikinya kemudian
dipadukan dengan pendapat siswa lain. Satu sisi mendewasakan pemikiran,
menghormati pendapat orang lain, sadar bahwa ada pandapat di luar pendapatnya
dan disisi lain siswa merasa dihargai sebagai individu yang memiliki potensi,
kemampuan dan bakat bawaannya. Diskusi (mujadalah) tidak akan memperoleh tujuan
apabila tidak memperhatikan metode diskusi yang benar, yang hak sehingga
diskusi jadi “bathal” tidak didengarkan oleh mustami’in.Metode mujadalah lebih
menekankan kepada pemberian dalil, argumentasi dan alasan yang kuat. Para siswa
berusaha untuk menggali potensi yang dimilikinya untuk mencari alasan-alasan
yang mendasar dan ilmiyah dalam setiap argumen diskusinya. Para guru hanya
bertindak sebagai motivator, stimulator, fasilitator atau sebagai instruktur.
Sistem ini lebih cenderung ke “Student Centre” yang menekankan aspek
penghargaan terhadap perbedaan individu para peserta didik (individual
differencies) bukan “Teacher Centre”.[2]
B. Tafsir dari QS. An-Nahl : 125
1.
Tafsir Al-Misbah
Nabi Muhammad saw yang diperintahkan
untuk mengikuti Nabi Ibrahim as sebagaimana terbaca pada ayat yang lalu, kini diperintahkan
lagi untuk mengajak siapapun agar mengikuti pula prinsip-prinsip ajaran Nabi
Muhammad, seluruh, yakni lanjutkan usahamu untuk menyeru semua yang engkau
sanggup seru kepada jalan yang ditunjukan Tuhanmu, yakni ajaran Islam dengan
hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka, yakni siapapun yang
menolak atau meragukan ajaran Islam dengan cara yang terbaik. Itulah tiga cara
berdakwah yang hendaknya engkau tempuh menghadapi manusia yang beraneka ragam
peringkat dan kecenderungannya, jangan hiraukan cemoohan, atau tuduhan-tuduhan
tidak berdasar huum musyrikin dan serahkan urusanmu dan urusan mereka pada
Allah, karena sesungguhnya Tuhanmu yang selalu membimbing dan berbuat baik
padamu Dialah sendiri yang lebih mengetahui dari siapapun yang menduga tahu
tentang siapa yang bejat jiwanya sehingga tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
saja yang lebih mengetahui orang-orang yang sehat jiwanya sehinnga mendapat
petunjuk.
Ayat ini dipahami oleh sementara
ulama sebagai menjelaskan tiga macam metode dakwah yang harus disesuaikan
sasaran dakwah. Terdapat cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi
diperintahkan menyampaikan dakwah dengan himah, yakni berdialog dengan
kata-kata bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Terhadap kaum awam,
diperintahkan untuk menerapkan mau’izah,
yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesui dengan taraf
pengetahuan mereka yang sederhana. Sedang terhadap Ahl al-Kitab dan penganut
agama-agama lain yang diperintahkan adalah jidaj/perdebatan
dengan cara yang terbaik, yaitu dengan logika dengan terorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.
1. (حكمة): hikmah
2.
(آلوعظة):
nasihat
3.
(جادلهم):
diskusi
4.
(حسنة): yang
terbaik
Kata
(حكمة)
hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu,
baik pengetahuan maupun perbuatan. Ia adalah pengetahuan atau tindakan yang
bebas dari kesalahan atau kekeliruan. Hikmah juga diartikan sebagai
sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan
kemudahan yang besar atu lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat
atau kesulita yang besar atau lebih besar.
Kata
(آلوعظة)
yang berarti nasihat, Mau’izhah adalah uraian yang menyentuh
hati yang mengantar kepada kebaikan. Sedangkan kata (جادلهم) yang bermakna diskusi
atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra diskusi dan
menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang dipaparkan itu diterima oleh
semua orang maupun banyak oleh mitra bicara.
Ditemukan
diatas bahwa mau’izah hendaknya disampaikan dengan (حسنة) hasanah/baik,
sedang perintah berjidal disifati dengan kata (أحسن) ahsan/yang terbaik, bukan sekedar yang
baik. Keduanya berbeda dengan hikmah yang tidak disifati oleh satu
sifat pun. Ini berarti bahwa mau’izah ada yang baik dan ada yang tidak
baik, sedang jidal ada tiga macam, yang baik, yang terbaik, dan yang
buruk.
