“PENDIDIKAN ETIKA GLOBAL”
Menyantuni Anak Yatim Dan Peduli Fakir Miskin
QS AL-MA’UN (1-3)
Rizqi Maulana Imamudin (2021115352)
Kelas B
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Pendidikan Etika Global” dengan tema
Menyantuni Anak Yatim Dan Peduli Fakir Miskinini. Kemudian shalawat dan salam
penulis persembahkan kepada nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para
sahabatnya.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dan memotivasi penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung. Teristimewa untuk Bapak Muhammad Ghufron selaku dosen pengampu mata
kuliah Tafsir Tarbawi, yang telah memberikan tugas kepada saya untuk membuat
makalah ini.
Untuk itu, penulis yang hanya orang biasa tetapi ingin melakukan
sesuatu yang luar biasa mengharapkan adanya kritik dan saran pembaca dalam
penulisan makalah ini. Karena mungkin masih banyak kekurangan dan juga
kesalahan-kesalahan yang tidak di ketahui penulis baik dari tulisan, isi, dan
lain sebagainya. Semoga dengan adanya makalah ini bisa memudahkan pembaca dalam
memahami materi perkuliahan yang ada.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pekalongan, 29
April 2017
Penulis
Rizqi Maulana
Imamudin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam adalah
agama yang mengatur hidup dan kehidupan manusia. Salah satu ajarannya adalah
memberi jaminan kepada mereka yang membutuhkan biaya atau nafkah dengan cara
menyantuninya. Bukan hanya memberikan harta atau materi namun juga memberikan
perhatian dan jaminan kehidupan. Memperhatikan kaum fakir, miskin dan anak
yatim, Menolong masayarakat bawah sebagaimana dianjurkan dalam ayat al-Quran
merupakan salah satu dasar dari dasar-dasar dibangunkan ekonomi islam. Mereka
yang tidak mampu saharusnya dijamin oleh negara maupun masyarakat. Hal ini
dimaksudkan untuk mencapai pemerataan kesejahteraan serta tegaknya keadilan.
Sebagaimana Alloh berfirman dalam al-Quran “Janganlah harta hanya beredar
diantara orang yang kaya-kaya saja diantara kamu”. Pemerataan dan keadilan yang
dimaksud bukanlah rata dalam jumlah, namun rata dalam peredarannya. Untuk itu
Islam mewajibkan menunaikan zakat dan shodaqoh, terlebih dengan mengutamakan
keluarga atau kerabat yang kurang mampu. Tidak ada kemaslahan manusia kecuali
dengan sebab islam. Tidak ada agama lain selain Islam yang mengatur penggunaan
harta dengan detil. Namun, kewajiban menyantuni fakir, miskin dan yatim melalui
fasilitas zakat dan shodaqoh belumnya berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini
disebabkan kebodohan (kejahilan) dalam memahami agama islam. Begitu banyak
kemiskinan dan kefakiran, serta anak yatim yang terdholimi di lingkungan di
mana kita berada. Sungguh sedikit jumlah orang yang mengeluarkan zakat
dibanding jumlah umat islam keseluruhan.
B.
Judul
Pendidikan Etika Global “Santuni Anak Yatim dan Peduli Fakir
Miskin”
C.
Nash [QS. Al-Ma’un/107: 1-3]
أَرَأَيْتَ الَّذِي
يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ
عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3)
D.
Arti
1.
Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?
2.
Itulah orang yang menghardik anak yatim.
3.
Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
E.
Arti Penting Untuk Dikaji
Pentingnya dari
mengkaji surah ini tidak lain untuk mengingatkan kita sebagai umat manusia
bahwa pengingkaran terhadap hari kebangkitan merupakan sumber segala kejahatan,
dan bahwa ibadah ritual disamping memiliki bentuknya yang formal, juga memiliki
substansi yang selalu harus menyertainya, yang mana tanpa substansi itu ibadah
tersebut tidak banyak artinya. Seperti halnya yang diuraikan dalam ayat ini
yaitu kecaman terhadap mereka yang tidak memerhatikan anak yatim dan kaum lemah
serta melupakan substansi shalatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori
a.