Hikmah
tidak perlu disifati dengan sesuatu karena dari maknanya telah diketahui bahwa
ia adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal – seperti tulis
ar-Raghib, atau seperti tulis Ibn Asyur, ia adalah segala ucapan atau
pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaan manusia
secara bersinambung. Disisi lain, hikmah yang disampaikan itu adalah yang
dimiliki oleh seorang hakim yang dilukiskan makna nya oleh al-biqa’i seperti
penulis nukil diatas, dan ini tentu saja akan disampaikannya setepat mungkin,
sehingga tanpa menyifatinya dengan satu sifatpun,otomatis dari namanya dan
sifat penyandangannya dapat diketahui bahwa penyampaiannya pastilah dalam
bentuk yangpaling sesuai.
Adapun
mau’izah, maka ia baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan
itu disertai dengan pengalaman dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Nah,
inilah yang bersifat hasanah. Kalau tidak, ia adalah yang buruk, yang harusnya
dihindari. Disisi lain, karena mau’izah bisanya bertujuan mencegahsasaran dari
sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat mengundang emosi baik dari yang
menyampaikan, lebih-lebih yang menerimanya, maka mau’izah adalah sangat perlu
untuk mengingatkan kebaikan itu.
Sedangkan
jidal terdiri dari tiga macam, yang buruk adalah yang disampaikan dengan kasar,
yang mengundang kemarahan lawan serta yang menggunakan dalih-daih yang tidak
benar. Yang baik adalah yang disampaikan dengan sopan, serta menggunakan
dalil-dalil atau dalih walau hanya yang diakui oleh lawan, tetapi yang terbaik
adalah yang disampaikan dengan baik, dan dengn argumen yang benar, lagi
membungkam lawan.
Penyebutan
ketiga urutan macam metode itu sungguh serasi. Ia dimulai dengan hikamah yang
dapat disampaikan tanpa syarat, disusul dengan mau’izah dengan syarat hasanah,
karena memang ia hanya terdiri dari macam, dan yang ketiga adalah jidal yang
dapat terdiri dari tiga macam baik, buruk, terbaik, sedang yang dianjurkan
adalah yang terbaik.
Thahir
Ibn Asyur berpendapat bahwa jidal adalah bagian dari hikmah dan mau’izah. Hanya
saja, tulisannya karena tujuan jidal adalah meluruskan tingkah laku atau
pendapat, sehingga sasaran yang dhadapi menerima kebenaran, maka kendati ia
tidak terlepas dari hikmah atau mau’izah, ayat ini menyebutny secara tersendiri
berdampingan dengan keduanya guna mengingat tujuan dari jidal.[3]
2. Tafsir Al Maraghi
Dalam ayat-ayat terdahulu, Allah
ta’ala menjelaskan kedustaan paham orang-orang musyrik dalam hal-hal berikut :
menetapkan sekutu-sekutu dan dan tandingan-tandingan bagi Allah, mencela
kenabian para nabi dan rasul seperti dengan mengatakan, “ sekiranya Allah
hendak mengutus seorang rasul, tentu dia mengutus para malaikat,” menghalalkan
perkara-perkara yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan perkara-perkara
yang telah dihalalkannya. kemudian dengan tegas dan tandas dia menolak
keyakinan-keyakinan tersebut.
Akhirnya Allah menutup surat dengan
hal-hal berikut. yaitu : menceritakan ibrahim, pemimpin ahli tauhid, yang
orang-orang musyrik membaggakan diri dengannya dan menetapkan kewajiban
menteladaninya, agar menjadi pendorong bagi mereka untuk bertauhid dan
meninggalkan kemusyrikkan: menyuruh nabi-Nya Muhammad saw. untuk mengikuti
jejaknya : menggariskan landasan dakwahnya, yaitu hikmah, pemberian pelajarn
yang baik dan bantahan dengan cara yang baik, menyuruh beliau untuk bersikap
lemah lembut dalam menjatuhkan jika beliau menjatuhkannya , atau tidak
menjatuhkannya dan itu lebih utama bagi orang-orang yang bersabar, menyuruh beliau
untuk menjadikan kesabaran sebagai penuntunnya didalam mengerjakan seluruh
pekerjaannya, dan melarang beliau untuk bersedih hati karena kaumnya kafir,
tidak menerima seruannya dan melakukan tipu daya terhadapnya. sesungguhnya
Allah pasti menolong beliau atas mereka dan akan menghentikan penganiayaan
mereka terhadapnya. sunnah Allah telah berjalan, bahwa kesudahan yang baik
hanyalah bagi orang-orang yang bertaqwa, dan kehinaan akan diterima oleh
orang-orang yang bermaksiat lagi berkhianat.[4]
C.
Aplikasi dalam Kehidupan
1.
Kita
dapat mengaplikasinya dalam kajian ilmu dakwah.
2.
Ada
tiga prinsip dalam implementasi metode penyampaian (dakwah, pembelajaran,
pengajaran, komunikasi dan sebagainya)
3.
Prinsip-prinsip dalam menggunakan metode
dakwah yang meliputi hikmah, maudhoh hasanah, mujadalah. Metode ini menyebar
menjadi prinsip dari berbagai system, berbagai metode termasuk komunikasi juga
pendidikan.
D.
Aspek Tarbawi
1.
Berdakwah dengan Hikmah berarti
menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam dakwah.
2.
Perkataan yang tepat
dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang batal atau
meragukan.
3.
Melakukan mau’idhah
hasanah (pengajaran yang baik) yang diterima dengan lembut oleh hati
manusia tapi berkesan di dalam hati mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa dalam Surat An
Nahl ayat 125 dengan Metode Dakwah terdiri dari beberapa metode yaitu Hikmah, Mauidzoh Khasanah dan Mujadalah.
selain itu kita dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan.
Disini
kita dapat mengambil nilai-nilai tarbawi dari surat An-Nahl Ayat 125, yaitu berdakwah
dengan Hikmah berarti menyatukan antara
kemampuan teoritis dan praktis dalam dakwah, Perkataan yang tepat
dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang batal atau
meragukan dan Melakukan mau’idhah hasanah (pengajaran yang baik) yang
diterima dengan lembut oleh hati manusia tapi berkesan di dalam hati mereka.
B. Kritik dan Saran
1. Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini,baik dari segi penulisan maupun cara penyampaiannya, karena itu
saya sangat mengharapkan sekali kritik dan Saran yang bersifat membangun,
khususnya dari Dosen dan umumnya dari para pembaca.
2. Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat menambah wawasan
pembaca, sehingga dapat mendorong pembaca untuk berfikir aktif dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Samsul Munir. 2009. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah.
Shihab,
M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah.Jakarta: Lentera hati.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1987. Terjemahan Tafsir Al-Maraghi. Semarang:Tohaputra.
http://keyakinanperjuangan.blogspot.co.id/2010/04/kajian-tafsir-surat-nahl-ayat-125, diakses pada hari rabu 9
november 2016.
BIOGRAFI PENULIS
Umul Latifah,
Lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 10 Mei 1996. Anak ke-6 dari 7 bersaudara.
Mahasiswi S.1 Tarbiyah IAIN Pekalongan. Alamat : Ds. Karangjompo Rt.02 Rw.03
No.18, Kec. Tirto, Kabupaten Pekalongan.
Pendidikan MI
Salafiyah Karangjompo, 2002-2008. Madrasah Tsanawiyah NU Tirto, 2008-2011.
Madrasah Aliyah Negeri 2 Pekalongan, 2011-2014. S.1 IAIN Pekalongan,
2015-sekarang.
[1]
Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah,2009), hlm. 95-96
[2]http://keyakinanperjuangan.blogspot.co.id/2010/04/kajian-tafsir-surat-nahl-ayat-125,
diakses pada hari rabu 9 november 2016,jam 14.42 WIB
[3] M. Quraish
Shihab, TAFSIR AL-MISBAH, (Jakarta: Lentera hati, 2002), hlm. 383-386
[4] Ahmad Musthafha Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi, (Semarang:CV
Toha Putra Semarang,1987) hlm.284
Tidak ada komentar:
Posting Komentar