Pengertian Pendidikan Etika
Pendidikan
berasal dari kata didik, yaitu memelihara dan memberi latihan mengenai etika
dan kecerdasan pikiran. Pendidikan etika juga dapat diartikan sebagai berikut:
1.
Perbuatan mendidik etika.
2.
Ilmu-ilmu mendidik, pengetahuan tentang pendidikan etika.
3.
Pemeliharaan (latihan-latihan) badan, batin dan jasmani untuk
belajar etika.
Pendidikan
etika ialah proses membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, untuk mencapai
pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas pendidikan etika secara formal meliputi
segala hal yang memperluas pengetahuan etika manusia tentang dirinya sendiri
dan tentang dunia tempat mereka hidup.[1]
b.
Anak yatim
Dalam tafsir
al-mishbah kata al-yatim terambil dari kata yutm yang berarti kesendirian,
karena itu permata yang sangat indah dan dinilai tidak ada bandinganya
dinamai ad-durrah al-yatimah. Bahasa menggunakan kata tersebut untuk
menunjuk anak manusia yang belum dewasa yang ayahnya telah wafat, atau anak
binatang yang induknya telah tiada. Kematian ayah, bagi seorang yang belum
dewasa, menjadikanya kehilangan pelindung, ia seakan-akan menjadi sendirian,
sebatang kara, karena itu dinamai yatim.[2]
c.
Fakir miskin
Kemiskinan
merupakan permasalahan yang dihadapi oleh semua negara, baik negara maju maupun
negara berkembang, namun lebih banyak terjadi pada negara-negara berkembang,
karena kondisi pembangunan mereka yang masih belum stabil dan sustainable. Pada
umumnya kemiskinan diukur dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan pokok minimal suatu negara, yang akan berbeda dari
satu negara dengan negara lain.
Para ulama
seperti malikiyah, syafi’iyah dan hanabillah mendefinisikan miskin adalah
sebagai seseorang yang masih memiliki
kemampuan untuk bekerja berusaha dalam rangka memperoleh harta dan menghidupi keluarganya
secara halal tapi hasil yang didapat masih belum mencukupi bagi pemenuhan
kebutuhan dirinya dan keluarganya. Sementara golongan hanafiyah memandang
miskin sebagai orang yang tidak memiliki
sesuatu (baik harta ataupun tenaga), sehingga tidak ada kemampuan dari orang
tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Islam memandang
baik fakir maupun miskin sama-sama harus dibantu terlepas dari apapun
definisinya secara bahasa. Fakir dalam persepektif islam adalah suatu keadaan yang
serba kekurangan dan tidak memiliki kemampuan untuk memperbaikinya. Misalkan
seseorang yang sudah tua dan tidak memiliki tenaga untuk bekerja, maka ia dapat
disebut sebagai fakir. Sedangkan miskin adalah keadaan dimana seseorang sudah
bekerja, tetapi masih belum mencukupi
kebutuhan hidupnya. Misalkan tukang sapu jalanan tinggal dikota besar
seperti jakarta dan hanya mendapat honor dibawah 500 ribu per bulan, sementara
anaknya lebih dari tiga, maka honor yang didapat tidaklah cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, baik itu kebutuhan pokok atau kebutuhan pendamping lain
seperti halnya pendidikan.[3]
a.
Kehormatan orang miskin dalam islam itu terjaga
Nasib
miskin-bagaimana pun-dalam masyarakat muslim tidak mengurangi kehormatan orang
dan tidak menyebabkan haknya disia-siakan. islam mengajarkan
umatnya-diantaranya orang miskin sendiri-bahwa keterhormatan atau kemuliaan
manusia itu bukan karena harta, emas atau perak, tetapi karena ilmu, iman, dan
ketakwaanya.
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi allah
ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. (QS. Al-Hujurat:13)[4]
B.
TAFSIR DARI BUKU
1.
Al-lubab
Pada awal surat
ini allah swt berfirman dengan mengajukan satu pertanyaan yang tujuanya bukan
meminta informasi tetapi untuk menggugah hati dan pikiran mitra bicara, agar
memerhatikan kandungan apa yang akan disampaikan. Ayat 1 bagaikan menyatakan:
Apakah engkau wahai nabi muhammad saw, atau siapa pun, telah melihat orang yang
mendustakan hari kemudian atau agama? yakni beritahulah aku tentang mereka?
ayat 2 bagaikan berkata: Jika engkau belum mengetahui maka ketahuilah bahwa dia
itu yang sungguh jauh dari kebajikan adalah yang mendorong dengan keras,
menghardik, dan memperlakukan sewenang-wenang anak yatim, dan tidak menganjurkan dirinya,
keluarganya, dan orang lain memberi pangan bagi orang miskin.
Setelah
menguraikan sifat buruk pengingkar agama dan hari kemudian terhadap kaum lemah,
ayat-ayat berikutnya menguraikan sikap buruknya terhadap allah swt. Yang sekaligus
merupakan sebab segala macam sikap buruk atau dampak sikap buruk.[5]
2.
Tafsir Juz ‘Amma
Dalam surah
ini, Allah swt ingin memberitahu kita tentang siapakah yang layak disebut
sebagai pendusta agama, agar orang yang membenarkan agama dapat mengetahuinya secara
jelas. Surah ini dimulai dengan pertanyaan, Tahukah kamu orang yang
mendustakan agama? ini untuk mengingatkan si pendengar bahwa hakikat hal
tersebut tersembunyi bagi orang yang tertutup dari bisikan hati nuraninya
sendiri, dan terkelabuhi oleh khayalanya
yang sesat. pertanyaan tersebut ditunjukan kepada siapa saja yang mampu
memahaminya, “Adakah jelas bagimu siapa itu si pendusta agama?”
Ayat Itulah orang yang menghardik anak yatim....Yakni yang mengusir si yatim atau mengeluarkan
ucapan-ucapan keras ketika ia datang kepadanya meminta sesuatu yang diperlukan.
Semata-mata karena meremehkan kondisinya yang lemah dan tiadanya orang tua yang
mampu membelanya dan memenuhi keperluanya. juga terdorong oleh kesombonganya
karena menganggap dirinya lebih kuat dan lebih mulia. Sedangkan menurut
kebiasaan, kondisi seorang anak yatim merupakan gambaran tentang kelemahan dan
keperluan kepada pertolongan. Maka siapa saja yang menghinanya, ia telah
menghina setiap manusia yang lemah, dan meremehkan setiap yang memerlukan
pertolongan.
Sifat lain dari
seorang pendusta agama adalah tidak mau mengajak atau menganjurkan orang-orang
lain untuk memberi makan kaum miskin. Orang seperti itu, biasanya ia sendiri
juga tidak suka memberi makan mereka. Oleh sebab itu, firman allah swt., Dan
tidak menganjurkan memberi makan orang miskin,juga merupakan kiasan tentang
manusia yang tidak biasa mendermakan sebagian dari hartanya kepada orang-orang
miskin yang tidak cukup penghasilanya, untuk membeli makannya dan makan
keluarganya. Akan tetapi harus diingat pula, bahwa seseorang yang disebut
miskin bukanlah orang yang meminta anda memberinya sesuatu, sementara ia
memiliki kemampuan untuk memperoleh makannya. Orang seperti itu, sesungguhnya
disebut mulhif ; yaitu yang meminta-minta sambil mendesak orang lain
agar memberinya, sementara ia masih memiliki cukup uang untuk keperluan
harianya. Karenanya, tidak ada salahnya apabila seseorang memalingkan diri dari
orang mulhif seperti itu dan menolak memberinya apa yang ia minta. agar
menjadi pelajaran baginya.[6]
3.
Tafsir jalalain
1. أَرَأَيْتَ الَّذِي
يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (Tahukah kamu orang
yang mendustakan hari pembalasan?) atau adanya hari hisab
dan hari pembalasan amal perbuatan. Maksudnya, apakah kamu mengetahui orang
itu? Jika kamu belum mengetahui.
2. فَذَلِكَ (-maka dia-itulah) sesudah
huruf fa ditetapkan adanya lafadz huwa, artinya: Maka dia itulah - الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (orang yang menghardik
anak yatim) yakni menolaknya dengan
keras dan tidak mau memberikan hak yang seharusnya ia terima.
3. وَلَا يَحُضُّ (Dan
tidak menganjurkan) dirinya atau orang lain
- عَلَى طَعَامِ
الْمِسْكِينِ (memberi makan orang miskin) ayat ini diturunkan
berkenaan dengan orang-orang yang bersikap demikian, yaitu Al-as ibnu Wa-il
atau Al-Walid ibnu Mughirah.[7]
C.
Aplikasi dalam kehidupan
Sebagai generasi
muslim alangkah baiknya jikalau kita bisa memberi apa yang kita miliki kepada
mereka yang membutuhkan, baik itu berupa harta, tenaga, atau ilmu yang kita
peroleh dari bangku pendidikan. Sadari bahwa semua apa yang kita miliki itu
hanya karunia allah yang dititipkan kepada kita. Adanya kita memberi sesuatu kepada orang lain tidak akan mengurangi
sedikitpun dari apa yang dimilikinya, itu semua merupakan bukti syukur kepada
allah swt atas segala nikmat yang telah diberikan-NYA kepada kita.
D.
Aspek Tarbawi
1.
Salah satu bukti utama kesadaran beragama adalah memberi perhatian
kepada kaum yang lemah. Siapa yang tidak menyadari dan melakukan langkah
konkret menyangkut hal tersebut, maka keberagamaanya tentang hari
kemudiandinilai tidak ada atau tidak berbekas.
2.
Tidak ada peluang sekecil apa pun bagi setiap orang untuk tidak
memerhatikan sehingga mengundangnya berpartisipasi dan merasakan kepedihan kaum
lemah. Partisipasi tersebut paling sedikit dalam bentuk anjuran kepada yang
mampu untuk memberi mereka bantuan.
3.
Syarat pokok sekaligus tanda utama dari pemenuhan hakikat sholat
adalah keikhlasan melakukanya demi karena allah swt. Serta merasakan kebutuhan
kaum lemah yang membuahkan dorongan membantu mereka.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan etika ialah proses membimbing manusia dari kegelapan,
kebodohan, untuk mencapai pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas pendidikan
etika secara formal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan etika
manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat mereka hidup. Salah
satu bentuk dari pendidikan etika disini yaitu dengan menyantuni anak yatim dan
peduli pada fakir miskin. Menolong masayarakat bawah sebagaimana dianjurkan
dalam ayat al-Quran merupakan salah satu dasar dari dasar-dasar dibangunkan
ekonomi islam. Mereka yang tidak mampu saharusnya dijamin oleh negara maupun
masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai pemerataan kesejahteraan serta
tegaknya keadilan.
Daftar
Pustaka
Al-Mahalli, Imam Jalaluddin
dan Imam Jalaluddin As-Suyuti. 2010. Terjemah Tafsir Jalalain.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Al-Arif, M Nur Riyanto. 2010. Teori Makroekonomi Islam.
Bandung : Alfabeta.
Shihab, M Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta : Lentera
Hati.
Shihab, M Quraish. 2012. Tafsir Al-Lubab. Tanggerang :
Lentera Hati.
Abduh, Muhammad. 1998. Tafsir Juz ‘Amma. Bandung : Penerbit
Mizan.
Abdullah, Yatimin. 2006. Pengantar Studi Etika. Jakarta:
Grafindo Persada.
Qardhawi,
Yusuf. 2010. Shadaqah (Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan ). Bandung : Remaja Rosdakarya.
PROFIL PEMAKALAH
Nama : Rizqi Maulana Imamudin.
Tempat, Tanggal Lahir : Tegal, 30 Desember 1994.
Alamat : Karang Mulya, Kec. Bojong, Kab. Tegal
Riwayat Pendidikan : Mi Mubtadi’in Karang Mulya, Mts Al-Azhar
tuwel, MA As-Syamsyuriyyah Brebes.
[1] Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 55-56.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), hlm. 547.
[3] M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Bandung:
Alfabeta, 2010), Cet. 1, hlm. 226-227.
[4] Yusuf Qardhawi, Shadaqah, Cara islam Mengentaskan Kemiskinan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 191.
[5] M. Quraish Shihab, Al-Lubab, (Tanggerang: Lentera Hati, 2012), hlm.
760
[6] Muhammad ‘Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, (Bandung: Penerbit Mizan,
1998) hlm. 330-331
[7] Imam jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan
Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), jilid 2, hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar